Aditya putar badan cepat."Maafkan aku, Selena. Aku cuma memastikan kalau aku telah salah mendengar informasi," ucap Aditya mengikis jarak dengannya, kemudian menyentuh kedua bahunya lembut."Tidak ada yang perlu dimaafkan, Pak. Sekarang saya sudah bebas dari hukuman Anda, jadi saya bisa pulang.""Selena, tunggu!" panggil Aditya menghalanginya menunju pintu. "Oke, aku janji akan mengantarmu pulang, tapi aku punya satu permintaan."Selena meneguk liur, tidak tertarik mendengarnya. Sampai Aditya melanjutkan ucapannya, Selena hanya mengedikkan membatu."Aku mohon, kamu mau menggantikan seseorang---""Mengganti istri Anda maksudnya?" potong Selena tahu tujuan ucapan Aditya."Istri siapa maksudmu, Selena?"Sial, istri siapa lagi kalau bukan istrinya! Amnesia, kalau dia pernah mengakui punya istri."Lha, jadi Anda yang tengah mencari anak dengan wanita yang bernama Selena itu? Atau jangan-jangan Anda punya anak namun belum menikah?" Selena balas bertanya, dagunya terangkat tinggi.Namun, d
Aditya menatap tajam wajah Selena yang terburu-buru menghampirinya, dagunya terangkat tinggi."Apa ada yang penting, Pak?" tanya Selena namun tidak dijawab Aditya. "Ayo ikut sekarang, Selena!" titah paman Grove setengah berbisik ke Selena.Mau tak mau Selena menurut mengikuti keduanya. Tidak enak jadi perhatian para pegawai perusahaan. Apalagi mendengar obrolan mereka tadi.Jam istirahat masih ada setengah jam lagi, tapi sekarang Aditya membawanya kembali ke ruangan. "Selena, duduk di sini!" perintah Aditya menjentikkan jari telunjuknya yang menekuk ke arahnya.Selena yang baru hendak menghenyakkan bokongnya di kursi kembali berdiri tegak."Saya di sini saja, Pak," sahutnya merasa risih harus duduk bersebelahan dengan paman Grove.Tapi, tatapan Aditya membuatnya tak berkutik hanya menurut berpindah ke kursi samping paman Grove.Selena meneguk liur kasar, rasa canggung dan kaku duduk berdekatan dengan pria tua yang membeli tubuhnya dulu.Ahh, andai dia tahu akulah gadis itu, bagaiman
Mendengar nama Aditya, Selena cepat-cepat meninggalkan paman Grove gegas kembali ke ruangannya. Takut Aditya tiba-tiba datang dan melihatnya tengah mengorek informasi tentang kehidupan pribadi sang Bos."Semoga paman Grove tidak buka mulut soal tadi," gumamnya meraih tisu untuk me-lap dahi dari keringatnya."Apa tadi, Selena bekerja sebagai apa maksud paman Grove, ya? Sekretaris kah?" Sejenak hanya bengong dengan tatapan kosong ke depan. Informasi lain lagi yang ia dengar di ruang makan tadi, Aditya jatuh hati pada gadis kampungan."Gadis kampungan? Mustahil Aditya yang sombong bisa jatuh hati pada gadis kampungan!" desisnya menarik sudut bibirnya sinis. "Atau ... dia, Selena gadis kampungan, bekerja sebagai pegawai magang, sangat mirip denganku. Apa itu aku?" Selena melotot, menggeleng-gelengkan kepala menyadarkan dirinya. A-apa? Kenapa, kenapa aku jadi berpikiran kalau itu aku? Selena bisa merasakan wajahnya memerah karena panas tubuhnya yang meningkat. Punggungnya banjir kering
Jelas ia ingat, pria tua yang membawanya masuk ke kamar hotel Reno waktu itu paman Grove.Menjebak Selena katanya? Memang, ia tidak sengaja menubruk paman Grove waktu itu. Pria tua itu tiba-tiba saja muncul ke arahnya yang berjalan menunduk. Atau ... jangan-jangan ini yang dimaksud paman Grove, sudah merencanakan itu sebelumnya? Karena bisa saja dia menghindar agar aku tidak menubruknya kala itu. Selena melotot tajam hampir-hampir biji matanya melompat keluar, kalau paman Grove tidak mendorong dahinya dengan ujung pulpen di tangannya."Kenapa melotot begitu? Baru sadar punya Bos tidak bernyali ya, Selena?" celetuk paman Grove tertawa kecil. Pria tua itu tidak tahu apa yang ada dipikirannya sekarang.Tersadar, Selena menarik pandangannya, sejenak tertunduk guna menetralkan jantungnya yang berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya.Apalagi yang ku ragukan? Benar, Aditya-lah pria misterius itu.Diawal juga sempat berpikir seperti itu namun ditepisnya karena tak ada bukti-bukti ku
Ahk! Kwitansi pembelian postinur waktu itu! Aku kan membelinya setelah keluar hotel hari itu! Pikirnya."Aku ingat, aku masih menyimpannya di dompet garis-garis coklat itu!" Selena gegas keluar dari dalam hotel, ia tidak sabar memastikan melihat hari dan tanggal di kwitansi apotik ia membelinya.Sekarang ia hanya harus meninggalkan hotel Reno sebelum Aditya melihatnya di sana. Selena mengeluarkan ponsel dari tasnya. Namun, seseorang menarik tangannya yang bersiap lari ke pangkalan ojek on-line di depan hotel Reno.Selena refleks menoleh ke belakang."Pak Aditya?" pekiknya langsung memucat. Pikirannya tertuju ke Aditya yang ia lihat di ruangan pengawasan cctv tadi. 'Apa dia melihatku dari cctv tadi?' batinnya tiba-tiba gugup dan kaku. "Kenapa kamu di sini, Selena?" tanya Aditya menariknya merapat, tatapannya tidak senang."S-saya mengantar kak Sharon ke restoran di dalam tadi, Pak." Refleks Selena menjawab, mengarahkan jari telunjuknya ke dalam hotel.Sial! Kenapa jadi membawa-bawa
Bella tertawa cekikikan seraya menutup mulutnya. Selena menatap tidak senang diikuti mendecak kesal berpaling muka."Yah, seumur-umur bekerja di sini, pak Aditya tidak pernah bicara intens dengan pegawai wanita! Alih-alih menginjakkan kakinya di sini cuma memanggil sekretarisnya," tutur Bella mewakili rasa penasaran pegawai lainnya yang melihat Aditya kemarin."Yah, aku tidak tahu!" Cuek Selena menjawab, mengedikkan kedua bahunya. "Kalau perlu sekali, nanti coba aku tanyakan ke pak Aditya, " lanjutnya menghabiskan isi gelasnya."Ehh, jangan!" buru Bella menarik tangan Selena yang beranjak dari kursinya. "Tidak perlu, Selena." Bella menggaruk-garuk pelipisnya salah tingkah. Selena menyipit menelisik di wajah Bella, kemudian bertanya, "Lalu?""Mmm, tapi janji jangan marah ya!" Selena yang tiba-tiba penasaran cuma mengangguk patuh, memelototi pipi cabi di depannya."Atau jangan-jangan pak Aditya menyukaimu, Selena? Karena selama aku bekerja di sini, pak Aditya tidak pernah mau punya se
Meski merasa tidak perlu mengulanginya namun tatapan pria berusia hampir sebaya dengan paman Grove itu, seolah memaksa Selena memperjelasnya lagi. "Benar, Tuan. Saya Selena, sekretaris pribadi pak Aditya," sahut Selena sangat gugup dan kaku.Meski terbiasa dekat dengan orang besar seperti Tuan Collins, Hendra dan Aditya, tapi berbicara langsung dengan Alberto, pria pemilik hotel bintang lima itu terasa kaku.Aditya menarik tangan Selena agar duduk, kemudian memiringkan kepalanya ke arah Selena. "Tidak perlu disahuti, memang kebiasaannya begitu," bisik Aditya, di angguk-i Selena. Raut wajah Aditya tampak masam melirik paman Alberto tak senang.Selena bingung memposisikan dirinya diantara ketiga orang tersebut. Entah kenapa Aditya harus membawanya ke sana. Iapun yakin tidak ada hubungan pertemuan itu dengan dirinya. 'Sial! Andai aku bisa pergi saja!' Mendecak pelan. 'Kurasa Aditya hanya tidak berani bertemu dengan Tuan Collins maka memaksaku harus ikut.' Dalam pikiran Selena."Hmm, seb
Kedua mata Selena membulat sempurna. Ia tak bermaksud menuduh Tuan Collins berbohong, atau mengarang cerita. Ia hanya belum bisa yakin Hendra tega melakukan itu."Maafkan saya, Tuan. Saya tidak bermaksud seperti itu," ujarnya jadi merasa kurang nyaman."Yah, aku paham, Selena. Nanti aku bicarakan lagi dengan Hendra. Atau, bila perlu kamu juga ikut bicara dengannya nanti," ucap Tuan Collins manggut-manggut."Tidak bisa, Kek. Selena tidak perlu bertemu apalagi bicara dengan Hendra. Jelas tadi Selena sudah mengakui tidak memiliki hubungan apapun dengan Hendra. Nanti aku saja yang bicara pada Hendra," sela Aditya dengan wajah lantas memerah dan menegang, hatinya lantas terbakar api cemburu. "Ada apa denganmu, Aditya? Kamu mau memerintah ku? Jelas Selena punya kepentingan bicara dengan Hendra! Kamu? Cukup menghandle perusahaan saja selama Selena ikut denganku, paham!" berang Tuan Collins mengangkat tongkatnya ke atas meja. Mengulurkannya ke arah Aditya, hingga ujung tongkatnya hampir men