“Hah!”Aku ternganga ketika sumber suara itu mendekat.Manajer laboratorium mendekat sambil tersenyum ramah. Tetapi bukan itu yang membuat aku terkejut.Di belakang badan gempal manajer, menjulang sosok setinggi seratus delapan puluh sembilan koma sembilan sentimeter itu, pemilik penthouse.Em ... apa hubungannya pemilik penthouse itu dengan laboratorium ini ini? Seketika, apa yang kulihat dan kualami di hari itu kembali terbayang.“Anneth,” panggil Pak Badzan sekali lagi.Kali ini dia sudah berdiri tepat di depan meja yang kugunakan untuk melakukan pekerjaan.“Y-ya, Pak,” ujarku sambil mengangguk.Tetapi, mata ini tetap sebentar-sebentar menatap sosok tinggi tegap yang ada di belakang manajer lab itu.Laki-laki tampan itu sekarang sedang menatapku sambil tersenyum menyeringai, lalu ia menganggukkan kepala.“Bagaimana kabarmu? Apa demammu benar-benar sudah sembuh?” ucap Pak Badzan dengan tersenyum.Aku mengiyakan sambil mengangguk, lalu mengucapkan terima kasih untuk perhatian yang di
Allen sibuk menatap pemilik penthouse dengan kagum, tak menghiraukan panggilanku. Mata ini masih membelalak menyaksikan kini pelan-pelan kaki-kaki Allen bergerak turun perlahan dan akhirnya kembali menjejak lantai. “Daffar, ayo kita segera pergi dari ruangan ini sebelum ketampananmu membuat anak-anak buahku berteriak-teriak,” saran Pak Badzan yang ternyata sudah berada di ambang pintu keluar. Laki-laki ini menatap seolah tidak ada kejadian yang mengkhawatirkan yang baru saja terjadi. “Oke, sepertinya kita akan sering berjumpa Anneth,” sahut laki-laki ganteng ini sambil mengerling dan berbalik untuk mengikuti langkah manajer lab. Kedua orang itu akhirnya keluar dari ruangan ini dan itu membuat Allen sekali lagi menjerit kagum dan terus memuji-muji pemilik penthouse itu. Lain halnya denganku, aku yang merasakan tubuh ini kembali gemetar dan merasa sedikit mual. Kepala yang terasa sedikit berdenyut juga melengkapi apa yang terasa ketika pintu ruangan ini tertutup. “Tom, tolong gant
Manajer lab dengan badan gempal dan rambut yang sudah mulai memutih itu tersenyum bijak.“De-par-te-men khu-sus,” ejanya dengan pelan, tentu tujuannya agar aku merasa tak salah dengar.Aku termenung mendengar kepastian ini.Siapa pegawai di Omega Laboratorium ini yang belum mendengar informasi tentang departemen yang satu ini?Informasi dalam taraf bisik-bisik sering terdengar di antara para pegawai. Hal ini disebabkan karena departemen tersebut sangat tertutup bahkan untuk pegawai yang bekerja di sini.Ruangan untuk departemen tersebut juga terpisah dari bangunan utama ini. Dan yang paling khusus, hanya orang-orang tertentu saja yang bisa memasuki departemen itu.“Anneth,” tegur manajer lab dengan lembut.“E ... iya, Pak. Em ... apa saya saja yang dipindahkan ke sana?” tanyaku lebih lanjut.“Oh, tidak. Ada Evan dari lab fisika dan beberapa nama lain, sebentar!” ucapnya, lalu mengambil sebuah kertas yang ada di tumpukan berkas paling atas dan membacakan beberapa nama lain itu.Andai .
Allen mengangguk-angguk.“Itu bukan seperti yang kita inginkan, bagaimana ya jelasinnya?” ucapnya dengan ekspresi bingung.“Itu bukan karena sekarang ada Aaron ‘kan?” godaku lagi.Gadis itu kembali menggeleng dan mengacungkan dua jari tepat di depan mataku sebagai simbol swear.“Tunggu! Memang Kamu gak merasa begitu?” ucapnya dengan ekspresi wajah terkejut, sepertinya kini ia yang terheran-heran.“Apa harus?” jawabku dengan bingung.“Wah! Wah! Beneran, coba ke klinik besok, sepertinya Kamu gak normal,” seru Allen, komentarnya mengingatkan aku pada kata-kata Sinna.“Em apa yang membuatmu berpikir begitu?” tanyaku penuh selidik sambil mencondongkan badan ke arah Allen.“Tommy yang laki-laki juga merasakan hal yang sama,” jelasnya sambil mengambil tisue dan mengelap bagian meja yang sudah bersih.“Oh ya?” seruku sambil kembali ingat apa yang dikatakan Sinna dan reaksi salah satu anggota timnya yang mengiraku mengalami guncangan jiwa.Apa yang sedang kurangkai di pikiran sekonyong-konyong
Asisten manajer itu beranjak dari meja kerjanya, lalu berjalan ke arahku. Kemudian, ia berdiri di samping meja kerjaku sambil menatapku tajam.Aku mengangkat pandang, balas menatapnya dengan tatapan biasa saja untuk menyembunyikan rasa penasaranku agar tidak terendus oleh wanita ini.“Em, begini, saya memiliki latar belakang keluarga yang tidak biasa. Tidak seperti orang lain, saya dibesarkan di panti asuhan. Jadi, saya rasa saya harus mengecek kevaliditasan data-data pribadi saya. Dan lagi ...,” jelasku tapi sengaja menghentikan kalimat dengan merendahkan suara di akhir kata.Wanita ini sepertinya otomatis sedikit merundukkan bahunya dengan ekspresi ingin tahu.“Ada data-data yang harus saya update,” bisikku lirih seolah data itu sangat penting.“Oh,” sahutnya, bahunya kembali tegak.Wanita ini tertegun sejenak, terlihat seperti sedang berpikir.Aku menunggu dengan sabar sambil memasang wajah penuh harap.Detik berjalan menggantikan menit.Beberapa saat kemudian, wanita ini mengembus
Aku mengernyitkan kening.Dari apa yang baru saja kita lakukan, apanya yang rahasia?Yang barusan ini ‘kan hanya memindahkan specimen darah dari tabung kecil ke cawan.“Oh! ya,” jawabku singkat. Tapi, ancaman halus itu, tak urung membuat rasa penasaran yang sudah hampir penuh ini meluber.“Ayo!” perintah asisten manajer ini sambil keluar ruangan.Bagai anak itik, aku mengekor emak asisten manajer itik ke ruangan akhir yang kami boleh masuki.“Tugasmu adalah memperhatikan cawan-cawan itu masuk ke ruangan sebelah dengan berurutan. Perhatikan nomor yang ada di cawan itu dengan label yang ada di spesimen tadi. Data label specimen itu bisa dilihat di sini. Layar ini akan menunjukkan identitas specimen darah yang sedang masuk ke ruangan sebelah,” jelas asisten itu.Jari-jarinya menunjuk-nunjuk sebuah layar sebesar tablet yang berada di bawah kotak tertutup kaca yang alasnya berjalan dengan pelan.“Tekan ini jika cawan-cawan itu berjalan dengan nggak semestinya,” imbuhnya sambil menunjuk sat
Seketika imajinasiku mengembara pada film-film horor yang pernah kutonton.Tapi, ini dunia nyata ‘kan?Akhirnya, aku memaksakan diri untuk menepikan apa yang bergulung-gulung dalam pikiran ini. Kemudian, aku masuk ke ruang kedatangan.Ruang kedatangan ini adalah ruang pertama departemen ini yang difungsikan untuk menerima sampel-sampel darah baru atau barang lain yang akan digunakan di departemen ini.Bagian depan ruang ini adalah jendela kaca lebar yang hanya bisa dibuka di bagian bawahnya. Bagian bawah jendela itu adalah kotak penghubung yang digunakan untuk mensterilkan barang-barang yang baru datang.Di depan jendela kaca itu terdapat meja yang cukup besar dan di sana sudah ada carrier yang berisi specimen darah.Aku melakukan pengecekan, identifikasi dan memasukkan data-data specimen itu dalam data base komputer. Lalu, menyimpan tabung-tabung kecil itu dalam ruang khusus. Kemudian aku kembali berdiri di depan meja ruang kedatangan.Sejenak aku termenung.Kupikir project Darah Mal
Sebuah pemandangan yang seharusnya tak mungkin ada dan terjadi dalam sebuah laboratorium, apalagi Laboratorium besar seperti Omega ini terpampang di depan mata.Ruangan yang lumayan besar itu tidak hanya terlihat berantakan, tapi juga kotor dan menjijikkan.“Masuk!” perintah Mina ketika melihatku berdiri kaku di depan pintu.“Dan jangan bertanya!” ancamnya dengan nada tegas.Dengan pelan dan kaku, aku melangkah ke ruangan ini.Huh! Untung aku memakai masker, jika tidak mulut yang ternganga ini akan kelihatan jelas.“Kita akan membersihkan tempat ini,” jelas Mina singkat.Wanita itu berjalan ke sisi kiri dinding, lalu menekan satu tombol yang sekilas tak terlihat. Dinding itu terbuka dan botol-botol yang berisi bahan kimia pembersih terlihat berderet di sana. Aku melihat satu botol etanol dan alkohol berada di deretan paling depan.Aku berjalan ke sisi kanan, lalu berdiri termangu di antara dua kursi yang ditinggalkan tanpa dirapikan dulu.Dengan pelan, aku meluruskan posis kursi berod
Dengan cepat aku menggelesot di lantai.“Daffar!” teriakku kencang.Daffar terbangun dengan bingung. Lalu, ia berjalan ke arahku dan memelukku.“Apa yang terjadi?” bisik Daffar lirih.“Nggak tahu. Tiba-tiba aku mendengar ledakan yang seolah datang dari jauh. Kemudian rumah ini bergetar,” jelasku yang masih berada dalam pelukan Daffar.Aku dan Daffar masih berpelukan ketika getaran di rumah ini tak mereda dan bahkan makin menghebat.“Ayo, kita keluar!” seru Daffar dengan cepat.Ia menarik tanganku dan berjalan dengan cepat.“Agh!” seruku kencang.Tiba-tiba ada satu kekuatan tak terlihat yang menghentakan tubuhku. Aku terlepas dari pegangan Daffar.Aku berhasil menguasai diri sebelum terjerembab ke lantai. Lalu, aku kembali menggelesot di lantai.Rumah masih bergetar hebat.Ini mengingatkanku akan goncangan yang terjadi di Anbar ketika itu.Daffar hendak mendekat ke arahku, tapi-“Clap!”“Agh!”Tiba-tiba sebuah sinar mendekat ke arahku. Sinar itu menghalangi gerakan Daffar. Laki-laki it
Tubuhku menegang. Aku menatapnya lekat.“Kamu juga mengingat wajah gadis itu?” tanyaku dengan laju jantung yang berdetak kencang.Daffar menggeser posisi duduknya hingga menghadap ke arahku, ia menatap tajam dan penuh arti.Aku menahan napas.“Ya. Aku mengingatnya,” jawabnya dengan suara yang dalam.Ah?!“Gadis itu adalah Kamu,” ungkapnya dengan wajah yang terlihat serius.Aah ....Aku menunduk lesu, memejamkan mata dan menutup wajahku dengan telapak tangan.Sunyi menyela kami berdua.“Anneth,” ucap Daffar sambil menyentuh bahu ku.Aku nggak sanggup menatap wajahnya. Mata ini merebak.“Aku juga mengingat hal lain,” sambung Daffar masih dengan suara yang dalam.Pelan-pelan, aku mengangkat kepala dan memberanikan menatap matanya.“Awalnya, aku merasa sakit sekali begitu mengingat apa yang Kamu lakukan ketika itu. Tapi, kesakitan itu mengundang ingatan lain. Aku mengingat ada kekuatan kegelapan yang mengejarmu,” jelasnya dengan serius.Dia mengingat Anbar?!Lalu, Daffar mengembuskan napa
“Kamu tahu tentang Daf-?”“Tunggu!”Dua celetukan itu diakhiri dengan diam, ia menatapku penuh selidik.“Ah ...,” ucapnya di ujung selidiknya.“Aku paham sekarang kenapa ada gadis manusia dari kota Shrim mengenal Pangeran kegelapan Anbar, banyak sekali jejak Ardasyr dalam dirimu, Nona,” ucapnya penuh kepahaman.Kurasa laki-laki ini memang mengetahui dua dunia pendamping itu.Laki-laki itu mengembuskan napas dalam.“Jujur saja, aku terkejut bagaimana seorang yang sangat dicintai Anbar masih berada di Shrim setelah penarikan besar itu,” sambungnya lebih lanjut.“Apa penarikan itu yang membuatnya mati?” tanyanya kemudian.Aku menggeleng pelan.“Aku membunuhnya,” kataku jujur.“Hah?!!” serunya terperangah.Ia kembali menatapku penuh selidik.“Apa Kamu-?”“Kamu-?”“Apa Si Darah-?!”“Ya,” sahutku memotong kegaguannya.Ia menelan ludah.“Phuh .... pantas saja,” komentarnya singkat.Lalu, ia mengembuskan napas panjang.“Aku akan menceritakan apa yang kutahu sejak terlepasnya Anbar dari dunia
Aku menatap Kayla dengan antusias.“Apa ada seseorang dari dunia manusia yang mengetahui tentang Anbar?” celetuk ku tak sabar.Kayla mengangguk tanpa ragu.“Aku juga terkejut begitu dia mendatangi rumah ini. Aku benar-benar nggak menyangka ada manusia yang sangat tahu tentang Anbar,” jelasnya bersemangat.Mendengar itu, seketika harapan untuk mendapat jawaban tentang Daffar tumbuh.“Laki-laki itu datang dan memperkenalkan diri sebagai pencari jejak Anbar di dunia manusia. Dan dia langsung mengetahui jika aku menyimpan bagian dari Anbar di rumah ini,” sambung Kayla dengan cepat.“Awalnya aku nggak percaya. Tapi, ia bisa menberikan penawar bagi Nadec agar bisa bertahan di dunia manusia ini tanpa menyerap energi manusia,” sambungnya riang.“Oh, ya?!” sahutku terkejut.Kayla mengangguk dengan cepat.“Dan itu sangat berguna sekali bagi Nadec, karena setelah lepasnya Anbar dari dunia manusia, perubahan dirinya nggak bisa dikontrol,” sambung Kayla lega.“Oh, gitu,” sahutku paham.“Jadi, baga
“Anneth,” panggil Barkiya lirih.Mungkin ia membaca apa yang tersirat di wajahku, suaranya terdengar sedih.Aku menatapnya dan mengangguk pelan.“Kalau begitu, aku akan kembali ke Shrim dan mencoba mencari tahu tentang ini. Semoga ada satu petunjuk yang mungkin tercecer di sekitar Daffar,” balasku mencoba tetap semangat.Barkiya mengangguk pelan.“Anneth, maaf, kali ini kami nggak bisa membantu mu.” Yarim turut mengucapkan itu dengan sedih.Aku tersenyum pada ratu cantik itu, lalu, menatap Barkiya dan Eldona.“Aku harus segera meninggalkan Ardasyr, kita semua tahu apa yang akan terjadi jika aku berada di sini dalam waktu yang lama,” ucapku lirih.“Terima kasih untuk pesta yang akan diadakan untuk ku,” pungkasku dengan menyertakan anggukan hormat.Yarim berdiri, lalu turun dari singgasana kacanya. Ia berjalan mendekat dan memeluk ku erat.“Kini Kamu yang akan menjaga Shrim dan orang-orang yang Kamu cintai di dunia manusia. Terima kasih sudah kembali ke Ardasyr,” ucap Yarim lembut.Beri
Tarikan ini terasa makin kencang, aku memejamkan mata dan membiarkan daya tarik ini membawa ku ke satu arah.Entah berapa lama aku merasa diriku tertarik ke satu arah sampai pada akhirnya kaki ini merasa menapak pada rumput yang rimbun. Bau yang padang rumput yang kukenali tercium hidung.Aku yakin sekali beberapa meter dari sini ada sebuah danau yang terlihat tenang dan indah.“Anneth!”Panggilan itu membuatku dengan cepat membuka mata.“Eldona!” balas ku riang.Wanita berpipi gembul itu mendekat dengan gerakan terburu, di belakangnya seekeor rusa mengikutinya.“Aku tahu Kamu akan kembali lagi ke sini setelah peperangan di tanah perbatasan, meskipun, pintu gerbang ke dunia manusia nggak lagi bisa dibuka,” sambutnya antusias.“Maksudnya?” tanyaku cepat, penasaran.Aku memandang penjaga perbatasan Ardasyr itu dengan nggak sabar.“Kamu pasti tahu bagaimana rekatan Anbar terlepas dari kota-kota manusia seperti Shrim,” jelasnya mengawali.Aku mengangguk dengan cepat dan tak sabar menunggu
Daffar mengusap-usapkan kepalanya dengan pelan di perutku, dan itu membuat tubuhku bereaksi dengan sedikit bergerak mundur.Tanganku hendak menyentuh rambutnya, tapi tiba-tiba terhenti di udara. Aku memutuskan untuk membatalkannya.“Pulanglah! Kita akan bicarakan ini begitu Kamu telah mengingat semua,” ucapku lirih.Daffar menggeleng pelan.“Jangan usir aku!” ulangnya pelan.“Detik di mana aku meninggalkan mu kemarin, detik itu juga aku begitu ingin kembali ke sini,” ujarnya lirih.Aku mengembuskan napas panjang.Aku diam sejenak, mencari jalan tengah untuk membuatnya ... setidaknya mendengarkan kata-kata ku.“Daffar,” ucapku lirih.“Aku akan mengantarkan mu pulang,” lanjutku masih dengan suara lirih.Daffar kembali menggeleng dan malah mempererat lingkaran tangannya di pinggang ku.Aku menahan sesak di dada, diam sesaat, lalu dengan pelan, ragu dan kaku mulai menyentuh sehelai rambut Daffar.Tanganku berhenti ketika ketakutan dalam hatiku menggeliat.Tapi, sedetik kemudian, aku menep
Aku merasa seluruh tubuhku tegang. Ketakutan dalam hatiku yang semalam telah beristirahat kembali bangkit. Sesaat tubuhku gemetar samar.Telinga ini menempel di dadanya, bisa mendengar degup jantungnya yang terdengar samar.Jantungnya ....Jantung yang pernah kutusuk dengan belati ini kembali berdetak?Ini ....Bagaimana bisa?Aku tersadar dari keterkejutan, lalu dengan cepat menarik tubuhku ke belakang untuk menjauh dari pelukan Daffar. Tapi, alih-alih pelukan itu mengendur, pelukan itu justru makin erat.“Daf-far,” ucapku seolah hampir kehabisan napas.“Anneth,” bisiknya lirih dengan suara parau.Parau?Daffar menahan isak tangis.Apa yang kulihat di matanya tadi benar?Aku berusaha melepaskan pelukan ini sekali lagi, tapi Daffar kembali menarikku ke arah yang sebaliknya.“Anneth, aku mengingatnya,” ucapnya lirih.Aku terperanjat, mata ini membelalak. Ini yang tadi kutebak!“Aku mengingatnya ... mengingatnya dengan baik. Gimana ... gimana aku bisa melupakannya? Gimana bisa aku melup
Daffar menatapku dengan sorot mata menuntut jawaban yang mendesak.“Kalaupun ada, tempat itu benar-benar nggak ada di Shrim, itu ada di tempat lain,” jelasku pada akhirnya.“Oh, ya? Bisakah Kamu menunjukkan tempat itu?” tanyanya tak berhenti.Aku menggeleng dengan tegas.Daffar mendesah kecewa.“Kamu bisa menunjukkan alamatnya kalau begitu, aku bisa mengunjungi tempat itu sendiri,” ucapnya dengan agak kesal.Aku terus menatapnya lekat dengan perasaan campur aduk.“Nama tempat itu adalah Paradise, tapi tempat itu nggak beralamat, kabarnya tak ada seorang pun yang bisa ke sana, kecuali orang-orang yang beruntung menemukannya,” paparku makin berani.Mungkin karena aku tak sanggup melihat kekecewaan dalam wajah Daffar, jadi aku memutuskan untuk sedikit membocorkan apa yang ia tanyakan itu.Daffar menatapku dengan ekspresi bingung.“Atau ...,” sambungku dengan penuh penekanan.“Alamat Paradise mungkin akan muncul dalam ingatanmu di saat berikutnya,” imbuhku untuk membuatnya tidak begitu te