Aku bergidik.
Kepala ini menoleh ke kiri dan ke kanan, tapi tak kunjung menemukan sumber suara. Demikian juga, ketika mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan.
Semua orang dalam ruangan ini masih berada di posisinya. Para tamu duduk di kursi menyantap hidangan dan anggota tim Sinna juga sedang melaksanakan tugasnya masing-masing.
“Halo!"
"Nona! Apa bisa jawab pertanyanku?” ucap laki-laki dengan badan besar itu sekali lagi.
Dan pertanyaan itu membuatku harus kembali menolehkan kepala ke tempat di mana laki-laki berbadan besar itu duduk.
“Sa-y ...,” ucapku tergagap.
Bisikan itu kembali terdengar dan otomatis kepala ini langsung celingukan.
Seketika kulitku meremang karena memang tak ada seorang pun yang berada di dekatku, tetapi bisikan itu seolah terasa orang tersebut berada di dekat kuping ini.
Apa tamparan itu membuatku halusinasi?
Perasaan bukan baru sekali ini aku mendapatkan tamparan atau pukulan, tetapi efeknya biasanya enggak seperti ini.
Aku jadi lebih sibuk dengan pikiranku sendiri daripada berusaha menjawab bertanyaan laki-laki yang berkulit gelap dan berbadan besar ini.
Aku termenung dan hanya menatap kosong ke depan.
“Jangan menyusahkannya lagi, ia tadi sudah ditampar anakmu,” sahut laki-laki yang dipanggil Daffar tadi. Ia duduk di sebelah laki-laki berbadan gelap ini.
Laki-laki tampan rupawan itu menyuapkan makanan ke mulut dan menatapku sambil mengunyah.
“Ah! Rupanya ini karena perebutan laki-laki tertampan sejagat raya, Kamu memang bisa menyebabkan masalah seperti ini. Jadi, jangan salahkan anakku yang juga tergila-gila padamu,” bela laki-laki berbadan besar ini, lalu terkekeh.
“Ini tidak bisa dikatakan sebagai perebutan, gadis ini baru saja melihatku beberapa saat tadi, dia nggak mengenalku,” timpal laki-laki yang dipanggil dengan nama Daffar ini, kemudian ikut terkekeh.
Laki-laki berbadan besar itu terdiam.
“Em ... jadi ini murni karena cinta buta putriku,” ucapnya dengan nada riang.
“Aeh! Itulah resiko orang ganteng. Kamu sih terlalu menarik!” lanjut laki-laki itu sambil menoleh ke pemilik penthouse.
Pria tampan yang duduk di tengah meja makan itu hanya tertawa sambil sesekali melihat ke arahku.
Gadis yang tadi menamparku melirik sinis ke arahku.
“Pokoknya aku tidak mau minta maaf, Ayah!” rajuk wanita berkulit pucat itu lagi, beberapa tamu tampak menggeleng-gelengkan kepala.
“Kalau begitu, Kamu gak boleh ke sini lagi, Mora!” larang pemilik penthouse itu dengan tenang.
“Ayah!” seru gadis itu sambil memukul-memukul lengan ayahnya.
Laki-laki berkulit hitam itu mengembuskan napas panjang.
“Itu sebuah cara penyiksaan yang bagus, Daffar,” sahut ayah gadis itu. Lalu, ia berusaha membujuk anak manjanya itu.
“Itu cara mendidik yang baik, Millian,” balas laki-laki tampan itu sambil kembali menyuapkan makanan ke mulut.
Aku berdiri sambil tetap mengamati ketiga orang yang tengah berbicara itu.
“Ah!” jeritku tertahan.
Mata ini melotot, dengan cepat aku membekap mulut dengan telapak tangan.
Laki-laki yang dipanggil dengan nama Millian itu tampak mengalami perubahan.
Laki-laki berbadan besar yang sedang memiringkan badan untuk membujuk anaknya itu terlihat tidak seperti semestinya.
Dari punggung laki-laki itu tampak keluar sesuatu seperti ... em sirip? Apa itu benar-benar sirip? Entah, benda seperti itu biasa kulihat di punggung hewan-hewan purbakala yang telah punah.
Dan entah sejak kapan, di dekat punggung yang sekarang bersirip itu melambai-lambai benda yang seperti ekor.
Ya. Benda yang menjulur itu lebih tepat disebut ekor, walaupun dari tempatku berdiri hanya terlihat bagian atasnya.
Ujung ekor itu seperti berusaha mengetahui keberadaanku dengan bergerak mendekat, tetapi dalam jarak setengah meter, ekor itu bergerak ke kanan dan ke kiri, lalu kembali ke posisi semula seolah kehilangan jejak.
Hoek!
Mendadak perut ini terasa mual. Samar-samar indra penciuman ini mengenali bau asing yang tak sedap.
Pemilik Penthouse tampat itu menghentikan gerakan tangannya.
“Apa bentuk badan Ayah Mora ini terlalu besar menurutmu? Ini juga pertama kali Kamu melihat badan sebesar itu?” ucap laki-laki tampan ini dengan suara lembut, mungkin ia memperhatikan perubahan wajahku.
Aku mengibaskan tangan sebagai ganti kata tidak. Lalu, dengan cepat membungkuk dan membalikkan badan.
Laki-laki muda anggota tim Sinna sepertinya menangkap gerak-gerikku dan langsung mendekat.
“Kamar mandi?” ucapnya melihat ketika satu tangan ku membekap mulut dan tangan lain memegang perut.
Aku mengangguk dengan cepat. Lalu, dengan langkah cepat, kaki ini mengikuti arah yang ditunjuk oleh laki-laki muda ini.
“Jangan sampai diperkarakan, Mora?” Sayup-sayup terdengar suara lembut laki-laki tampan pemilik penthouse ini dari tempat mereka bicara.
Mulut ini hanya memuntahkan air di wastafel ketika sampai di kamar mandi.
Rasa sakit kepala yang tadi sempat pergi, kini datang lagi.
“Ah!” desahku kesal.
Apa sih yang sedang terjadi pada mataku?
Aku membasuh muka dan mengusapnya dengan gulungan handuk kecil yang tersedia di dekat wastafel. Setelah itu, aku keluar dari kamar mandi dan menemukan laki-laki muda itu tengah berdiri sambil memegangi secangkir teh.
“Istirahatlah dulu!” pintanya lirih.
Anak buah Sinna itu meletakkan cangkir di meja kecil yang tak jauh dari kamar mandi.
Aku mengikuti sarannya dan duduk di kursi empuk yang ada di samping meja kecil itu.
“Mungkin jiwamu terguncang karena tamparan dari gadis cantik tadi,” komentarnya dengan ekspresi wajah prihatin.
“Hah?” seruku ternganga.
Darimana datangnya kesimpulan itu?
Aku hanya bisa menatap anak buah Sinna ini dengan sedih.
Jiwa terguncang?
Mungkin jika tidak dalam keadaan ini, aku pasti tertawa terbahak-bahak.
Bagaimana dia langsung melompat pada keputusan ngawur itu, ya?
Akhirnya aku hanya bisa geleng-geleng kepala.
Hei! Tunggu!
Apa tidak ada satu pun anak buah Sinna yang melihat apa yang kulihat pada laki-laki dengan badan besar itu?
Eh! Apa benar jiwa ini terguncang?
Haduh!
Dering handphone membuatku terlonjak.
Ah! Aku lupa membuat handphone ini dalam mode silent.
Nama Sinna muncul di layar.
"Katanya Kamu sakit, Neth?" Tanpa salam pembuka, apalagi pemanis kata, seperti biasa, pertanyaan dengan mode langsung pada sasaran terdengar.
"Anneth!"
Hanya beberapa detik aku terdiam dan suara panggilan dengan nada suara lebih tinggi terdengar.
“Mungkin hanya masuk angin,” jawabku mencoba menenangkan, cepat juga laporan sang anak buah.
"Gini, Kamu kalau alergi sama orang-orang kaya itu, jangan mendekat ke meja itu! Cukup berdiri di dekat meja platting aja ya! Pastikan tidak ada yang kurang atau salah dalam sajian! Bertahan sebentar lagi! setelah acara makan malam itu, Kamu bisa pulang. Hanya sebagian anggota yang akan menunggu acara itu selesai untuk membereskan ruangan, oke. Dah, istirahat saja dulu! Bentar ... tuh anakmu nangis. Daa." Cerocosan Sinna tak berjeda.
Hah! Alergi orang kaya?
Penyakit apa lagi yang dituduhkan padaku?
Benar-benar, saat ini, aku ingin tertawa terbahak-bahak, hanya saja takut disangka gila.
Telepon itu diakhiri sebelum aku menjawab kalimat terakhir itu.
“Agh!”
Aku menjerit ketika mendadak ada seseorang mendekat.
Entah kapan ia datang, tiba-tiba saja sesosok perempuan sudah berdiri tepat di depanku.
Aku mengenalinya sebagai salah satu dari tamu-tamu yang duduk di meja makan itu.
Wanita ini mengenakan gaun putih yang tampak mahal. Rambutnya disanggul modern dan terlihat sangat serasi dengan gaun dan wajahnya.
Aku mengangguk hormat sebagai ganti sapaan.
“Hah!” jeritku kembali tertahan.
Wanita di depanku ini juga pelan-pelan berubah.
“Ah!” pekikku pelan.
Kali ini aku menggosok-gosok mata, lalu mengerjap-ngerjap, berharap apa yang terlihat ini salah.Rambut wanita ini berubah menjadi putih.Di dahinya muncul benda seperti mahkota dengan bagian tengahnya bertahta batu mulia berbentuk trapesium yang mengeluarkan cahaya menyilaukan.Telinga wanita ini bagian atasnya terlihat berubah menjadi runcing.Dalam wujudnya yang berubah itu, wanita ini masih kelihatan cantik dan anggun.Wanita bergaun putih itu masuk ke kamar mandi yang berada di dekat tempat duduk ini.Secepat kilat, aku beranjak dan melaksanakan saran Sinna untuk berada di dekat meja platting saja melaksanakan tugas tanpa harus mendekat pada orang-orang yang mungkin memiliki penampilan ganda.“Penampilan ganda?!” gumamku tanpa suara.Aku terkejut dengan apa yang baru saja terlintas di pikiran, begitu saja pikiran ini memberikan nama pada wujud-wujud yang mendadak muncul dalam satu badan manusia itu.Memang ada ya, hal seperti itu di dunia ini?Hei Sinna! Ini bukan penyakit alerg
“Hek!” Perutku terasa diaduk-aduk. Mata ini membelalak maksimal, sedang tubuh ini tegang dicekam kengerian. Sebuah ekor reptil berwarna hijau yang ternyata keluar dari kursi pengemudi, menjulur-julur ke arahku. Ekor yang terlihat licin menjijikan itu seperti menggapai-gapai sesuatu. Tapi, mendadak benda itu berhenti di dekat kaki-kaki ini, lalu ekor itu tegak. Inilah sumber bau yang aku sejak duduk di dalam taksi ini terasa begitu menyengat. “Sedang sakit ya, Kak?” ucap sopir taksi ketika sekilas sedikit menoleh. "I-iya" Aku menyahut, lalu mengalihkan pandangan dari ekor yang masih berada di dekatku ke wajah sopir taksi itu. “Hah!” seruku kencang. Sopir taksi ini juga memilki penampilan ganda? Napas ku tertahan. Kenapa beberapa orang yang kulihat malam ini memiliki penampilan ganda? Kenapa mereka berubah menjadi wujud menjadi tak wajar? “Mau turun di mana, Kak?” ucapnya sambil mempercepat laju kendaraan. “Si-si-sini saja, Pak. Saya mual!” teriakku cepat dan tergagap. Aku
“Hah! Bagaimana pekerjaanku itu?” seruku panik.Badan ini otomatis bangkit duduk.Aku baru sadar bahwa sejak tadi ada handuk basah kecil yang bertengger di dahi.“Jika itu lepas ... akan kusiram langsung air es ke kepalamu!” ancam Sinna ketika tangan ini bergerak menyingkirkan handuk kecil itu.Aku mengurungkan niat, lalu segera meletakkan kembali benda itu sebelum emak tiri bajakan ini melancarkan apa yang ia ancamkan."Aduh! Tapi bagaimana itu? Pekerjaanku? Di mana handphoneku?" ucapku lemah dengan kepanikan yang belum sirna.Ah!Aku baru ingat, tentu handphone yang tidak terurus selama tiga hari, baterainya bakal habis.“Izinmu sudah diurus,” jelasnya pendek.“Sudah?” seruku terperanjat."Oleh?" lanjutku ingin tahu.“Satu jam setelah seharusnya Kamu berada di tempat kerja, temanmu menghubungiku dan memintaku untuk mencarimu. Sedangkan, ketika ku cek dengan Aaron, anak buahnya melaporkan bahwa tidak sedikit pun makanan yang biasanya lesap tak bersisa itu disentuh. Karena itu, aku la
Sinna menatapku dengan ekspresi tak percaya. Mulutnya tampak sedikit terbuka.Aku membalasnya dengan berusaha melebarkan kelopak mata yang masih terasa berat.“Setiap wanita akan merasa mabuk bila ada di dekatnya, apalagi ketika ia mengajak bicara, wah! Terasa melayang tiga puluh senti di atas tanah,” jelas Sinna antusias.Sinna menelangkupkan tangan dan memandang langit-langit. Jari-jarinya bergerak seolah mengetuk-ngetuk pipi, mungkin di pikirannya saat ini sedang membayangkan suasana ketika berada di dekat laki-laki tampan itu.“Semua ... wanita?” tanyaku heran.Kurasa walaupun seorang laki-laki memiliki ketampanan level kebangetan, tidak akan membuat para wanita semabuk itu.“Ah!” Sinna mendesah lelah.Wanita ini menurunkan tangan, sedangkan bahunya bergerak turun.Kini pandangan matanya tertuju tepat ke manik mataku, sesaat kemudian terlihat ekspresi terperanjat bercampur rasa kesal terlihat di wajahnya.“Ka-mu ti-dak?” serunya seolah sedang mengalami shock.“Em,” sahutku mantap.
“Aduh sudah deh! Pokoknya gadis aneh sepertimu tidak akan paham. Ini hanya dialami aku dan sesamaku yang masih normal saja. N-O-R-M-A-L,” rajuknya geram sambil menunjukku.Aku tertawa mendengar ilmu “pokoknya” itu dikeluarkan. Biasanya jika pembuka kalimat menggunakan kata itu, itu berarti berbantahan harus segera dihentikan.Sinna kemudian bangkit dan menarik selimutku hingga menutupi leher.“Istirahat yang cukup, semoga cepat sembuh dan bisa kerja lagi,” ucapnya terdengar hangat di hati.Aku mengangguk perlahan dan tersenyum di dalam hati merasakan kehangatan seorang ibu dari sahabatku ini. Setelah itu, aku memejamkan mata dan mendengar suara kegiatan yang dilakukan Sinna. Mungkin temanku itu sedang membersihkan tempat ini atau apa saja yang menurutnya bisa membantu mengurangi pekerjaan rumah.Andai ... andai saja bisa menceritakan apa yang baru-baru ini kualami pada sahabat terdekat itu ..., tetapi jika diri ini nekad melakukannya, jangan-jangan sebelum detik berganti, aku langsung
“Hah!”Aku ternganga ketika sumber suara itu mendekat.Manajer laboratorium mendekat sambil tersenyum ramah. Tetapi bukan itu yang membuat aku terkejut.Di belakang badan gempal manajer, menjulang sosok setinggi seratus delapan puluh sembilan koma sembilan sentimeter itu, pemilik penthouse.Em ... apa hubungannya pemilik penthouse itu dengan laboratorium ini ini? Seketika, apa yang kulihat dan kualami di hari itu kembali terbayang.“Anneth,” panggil Pak Badzan sekali lagi.Kali ini dia sudah berdiri tepat di depan meja yang kugunakan untuk melakukan pekerjaan.“Y-ya, Pak,” ujarku sambil mengangguk.Tetapi, mata ini tetap sebentar-sebentar menatap sosok tinggi tegap yang ada di belakang manajer lab itu.Laki-laki tampan itu sekarang sedang menatapku sambil tersenyum menyeringai, lalu ia menganggukkan kepala.“Bagaimana kabarmu? Apa demammu benar-benar sudah sembuh?” ucap Pak Badzan dengan tersenyum.Aku mengiyakan sambil mengangguk, lalu mengucapkan terima kasih untuk perhatian yang di
Allen sibuk menatap pemilik penthouse dengan kagum, tak menghiraukan panggilanku. Mata ini masih membelalak menyaksikan kini pelan-pelan kaki-kaki Allen bergerak turun perlahan dan akhirnya kembali menjejak lantai. “Daffar, ayo kita segera pergi dari ruangan ini sebelum ketampananmu membuat anak-anak buahku berteriak-teriak,” saran Pak Badzan yang ternyata sudah berada di ambang pintu keluar. Laki-laki ini menatap seolah tidak ada kejadian yang mengkhawatirkan yang baru saja terjadi. “Oke, sepertinya kita akan sering berjumpa Anneth,” sahut laki-laki ganteng ini sambil mengerling dan berbalik untuk mengikuti langkah manajer lab. Kedua orang itu akhirnya keluar dari ruangan ini dan itu membuat Allen sekali lagi menjerit kagum dan terus memuji-muji pemilik penthouse itu. Lain halnya denganku, aku yang merasakan tubuh ini kembali gemetar dan merasa sedikit mual. Kepala yang terasa sedikit berdenyut juga melengkapi apa yang terasa ketika pintu ruangan ini tertutup. “Tom, tolong gant
Manajer lab dengan badan gempal dan rambut yang sudah mulai memutih itu tersenyum bijak.“De-par-te-men khu-sus,” ejanya dengan pelan, tentu tujuannya agar aku merasa tak salah dengar.Aku termenung mendengar kepastian ini.Siapa pegawai di Omega Laboratorium ini yang belum mendengar informasi tentang departemen yang satu ini?Informasi dalam taraf bisik-bisik sering terdengar di antara para pegawai. Hal ini disebabkan karena departemen tersebut sangat tertutup bahkan untuk pegawai yang bekerja di sini.Ruangan untuk departemen tersebut juga terpisah dari bangunan utama ini. Dan yang paling khusus, hanya orang-orang tertentu saja yang bisa memasuki departemen itu.“Anneth,” tegur manajer lab dengan lembut.“E ... iya, Pak. Em ... apa saya saja yang dipindahkan ke sana?” tanyaku lebih lanjut.“Oh, tidak. Ada Evan dari lab fisika dan beberapa nama lain, sebentar!” ucapnya, lalu mengambil sebuah kertas yang ada di tumpukan berkas paling atas dan membacakan beberapa nama lain itu.Andai .
Dengan cepat aku menggelesot di lantai.“Daffar!” teriakku kencang.Daffar terbangun dengan bingung. Lalu, ia berjalan ke arahku dan memelukku.“Apa yang terjadi?” bisik Daffar lirih.“Nggak tahu. Tiba-tiba aku mendengar ledakan yang seolah datang dari jauh. Kemudian rumah ini bergetar,” jelasku yang masih berada dalam pelukan Daffar.Aku dan Daffar masih berpelukan ketika getaran di rumah ini tak mereda dan bahkan makin menghebat.“Ayo, kita keluar!” seru Daffar dengan cepat.Ia menarik tanganku dan berjalan dengan cepat.“Agh!” seruku kencang.Tiba-tiba ada satu kekuatan tak terlihat yang menghentakan tubuhku. Aku terlepas dari pegangan Daffar.Aku berhasil menguasai diri sebelum terjerembab ke lantai. Lalu, aku kembali menggelesot di lantai.Rumah masih bergetar hebat.Ini mengingatkanku akan goncangan yang terjadi di Anbar ketika itu.Daffar hendak mendekat ke arahku, tapi-“Clap!”“Agh!”Tiba-tiba sebuah sinar mendekat ke arahku. Sinar itu menghalangi gerakan Daffar. Laki-laki it
Tubuhku menegang. Aku menatapnya lekat.“Kamu juga mengingat wajah gadis itu?” tanyaku dengan laju jantung yang berdetak kencang.Daffar menggeser posisi duduknya hingga menghadap ke arahku, ia menatap tajam dan penuh arti.Aku menahan napas.“Ya. Aku mengingatnya,” jawabnya dengan suara yang dalam.Ah?!“Gadis itu adalah Kamu,” ungkapnya dengan wajah yang terlihat serius.Aah ....Aku menunduk lesu, memejamkan mata dan menutup wajahku dengan telapak tangan.Sunyi menyela kami berdua.“Anneth,” ucap Daffar sambil menyentuh bahu ku.Aku nggak sanggup menatap wajahnya. Mata ini merebak.“Aku juga mengingat hal lain,” sambung Daffar masih dengan suara yang dalam.Pelan-pelan, aku mengangkat kepala dan memberanikan menatap matanya.“Awalnya, aku merasa sakit sekali begitu mengingat apa yang Kamu lakukan ketika itu. Tapi, kesakitan itu mengundang ingatan lain. Aku mengingat ada kekuatan kegelapan yang mengejarmu,” jelasnya dengan serius.Dia mengingat Anbar?!Lalu, Daffar mengembuskan napa
“Kamu tahu tentang Daf-?”“Tunggu!”Dua celetukan itu diakhiri dengan diam, ia menatapku penuh selidik.“Ah ...,” ucapnya di ujung selidiknya.“Aku paham sekarang kenapa ada gadis manusia dari kota Shrim mengenal Pangeran kegelapan Anbar, banyak sekali jejak Ardasyr dalam dirimu, Nona,” ucapnya penuh kepahaman.Kurasa laki-laki ini memang mengetahui dua dunia pendamping itu.Laki-laki itu mengembuskan napas dalam.“Jujur saja, aku terkejut bagaimana seorang yang sangat dicintai Anbar masih berada di Shrim setelah penarikan besar itu,” sambungnya lebih lanjut.“Apa penarikan itu yang membuatnya mati?” tanyanya kemudian.Aku menggeleng pelan.“Aku membunuhnya,” kataku jujur.“Hah?!!” serunya terperangah.Ia kembali menatapku penuh selidik.“Apa Kamu-?”“Kamu-?”“Apa Si Darah-?!”“Ya,” sahutku memotong kegaguannya.Ia menelan ludah.“Phuh .... pantas saja,” komentarnya singkat.Lalu, ia mengembuskan napas panjang.“Aku akan menceritakan apa yang kutahu sejak terlepasnya Anbar dari dunia
Aku menatap Kayla dengan antusias.“Apa ada seseorang dari dunia manusia yang mengetahui tentang Anbar?” celetuk ku tak sabar.Kayla mengangguk tanpa ragu.“Aku juga terkejut begitu dia mendatangi rumah ini. Aku benar-benar nggak menyangka ada manusia yang sangat tahu tentang Anbar,” jelasnya bersemangat.Mendengar itu, seketika harapan untuk mendapat jawaban tentang Daffar tumbuh.“Laki-laki itu datang dan memperkenalkan diri sebagai pencari jejak Anbar di dunia manusia. Dan dia langsung mengetahui jika aku menyimpan bagian dari Anbar di rumah ini,” sambung Kayla dengan cepat.“Awalnya aku nggak percaya. Tapi, ia bisa menberikan penawar bagi Nadec agar bisa bertahan di dunia manusia ini tanpa menyerap energi manusia,” sambungnya riang.“Oh, ya?!” sahutku terkejut.Kayla mengangguk dengan cepat.“Dan itu sangat berguna sekali bagi Nadec, karena setelah lepasnya Anbar dari dunia manusia, perubahan dirinya nggak bisa dikontrol,” sambung Kayla lega.“Oh, gitu,” sahutku paham.“Jadi, baga
“Anneth,” panggil Barkiya lirih.Mungkin ia membaca apa yang tersirat di wajahku, suaranya terdengar sedih.Aku menatapnya dan mengangguk pelan.“Kalau begitu, aku akan kembali ke Shrim dan mencoba mencari tahu tentang ini. Semoga ada satu petunjuk yang mungkin tercecer di sekitar Daffar,” balasku mencoba tetap semangat.Barkiya mengangguk pelan.“Anneth, maaf, kali ini kami nggak bisa membantu mu.” Yarim turut mengucapkan itu dengan sedih.Aku tersenyum pada ratu cantik itu, lalu, menatap Barkiya dan Eldona.“Aku harus segera meninggalkan Ardasyr, kita semua tahu apa yang akan terjadi jika aku berada di sini dalam waktu yang lama,” ucapku lirih.“Terima kasih untuk pesta yang akan diadakan untuk ku,” pungkasku dengan menyertakan anggukan hormat.Yarim berdiri, lalu turun dari singgasana kacanya. Ia berjalan mendekat dan memeluk ku erat.“Kini Kamu yang akan menjaga Shrim dan orang-orang yang Kamu cintai di dunia manusia. Terima kasih sudah kembali ke Ardasyr,” ucap Yarim lembut.Beri
Tarikan ini terasa makin kencang, aku memejamkan mata dan membiarkan daya tarik ini membawa ku ke satu arah.Entah berapa lama aku merasa diriku tertarik ke satu arah sampai pada akhirnya kaki ini merasa menapak pada rumput yang rimbun. Bau yang padang rumput yang kukenali tercium hidung.Aku yakin sekali beberapa meter dari sini ada sebuah danau yang terlihat tenang dan indah.“Anneth!”Panggilan itu membuatku dengan cepat membuka mata.“Eldona!” balas ku riang.Wanita berpipi gembul itu mendekat dengan gerakan terburu, di belakangnya seekeor rusa mengikutinya.“Aku tahu Kamu akan kembali lagi ke sini setelah peperangan di tanah perbatasan, meskipun, pintu gerbang ke dunia manusia nggak lagi bisa dibuka,” sambutnya antusias.“Maksudnya?” tanyaku cepat, penasaran.Aku memandang penjaga perbatasan Ardasyr itu dengan nggak sabar.“Kamu pasti tahu bagaimana rekatan Anbar terlepas dari kota-kota manusia seperti Shrim,” jelasnya mengawali.Aku mengangguk dengan cepat dan tak sabar menunggu
Daffar mengusap-usapkan kepalanya dengan pelan di perutku, dan itu membuat tubuhku bereaksi dengan sedikit bergerak mundur.Tanganku hendak menyentuh rambutnya, tapi tiba-tiba terhenti di udara. Aku memutuskan untuk membatalkannya.“Pulanglah! Kita akan bicarakan ini begitu Kamu telah mengingat semua,” ucapku lirih.Daffar menggeleng pelan.“Jangan usir aku!” ulangnya pelan.“Detik di mana aku meninggalkan mu kemarin, detik itu juga aku begitu ingin kembali ke sini,” ujarnya lirih.Aku mengembuskan napas panjang.Aku diam sejenak, mencari jalan tengah untuk membuatnya ... setidaknya mendengarkan kata-kata ku.“Daffar,” ucapku lirih.“Aku akan mengantarkan mu pulang,” lanjutku masih dengan suara lirih.Daffar kembali menggeleng dan malah mempererat lingkaran tangannya di pinggang ku.Aku menahan sesak di dada, diam sesaat, lalu dengan pelan, ragu dan kaku mulai menyentuh sehelai rambut Daffar.Tanganku berhenti ketika ketakutan dalam hatiku menggeliat.Tapi, sedetik kemudian, aku menep
Aku merasa seluruh tubuhku tegang. Ketakutan dalam hatiku yang semalam telah beristirahat kembali bangkit. Sesaat tubuhku gemetar samar.Telinga ini menempel di dadanya, bisa mendengar degup jantungnya yang terdengar samar.Jantungnya ....Jantung yang pernah kutusuk dengan belati ini kembali berdetak?Ini ....Bagaimana bisa?Aku tersadar dari keterkejutan, lalu dengan cepat menarik tubuhku ke belakang untuk menjauh dari pelukan Daffar. Tapi, alih-alih pelukan itu mengendur, pelukan itu justru makin erat.“Daf-far,” ucapku seolah hampir kehabisan napas.“Anneth,” bisiknya lirih dengan suara parau.Parau?Daffar menahan isak tangis.Apa yang kulihat di matanya tadi benar?Aku berusaha melepaskan pelukan ini sekali lagi, tapi Daffar kembali menarikku ke arah yang sebaliknya.“Anneth, aku mengingatnya,” ucapnya lirih.Aku terperanjat, mata ini membelalak. Ini yang tadi kutebak!“Aku mengingatnya ... mengingatnya dengan baik. Gimana ... gimana aku bisa melupakannya? Gimana bisa aku melup
Daffar menatapku dengan sorot mata menuntut jawaban yang mendesak.“Kalaupun ada, tempat itu benar-benar nggak ada di Shrim, itu ada di tempat lain,” jelasku pada akhirnya.“Oh, ya? Bisakah Kamu menunjukkan tempat itu?” tanyanya tak berhenti.Aku menggeleng dengan tegas.Daffar mendesah kecewa.“Kamu bisa menunjukkan alamatnya kalau begitu, aku bisa mengunjungi tempat itu sendiri,” ucapnya dengan agak kesal.Aku terus menatapnya lekat dengan perasaan campur aduk.“Nama tempat itu adalah Paradise, tapi tempat itu nggak beralamat, kabarnya tak ada seorang pun yang bisa ke sana, kecuali orang-orang yang beruntung menemukannya,” paparku makin berani.Mungkin karena aku tak sanggup melihat kekecewaan dalam wajah Daffar, jadi aku memutuskan untuk sedikit membocorkan apa yang ia tanyakan itu.Daffar menatapku dengan ekspresi bingung.“Atau ...,” sambungku dengan penuh penekanan.“Alamat Paradise mungkin akan muncul dalam ingatanmu di saat berikutnya,” imbuhku untuk membuatnya tidak begitu te