Aku terus memikirkan keanehan-keanehan yang baru saja terlihat, tubuh ini masih sedikit gemetar.
Demi Kamu, Sinna, aku masih bertahan merapikan meja makan ini!
“Sudah kubilang, aku baru saja bertemu dengan gadis itu, Mora,” sahut laki-laki itu sambil berjalan memasuki sebuah ruangan.
Sepertinya itu kamar tidur, dari tempat aku berdiri, terlihat sedikit sudut ranjang yang indah.
“Di situ anehnya, baru bertemu, tapi sudah dapat perlakuan istimewa darimu,” rajuk wanita berkulit pucat itu sambil mengejar laki-laki itu, suara high heel-nya bercetak-cetok nyaring.
“Apanya yang istimewa?” sahut laki-laki tinggi tegap itu santai.
Dari belakang, benang coklat tua itu masih sibuk bergerak ke sana ke mari.
Tunggu!
Apa orang-orang di ruangan ini merasa hal itu bukan satu keanehan?
Aku menoleh ke arah laki-laki muda yang masih berdiri mematung, tetapi sepertinya ia tertegun karena mengikuti gerak-gerik perempuan berkulit pucat yang cantik itu.
Paduan kulit pucat dan rambut pirangnya, memang bakal membuat laki-laki mana saja yang memandangnya tertegun seperti itu.
Tetapi, apa murni karena itu?
Sepertinya, laki-laki muda anak buah Sinna itu terlihat terpisah dari kenyataan.
Pandangannya seolah melayang-layang.
Apa itu disebabkan karena ia memang sedang mengkhayalkan wanita cantik berkulit pucat itu? Atau karena hal lain?
“Kenapa harus memberinya minyak itu? Bukannya itu minyak istimewa untuk kalangan kita saja?” protes wanita itu tanpa basa-basi.
Laki-laki itu menghentikan langkah kakinya tepat di depan pintu ruangan itu.
“Sadar Mora! Kamu menamparnya di tempat ini dan gadis itu, kalau mau, bisa memperkarakan mu di pengadilan. Lebih baik memberinya sedikit obat untuk melunakkan hatinya,” ucap laki-laki itu terdengar jujur.
“Aku tidak takut,” seru wanita berkulit pucat itu pongah.
“Bukan masalah takut atau tidak, aku tak mau tempat ini menjadi TKP. Minta maaflah segera!” seru laki-laki itu sambil memasuki ruangan.
“Apa? Maaf? Huh!” teriak wanita itu angkuh sambil menoleh ke arahku.
“Daffar!” seru wanita itu sambil berlari menyusul laki-laki itu ke dalam ruangan.
“Ugh!” seruku sambil berpegangan pada tepi meja makan besar ini.
“Apa baik-baik saja?” seru laki-laki muda anak buah Sinna.
Ia seolah baru sadar kalau masih ada aku di sini setelah perempuan berambut pirang itu hilang dari pandangan.
“Nggak apa, hanya sedikit pusing,” jawabku sambil berusaha terlihat baik-baik saja.
Aku memikirkan ucapan wanita berkulit pucat itu, apa ada sejenis minyak untuk kalangan tertentu?
“Apa karena tamparan tadi?” sahutnya sambil memperhatikan pipiku, mungkin ada bekas merah di sana.
“Em ... mungkin,” jawabku singkat.
“Kalau begitu, aku akan membantumu di sini, agar cepat selesai. Kalau jam makan malam tiba, beberapa anggota tim yang di atas bakal turun kok,” jelasnya sambil mengambil handphone lalu mengetikkan pesan.
Aku mengangguk dan bersyukur dengan informasi itu.
Kemudian, dengan cekatan, laki-laki muda ini membantuku.
Dan dalam waktu yang relatif singkat, meja makan ini selesai dihias dan di tata. Kursinya yang sudah cantik itu pun sudah tertutup dengan kain satin warna emas dengan pita-pita warna coklat mengkilat yang diikatkan di bagian belakang sandaran kursi.
“Istirahatlah di sudut itu!” pinta laki-laki muda itu sambil menunjuk sebuah sudut dengan kursi cantik yang tampak nyaman.
Aku mengangguk dan segera menuju tempat yang ditunjuk laki-laki muda anak buah sahabatku itu.
Lalu, ia membawakan satu botol air mineral, kopi dalam kemasan kaleng dan satu bungkus kecil biskuit.
Aku menyandarkan punggung di sandaran kursi nyaman itu, kemudian menempelkan dua minuman yang baru keluar dari kulkas itu ke pipi yang tadi terkena tamparan.
Pikiran ini kembali sibuk memikirkan apa yang sebenarnya terjadi di tempat ini. Sekaligus juga penasaran dengan apa yang ada di badan laki-laki yang dipanggil dengan nama Daffar itu.
Dan minyak itu?
Ah! Rasa sakit kepala yang telah mereda kini kembali muncul.
Aku menekan-nekan pelipis untuk kembali meredakan rasa sakit.
Beberapa saat kemudian bel berbunyi dan laki-laki muda itu bergegas ke pintu.
Dua orang laki-laki dan dua orang perempuan muda terlihat turun dari tangga melingkar yang mewah di ruangan ini, mereka juga bergegas menuju pintu.
Sekelompok laki-laki dan perempuan dengan baju-baju yang indah nampak memasuki ruangan.
Tak lama kemudian laki-laki yang dipanggil dengan nama Daffar, yang mungkin adalah pemilik dari tempat ini, nampak keluar dari ruangan dengan mengenakan tuxedo hitam.
Sementara itu, wanita berkulit pucat itu bagaikan satelit yang selalu mengikuti gerak bumi, terus menempel pada laki-laki itu.
Acara ramah tamah terjadi beberapa saat lamanya, aku menyaksikan dari sini hingga laki-laki muda anggota tim Sinna memintaku mendekat.
“Apa Kamu nanti bisa mengawasi makanan yang dihidangkan? Makanan dari chef akan dihidangkan oleh beberapa orang, Kamu bisa mengecek kesesuaian menu dengan jadwal waktunya,” jelasnya dengan serius.
Aku mengangguk.
Kemudian, aku diperintahkan untuk berdiri di antara meja makan dengan sebuah meja di balik sekat indah yang ternyata tempat untuk meletakkan makanan setelah platting.
Beberapa saat kemudian, para tamu dipersilahkan duduk di meja makan dan pemilik rumah duduk di kursi paling tengah.
Makan malam dimulai dan satu persatu hidangan disajikan.
“Ayah, aku tidak mau minta maaf,” rajuk wanita itu manja.
Aku berusaha tetap konsentrasi pada tugasku.
“Dengan?” sahut sebuah suara yang terdengar berat.
“Tuh!” seru suara wanita itu terdengar manja.
Aku yakin, saat ini akulah yang sedang ditunjuk oleh wanita berkulit pucat itu.
Mungkin juga, saat ini, beberapa kepala ikut menoleh ke arahku.
“Nona!” seru suara laki-laki yang terdengar berat.
Suara langkah kaki mendekat dan kemudian memberitahukan panggilan yang ditujukan untukku.
Seorang perempuan muda anak buah Sinna kini menggantikan tugasku.
“Ya?” ucapku ketika mendekat pada laki-laki yang memanggil itu.
Ia adalah laki-laki berbadan besar dengan kulit gelap. Laki-laki ini menatapku tajam.
“Ini orangnya?” ucapnya sambil menoleh ke arah wanita muda berkulit pucat yang menggelendot manja di sebelahnya.
Aku berpikir, apa itu benar ayahnya?
Bagaimana kulitnya bisa tak sama? Wanita berambut pirang itu mengerucutkan mulutnya.
“Benar ini?” tanya laki-laki berbadan besar itu pada pemilik penthouse yang duduk di sebelahnya.
Laki-laki itu mengangguk sambil menatapku tak berkedip.
Ketiga orang itu kini memandangku yang sedang berdiri di dekat pemilik penthouse.
Ekspresi pemilik tempat ini berbeda.
“Apa Kamu menyukai laki-laki tampan di sebelahku ini, Nona?” tanya laki-laki dengan suara berat itu tanpa mengedipkan mata.
“Hah!” seruku refleks.
Pemilik penthouse yang menawan itu tampak tertawa terbahak-bahak, sedangkan orang-orang yang duduk di meja itu, serentak menolehkan kepala ke arahku.
“Siapa namamu, Nona?” ucap suara berat laki-laki itu padaku.
“Sa-ya ....” Ucapanku terhenti.
Mendadak, terdengar bisikan di telinga ini.
“Jangan sebutkan namamu!”
Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, tapi, tak seorang pun ada di sampingku.
Hah!
Aku bergidik.Kepala ini menoleh ke kiri dan ke kanan, tapi tak kunjung menemukan sumber suara. Demikian juga, ketika mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan.Semua orang dalam ruangan ini masih berada di posisinya. Para tamu duduk di kursi menyantap hidangan dan anggota tim Sinna juga sedang melaksanakan tugasnya masing-masing.“Halo!""Nona! Apa bisa jawab pertanyanku?” ucap laki-laki dengan badan besar itu sekali lagi.Dan pertanyaan itu membuatku harus kembali menolehkan kepala ke tempat di mana laki-laki berbadan besar itu duduk.“Sa-y ...,” ucapku tergagap.Bisikan itu kembali terdengar dan otomatis kepala ini langsung celingukan.Seketika kulitku meremang karena memang tak ada seorang pun yang berada di dekatku, tetapi bisikan itu seolah terasa orang tersebut berada di dekat kuping ini.Apa tamparan itu membuatku halusinasi?Perasaan bukan baru sekali ini aku mendapatkan tamparan atau pukulan, tetapi efeknya biasanya enggak seperti ini.Aku jadi lebih sibuk dengan pikiranku se
Kali ini aku menggosok-gosok mata, lalu mengerjap-ngerjap, berharap apa yang terlihat ini salah.Rambut wanita ini berubah menjadi putih.Di dahinya muncul benda seperti mahkota dengan bagian tengahnya bertahta batu mulia berbentuk trapesium yang mengeluarkan cahaya menyilaukan.Telinga wanita ini bagian atasnya terlihat berubah menjadi runcing.Dalam wujudnya yang berubah itu, wanita ini masih kelihatan cantik dan anggun.Wanita bergaun putih itu masuk ke kamar mandi yang berada di dekat tempat duduk ini.Secepat kilat, aku beranjak dan melaksanakan saran Sinna untuk berada di dekat meja platting saja melaksanakan tugas tanpa harus mendekat pada orang-orang yang mungkin memiliki penampilan ganda.“Penampilan ganda?!” gumamku tanpa suara.Aku terkejut dengan apa yang baru saja terlintas di pikiran, begitu saja pikiran ini memberikan nama pada wujud-wujud yang mendadak muncul dalam satu badan manusia itu.Memang ada ya, hal seperti itu di dunia ini?Hei Sinna! Ini bukan penyakit alerg
“Hek!” Perutku terasa diaduk-aduk. Mata ini membelalak maksimal, sedang tubuh ini tegang dicekam kengerian. Sebuah ekor reptil berwarna hijau yang ternyata keluar dari kursi pengemudi, menjulur-julur ke arahku. Ekor yang terlihat licin menjijikan itu seperti menggapai-gapai sesuatu. Tapi, mendadak benda itu berhenti di dekat kaki-kaki ini, lalu ekor itu tegak. Inilah sumber bau yang aku sejak duduk di dalam taksi ini terasa begitu menyengat. “Sedang sakit ya, Kak?” ucap sopir taksi ketika sekilas sedikit menoleh. "I-iya" Aku menyahut, lalu mengalihkan pandangan dari ekor yang masih berada di dekatku ke wajah sopir taksi itu. “Hah!” seruku kencang. Sopir taksi ini juga memilki penampilan ganda? Napas ku tertahan. Kenapa beberapa orang yang kulihat malam ini memiliki penampilan ganda? Kenapa mereka berubah menjadi wujud menjadi tak wajar? “Mau turun di mana, Kak?” ucapnya sambil mempercepat laju kendaraan. “Si-si-sini saja, Pak. Saya mual!” teriakku cepat dan tergagap. Aku
“Hah! Bagaimana pekerjaanku itu?” seruku panik.Badan ini otomatis bangkit duduk.Aku baru sadar bahwa sejak tadi ada handuk basah kecil yang bertengger di dahi.“Jika itu lepas ... akan kusiram langsung air es ke kepalamu!” ancam Sinna ketika tangan ini bergerak menyingkirkan handuk kecil itu.Aku mengurungkan niat, lalu segera meletakkan kembali benda itu sebelum emak tiri bajakan ini melancarkan apa yang ia ancamkan."Aduh! Tapi bagaimana itu? Pekerjaanku? Di mana handphoneku?" ucapku lemah dengan kepanikan yang belum sirna.Ah!Aku baru ingat, tentu handphone yang tidak terurus selama tiga hari, baterainya bakal habis.“Izinmu sudah diurus,” jelasnya pendek.“Sudah?” seruku terperanjat."Oleh?" lanjutku ingin tahu.“Satu jam setelah seharusnya Kamu berada di tempat kerja, temanmu menghubungiku dan memintaku untuk mencarimu. Sedangkan, ketika ku cek dengan Aaron, anak buahnya melaporkan bahwa tidak sedikit pun makanan yang biasanya lesap tak bersisa itu disentuh. Karena itu, aku la
Sinna menatapku dengan ekspresi tak percaya. Mulutnya tampak sedikit terbuka.Aku membalasnya dengan berusaha melebarkan kelopak mata yang masih terasa berat.“Setiap wanita akan merasa mabuk bila ada di dekatnya, apalagi ketika ia mengajak bicara, wah! Terasa melayang tiga puluh senti di atas tanah,” jelas Sinna antusias.Sinna menelangkupkan tangan dan memandang langit-langit. Jari-jarinya bergerak seolah mengetuk-ngetuk pipi, mungkin di pikirannya saat ini sedang membayangkan suasana ketika berada di dekat laki-laki tampan itu.“Semua ... wanita?” tanyaku heran.Kurasa walaupun seorang laki-laki memiliki ketampanan level kebangetan, tidak akan membuat para wanita semabuk itu.“Ah!” Sinna mendesah lelah.Wanita ini menurunkan tangan, sedangkan bahunya bergerak turun.Kini pandangan matanya tertuju tepat ke manik mataku, sesaat kemudian terlihat ekspresi terperanjat bercampur rasa kesal terlihat di wajahnya.“Ka-mu ti-dak?” serunya seolah sedang mengalami shock.“Em,” sahutku mantap.
“Aduh sudah deh! Pokoknya gadis aneh sepertimu tidak akan paham. Ini hanya dialami aku dan sesamaku yang masih normal saja. N-O-R-M-A-L,” rajuknya geram sambil menunjukku.Aku tertawa mendengar ilmu “pokoknya” itu dikeluarkan. Biasanya jika pembuka kalimat menggunakan kata itu, itu berarti berbantahan harus segera dihentikan.Sinna kemudian bangkit dan menarik selimutku hingga menutupi leher.“Istirahat yang cukup, semoga cepat sembuh dan bisa kerja lagi,” ucapnya terdengar hangat di hati.Aku mengangguk perlahan dan tersenyum di dalam hati merasakan kehangatan seorang ibu dari sahabatku ini. Setelah itu, aku memejamkan mata dan mendengar suara kegiatan yang dilakukan Sinna. Mungkin temanku itu sedang membersihkan tempat ini atau apa saja yang menurutnya bisa membantu mengurangi pekerjaan rumah.Andai ... andai saja bisa menceritakan apa yang baru-baru ini kualami pada sahabat terdekat itu ..., tetapi jika diri ini nekad melakukannya, jangan-jangan sebelum detik berganti, aku langsung
“Hah!”Aku ternganga ketika sumber suara itu mendekat.Manajer laboratorium mendekat sambil tersenyum ramah. Tetapi bukan itu yang membuat aku terkejut.Di belakang badan gempal manajer, menjulang sosok setinggi seratus delapan puluh sembilan koma sembilan sentimeter itu, pemilik penthouse.Em ... apa hubungannya pemilik penthouse itu dengan laboratorium ini ini? Seketika, apa yang kulihat dan kualami di hari itu kembali terbayang.“Anneth,” panggil Pak Badzan sekali lagi.Kali ini dia sudah berdiri tepat di depan meja yang kugunakan untuk melakukan pekerjaan.“Y-ya, Pak,” ujarku sambil mengangguk.Tetapi, mata ini tetap sebentar-sebentar menatap sosok tinggi tegap yang ada di belakang manajer lab itu.Laki-laki tampan itu sekarang sedang menatapku sambil tersenyum menyeringai, lalu ia menganggukkan kepala.“Bagaimana kabarmu? Apa demammu benar-benar sudah sembuh?” ucap Pak Badzan dengan tersenyum.Aku mengiyakan sambil mengangguk, lalu mengucapkan terima kasih untuk perhatian yang di
Allen sibuk menatap pemilik penthouse dengan kagum, tak menghiraukan panggilanku. Mata ini masih membelalak menyaksikan kini pelan-pelan kaki-kaki Allen bergerak turun perlahan dan akhirnya kembali menjejak lantai. “Daffar, ayo kita segera pergi dari ruangan ini sebelum ketampananmu membuat anak-anak buahku berteriak-teriak,” saran Pak Badzan yang ternyata sudah berada di ambang pintu keluar. Laki-laki ini menatap seolah tidak ada kejadian yang mengkhawatirkan yang baru saja terjadi. “Oke, sepertinya kita akan sering berjumpa Anneth,” sahut laki-laki ganteng ini sambil mengerling dan berbalik untuk mengikuti langkah manajer lab. Kedua orang itu akhirnya keluar dari ruangan ini dan itu membuat Allen sekali lagi menjerit kagum dan terus memuji-muji pemilik penthouse itu. Lain halnya denganku, aku yang merasakan tubuh ini kembali gemetar dan merasa sedikit mual. Kepala yang terasa sedikit berdenyut juga melengkapi apa yang terasa ketika pintu ruangan ini tertutup. “Tom, tolong gant
Dengan cepat aku menggelesot di lantai.“Daffar!” teriakku kencang.Daffar terbangun dengan bingung. Lalu, ia berjalan ke arahku dan memelukku.“Apa yang terjadi?” bisik Daffar lirih.“Nggak tahu. Tiba-tiba aku mendengar ledakan yang seolah datang dari jauh. Kemudian rumah ini bergetar,” jelasku yang masih berada dalam pelukan Daffar.Aku dan Daffar masih berpelukan ketika getaran di rumah ini tak mereda dan bahkan makin menghebat.“Ayo, kita keluar!” seru Daffar dengan cepat.Ia menarik tanganku dan berjalan dengan cepat.“Agh!” seruku kencang.Tiba-tiba ada satu kekuatan tak terlihat yang menghentakan tubuhku. Aku terlepas dari pegangan Daffar.Aku berhasil menguasai diri sebelum terjerembab ke lantai. Lalu, aku kembali menggelesot di lantai.Rumah masih bergetar hebat.Ini mengingatkanku akan goncangan yang terjadi di Anbar ketika itu.Daffar hendak mendekat ke arahku, tapi-“Clap!”“Agh!”Tiba-tiba sebuah sinar mendekat ke arahku. Sinar itu menghalangi gerakan Daffar. Laki-laki it
Tubuhku menegang. Aku menatapnya lekat.“Kamu juga mengingat wajah gadis itu?” tanyaku dengan laju jantung yang berdetak kencang.Daffar menggeser posisi duduknya hingga menghadap ke arahku, ia menatap tajam dan penuh arti.Aku menahan napas.“Ya. Aku mengingatnya,” jawabnya dengan suara yang dalam.Ah?!“Gadis itu adalah Kamu,” ungkapnya dengan wajah yang terlihat serius.Aah ....Aku menunduk lesu, memejamkan mata dan menutup wajahku dengan telapak tangan.Sunyi menyela kami berdua.“Anneth,” ucap Daffar sambil menyentuh bahu ku.Aku nggak sanggup menatap wajahnya. Mata ini merebak.“Aku juga mengingat hal lain,” sambung Daffar masih dengan suara yang dalam.Pelan-pelan, aku mengangkat kepala dan memberanikan menatap matanya.“Awalnya, aku merasa sakit sekali begitu mengingat apa yang Kamu lakukan ketika itu. Tapi, kesakitan itu mengundang ingatan lain. Aku mengingat ada kekuatan kegelapan yang mengejarmu,” jelasnya dengan serius.Dia mengingat Anbar?!Lalu, Daffar mengembuskan napa
“Kamu tahu tentang Daf-?”“Tunggu!”Dua celetukan itu diakhiri dengan diam, ia menatapku penuh selidik.“Ah ...,” ucapnya di ujung selidiknya.“Aku paham sekarang kenapa ada gadis manusia dari kota Shrim mengenal Pangeran kegelapan Anbar, banyak sekali jejak Ardasyr dalam dirimu, Nona,” ucapnya penuh kepahaman.Kurasa laki-laki ini memang mengetahui dua dunia pendamping itu.Laki-laki itu mengembuskan napas dalam.“Jujur saja, aku terkejut bagaimana seorang yang sangat dicintai Anbar masih berada di Shrim setelah penarikan besar itu,” sambungnya lebih lanjut.“Apa penarikan itu yang membuatnya mati?” tanyanya kemudian.Aku menggeleng pelan.“Aku membunuhnya,” kataku jujur.“Hah?!!” serunya terperangah.Ia kembali menatapku penuh selidik.“Apa Kamu-?”“Kamu-?”“Apa Si Darah-?!”“Ya,” sahutku memotong kegaguannya.Ia menelan ludah.“Phuh .... pantas saja,” komentarnya singkat.Lalu, ia mengembuskan napas panjang.“Aku akan menceritakan apa yang kutahu sejak terlepasnya Anbar dari dunia
Aku menatap Kayla dengan antusias.“Apa ada seseorang dari dunia manusia yang mengetahui tentang Anbar?” celetuk ku tak sabar.Kayla mengangguk tanpa ragu.“Aku juga terkejut begitu dia mendatangi rumah ini. Aku benar-benar nggak menyangka ada manusia yang sangat tahu tentang Anbar,” jelasnya bersemangat.Mendengar itu, seketika harapan untuk mendapat jawaban tentang Daffar tumbuh.“Laki-laki itu datang dan memperkenalkan diri sebagai pencari jejak Anbar di dunia manusia. Dan dia langsung mengetahui jika aku menyimpan bagian dari Anbar di rumah ini,” sambung Kayla dengan cepat.“Awalnya aku nggak percaya. Tapi, ia bisa menberikan penawar bagi Nadec agar bisa bertahan di dunia manusia ini tanpa menyerap energi manusia,” sambungnya riang.“Oh, ya?!” sahutku terkejut.Kayla mengangguk dengan cepat.“Dan itu sangat berguna sekali bagi Nadec, karena setelah lepasnya Anbar dari dunia manusia, perubahan dirinya nggak bisa dikontrol,” sambung Kayla lega.“Oh, gitu,” sahutku paham.“Jadi, baga
“Anneth,” panggil Barkiya lirih.Mungkin ia membaca apa yang tersirat di wajahku, suaranya terdengar sedih.Aku menatapnya dan mengangguk pelan.“Kalau begitu, aku akan kembali ke Shrim dan mencoba mencari tahu tentang ini. Semoga ada satu petunjuk yang mungkin tercecer di sekitar Daffar,” balasku mencoba tetap semangat.Barkiya mengangguk pelan.“Anneth, maaf, kali ini kami nggak bisa membantu mu.” Yarim turut mengucapkan itu dengan sedih.Aku tersenyum pada ratu cantik itu, lalu, menatap Barkiya dan Eldona.“Aku harus segera meninggalkan Ardasyr, kita semua tahu apa yang akan terjadi jika aku berada di sini dalam waktu yang lama,” ucapku lirih.“Terima kasih untuk pesta yang akan diadakan untuk ku,” pungkasku dengan menyertakan anggukan hormat.Yarim berdiri, lalu turun dari singgasana kacanya. Ia berjalan mendekat dan memeluk ku erat.“Kini Kamu yang akan menjaga Shrim dan orang-orang yang Kamu cintai di dunia manusia. Terima kasih sudah kembali ke Ardasyr,” ucap Yarim lembut.Beri
Tarikan ini terasa makin kencang, aku memejamkan mata dan membiarkan daya tarik ini membawa ku ke satu arah.Entah berapa lama aku merasa diriku tertarik ke satu arah sampai pada akhirnya kaki ini merasa menapak pada rumput yang rimbun. Bau yang padang rumput yang kukenali tercium hidung.Aku yakin sekali beberapa meter dari sini ada sebuah danau yang terlihat tenang dan indah.“Anneth!”Panggilan itu membuatku dengan cepat membuka mata.“Eldona!” balas ku riang.Wanita berpipi gembul itu mendekat dengan gerakan terburu, di belakangnya seekeor rusa mengikutinya.“Aku tahu Kamu akan kembali lagi ke sini setelah peperangan di tanah perbatasan, meskipun, pintu gerbang ke dunia manusia nggak lagi bisa dibuka,” sambutnya antusias.“Maksudnya?” tanyaku cepat, penasaran.Aku memandang penjaga perbatasan Ardasyr itu dengan nggak sabar.“Kamu pasti tahu bagaimana rekatan Anbar terlepas dari kota-kota manusia seperti Shrim,” jelasnya mengawali.Aku mengangguk dengan cepat dan tak sabar menunggu
Daffar mengusap-usapkan kepalanya dengan pelan di perutku, dan itu membuat tubuhku bereaksi dengan sedikit bergerak mundur.Tanganku hendak menyentuh rambutnya, tapi tiba-tiba terhenti di udara. Aku memutuskan untuk membatalkannya.“Pulanglah! Kita akan bicarakan ini begitu Kamu telah mengingat semua,” ucapku lirih.Daffar menggeleng pelan.“Jangan usir aku!” ulangnya pelan.“Detik di mana aku meninggalkan mu kemarin, detik itu juga aku begitu ingin kembali ke sini,” ujarnya lirih.Aku mengembuskan napas panjang.Aku diam sejenak, mencari jalan tengah untuk membuatnya ... setidaknya mendengarkan kata-kata ku.“Daffar,” ucapku lirih.“Aku akan mengantarkan mu pulang,” lanjutku masih dengan suara lirih.Daffar kembali menggeleng dan malah mempererat lingkaran tangannya di pinggang ku.Aku menahan sesak di dada, diam sesaat, lalu dengan pelan, ragu dan kaku mulai menyentuh sehelai rambut Daffar.Tanganku berhenti ketika ketakutan dalam hatiku menggeliat.Tapi, sedetik kemudian, aku menep
Aku merasa seluruh tubuhku tegang. Ketakutan dalam hatiku yang semalam telah beristirahat kembali bangkit. Sesaat tubuhku gemetar samar.Telinga ini menempel di dadanya, bisa mendengar degup jantungnya yang terdengar samar.Jantungnya ....Jantung yang pernah kutusuk dengan belati ini kembali berdetak?Ini ....Bagaimana bisa?Aku tersadar dari keterkejutan, lalu dengan cepat menarik tubuhku ke belakang untuk menjauh dari pelukan Daffar. Tapi, alih-alih pelukan itu mengendur, pelukan itu justru makin erat.“Daf-far,” ucapku seolah hampir kehabisan napas.“Anneth,” bisiknya lirih dengan suara parau.Parau?Daffar menahan isak tangis.Apa yang kulihat di matanya tadi benar?Aku berusaha melepaskan pelukan ini sekali lagi, tapi Daffar kembali menarikku ke arah yang sebaliknya.“Anneth, aku mengingatnya,” ucapnya lirih.Aku terperanjat, mata ini membelalak. Ini yang tadi kutebak!“Aku mengingatnya ... mengingatnya dengan baik. Gimana ... gimana aku bisa melupakannya? Gimana bisa aku melup
Daffar menatapku dengan sorot mata menuntut jawaban yang mendesak.“Kalaupun ada, tempat itu benar-benar nggak ada di Shrim, itu ada di tempat lain,” jelasku pada akhirnya.“Oh, ya? Bisakah Kamu menunjukkan tempat itu?” tanyanya tak berhenti.Aku menggeleng dengan tegas.Daffar mendesah kecewa.“Kamu bisa menunjukkan alamatnya kalau begitu, aku bisa mengunjungi tempat itu sendiri,” ucapnya dengan agak kesal.Aku terus menatapnya lekat dengan perasaan campur aduk.“Nama tempat itu adalah Paradise, tapi tempat itu nggak beralamat, kabarnya tak ada seorang pun yang bisa ke sana, kecuali orang-orang yang beruntung menemukannya,” paparku makin berani.Mungkin karena aku tak sanggup melihat kekecewaan dalam wajah Daffar, jadi aku memutuskan untuk sedikit membocorkan apa yang ia tanyakan itu.Daffar menatapku dengan ekspresi bingung.“Atau ...,” sambungku dengan penuh penekanan.“Alamat Paradise mungkin akan muncul dalam ingatanmu di saat berikutnya,” imbuhku untuk membuatnya tidak begitu te