Sesaat aku berdiri termangu di depan pintu ruang tertinggi di gedung utama Anbar ini.Bagaimana bayangan kobra yang bisa membesar dengan ukuran tak normal itu kembali hadir dan membuat bulu kuduk bergidik.Tapi, aku harus memasuk ke dalam ruangan itu dan mendekat ke dalam Isar itu untuk menemukan petunjuk.Aku menarik napas dalam, lalu mengembuskannya dengan pelan.Satu.Dua.Tiga.Dan tepat pada hitungan ke tiga aku melangkah masuk.Aku memohon pada jantungku untuk bekerja sama dengan tetap berdetak di ritme normalnya.Selangkah demi selangkah, aku makin dekat dengan bejana darah itu.Sesaat aku berhenti.Lalu, dengan pelan mendongak ke atas.Pandangan mata ini menembus langit-langit yang menyusupkan warna jingga langit Anbar.Eh!Ke mana patung bergerak Penjaga Agung Anbar itu?Aku menggeser fokus penglihatan, tapi tak terlihat patung hitam dengan mata menyala yang tadi berjongkok di atas puncak kubah ini.Hah!Aku menjerit tanpa suara ketika tiba-tiba kepala patung bergerak itu men
Dua belahan belati itu seolah memiliki magnet berbeda yang saling tarik menarik."Ting!"Penyatuan dua belahan logam bergagang gading itu menimbulkan bunyi denting nyaring.Dan uniknya, belahan belati Anbar tak berubah warna ketika bersatu dengan belati Ardasyr yang memiliki bilah logam berkilau dan gagang seputih gading. Belahan belati Anbar itu tetap hitam dari ujung ke ujung.Setelah penyatuan sempurna, belati yang kini telah utuh itu berputar tiga ratus delapan puluh derajat dengan pelan. Lalu, belati dengan dua warna itu mendekat ke arahku ketika berhenti berputar.Aku memperhatikan dari ujungnya yang runcing hingga pangkal pegangannya.Heh!Pandangan mata ini tertuju pada ukiran bentuk bintang yang semula hanya separo dan kini telah utuh menjadi bentuk satu bintang yang sempurna.Aku memperhatikan jalinan rumit dalam gambar bintang itu.Itu ....Bukankah itu mirip dengan-Sesaat aku otak ini menggali satu ingatan aneh yang pertama kali tertanam dalam memori ingatan.Hem.Iya.Ak
Seketika aku menjatuhkan diri ke tanah, lalu bergulung ke belakang.“Agh!” teriakku mengiringi jantung ini yang serasa hendak terbang."Boom!"Kaki patung hitam itu menghantam tanah di depanku dengan keras.Permukaan bumi Anbar di halaman gedung utama ini melesak.Untung saja tubuh patung bergerak itu besar, jadi kecepatannya lebih pelan daripada gerak tubuhku yang kecil.Phuh!Sedetik saja terlambat, aku pasti sudah gepeng di bawah tapak kaki patung bergerak itu.Aku kembali bangkit.Dengan pola lari zig zag, aku terburu berlari mendekati gerbang utama gedung sihir ini.“Hah!” teriakku kencang.Aku terpental dua meter ke arah depan.Ternyata, pola yang mungkin membingungkannya membuat patung hitam dengan mata menyala itu memukulkan kepalan tangannya ke arahku.Walaupun bersyukur, hantaman bagian bawah kepalan tangannya itu tak mengenai tubuh ini, tapi tetap saja, jatuh terpental seperti ini sakit.Patung hitam bergerak yang mungkin akhirnya melihatku dengan lebih jelas ini terus meny
Pak Badzan terkekeh, mungkin ia memperhatikan reaksi tubuhku.“Begitu efek gerak mobil ini bagi tubuh jenis manusia murni. Awalnya Daffar juga seperti itu,” komentar Pak Badzan datar.Oh! Jadi, begitu.Pantasan Daffar lebih memilih menggunakan kereta kuda dibanding menggunakan mobil seperti ini ketika kami mengunjungi pertemuan di gedung utama Anbar ketika itu.Aku berusaha menggunakan kekuatan yang berada dalam tubuhku untuk menghentikan efek sihir itu. Tapi, sepertinya memang materi tubuh jenis manusiaku memiliki reaksi alami layaknya manusia yang ada di Shrim.Kekuatan sihir dari mobil ini tidak digunakan untuk menyerangku, tapi aku berada di atas kekuatan sihir ini, menungganginya.Jika tarikan di lift bisa hilang begitu kekuatanku muncul, laju mobil yang kencang yang pasti memiliki kekuatan sihir lebih banyak menghalangi itu.Akhirnya aku hanya bisa diam menenangkan diri. Mencoba berdamai dengan tarikan dan beban berat di kepala ini.Ini tidak seberat ketika pertama kali melintas
Seketika gerakan tangan ini terhenti.Langkah kaki Daffar kian mendekat.“Anneth,” panggilnya penuh penekanan.Aku menurunkan tangan, mengembuskan napas dalam yang membuat bahu bergerak turun, lalu menoleh dengan kaku tanpa langsung menatap wajahnya.“Menyenangkan sekali bisa menemukanmu di Omega Lab dalam masa cuti panjang mu yang tak terbatas,” sindir Daffar lembut.Aku menghela napas dalam ketika apa yang dititahkan penguasa Ardasyr seolah menyalakan alarm peringatan.“Neth,” gumam Allen lirih sambil menepuk bahu ini.Aku menoleh ke arah Allen dan menatapnya dengan tatapan kosong.“Tuh!” seru Allen pelan sambil menggerakkan sedikit kepalanya ke arah Daffar.“Anneth,” ulang Daffar meminta perhatian pada aku yang belum juga menatapnya.Aku terpaksa mengangkat pandang.Jujur, bukan aku nggak mau menatap wajahnya yang super super guanteng itu, aku hanya merasa kalut dalam pikiran ini bahkan sejak pertama kali mendengar suaranya tadi.Daffar tersenyum manis.“Ini bukan apa yang disebut
“Sebenarnya, aku juga nggak ingin melakukan itu, tapi nggak mungkin aku biarkan mereka membuatmu sebagai kelinci percobaan untuk pengujian Darah Malaikat secara langsung,” jelasnya dengan berat.Aku menelan ludah.“Hei,” ujarnya sambil sekilas melihat ke arahku.“Emang ada di dunia ini di mana seorang laki-laki yang membiarkan calon pengantinnya menderita di tangan orang-orang seperti para petinggi Anbar itu?” lanjutnya sambil mengerling.Ah!Gimana hati ini nggak tambah berat mendengar itu?“Lagian sang calon pengantin ini belum sempat menjawab lamaranku, jadi dalam masa menunggu itu aku tetap nggak akan membiarkan siapapun mengganggu calonku,” imbuh Daffar. Lalu, ia terkekeh.Wajah Daffar terlihat sedikit lebih cerah, awan-awan mendung itu pelan-pelan menyingkir dari wajah ganteng itu.Kata-kata Daffar yang harusnya membuatku bahagia sampai ke angkasa itu, saat ini justru membuatku makin sakit.Aku harus berdiri di batas senang dan sakit yang menggurat panjang dalam hati ini.Aku ke
Siku ku menempel di bahu Daffar.Kemudian, aku menggerakkan telapak tangan ke depan dada laki-laki yang memabukkan semua orang yang melihatnya ini.Kini telapak tangan kanan ku berada sejengkal di depan dada Daffar.Telapak tangan ini bergerak mundur sejengkal ketika dalam pikiran ini mengukur panjang belati dua dimensi itu jika keluar dari dalam tempat bersemayamnya di tangan kanan ku.Sejenak aku memejamkan mata.Sampai di batas mana jika belati itu masuk dalam tubuh Daffar?Agh!Aku baru membayangkan, tapi mendadak rasa sakit yang terasa begitu menusuk jantung terasa.Uh! Ternyata menusukkan belati dua dimensi itu ke jantung Daffar sama juga dengan menusukkannya ke jantung ku sendiri.Agh!Bagaimana ini?Aku membuka mata dan menunduk untuk menatap wajah Daffar.Laki-laki itu memejamkan mata dengan ekspresi wajah setenang bayi.“Daffar,” panggilku mengusik ketenangannya.Bola mata dalam kelopak mata yang tertutup itu bergerak-gerak, tapi mata itu tetap terpejam.“Em,” gumamnya lembu
Sepertinya satu anomali terjadi!Apa yang biasa terjadi hanya di Anbar atau Ardasyr menyisir ke kota manusia, Shrim.Aku berdiri dengan tegang.Otak ini ingin menebak apa yang sebenarnya terjadi dengan air laut itu, tapi tak satu pun penjelasan yang masuk akal terlintas dalam pikiran.“Keluarlah!” seru Daffar tiba-tiba.Dan seketika satu makhluk menyeramkan berwujud setengah manusia setengah gurita muncul dari gelombang yang beku di atas permukaan laut itu.Aku tercekat.Mata ini sudah berusaha terbiasa melihat penampakan tak sempurna dari penduduk Anbar, tapi tetap saja, melihat yang satu ini membuat diri ini menahan napas.Wujud manusia yang memiliki tentatel gurita itu menyabetkan satu tentakelnya ke arah ku. Tapi, dengan cepat Daffar mengangkat tangannya, menahan serangan itu.Aku terpaku, diam tak bergerak.Tunggu!Aku memang Darah Malaikat yang tak mempan oleh sihir dua dunia, baik dunia sihir maupun dunia penengah.Tapi, jika aku diserang seperti itu, bagaimana aku harus melawa
Dengan cepat aku menggelesot di lantai.“Daffar!” teriakku kencang.Daffar terbangun dengan bingung. Lalu, ia berjalan ke arahku dan memelukku.“Apa yang terjadi?” bisik Daffar lirih.“Nggak tahu. Tiba-tiba aku mendengar ledakan yang seolah datang dari jauh. Kemudian rumah ini bergetar,” jelasku yang masih berada dalam pelukan Daffar.Aku dan Daffar masih berpelukan ketika getaran di rumah ini tak mereda dan bahkan makin menghebat.“Ayo, kita keluar!” seru Daffar dengan cepat.Ia menarik tanganku dan berjalan dengan cepat.“Agh!” seruku kencang.Tiba-tiba ada satu kekuatan tak terlihat yang menghentakan tubuhku. Aku terlepas dari pegangan Daffar.Aku berhasil menguasai diri sebelum terjerembab ke lantai. Lalu, aku kembali menggelesot di lantai.Rumah masih bergetar hebat.Ini mengingatkanku akan goncangan yang terjadi di Anbar ketika itu.Daffar hendak mendekat ke arahku, tapi-“Clap!”“Agh!”Tiba-tiba sebuah sinar mendekat ke arahku. Sinar itu menghalangi gerakan Daffar. Laki-laki it
Tubuhku menegang. Aku menatapnya lekat.“Kamu juga mengingat wajah gadis itu?” tanyaku dengan laju jantung yang berdetak kencang.Daffar menggeser posisi duduknya hingga menghadap ke arahku, ia menatap tajam dan penuh arti.Aku menahan napas.“Ya. Aku mengingatnya,” jawabnya dengan suara yang dalam.Ah?!“Gadis itu adalah Kamu,” ungkapnya dengan wajah yang terlihat serius.Aah ....Aku menunduk lesu, memejamkan mata dan menutup wajahku dengan telapak tangan.Sunyi menyela kami berdua.“Anneth,” ucap Daffar sambil menyentuh bahu ku.Aku nggak sanggup menatap wajahnya. Mata ini merebak.“Aku juga mengingat hal lain,” sambung Daffar masih dengan suara yang dalam.Pelan-pelan, aku mengangkat kepala dan memberanikan menatap matanya.“Awalnya, aku merasa sakit sekali begitu mengingat apa yang Kamu lakukan ketika itu. Tapi, kesakitan itu mengundang ingatan lain. Aku mengingat ada kekuatan kegelapan yang mengejarmu,” jelasnya dengan serius.Dia mengingat Anbar?!Lalu, Daffar mengembuskan napa
“Kamu tahu tentang Daf-?”“Tunggu!”Dua celetukan itu diakhiri dengan diam, ia menatapku penuh selidik.“Ah ...,” ucapnya di ujung selidiknya.“Aku paham sekarang kenapa ada gadis manusia dari kota Shrim mengenal Pangeran kegelapan Anbar, banyak sekali jejak Ardasyr dalam dirimu, Nona,” ucapnya penuh kepahaman.Kurasa laki-laki ini memang mengetahui dua dunia pendamping itu.Laki-laki itu mengembuskan napas dalam.“Jujur saja, aku terkejut bagaimana seorang yang sangat dicintai Anbar masih berada di Shrim setelah penarikan besar itu,” sambungnya lebih lanjut.“Apa penarikan itu yang membuatnya mati?” tanyanya kemudian.Aku menggeleng pelan.“Aku membunuhnya,” kataku jujur.“Hah?!!” serunya terperangah.Ia kembali menatapku penuh selidik.“Apa Kamu-?”“Kamu-?”“Apa Si Darah-?!”“Ya,” sahutku memotong kegaguannya.Ia menelan ludah.“Phuh .... pantas saja,” komentarnya singkat.Lalu, ia mengembuskan napas panjang.“Aku akan menceritakan apa yang kutahu sejak terlepasnya Anbar dari dunia
Aku menatap Kayla dengan antusias.“Apa ada seseorang dari dunia manusia yang mengetahui tentang Anbar?” celetuk ku tak sabar.Kayla mengangguk tanpa ragu.“Aku juga terkejut begitu dia mendatangi rumah ini. Aku benar-benar nggak menyangka ada manusia yang sangat tahu tentang Anbar,” jelasnya bersemangat.Mendengar itu, seketika harapan untuk mendapat jawaban tentang Daffar tumbuh.“Laki-laki itu datang dan memperkenalkan diri sebagai pencari jejak Anbar di dunia manusia. Dan dia langsung mengetahui jika aku menyimpan bagian dari Anbar di rumah ini,” sambung Kayla dengan cepat.“Awalnya aku nggak percaya. Tapi, ia bisa menberikan penawar bagi Nadec agar bisa bertahan di dunia manusia ini tanpa menyerap energi manusia,” sambungnya riang.“Oh, ya?!” sahutku terkejut.Kayla mengangguk dengan cepat.“Dan itu sangat berguna sekali bagi Nadec, karena setelah lepasnya Anbar dari dunia manusia, perubahan dirinya nggak bisa dikontrol,” sambung Kayla lega.“Oh, gitu,” sahutku paham.“Jadi, baga
“Anneth,” panggil Barkiya lirih.Mungkin ia membaca apa yang tersirat di wajahku, suaranya terdengar sedih.Aku menatapnya dan mengangguk pelan.“Kalau begitu, aku akan kembali ke Shrim dan mencoba mencari tahu tentang ini. Semoga ada satu petunjuk yang mungkin tercecer di sekitar Daffar,” balasku mencoba tetap semangat.Barkiya mengangguk pelan.“Anneth, maaf, kali ini kami nggak bisa membantu mu.” Yarim turut mengucapkan itu dengan sedih.Aku tersenyum pada ratu cantik itu, lalu, menatap Barkiya dan Eldona.“Aku harus segera meninggalkan Ardasyr, kita semua tahu apa yang akan terjadi jika aku berada di sini dalam waktu yang lama,” ucapku lirih.“Terima kasih untuk pesta yang akan diadakan untuk ku,” pungkasku dengan menyertakan anggukan hormat.Yarim berdiri, lalu turun dari singgasana kacanya. Ia berjalan mendekat dan memeluk ku erat.“Kini Kamu yang akan menjaga Shrim dan orang-orang yang Kamu cintai di dunia manusia. Terima kasih sudah kembali ke Ardasyr,” ucap Yarim lembut.Beri
Tarikan ini terasa makin kencang, aku memejamkan mata dan membiarkan daya tarik ini membawa ku ke satu arah.Entah berapa lama aku merasa diriku tertarik ke satu arah sampai pada akhirnya kaki ini merasa menapak pada rumput yang rimbun. Bau yang padang rumput yang kukenali tercium hidung.Aku yakin sekali beberapa meter dari sini ada sebuah danau yang terlihat tenang dan indah.“Anneth!”Panggilan itu membuatku dengan cepat membuka mata.“Eldona!” balas ku riang.Wanita berpipi gembul itu mendekat dengan gerakan terburu, di belakangnya seekeor rusa mengikutinya.“Aku tahu Kamu akan kembali lagi ke sini setelah peperangan di tanah perbatasan, meskipun, pintu gerbang ke dunia manusia nggak lagi bisa dibuka,” sambutnya antusias.“Maksudnya?” tanyaku cepat, penasaran.Aku memandang penjaga perbatasan Ardasyr itu dengan nggak sabar.“Kamu pasti tahu bagaimana rekatan Anbar terlepas dari kota-kota manusia seperti Shrim,” jelasnya mengawali.Aku mengangguk dengan cepat dan tak sabar menunggu
Daffar mengusap-usapkan kepalanya dengan pelan di perutku, dan itu membuat tubuhku bereaksi dengan sedikit bergerak mundur.Tanganku hendak menyentuh rambutnya, tapi tiba-tiba terhenti di udara. Aku memutuskan untuk membatalkannya.“Pulanglah! Kita akan bicarakan ini begitu Kamu telah mengingat semua,” ucapku lirih.Daffar menggeleng pelan.“Jangan usir aku!” ulangnya pelan.“Detik di mana aku meninggalkan mu kemarin, detik itu juga aku begitu ingin kembali ke sini,” ujarnya lirih.Aku mengembuskan napas panjang.Aku diam sejenak, mencari jalan tengah untuk membuatnya ... setidaknya mendengarkan kata-kata ku.“Daffar,” ucapku lirih.“Aku akan mengantarkan mu pulang,” lanjutku masih dengan suara lirih.Daffar kembali menggeleng dan malah mempererat lingkaran tangannya di pinggang ku.Aku menahan sesak di dada, diam sesaat, lalu dengan pelan, ragu dan kaku mulai menyentuh sehelai rambut Daffar.Tanganku berhenti ketika ketakutan dalam hatiku menggeliat.Tapi, sedetik kemudian, aku menep
Aku merasa seluruh tubuhku tegang. Ketakutan dalam hatiku yang semalam telah beristirahat kembali bangkit. Sesaat tubuhku gemetar samar.Telinga ini menempel di dadanya, bisa mendengar degup jantungnya yang terdengar samar.Jantungnya ....Jantung yang pernah kutusuk dengan belati ini kembali berdetak?Ini ....Bagaimana bisa?Aku tersadar dari keterkejutan, lalu dengan cepat menarik tubuhku ke belakang untuk menjauh dari pelukan Daffar. Tapi, alih-alih pelukan itu mengendur, pelukan itu justru makin erat.“Daf-far,” ucapku seolah hampir kehabisan napas.“Anneth,” bisiknya lirih dengan suara parau.Parau?Daffar menahan isak tangis.Apa yang kulihat di matanya tadi benar?Aku berusaha melepaskan pelukan ini sekali lagi, tapi Daffar kembali menarikku ke arah yang sebaliknya.“Anneth, aku mengingatnya,” ucapnya lirih.Aku terperanjat, mata ini membelalak. Ini yang tadi kutebak!“Aku mengingatnya ... mengingatnya dengan baik. Gimana ... gimana aku bisa melupakannya? Gimana bisa aku melup
Daffar menatapku dengan sorot mata menuntut jawaban yang mendesak.“Kalaupun ada, tempat itu benar-benar nggak ada di Shrim, itu ada di tempat lain,” jelasku pada akhirnya.“Oh, ya? Bisakah Kamu menunjukkan tempat itu?” tanyanya tak berhenti.Aku menggeleng dengan tegas.Daffar mendesah kecewa.“Kamu bisa menunjukkan alamatnya kalau begitu, aku bisa mengunjungi tempat itu sendiri,” ucapnya dengan agak kesal.Aku terus menatapnya lekat dengan perasaan campur aduk.“Nama tempat itu adalah Paradise, tapi tempat itu nggak beralamat, kabarnya tak ada seorang pun yang bisa ke sana, kecuali orang-orang yang beruntung menemukannya,” paparku makin berani.Mungkin karena aku tak sanggup melihat kekecewaan dalam wajah Daffar, jadi aku memutuskan untuk sedikit membocorkan apa yang ia tanyakan itu.Daffar menatapku dengan ekspresi bingung.“Atau ...,” sambungku dengan penuh penekanan.“Alamat Paradise mungkin akan muncul dalam ingatanmu di saat berikutnya,” imbuhku untuk membuatnya tidak begitu te