Memandang dinding serba putih juga perabotan lain, semakin yakin bahwa dirinya tengah berada bahkan terbaring di atas ranjang pasien.
Manik hitam yang sibuk mengamati sekeliling seketika tersentak kaget, saat mendapati begitu banyak alat menempel ria di bagian dadanya.
"Ah, apa ini!" teriak Reta dalam hati nyaris membulatkan mata,
"A--pa aku masih hidup?"
Ceklek....
Terdengar suara dari arah pembatas berhias kaca yang perlahan terbuka, berhasil mengalihkan sorot mata Reta pada seorang suster yang sedang berjalan dengan sebuah papan berisi lembar kertas.
Masih sigap menatap setiap kalimat yang tertulis di dalamnya seakan bersiap untuk melakukan semacam pengecekan.
Perawat itu berhenti tepat di samping ranjang lalu mulai mengalihkan pandangan, saling bertatapan dengan santai hingga menyadari sesuatu yang membuatnya terbelalak.
"Hah!" sontak perawat, dengan cepat berlari keluar ruangan.
Meninggalkan Reta sendiri dengan rasa penasaran atas sikap aneh yang baru saja dilihatnya, "Dia kenapa? apa ada hal aneh dengan wajahku?"
"Atau! wajahku rusak? D--dan terlihat seperti hantu.." benak Reta mulai merasa cemas, segera menoleh ke segala sisi demi mencari benda yang mampu mengatasi masalahnya.
"Aku butuh cermin!"
***
Selang beberapa menit, dia dapat mendengar jelas hentakan kaki yang mulai menuju ke arahnya. Pintu terbuka, memperlihat dokter beserta suster tadi.
Ekspresi serupa sekilas terlintas pada wajah pria paruh baya itu, dengan jas putih dan juga stetoskop yang mengalung di lehernya dia mulai mendekat seakan telah bersiap untuk memeriksa kondisi Reta.
Tentu saja pihak paramedis terkejut akan peningkatan salah satu pasien yang telah berbaring nyaris satu pekan tanpa perkembangan sedikitpun.
Apa ini semacam keajaiban atau hasil dari harapan keluarga, segera pria itu memeriksa Reta layaknya pasien di rumah sakit.
"Cepat, hubungi keluarga pasien." tegas dokter, menoleh ke arah perawat setelah menyelesaikan tugas.
Tanpa memberi tahu sebuah pantangan atau perihal kondisi, mereka berdua pergi secara bergantian melewati pembatas dan sekali lagi membiarkan gadis itu sendiri.
"Keluarga apanya--emang ada yang mau kesini?" cibir Reta menekuk bibir.
Begitu yakin jika dia tak lagi memiliki keluarga sejak memilih untuk berdiri di samping pria yang telah mengkhianatinya.
Pertunangan mereka berjalan tanpa restu karena tidak ada satupun dari pihak keluarga yang menyukai pria pilihan Reta karena alasan identitas,
Mereka selalu menyebutnya sebagai anak tanpa asal usul yang jelas.
"Apa Om Zachta?" benaknya berharap pada pria dingin yang menyimpan berjuta perhatian di setiap perbuatan.
Tak terlalu lama, pintu kembali terbuka hingga mendapati beberapa orang masuk ke dalam ruangan. Terkejut ketika salah satu diantaranya adalah pria yang cukup familiar bagi Reta.
"Lah! Leo? Kok, bisa tau aku disini?"
"....." Sekilas terdiam sambil menebak kejadian yang telah terjadi,
"Oh! Jadi dia yang bawa aku ke rumah sakit. Mungkin semalam, Lia sempat nelpon Leo buat minta tolong." bergumam dalam hati,
Hanya saja merasa aneh ketika menatap pasangan paruh baya yang tak lain adalah orang tua Leo.
"K-kenapa mereka menatapku seperti itu?" pikir Reta merasa terganggu dengan sorot iba yang menyiratkan kesedihan di wajah mereka.
Bahkan Leo tak segan berjalan mendekat juga memeluk erat tubuh gadis itu. Hingga disusul dengan tangisan pecah dari wanita paruh baya yang berdiri di belakangnya.
"Lah woi! main peluk aja," benak Reta masih tertegun berkat sikap yang belum pernah didapat.
Terlebih lagi, mereka telah mengenal cukup lama dan belum pernah melihat Leo bertingkah selancang ini.
Cup.
Sebuah kecupan kecil telah mendarat di kutikula wajah Reta, tatapan sedih bercampur bahagia yang laki laki itu lontarkan semakin membuatnya bingung.
"Dasar babi! Sembarangan main nyium kepala orang," bentak Reta dalam hati, menggosok kasar bekas ciuman tadi.
"Anakku, akhirnya kau sadar." lugas Citra tersenyum ceria.
"Apa mak-"
"!!!" Reta membisu dengan manik membulat sempurna, berhenti mengucap saat mendengar suara asing muncul dari dalam mulutnya.
"Ehem ehem." dehem Reta, tengah bersiap mengucapkan beberapa kata.
"Aku dimana?"
Hap.
Kedua tangan reflek menutup mulut, merasa bingung sekaligus kaget karena mendengar suara orang lain. Mulai bertanya bagaimana hal tersebut bisa terjadi,
"K-kok suaraku beda?" ucapnya dalam hati, tak sengaja menatap rambut legam yang terurai panjang.
"Hah!" terbelalak,
Reta yakin bahwa sebelum ini, sempat mewarnai rambut sebahunya. Apalagi sejak kecil dia telah terbiasa dengan rambut pendek dan belum pernah membiarkan rambut itu memanjang melebihi pundak,
Lalu darimana segumpal rambut hitam ini datang?
"Apa yang terjadi? kok tiba tiba 'ni rambut jadi panjang banget," pikirnya mengerutkan alis,
"Pinjem hp." sontak Reta, menatap tegas ke arah Leo dengan raut memaksa.
Meski terkejut tanpa pikir panjang laki laki itu merogoh saku lalu menyodorkan benda tipis ke hadapan Reta.
Dengan senang hati, dia meraih ponsel demi melihat penampilannya saat ini.
"Aaa!!!" pekik Reta, reflek melepas ponsel tadi dari genggaman.
"Kenapa wajahku berbeda? K-kenapa,aku jadi sangat cantik dan sangat muda!" benaknya merasa takut.
"Kenapa sayang?" tanya Citra, membelai lembut pipi putrinya dengan raut khawatir.
"Hh. Gapapa," menggeleng lirih dengan senyum kikuk, berusaha untuk tetap tenang.
Grep.
Sebuah pelukan tengah wanita itu lontarkan, seketika menuai kehangatan yang telah lama tak dirasa. Entah kapan terakhir kali ada yang mendekap tubuh itu dengan tulus,
Jari jemari Citra, dengan lembut memindahkan beberapa urai rambut yang menutupi pandangan gadis itu.
Masih tersirat kecemasan di kedua matanya, juga kebahagian karena melihat kondisi gadis yang telah membaik.
"Hah hangat. Jadi seperti ini rasanya dipeluk---sudah lama aku ga mendapat pelukan setulus ini,"
Entah kenapa tiba-tiba muncul usaha untuk beradaptasi dengan semua yang telah didapat, meski masih menebak bagaimana cara jiwanya berpindah ke tubuh lain.
"Kalo dilihat dari reaksi, sama ucapan mereka. Berarti gadis ini adiknya Leo?"
"Ah, iya! Leo punya adik berumur 18 tahun yang punya penyakit sejak kecil,"
"Tapi, kok bisa ya?" pikirnya mengerutkan alis,
Meski belum mendapat jawaban, bagaimanapun juga ini kesempatan Reta untuk membalas sekaligus merebut apa yang telah diambil darinya.
Mungkin saja seiring berjalan waktu, gadis itu mampu mengetahui alasan juga cara yang membuat jiwanya mampu bertahan bahkan melanjutkan hidup baru.
"Mm, kak!" sontak Reta begitu kaku,
"Ah, sial. Canggung banget" hardiknya dalam hati.
"Iya?" tanya Leo mengangkat alis.
"Kak Re-ta apa kabar?" tambahnya dengan raut polos.
Seketika karena pertanyaan singkat, raut wajah Leo berubah drastis. Terlihat begitu sedih karena harus mengingat tragedi yang menimpa gadis itu,
"1 minggu lalu, teman teman kakak mengalami kecelakaan, dan Reta ga bisa selamat."
"Hah? G-ga selamat! M-maksudnya aku meninggal?" pekiknya dalam hati.
"Tapi wajar sih! Kalo ga mati, aku ga akan ada di tubuh ini."
"Kok kamu bisa tahu teman kakak?" sontak Leo sedikit penasaran.
"Buset. Mesti jawab apa!!" pikir Reta baru menyadari jika pertanyaan tadi bisa menyisakan rasa curiga.
"Ng, pernah denger kakak cerita nama itu ke mama." ujarnya menebak secara sembarang,
Namun laki laki itu hanya mengangguk percaya, tidak menyangkal apa yang Reta ucapkan.
"Lah! berarti dia memang pernah nyeritain aku ke mamanya dong?"
"Hh, ga mungkin-ga mungkin! Pasti Leo, emang sengaja diem biar ga tambah panjang urusannya."
"......."
"Mm, itu berarti adik Leo yang asli udah meninggal--terus tubuhnya aku ambil alih?" pikir Reta tak sengaja beralih menatap keluarga barunya,
"Kalau mereka tau anak mereka yang asli udah meninggal, pasti bakal sedih."
Meski ragu, Reta berusaha untuk meyakinkan diri sendiri dalam menjalankan kesempatan dalam hidup barunya.
Sekaligus membalas budi pada tubuh ini dan berjanji menjadi adik serta putri yang baik bagi mereka.
"Oke! sekarang namaku----tunggu! aku ga tau nama adiknya Leo!!" omel Reta dalam hati.
"Ana.." panggil Citra dengan ramah.
"Oh, namanya Ana."
"Aku harus tahu lebih banyak tentang anak ini. Supaya mereka gak curiga,"
"Dan tentu saja! mulai sekarang mereka adalah ibu, ayah dan kakakku."
***Bersambung.Reta Sidney, wanita berusia 25 tahun yang telah berhasil menduduki jabatan CEO di perusahaan K. Menyebar banyak proyek besar serta program baru yang mampu meningkatkan saham perusahaan, Siapa sangka wanita seperti Reta memiliki nasib yang malang. Di malam pertunangan, dia harus menerima sebuah pengkhianatan dari sahabat dan pria tercintanya. Setelah itu mati dengan cara mengenaskan, Beruntung takdir masih memberi sedikit simpati dan memberi kesempatan Reta untuk membalas semua derita. Hingga berhasil hidup kembali dengan cara aneh dalam tubuh gadis berusia 18 tahun bernama Arana, Dengan keluarga sederhana juga kepala keluarga yang mampu mengatur keuangan namun tidak membuat anaknya merasa kekurangan. Meski bekerja dalam perusahaan besar sekaligus milik keluarga, ayah Arana bekerja di bawah tekanan para kakaknya yang berkuasa karena beruntung menjadi putra sulung. Walau berbeda dari kehidupan dulu, mau tidak mau Reta h
Kediaman luas yang tak terlalu megah, perabotan lengkap yang tertata rapi tanpa bantuan pelayan. Teringat jika mereka terpaksa memecat dua pelayan demi menyanggupi biaya pengobatan Arana, "Biar Leo aja yang mengantar Ana," ucapnya menatap Citra, "Ya sudah, kamu ke atas sama kakak. Mama mau nyiapin makan malam buat kita semua," mengusap cepat ujung kepala gadis yang tengah tersenyum sebagai tanda persetujuan, Sigap gadis itu beralih melangkah di samping pria yang mulai hari ini akan menjadi kakaknya. Mereka berjalan menaiki tangga hingga berhenti di depan pintu kamar yang telah terbuka, Terlihat sebuah ruangan berhias nude yang begitu memanjakan mata. Meski tidak seluas kamar Reta, namun ini adalah ruangan yang begitu nyaman. Setidaknya semua itu ditata dengan tulus tanpa adanya kepalsuan. Sekilas memandang ke segala arah. Kamar kosong yang sebelumnya dipenuhi berbagai peralatan aneh demi menopang hidup Arana,
Hembusan angin menerpa dedaunan, beberapa langkah kaki terdengar saling bersahutan. Mereka bertiga baru saja selesai melepas duka di hadapan makam. Terlihat Leo, yang masih menggenggam erat tangan adiknya. "Kalau tidak salah, tadi aku melihat Tuan Maxime. Bagaimana dia bisa kemari?" celetuk Leo penasaran, "Hah? Dia kenal sama Om Zachta?" pikir Ana berusaha untuk tetap tenang melihat dua orang yang tengah berhadapan. "Dia itu omnya Reta," "Om kandung?" tanya Leo mengangkat alis, sedikit penasaran karena usia pria yang baru memasuki umur kepala tiga. "Iya, dia anak paling bungsu. Jadi usianya cuma beda 5 tahun sama Reta," "Oh--ya udah. Kalo gitu, aku pamit pulang." ujar Leo mendapat anggukan sebelum gadis tadi melangkah pergi meninggalkan kedua kakak beradik. "Ayo kita ke mobil," ajaknya tersenyum menatap Ana, Segera mereka berjalan menghampiri kendaraan yang terparkir cukup jauh. Gadis itu terdiam melangkah
WARNING 21+ _____________________________ Harap bijak dalam membaca. _____________________________ 30 menit kemudian, Gadis yang tengah asik mengotak atik layar ponsel, tak sengaja mendengar langkah kaki dari luar kamar. Sekali lagi tersentak kaget, segera meringkuk di belakang sofa. Ceklek. Seorang pria tinggi dengan setelan jas yang dipakai mulai melangkah masuk dengan sebuah berkas di tangannya. Diletakkan berkas tadi ke atas meja, dengan sigap membuka beberapa kancing kemeja sebelum meraih segelas air dan meneguk habis. "Tunggu! Kenapa aku sembunyi! Kan niatku mau ketemu Om Zachta," pikir Ana mengerutkan alis, menggerutui sikap penakutnya. "Kok malah gini, seharusnya aku keluar!" Dengan keberanian yang berhasil meyakinkan diri, perlahan gadis itu mendongak dan beranjak bangun, menatap punggung lebar berbalut jas hitam di depannya. Mulai melangkah mende
Suasana hening dalam kamar serta udara dingin yang menyelimuti, tampak ranjang luas berisi sepasang orang yang sempat memadu kasih. Terlihag seorang gadis tengah mengernyit sambil beralih posisi. "Ng..." Kedua matanya terbuka, menatap langit kamar yang terasa asing sebelum beralih menatap lantai berisi potongan kain. Seketika terbelalak karena mengingat akan kejadian buruk, tragedi yang membuat Ana harus menghabiskan malam dengan Max. Masih terasa jelas bagaimana pria itu merobek serta menjamah paksa setiap bagian tubuhnya, bahkan sakit di antara selangkangan tidak akan sembuh dalam waktu dekat. Dengan cepat Ana menoleh hingga me
Setelah selesai mengatasi rasa sakitnya, gadis itu bergegas turun. Mendapati anggota keluarga lain telah mengisi meja makan. "Besok Ana udah bisa masuk sekolah," celetuk Wira nyaris membuat gadis itu tersedak. "Sekolah?" "Iya, nanti Ana bakal punya banyak temen baru." tambah Citra tersenyum cerah, "Nanti malam kamu bisa ikut kakakmu keluar, buat belanja perlengkapan sambil jalan jalan." ujar Wira menatap gadis yang tengah sibuk mengisi perut. "Hm.." gadis itu mengangguk sambil tersenyum, entah kapan terakhir kali dia berbelanja barang seperti itu. Pukul 14.00 "Nyonya, di luar ada Nona Sarah dan Nona Mia." pekik seorang pelayan wanita, Karena tak lagi harus membayar biaya pengobatan, mereka kembali mempekerjakan wanita paruh baya serta putrinya yang sedari dulu bekerja di rumah ini. "Suruh masuk, beritahu Rima untuk menyiapkan tempat di taman belakang. Setelah itu pergilah ke atas dan panggil Ana," ujar Citra men
Pukul 19.00 Hamparan lantai yang begitu luas, cahaya terang serta hentak kaki yang saling bersahutan. Di depan rak kaca, terlihat bayangan seorang gadis yang tengah berjalan bersama Leo. Kedua tangan mereka sibuk menenteng beberapa kantong plastik, "Mau beli apa lagi?" gumam Leo melirik ujung kepala gadis yang sedang sibuk menunduk. "Hm, kayaknya udah deh!" gadis itu mendongak setelah mengabsen barang yang memenuhi kantong. "Ya udah. Ayo pulang," "Hm," angguk Ana, mengikuti langkah pria di sampingnya. Sesampai di luar toko, tak sengaja sorot mata gadis itu menoleh ke arah lain. Bangunan dengan pernak pernik lentera serta dekorasi serba pink, berhasil memikat Ana. Langkahnya terhenti, membuat Leo menyadari kemana pandangan adiknya mengarah. "Mau beli es krim?" sontaknya mengangkat alis, Seketika Ana menoleh sambil mengangguk, dengan raut polos yang terpampang nyata. "Ya udah ayo.." lugas Leo, meng
Bangunan besar yang begitu asing, gerbang serta pekarangan luas yang terlihat dari kaca mobil. Tiang bendera menjulang juga lorong yang terlihat, Seketika membuat gadis itu sadar, bahwa ia harus bisa beradaptasi dengan suasana tersebut. Terlebih lagi ini juga pertama kali bagi tubuh Ana, setelah sekian lama terkurung dalam rumah. Akhirnya gadis itu bisa menjalani kehidupan normal meski dengan jiwa orang lain. "Aku harus bisa punya banyak teman! Tapi harus yang tulus. Ga palsu kek si Syla," tegas Ana dalam hati, dengan tangan mengepal kuat. "Mau kakak anterin sampe ke dalam?" tawar Leo, menatap lembut. "E-eh. Enggak-enggak, aku bisa sendiri." menggeleng pasti, "Kakak pulang aja," tolak Ana, melepas seat belt yang melilit tubuhnya. "Ya udah. Pihak sekolah udah kakak kasih tau--jadi kamu tinggal datang ke kantor kepala sekolah, buat laporan." "Oke siap!" sontak Ana tersenyum lebar. Kakinya melangkah keluar, b
WARNING 21+HARAP BIJAK DALAM MEMBACA DAN MEMILIH BACAAN._________________________________________Penolakan yang berulang kali terlontar, tak sedikitpun dihiraukan oleh Max. Membuka paksa pengait yang terlilit di belakang punggung gadis itu,Mendorong tubuh Ana ke sudut ruangan. Membuatnya bersandar, mulai mendengar jantung yang berdetak kencang dengan rasa panik memenuhi benak.Entah apalagi yang harus ia lakukan. Tubuh itu terlalu lemah untuk melawan tindakan Max,Menatap lekat manik coklat yang baru saja mengarah dan memandangnya dengan sorot lembut."Sebe
"Halo?" ucap suara pria dibalik layar."Jangan buang waktuku. Cepat katakan, kenapa kau tidak mengirim hal yang kusuruh?" sontak Max mengerutkan alis.Pagi ini laki laki itu dengan antusias menunggu laporan yang seharusnya Fero berikan. Namun sampai hari menjelang siang tak kunjung tiba,"Hubungkan layar laptop pada Fero! Aku ingin lihat, apa yang sebenarnya dia lakukan." pekik Max pada pengawal yangs sedang bertugas disisinya."Katakan. Apa yang sedang gadis itu lakukan?""Mm. Nona Ana, semalam pindah dan tinggal dalam asrama sekolah.""Dia sekarang sedang bekerja, sebagai pelayan di cafe li
"Apa kau yakin?" gumam Mosco berusaha memastikan,"Aku tidak suka mengulang." seru Max, dengan raut sinis.Dor!Entah apa yang membuat pria itu berani mengacungkan senjata ke arah Max. Namun dengan sigap telapak kekar itu menangkis peluru yang keluar,Merebut paksa dan membalikkan mulut pistol ke hadapan Mosco,"Kau sudah kuberi kesempatan. Tapi tidak kau gunakan dengan baik,"Dor! Dor! Dor!Dengan cepat menghabiskan sisa peluru untuk menembus habis kepala pria berambut gelombang tadi.
"Bapak Ryan Bimantara.."Dep.Kedua manik hitam itu membulat sempurna, seketika ingatan masa lalu membuka luka lama. Ana terdiam tak menghiraukan tepuk tangan meriah yang murid lain lontarkan,Api amarah yang terlihat jelas dari sorot matanya, beralih pada sosok pria yang tengah berjalan menaiki tangga.Mata serta senyuman yang tak asing. Pria yang pernah menjadi alasannya tertawa, namun sosok yang sama kini mengobarkan api luka dalam hati Ana."Bisa bisanya. Dia begitu bangga membawa nama perusahaanku!" gerutu Ana dalam hati, menggertakkan gigi dengan kedua tangan mengepal kuat.15 menit kemudian.
"Ups! maaf, maaf." celetuk siswi, dengan sigap menyentuh bahu gadis yang telah ia tabrak."Maaf ya, ini salah mereka. Aku sibuk bercerita dan ga sengaja nabrak kamu,""Hey! Padahal kau selalu mengoceh meski kita tidak memintanya!" hardik Gea mengerutkan alis."Hust! Udah diem.""Sekali lagi, maaf ya!""Iya, gapapa." angguk Ana, dengan senyum ramah.Perlahan mendongak, menatap lekat para gadis yang ada di depannya. Mereka terdiam seakan saling mengenal,"Loh. Kamu yang kemarin nanya ruang kepsek kan?"
Tap.Tap.Tap.Langkah kaki itu begitu santai melewati lorong sekolah. Dengan seragam serta tas yang tersemat di punggungnya, gadis itu menatap jalan dengan raut datar."Padahal semalam. Aku udah niat, ga pakai uangnya!""Ternyata aku pake juga, buat beli buku.""Dan untung saja, bekas ciumannya cukup dibawah. Aku pikir ini tidak akan terlihat," benak Ana sedikit mengusap kerah bajunya.Sorot mata sedikit terganggu, mendapati beberapa siswa dan siswi yang tengah berkumpul di depan pintu kelas."Hey. Tunggu!"
WARNING 18+.HARAP BIJAK DALAM MEMBACA.____________________________________Tanpa melepas aksinya, dia beralih posisi. Dengan kedua lutut yang berpijak di atas sofa, tangan yang lain mulai membuka kancing pengait kemeja gadis itu.Kulit putih Ana mulai terlihat jelas, dengan sigap meraih pengait di bagian punggung. Mendepak sangkar dari kedua gundukan itu,Terlihat jelas dua puncak dada yang mulai membulat sempurna karena aksinya. Meraup gundukan yang terasa cukup pas dalam genggaman,Memberikan pijatan kasar, membuat gadis tadi menahan nyeri sambil menggigit bibir bawahnya. Memutar dan memilin kuat puncak gundukan yang semakin mengeras,Ana menggeliat tak menentu, merasakan sentuhan yang membuat hawa panas menjalar ke setiap bagian tubuhnya."Ah..""Hentikan! Keluarkan jarimu!" sontak Ana, merasakan sesuatu yang hampir keluar.Namun laki laki itu tak menghiraukan, semakin mempercepat gerakan tangannya.
WARNING 18+.HARAP BIJAK DALAM MEMBACA DAN MEMILIH BACAAN._________________________________________Prang!Dengan sengaja, telapak tangan gadis itu mendepak gelas berisi minuman yang ada di atas meja.Seketika membuat laki laki itu mendongak, menghentikan gerakan jarinya."Maaf! Saya akan segera bereskan." sontak Ana, beranjak pergi.Namun lengan kekar itu, masih sigap melilit pinggul langsing Ana. Membuat gadis itu tak dapat bergerak,"Kau senang sekali meninggalkan sesuatu yang belum selesai," bisik Max.Telunjuknya menerobos masuk ke sela kain, membelai lembut kutikula perut datar gadis tadi. Rasa risih yang membebani benaknya, membuat tekad Ana semakin bulat.Dia menekan kuat, tangan kekar itu dan menoleh dengan raut dingin."Permisi, saya harus pergi.""Jika Tuan ingin ditemani, saya akan panggilkan pelayan lain." lugas Ana,"Tapi, yang ku inginkan hanya kau." ucap Max,
Hiruk pikuk dunia malam begitu menakjubkan bagi kalangan remaja. Sebuah tempat mewah dengan banyak pelayan yang menyajikan minuman serta pelayanan lain,Tempat yang biasanya ia datangi untuk menenangkan pikiran, kini Ana berkunjung sebagai seorang pekerja."Huft. Capek juga mondar mandir nganterin minuman," benaknya, sedikit menekan kuat punggung belakang yang terasa nyeri."Untung aja, dulu aku pernah lihat temen sekelas nyari kerja di Bar ini.""Walau capek. Yang penting dapet duit!"1 jam yang lalu"Yes, udah dapet kerja!" sorak Ana, berhasil menghubungi salah satu tempat yang membuka lowongan."Tapi! Gimana cara ijinnya?""Pasti mama, nggak bakal ngebolehin aku keluar."10 menit sebelum berangkat.Gadis itu berdandan rapi dengan pakaian casual, membawa sebuah ransel sebaga