Telinga Selena memanas, kalau Aditya mau membayar tubuhnya tak harus di parkiran. Bisa di dalam kamar tadi. Di luaran ini banyak telinga yang bisa mendengar. Atau itu yang diinginkan Aditya? Ingin mempermalukan dirinya! Agar semua orang tahu kalau ia cuma wanita jalang!Selena tertawa getir, kalau bukan butuh uang ongkos pulang naik pesawat, ia sudah mencampakkan balik ATM Aditya itu. Tapi ... sekarang iapun tidak mau lebih merendahkan dirinya di hadapan Aditya. Ia tidak butuh ATM nya."Saya cukup diberi ongkos kepulangan saya saja, Pak. Kebetulan saja saya tidak membawa ATM saya," ujar Selena melunak, coba-coba bernegosiasi dengan Aditya guna menaikkan harga dirinya.Aditya menyeringai tipis menatap Selena dengan tatapan yang sangat merendahkan."Baru kali ini aku melihat wanita sepertimu bersikap ..." Aditya sengaja menggantung ucapannya menunggu respon Selena yang memanas.Selena tidak tahan lagi dengan penghinaan Aditya. Wanita seperti apa maksudnya? Apa perlu aku beberkan kepe
Matanya melotot, bergumam, "Tuan Collins!"Selena langsung mengangkatnya tanpa memberitahu Aditya. "Iya, saya---""Selena, tolong buat rincian pengeluaran perusahaan selama kamu di luar kota. Biar lebih mudah mengirimkannya ke bagian keuangan.""Ba---"Tut tut.Seperti biasa Tuan Collins langsung memutuskan obrolan sepihak.Selena mengekorkan sudut matanya melirik Aditya, tapi pria itu tampaknya tidak tahu kalau Tuan Collins yang barusan menelepon.Selena bisa membayangkan raut wajah Aditya yang langsung memucat jika sampai tahu. Hahaa, sekarang rasakan pembalasanku! Selena diam-diam tertawa senang.Biaya hotel? Tunggu, sepertinya aku menyimpan kwitansi pembayarannya. Selena merogoh saku tasnya. Untungnya ia menyimpannya, jadi tidak perlu bertanya ke Aditya.Tiket pesawat sekali saja, biaya hotel, biaya makan ... Selena mengingat-ingat berapa uang Aditya habis saat makan malam kemarin.Ahahh! Aku ingat 680 ribu rupiah dibagi dua jadi 340 ribu. Selebihnya makanan disediakan hotel.Set
Tak mau berlama-lama dengan rasa penasarannya, Selena cepat-cepat merobek sisi amplop."Cek? Untuk apa dia memberikan cek ini?" gumam Selena semakin terbelalak dengan nominal yang tertera di sana."S-satu milyar? Ini untuk apa sebenarnya?" desisnya tiba-tiba ketakutan telah lancang membuka amplop.Otak cerdasnya memutar, mungkin cek itu cuma dititipkan untuk ia pegang. "Ohh, shit! Mana amplop?" Buru-buru mencarinya dalam tas. Untungnya ia menemukannya. Setelah merapikannya kembali, Selena turun guna menghampiri Aditya yang sudah menunggunya."Pindah duduk ke depan," titah Aditya melirik Selena yang duduk di kursi belakang dari kaca kecil mobil. Tanpa pikir-pikir lagi Selena menurut saja berpindah duduk. Tak ada artinya berdebat dengan Aditya, yang ada mereka akan bertengkar lagi."Kenapa masih belum dibuka amplopnya, Selena?" tanya Aditya melihatnya hanya memegang amplop yang dia berikan.Hahk! Aditya tidak tahu saja sudah dibuka tadi, tapi ia tutup lagi karena takutnya."Ehh, s
Tadi katanya tidak terbayarkan, sekarang beda lagi. Memang Bos absurb, mencebik kesal. Tapi, mendengar kata hukuman dari Aditya, cepat-cepat ia mengabaikan pikirannya. Buru-buru memasukkan cek di tangannya ke dalam saku dalam tasnya."Baik, Pak," ucap Selena masih belum bisa yakin sepenuhnya menerima cek itu dari Aditya."Pak Aditya, saya bisa bertanya satu hal?" tanya Selena takut-takut menoleh ke arahnya."Hmm, asal jangan soal cek! Ingat, ya!"Selena meremas jari-jemarinya tangannya. Rasa takutnya masih belum bisa hilang dengan pengakuan Aditya tadi."Kapan Anda melihat hantu di kos saya, Pak?""Tadi!""Hakh! Bagaimana bentuknya, Pak?" buru Selena semakin takut namun penasaran juga. "Tinggi, rambutnya di cepol ke atas, memakai gaun berwarna coklat muda, dan memegang sapu."Selena mengernyitkan kening bingung. Masakan ada hantu sampai dengan jelas menunjukkan wujudnya.Tunggu! Tinggi, rambut di cepol dan memakai gaun berwarna coklat muda? Hahk, itu kak Sharon.Selena menaikkan s
Selena mengikuti arah tatapan Aditya, sampai matanya terpojok pada wajah samping pria tampan yang tampak sibuk mengobrol."Kak Hendra?" desisnya tidak percaya dia juga ikut ke pertemuan bisnis ini."Sini kamu!" Aditya menarik tangannya yang terpaku menatap Hendra, membawanya menjauh dari pintu ruang pertemuan."Jujur padaku sekarang, kamu sengaja mengundangnya? Apa hak mu melakukan itu, Selena, hakh? Ingat! Kamu cuma CUMA sekretaris! Sewaktu-waktu aku bisa memecat mu!"Selena menganga, wajahnya memucat. Berkali-kali menarik napas guna bisa mencerna semua tuduhan Aditya barusan.Namun, belum sempat bicara guna meluruskannya, Aditya sudah angkat bicara. "Kamu harusnya sadar, Selena! Kamu sudah melakukannya berkali-kali denganku, Selena! Untuk apa kamu mencari-cari perhatian sama pecundang itu? Mau menjual tubuhmu padanya?"Selena terbelalak. Kali ini ia tidak bisa mau-mau saja direndahkan Aditya. Lagipula semua yang dituduhkan kepadanya tidak benar.Menjual tubuhku? Sehina apa aku di m
Setelah mendapat izin dari Aditya, Selena gegas naik ke mobil Hendra. Ia juga merasa jenuh dan muak dengan Aditya. Seenggaknya pergi dengan Hendra otaknya bisa kena angin segar."Kamu suka makanan luar, Selena?" tanya Hendra menunjuk salah satu restoran luar.Selena yang tak pernah memilih-milih makanan, bahkan jarang menyicip makanan restoran cuma mengangguk saja."Terserah kak Hendra, aku mengikut saja," sahutnya tersipu-sipu.Hendra mengangguk-angguk kemudian memarkirkan mobilnya. Untungnya Selena menurut saja, jadi dia tidak perlu menghabiskan waktu istirahat mencari-cari restoran lain.Hendra memesankan makanan dan minuman yang sama untuk mereka. "Oiya, kak Hendra ikut ke pertemuan tadi diundang sama pak Aditya?" tanyanya mengorek informasi. Sebab sampai saat ini hatinya masih memanas dengan tuduhan Aditya tadi. "Bukan, tapi Tuan Besar Collins. Awalnya aku menolak karena baru juga bergabung dengan perusahaan Adiguna Jaya. Tapi Tuan Collins tetap memaksa harus ikut, jadi yah a
Paman Grove buang muka dengan geraman kecil. Bakal seperti itu saat Aditya tidak bisa berbuat apapun, paman Grove-lah yang jadi sasarannya."Hmm, apa itu? Jangan bilang mau membujukku bicara dengan Tuan Collins? Jelas aku tidak mau cari masalah!"Memang itu yang dia inginkan Aditya, tapi bukan yang utama. "I-iya, Paman. Tapi ada hal lainnya." Aditya salah tingkah dengan menggaruk-garuk tengkuknya.Paman Grove menoleh, matanya menelisik wajah Aditya mencari tahu maksudnya. "Apalagi itu?" ketus paman Grove bertanya. "Ini soal Selena sekretarisku itu, Paman," sahut Aditya memperlihatkan wajah yang malu-malu.Terdengar paman Grove mendengus kasar. Tampak tak suka mendengarnya, Aditya malah membahas sekretarisnya."Aku semakin yakin dia-lah Selena yang kita cari-cari, Paman."Paman Grove terbelalak, tak menyangka akan mendengar kata itu lagi dari Aditya. Karena sampai saat ini dia melihat sekretaris Aditya orang yang berbeda dengan Selena."Apa kamu sudah buta, Aditya? Jelas keduanya
"Argh! Dari kemarin aku selalu mendengar kata itu dari Paman. Benih , benih dan benih! A-aku pastikan dia tidak akan mengandung anakku!""Hahk! Kalau kamu ingat melepasnya di luar kemarin, bagaimana ternyata di dalam? Atau, kamu sudah memperlengkapinya postinur?" "Cukup, Paman! Aku tidak kenal apa itu postinur! Sekarang bantu aku menyelidiki siapa sebenarnya Selena sekretarisku itu, Paman. Tapi aku harap Paman sembunyikan ini dari siapapun apalagi dari Kakek.""Wahh, semudah itu kamu mengabaikan kemungkinan sekretaris mu itu hamil, Aditya? Tidak cukup menyusahkan semua orang dengan benihmu di rahim Selena dulu? Ini mau membuat kesusahan lagi, hakh?"Aditya tidak berdaya membantah. Semua yang dikatakan paman Grove itu benar. Bahkan hampir semua perusahaannya hampir bangkrut karena kegilaannya mencari-cari Selena dan anaknya."Paman, aku mohon kali ini saja dengarkan aku bicara. Bantu aku menyelidiki---""Jadi, bagaimana pencarian Selena dan anakmu itu?" gegas paman Grove memotong."A
"Semua sudah beres. Tinggal membawa Selena sekarang bertemu Tuan Collins, Aditya! Tapi tunggu aba-aba dariku!""Bagaimana dengan Tuan Barata? Apa Paman sudah menunjukkan bukti-bukti itu?" "Tenang saja. Semuanya sudah aman," jawab paman Grove meninggalkan perusahaan Barata. Sekarang dia hanya melakukan tugas terakhirnya sebelum Aditya tiba di rumah sakit. "Semua sudah beres?" Paman Grove menyambungkan ponselnya ke orang suruhannya di rumah sakit."Beres. Tuan Collins tampaknya sedikit syok dan tidak mengatakan apapun dengan bukti-bukti itu." "Oke, tugas kalian sudah selesai. Sekarang kalian bisa bebas. Katakan ke semua anggota, sampai kapanpun hal ini tidak bisa bocor! Ingat! Kalian berhadapan dengan Aditya!""Siap, Bos! Aman terkendali.""Oke, pergilah bersenang-senang. Bonus kalian sudah di transfer."Paman Grove mendahului Aditya ke rumah sakit, beberapa menit yang lalu Tuan Collins memintanya datang. Mungkin ingin menanyakan kebenaran bukti yang diberikan asisten pribadinya.
Tuan Collins menunjukkan senyum smirk-nya. Dia memang menanyakan Aditya ke paman Grove. Sudah seminggu ini Julia mencari-carinya ke rumah sakit. Dari Julia jugalah Tuan Collins tahu Aditya tidak lagi tinggal di rumahnya. Namun, Tuan Collins tidak ingin membahasnya."Apa kamu sudah mengurus pernikahanmu dengan Julia?" tanya Tuan Collins membetulkan letak selang infus yang melilit di tangannya."Pernikahan? Aku memang sedang merencanakan pernikahan, tapi tidak dengan Julia, Kek." Aditya melipat kedua tangannya di dada.Ucapannya itu menarik atensi Tuan Collins dan menaikkan pandangannya. "Apa maksudmu, Aditya? Kamu mau menggagalkan rencanaku dengan Barata?" berangnya melotot tajam."Rencana mengakuisi perusahaan milik Tuan Abeth dan Viktor? Sepertinya Kakek tidak tahu jika Tuan Bramasta sudah bergerak lebih cepat." Aditya menarik punggungnya yang menempel di dinding kamar rumah sakit. "Tidak bisa di salahkan juga Tuan Bramasta. Kalian saja yang tidak bergerak cepat. Yah, kalian sibuk
Selena terbangun setelah mendengar bunyi alarm dari ponselnya. Sedikit kaget mendapati dirinya tertidur di ruang tamu. Punggungnya terasa mau patah karena semalaman tidur membungkuk di sofa kecil.Selena meregangkan otot tubuhnya sebelum berjalan ke kamar Baby Lea. Pun cepat-cepat membersihkan diri sebelum Aditya datang ke sana.Namun, belum selesai berkutat dengan Baby Lea, terdengar suara bell. "Iya, bentar," serunya berlari kecil ke depan. Tampak Aditya menunggu di depan pagar."Masuklah, aku belum selesai," ujar Selena memberikan Baby Lea kepada Aditya.Ia tidak tahu mengapa senyaman itu memperlakukan Aditya. Bahkan tubuhnya yang cuma terbungkus daster basah tidak merasa malu. "Selena," panggil Aditya melihatnya terburu masuk."Tunggu sebentar aku mandi," serunya menghilang di balik pintu kamar.Sengaja atau tidaknya, pintu kamar jelas tidak menutup sempurna. Aditya meletakkan Baby Lea di ruang bermain, niatnya ingin menutup pintu kamar. Aditya tidak yakin bisa menguasai dirin
Setelah beberapa lama berbincang, Aditya berpamitan pulang. "Kamu pulang saja dulu, Selena. Mumpung ada Aditya yang bisa mengantarmu ke rumah," ujar Mami kasihan melihat Selena terus-terus di sana. "Mami saja yang pulang. Aku---""Biar Mami dan Riana di sini malam ini. Kamu dan Baby Lea pulanglah. Pun ada Papi juga di sini," potong Mami memaksa Selena pulang."Aditya, tolong antarkan Selena ke rumah ya.""Baik, Nyonya." Aditya meraih Baby Lea dari pangkuan Selena. Membawanya keluar mendahului Selena.'Pucuk dicinta ulam pun tiba. Semua sesuai dengan rencana. Sekarang tinggal menunggu giliran Kakek tua itu!' batin Aditya tertawa kecil. "Maaf merepotkan kamu," kata Selena menarik Baby Lea dari pangkuan Aditya dan mendudukkannya di kursi belakang.Aditya bergumam dalam hati, itu semua sudah direncanakan. Sekarang dia hanya ingin membuat Selena merasa dirinya malaikat penolong."Tidak apa-apa. Lupakan saja yang lalu-lalu, fokus dengan kesehatan Hendra dulu.""Tapi ... kata dokter Kak H
Di kediaman keluarga Bramasta tidak lantas membuat Selena tenang. Pikirannya tentang Aditya semakin kuat saja. "Hei, malah bengong." Riana yang baru tiba menepuk pundak Selena. Selena mengangkat kepala lemah. Melihat Riana jadi timbul niatnya keluar ingin menemui Aditya. Ia harus mengakui semuanya ke Aditya dan meminta Aditya untuk melupakannya dan Baby Lea.Selena tidak ingin jika Tuan Collins sampai tahu ia memiliki keturunan keluarga Collins. Ancaman pria tua itu belum bisa hilang dari pikirannya."Malah bengong," omel Riana menyikut bahu Selena."Iya, aku kelelahan seharian menjaga Baby Lea," sahut Selena tertawa kecil. "Elleh, kan Mami sudah langsung pulang. Sekarang kamu bisa bersantai juga."Benar juga. Ini kesempatannya bisa keluar dengan mengajak Riana yang doyan belanja-belanja dan salon."Hmm, kamu mau mengajakku keluar?" pancing Selena mengedipkan sebelah matanya menggoda calon iparnya.Benar saja, mendengar kata keluar, Riana mencampakkan tas belanjaannya ke dalam kam
Paman Grove mengerahkan seluruh orang suruhannya mendapatkan benda untuk keperluan tes DNA yang diminta oleh Aditya."Aku yang akan mendapatkan sampel rambut putriku, paman Grove. Kalian hanya perlu mengawasi Hendra dan keluarga Bramasta saat aku berkepentingan di rumah Selena.""Baik, info sudah aku dapatkan, Tuan Bramasta dan istrinya juga putrinya tengah ke pertemuan mitra bisnis keluar kota, sore nanti baru kembali. Kami hanya akan mengendalikan Hendra selama kamu berkepentingan di rumah Selena."Aditya setuju dan segera bergerak menuju rumah Selena. Dia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk mendapatkan kembali wanita yang jadi cinta pertamanya.Sebenarnya, terlihat konyol bagi seorang Tuan Muda bangsawan mengejar-ngejar wanita yang tidak sederajat dengannya, pun mengemis cinta darinya. Selena di rumahnya. Setelah beberapa lama memastikan Aditya tidak datang lagi, ia mulai berani membuka pintu rumah dan bersantai di teras rumah. Hingga lima belas menit kemudian."Ekkhem!
Selena memastikan Aditya pergi. Gemuruh dadanya meningkat dan berlari masuk menuju meja makan. Menyambar gelas dan menuang air minum sebelum meneguknya habis. Selena masih berdiri, mencengkram sisi meja menahan tubuhnya yang masih bergetar. Napasnya memburu dengan dada turun naik. "Dari mana dia tahu tempat ini?" gumamnya mulai mengatur napas. Meremas ponsel di genggaman tangannya. Selena segera menemukan kontak Hendra hendak akan menghubunginya, memberitahu kedatangan Aditya tadi.Namun, hanya kembali meletakkannya di atas meja. Ia tahu sekarang Hendra sedang sibuk dan tidak bisa diganggu. Selena mengurungkan niatnya.Selena berjalan ke kamar melihat Baby Lea, dia sedang tertidur pulas di ranjang.Selena kembali keluar berjalan ke ruang depan. Menyibakkan gorden guna menyelidiki Aditya tidak kembali ke sana. Hatinya jadi gelisah dan tidak tenang. Pikirnya, Aditya akan kembali lagi. "Aku ke rumah Mami saja," ujar Selena berbalik ke meja makan. Meraih ponsel hendak menelepon sopir
Aditya baru saja tiba di mansion ketika paman Grove baru beranjak dari ranjangnya. Untung orang suruhannya tepat waktu menjemput Aditya ke bandara."Maaf, aku terlalu lelah hingga sulit bangun cepat. Duduk dan segarkan dulu pagimu dengan kopi panas, aku membersihkan badan sebentar," ujar paman Grove meninggalkan Aditya yang berdiri di depan pintu kamarnya."Hmm, cepatlah!" sahut Aditya berpindah ke meja makan.Tangannya meraih gelas berisi kopi dan meneguknya seperempat gelas. Udara dingin karena musim hujan membuat suhu tubuhnya sedikit menggigil. Di luaran memang sangat dingin tadi. "Apa Tuan Collins mengizinkanmu kemari?" tanya paman Grove ikut duduk di samping Aditya."Kakek tidak jadi ke luar kota. Agaknya dia ada sedikit masalah dengan Tuan Barata."Masalah apa? Paman Grove mengerutkan kening. Tidak mungkin Tuan Collins mau melakukan permusuhan dengan Tuan Barata. Dia sangat membutuhkan bantuan Tuan Barata untuk kepentingan bisnisnya. "Kamu bercanda?" tanya paman Grove merasa
"Kamu pulanglah, perusahaan Adiguna Jaya membutuhkanmu. Aku bersama orang-orangku segera menyelidiki hubungan Hendra dan Selena. Yang aku butuhkan hanya dua hal, alamat rumah Hendra dan Selena tinggal dan gedung tempat pernikahan mereka sebelumnya!" ujar paman Grove percaya diri. "Hahk! Kalau aku tahu tidak perlu menyuruh orang-orang mu itu menyelidikinya," ketus Aditya menjawab.Paman Grove mendelik, menggeleng-gelengkan kepala guna memfokuskan pikirannya.Ahh, iya. Itu benar! Kalau Aditya bisa melakukannya kenapa meminta tolong padanya. Paman Grove menggaruk-garuk tengkuknya."Aku tetap di sini. Katakan saja ke Tuan Collins aku punya kesibukan di perusahaan Wiguna.""Tuan Collins memintamu ke perusahaan Adiguna Jaya. Akhir minggu ini beliau ke pertemuan bisnis dengan Tuan Barata. Jadi, tidak mungkin Julia yang memegang kendali perusahaan, Aditya.""Julia masih di perusahaan?""Iya, sampai kamu yang menyuruhnya keluar, itu katanya."Aditya terdiam. Dia butuh Selena kembali kepadan