Hembusan angin menerpa dedaunan, beberapa langkah kaki terdengar saling bersahutan.
Mereka bertiga baru saja selesai melepas duka di hadapan makam. Terlihat Leo, yang masih menggenggam erat tangan adiknya.
"Kalau tidak salah, tadi aku melihat Tuan Maxime. Bagaimana dia bisa kemari?" celetuk Leo penasaran,
"Hah? Dia kenal sama Om Zachta?" pikir Ana berusaha untuk tetap tenang melihat dua orang yang tengah berhadapan.
"Dia itu omnya Reta,"
"Om kandung?" tanya Leo mengangkat alis, sedikit penasaran karena usia pria yang baru memasuki umur kepala tiga.
"Iya, dia anak paling bungsu. Jadi usianya cuma beda 5 tahun sama Reta,"
"Oh--ya udah. Kalo gitu, aku pamit pulang." ujar Leo mendapat anggukan sebelum gadis tadi melangkah pergi meninggalkan kedua kakak beradik.
"Ayo kita ke mobil," ajaknya tersenyum menatap Ana,
Segera mereka berjalan menghampiri kendaraan yang terparkir cukup jauh. Gadis itu terdiam melangkah masuk melewati pembatas yang sengaja dibuka untuknya,
Menempatkan bokong sambil menatap Leo sedang berjalan ke sisi lain dan mengisi kursi pengemudi.
"Kak!" panggil Ana lirih, berhasil memberanikan diri untuk mengungkap rasa penasarannya.
Entah bagaimana bisa pria itu mengenal sosok pebisnis sukses yang jarang mengunjungi negara ini, bahkan Zachta belum pernah membangun atau mengembangkan bisnis disini.
Dia tahu betul jika adik bungsu ayahnya selalu memandang remeh negara kelahiran mereka karena terlalu lama tinggal di wilayah asing yang dikenal sebagai negara super power.
Meski nama Zachta terkenal karena menjadi pengusaha sukses tapi bukan berarti sembarang orang bisa mengenali wajah sekaligus penampilan aslinya.
"Iya?" sahut Leo tanpa menoleh, tengah sibuk menyetir.
"Soal pria yang kakak tanyain tadi---kok kakak bisa tahu orangnya, tapi ga tau kalo itu omnya kak Reta?"
"Oh, dia kan orang terkaya se Asia. Wajar kakak tahu,"
"Dan kebetulan, nanti malam kakak ada janji temu sama dia! Di hotel Value." sahut Leo, menjelaskan.
"Janji?" gumamnya terkejut apalagi setelah mendapat anggukan pasti.
Gadis itu lupa jika kakaknya juga seorang pengusaha yang telah membangun kerajaan bisnis sendiri.
Meski masih dalam tahap awal, Leo telah membuktikan jika dia mampu membawa perusahaan itu ke puncak teratas karena berhasil membuat kesepakatan dengan Zachta.
Tidak mudah untuk bisa bekerja sama dengan orang berpengaruh, terlebih lagi Zachta bukanlah pria yang suka membuang waktu hanya untuk meladeni perusahaan kecil.
"Hotel Value, aku harus kesana." tegasnya dalam hati, tanpa sengaja berhasil mendapat beberapa informasi tanpa harus mengeluarkan usaha besar.
Pukul 19.00
Meja luas berisi berbagai macam hidangan makanan yang masih tersisa, terlihat tiga orang sedang duduk di depan piring bekasnya masing-masing.
"Kak Leo belum turun. Itu berarti, masih ada waktu!" tegasnya dalam hati, segera melirik ke arah lain.
"Mama. Ana sudah kenyang, dan sangat mengantuk!" bergegas beranjak sebelum mendapat izin,
"Ana mau tidur dulu ya, Ma--Pa?" tambahnya mulai berlari menaiki tangga,
Setelah bersusah payah menyusun rencana, Ana segera masuk ke dalam kamar demi menata bantal guling lalu membentangkan kain demi menutupi.
Berharap agar semua orang yang berkunjung dapat percaya jika Ana telah tertidur pulas di balik selimut tebalnya.
Setelah menghabiskan beberapa menit, akhirnya gadis itu berhasil menyelinap keluar dan masuk ke dalam mobil yang akan dibawa Leo.
"Huh. Akhirnya bisa keluar juga!" benak Ana merasa lega,
"Pokoknya. Aku harus bisa ketemu sama Om Zachta," tegasnya dalam hati,
Segera dia meringkuk di sela tempat duduk setelah melihat sosok pria tengah berjalan dari pintu rumah.
Brak..
Suara tertutupnya pembatas juga hadirnya seorang pria, menjadi awal siksaan yang akan menimpa.
Tepat setelah mobil itu berjalan, guncangan demi guncangan mulai menyiksa disusul rasa pengap yang nyaris membuat Ana merasa mual.
Beruntung dia mampu menahan hingga kendaraan hitam itu berhenti di tempat parkir. Dengan keberanian perlahan Ana mendongak melirik punggung berbalut jas yang sedang melepas seat belt.
Dengan tangan telah siap menggenggam knop pintu, gadis itu terdiam beberapa detik demi menunggu waktu yang tepat.
Bak.
Suara terlepasnya pembatas yang sengaja Ana buka, berhasil terdengar oleh pria tadi. Segera menghentikan langkah demi menoleh namun tak menemukan siapapun,
Hanya terdapat kursi kosong juga barisan mobil yang terlihat dari jendela, "Apa aku salah dengar? Perasaan tadi ada yang buka pintu mobil.."
Pria itu belum menyadari jika pelaku yang dicari telah berhasil kabur lebih dulu. Tanpa niat memastikan, Leo memilih tak acuh dan segera masuk ke dalam gedung.
Ana melancarkan aksi sambil menahan perasaan cemas karena berjalan seperti pencuri,
Dia tahu kalau Zachta selalu menyewa kamar pribadi saat melakukan pertemuan bisnis. Maka dari itu secara diam-diam menghampiri meja resepsionis demi mencapai tujuan,
"Selamat malam, ada yang bisa saya bantu." sapa seorang wanita dengan senyum juga logat ramahnya,
"Berapa nomor kamar, Zachta Maxime?" celetuk Ana memasang telapak di samping wajah demi menutup diri, merasa takut jika ada orang yang mengenali.
"Ng, maaf--kalau boleh tahu. Anda siapa?" ujarnya mengamati penampilan gadis yang terkesan begitu sederhana,
Tentu saja sulit untuk mempercayai ucapan tadi, bahkan Ana lupa memperhatikan penampilannya karena terlalu tergesa-gesa.
Mana mungkin long dress kuning polos itu mampu disejajarkan dengan pria kaya, "Reta, saya keponakannya."
"Keponakan?" tambah sang resepsionis semakin curiga,
"Iya. Apa kau tidak percaya?!" lugas Ana merasa kesal, terlebih lagi karena sikap wanita yang tengah menatapnya remeh.
"Apa perlu aku menghubungi om Zachta untuk memecatmu?" ujarnya dengan yakin hingga berhasil membuat wanita tadi merasa terancam.
"Ti-tidak. Saya percaya, beliau ada di kamar 450."
"Kuncinya?"
"Maaf, Nona. Itu melanggar--"
"Apa kau ingin kehilangan pekerjaan?" timpal Ana menatap sinis,
"Tapi, nama anda tidak terdaftar pada lembar reservasi. Dan kami dilarang memberikan kunci pada orang asing,"
"Hh, apa katamu? Orang asing! Kau belum percaya kalau aku keponakannya. Om Zachta tiba-tiba menyuruhku kesini, dia pasti lupa mencatat namaku."
"Omku adalah pria terkaya se-Asia. Dan ini pertama kalinya dia menginap di hotel kalian--"
"Apa kau mau memberi kesan buruk padanya karena melarangku masuk?! Dia bisa saja menutup hotel ini." ancam Ana berhasil membuat wanita tadi diam tak berkutik.
Tidak sia-sia dia menghafal hotel mana saja yang pernah pria itu kunjungi.
"M-maaf. Akan segera saya ambilkan,"
Seketika terbit lengkung bibir karena berhasil mencapai tujuan, meski tak lagi berada di tubuh yang sama. Bukan hal dusta jika menyebut dirinya keponakan Zachta,
Segera Ana melangkah pergi setelah mengantongi benda tipis yang akan mempermudah misi.
Setelah melewati lorong juga menggunakan elevator, gadis itu berhasil sampai pada lantai yang dituju.
Tak segan kedua manik sigap meneliti satu persatu pembatas demi mencari angka yang tepat, "450---itu dia!"
Segera mengetuk kotak sensor dengan cardlock hingga mampu merubah lampu sensor serta menciptakan bunyi sebagai tanda terbukanya pintu.
"Untung, orangnya udah keluar." gumam Ana, mendapati ruang luas tanpa pengunjung,
Perlahan mulai menyusuri seluruh ruang sambil menikmati hidangan buah yang tersaji di atas meja,
Ceklek,
Gadis itu terbelalak, ketika mendengar suara dari arah pembatas. Dengan cepat beranjak pergi ke sudut samping ranjang,
"Perasaan baru 15 menit! masa udah selesai," pikir Ana, mendengar langkah kaki yang perlahan mendekat.
"Aduh, plis! Jangan kesini."
Sorot mata tak sengaja menatap alas kaki seorang wanita, yang mampu membuat gadis itu menghela nafas lega. "Huft, ternyata cuma pelayan."
Selang beberapa menit, ruangan kembali hening. Bahkan Ana telah memastikan tidak ada orang lain selain dirinya,
Mulai berani mendongak, menatap sebuah teko kaca dan juga gelas yang baru saja tersaji di atas meja. "Hampir aja jantungku copot,"
"Tapi, dia kok bisa masuk! Bukannya perlu---au deh, bodo amat."
"Yang penting ga ketahuan,"
***Bersambung.WARNING 21+ _____________________________ Harap bijak dalam membaca. _____________________________ 30 menit kemudian, Gadis yang tengah asik mengotak atik layar ponsel, tak sengaja mendengar langkah kaki dari luar kamar. Sekali lagi tersentak kaget, segera meringkuk di belakang sofa. Ceklek. Seorang pria tinggi dengan setelan jas yang dipakai mulai melangkah masuk dengan sebuah berkas di tangannya. Diletakkan berkas tadi ke atas meja, dengan sigap membuka beberapa kancing kemeja sebelum meraih segelas air dan meneguk habis. "Tunggu! Kenapa aku sembunyi! Kan niatku mau ketemu Om Zachta," pikir Ana mengerutkan alis, menggerutui sikap penakutnya. "Kok malah gini, seharusnya aku keluar!" Dengan keberanian yang berhasil meyakinkan diri, perlahan gadis itu mendongak dan beranjak bangun, menatap punggung lebar berbalut jas hitam di depannya. Mulai melangkah mende
Suasana hening dalam kamar serta udara dingin yang menyelimuti, tampak ranjang luas berisi sepasang orang yang sempat memadu kasih. Terlihag seorang gadis tengah mengernyit sambil beralih posisi. "Ng..." Kedua matanya terbuka, menatap langit kamar yang terasa asing sebelum beralih menatap lantai berisi potongan kain. Seketika terbelalak karena mengingat akan kejadian buruk, tragedi yang membuat Ana harus menghabiskan malam dengan Max. Masih terasa jelas bagaimana pria itu merobek serta menjamah paksa setiap bagian tubuhnya, bahkan sakit di antara selangkangan tidak akan sembuh dalam waktu dekat. Dengan cepat Ana menoleh hingga me
Setelah selesai mengatasi rasa sakitnya, gadis itu bergegas turun. Mendapati anggota keluarga lain telah mengisi meja makan. "Besok Ana udah bisa masuk sekolah," celetuk Wira nyaris membuat gadis itu tersedak. "Sekolah?" "Iya, nanti Ana bakal punya banyak temen baru." tambah Citra tersenyum cerah, "Nanti malam kamu bisa ikut kakakmu keluar, buat belanja perlengkapan sambil jalan jalan." ujar Wira menatap gadis yang tengah sibuk mengisi perut. "Hm.." gadis itu mengangguk sambil tersenyum, entah kapan terakhir kali dia berbelanja barang seperti itu. Pukul 14.00 "Nyonya, di luar ada Nona Sarah dan Nona Mia." pekik seorang pelayan wanita, Karena tak lagi harus membayar biaya pengobatan, mereka kembali mempekerjakan wanita paruh baya serta putrinya yang sedari dulu bekerja di rumah ini. "Suruh masuk, beritahu Rima untuk menyiapkan tempat di taman belakang. Setelah itu pergilah ke atas dan panggil Ana," ujar Citra men
Pukul 19.00 Hamparan lantai yang begitu luas, cahaya terang serta hentak kaki yang saling bersahutan. Di depan rak kaca, terlihat bayangan seorang gadis yang tengah berjalan bersama Leo. Kedua tangan mereka sibuk menenteng beberapa kantong plastik, "Mau beli apa lagi?" gumam Leo melirik ujung kepala gadis yang sedang sibuk menunduk. "Hm, kayaknya udah deh!" gadis itu mendongak setelah mengabsen barang yang memenuhi kantong. "Ya udah. Ayo pulang," "Hm," angguk Ana, mengikuti langkah pria di sampingnya. Sesampai di luar toko, tak sengaja sorot mata gadis itu menoleh ke arah lain. Bangunan dengan pernak pernik lentera serta dekorasi serba pink, berhasil memikat Ana. Langkahnya terhenti, membuat Leo menyadari kemana pandangan adiknya mengarah. "Mau beli es krim?" sontaknya mengangkat alis, Seketika Ana menoleh sambil mengangguk, dengan raut polos yang terpampang nyata. "Ya udah ayo.." lugas Leo, meng
Bangunan besar yang begitu asing, gerbang serta pekarangan luas yang terlihat dari kaca mobil. Tiang bendera menjulang juga lorong yang terlihat, Seketika membuat gadis itu sadar, bahwa ia harus bisa beradaptasi dengan suasana tersebut. Terlebih lagi ini juga pertama kali bagi tubuh Ana, setelah sekian lama terkurung dalam rumah. Akhirnya gadis itu bisa menjalani kehidupan normal meski dengan jiwa orang lain. "Aku harus bisa punya banyak teman! Tapi harus yang tulus. Ga palsu kek si Syla," tegas Ana dalam hati, dengan tangan mengepal kuat. "Mau kakak anterin sampe ke dalam?" tawar Leo, menatap lembut. "E-eh. Enggak-enggak, aku bisa sendiri." menggeleng pasti, "Kakak pulang aja," tolak Ana, melepas seat belt yang melilit tubuhnya. "Ya udah. Pihak sekolah udah kakak kasih tau--jadi kamu tinggal datang ke kantor kepala sekolah, buat laporan." "Oke siap!" sontak Ana tersenyum lebar. Kakinya melangkah keluar, b
"Tidak. Aku akan tetap disini," ujar Ana datar, begitu enggan meladeni pria tadi. Namun tak bermaksud untuk menjadi pusat perhatian, semua murid terkejut mendengar sahutan gadis itu. Seluruh mata termenung melihat orang yang masuk ke dalam jajaran pria tertampan di sekolah harus mendapat penolakan. Bahkan pertama kali dalam hidup Van, terlebih lagi itu didapat dari seorang murid baru. "Tenanglah. Kau tidak usah takut, siswi lain tidak akan mengganggumu." sanggah Van bersikukuh, merasa yakin jika Ana tak bersungguh-sungguh melontarkan penolakan tadi. "Tidak." sahutnya singkat, "Kenapa?" "Tidak ada. Aku hanya ingin duduk disini," "......." pria itu terdiam seribu bahasa, rasa malu yang begitu menusuk hingga membuatnya merasa geram. Rasa sesak membakar dada, bagaimana bisa dia ditolak mentah mentah. Brak. Dengan keras Van mendepak bangkunya sendiri sebelum melangkah keluar kelas dengan raut kesal,&nbs
Hiruk pikuk dunia malam begitu menakjubkan bagi kalangan remaja. Sebuah tempat mewah dengan banyak pelayan yang menyajikan minuman serta pelayanan lain,Tempat yang biasanya ia datangi untuk menenangkan pikiran, kini Ana berkunjung sebagai seorang pekerja."Huft. Capek juga mondar mandir nganterin minuman," benaknya, sedikit menekan kuat punggung belakang yang terasa nyeri."Untung aja, dulu aku pernah lihat temen sekelas nyari kerja di Bar ini.""Walau capek. Yang penting dapet duit!"1 jam yang lalu"Yes, udah dapet kerja!" sorak Ana, berhasil menghubungi salah satu tempat yang membuka lowongan."Tapi! Gimana cara ijinnya?""Pasti mama, nggak bakal ngebolehin aku keluar."10 menit sebelum berangkat.Gadis itu berdandan rapi dengan pakaian casual, membawa sebuah ransel sebaga
WARNING 18+.HARAP BIJAK DALAM MEMBACA DAN MEMILIH BACAAN._________________________________________Prang!Dengan sengaja, telapak tangan gadis itu mendepak gelas berisi minuman yang ada di atas meja.Seketika membuat laki laki itu mendongak, menghentikan gerakan jarinya."Maaf! Saya akan segera bereskan." sontak Ana, beranjak pergi.Namun lengan kekar itu, masih sigap melilit pinggul langsing Ana. Membuat gadis itu tak dapat bergerak,"Kau senang sekali meninggalkan sesuatu yang belum selesai," bisik Max.Telunjuknya menerobos masuk ke sela kain, membelai lembut kutikula perut datar gadis tadi. Rasa risih yang membebani benaknya, membuat tekad Ana semakin bulat.Dia menekan kuat, tangan kekar itu dan menoleh dengan raut dingin."Permisi, saya harus pergi.""Jika Tuan ingin ditemani, saya akan panggilkan pelayan lain." lugas Ana,"Tapi, yang ku inginkan hanya kau." ucap Max,
WARNING 21+HARAP BIJAK DALAM MEMBACA DAN MEMILIH BACAAN._________________________________________Penolakan yang berulang kali terlontar, tak sedikitpun dihiraukan oleh Max. Membuka paksa pengait yang terlilit di belakang punggung gadis itu,Mendorong tubuh Ana ke sudut ruangan. Membuatnya bersandar, mulai mendengar jantung yang berdetak kencang dengan rasa panik memenuhi benak.Entah apalagi yang harus ia lakukan. Tubuh itu terlalu lemah untuk melawan tindakan Max,Menatap lekat manik coklat yang baru saja mengarah dan memandangnya dengan sorot lembut."Sebe
"Halo?" ucap suara pria dibalik layar."Jangan buang waktuku. Cepat katakan, kenapa kau tidak mengirim hal yang kusuruh?" sontak Max mengerutkan alis.Pagi ini laki laki itu dengan antusias menunggu laporan yang seharusnya Fero berikan. Namun sampai hari menjelang siang tak kunjung tiba,"Hubungkan layar laptop pada Fero! Aku ingin lihat, apa yang sebenarnya dia lakukan." pekik Max pada pengawal yangs sedang bertugas disisinya."Katakan. Apa yang sedang gadis itu lakukan?""Mm. Nona Ana, semalam pindah dan tinggal dalam asrama sekolah.""Dia sekarang sedang bekerja, sebagai pelayan di cafe li
"Apa kau yakin?" gumam Mosco berusaha memastikan,"Aku tidak suka mengulang." seru Max, dengan raut sinis.Dor!Entah apa yang membuat pria itu berani mengacungkan senjata ke arah Max. Namun dengan sigap telapak kekar itu menangkis peluru yang keluar,Merebut paksa dan membalikkan mulut pistol ke hadapan Mosco,"Kau sudah kuberi kesempatan. Tapi tidak kau gunakan dengan baik,"Dor! Dor! Dor!Dengan cepat menghabiskan sisa peluru untuk menembus habis kepala pria berambut gelombang tadi.
"Bapak Ryan Bimantara.."Dep.Kedua manik hitam itu membulat sempurna, seketika ingatan masa lalu membuka luka lama. Ana terdiam tak menghiraukan tepuk tangan meriah yang murid lain lontarkan,Api amarah yang terlihat jelas dari sorot matanya, beralih pada sosok pria yang tengah berjalan menaiki tangga.Mata serta senyuman yang tak asing. Pria yang pernah menjadi alasannya tertawa, namun sosok yang sama kini mengobarkan api luka dalam hati Ana."Bisa bisanya. Dia begitu bangga membawa nama perusahaanku!" gerutu Ana dalam hati, menggertakkan gigi dengan kedua tangan mengepal kuat.15 menit kemudian.
"Ups! maaf, maaf." celetuk siswi, dengan sigap menyentuh bahu gadis yang telah ia tabrak."Maaf ya, ini salah mereka. Aku sibuk bercerita dan ga sengaja nabrak kamu,""Hey! Padahal kau selalu mengoceh meski kita tidak memintanya!" hardik Gea mengerutkan alis."Hust! Udah diem.""Sekali lagi, maaf ya!""Iya, gapapa." angguk Ana, dengan senyum ramah.Perlahan mendongak, menatap lekat para gadis yang ada di depannya. Mereka terdiam seakan saling mengenal,"Loh. Kamu yang kemarin nanya ruang kepsek kan?"
Tap.Tap.Tap.Langkah kaki itu begitu santai melewati lorong sekolah. Dengan seragam serta tas yang tersemat di punggungnya, gadis itu menatap jalan dengan raut datar."Padahal semalam. Aku udah niat, ga pakai uangnya!""Ternyata aku pake juga, buat beli buku.""Dan untung saja, bekas ciumannya cukup dibawah. Aku pikir ini tidak akan terlihat," benak Ana sedikit mengusap kerah bajunya.Sorot mata sedikit terganggu, mendapati beberapa siswa dan siswi yang tengah berkumpul di depan pintu kelas."Hey. Tunggu!"
WARNING 18+.HARAP BIJAK DALAM MEMBACA.____________________________________Tanpa melepas aksinya, dia beralih posisi. Dengan kedua lutut yang berpijak di atas sofa, tangan yang lain mulai membuka kancing pengait kemeja gadis itu.Kulit putih Ana mulai terlihat jelas, dengan sigap meraih pengait di bagian punggung. Mendepak sangkar dari kedua gundukan itu,Terlihat jelas dua puncak dada yang mulai membulat sempurna karena aksinya. Meraup gundukan yang terasa cukup pas dalam genggaman,Memberikan pijatan kasar, membuat gadis tadi menahan nyeri sambil menggigit bibir bawahnya. Memutar dan memilin kuat puncak gundukan yang semakin mengeras,Ana menggeliat tak menentu, merasakan sentuhan yang membuat hawa panas menjalar ke setiap bagian tubuhnya."Ah..""Hentikan! Keluarkan jarimu!" sontak Ana, merasakan sesuatu yang hampir keluar.Namun laki laki itu tak menghiraukan, semakin mempercepat gerakan tangannya.
WARNING 18+.HARAP BIJAK DALAM MEMBACA DAN MEMILIH BACAAN._________________________________________Prang!Dengan sengaja, telapak tangan gadis itu mendepak gelas berisi minuman yang ada di atas meja.Seketika membuat laki laki itu mendongak, menghentikan gerakan jarinya."Maaf! Saya akan segera bereskan." sontak Ana, beranjak pergi.Namun lengan kekar itu, masih sigap melilit pinggul langsing Ana. Membuat gadis itu tak dapat bergerak,"Kau senang sekali meninggalkan sesuatu yang belum selesai," bisik Max.Telunjuknya menerobos masuk ke sela kain, membelai lembut kutikula perut datar gadis tadi. Rasa risih yang membebani benaknya, membuat tekad Ana semakin bulat.Dia menekan kuat, tangan kekar itu dan menoleh dengan raut dingin."Permisi, saya harus pergi.""Jika Tuan ingin ditemani, saya akan panggilkan pelayan lain." lugas Ana,"Tapi, yang ku inginkan hanya kau." ucap Max,
Hiruk pikuk dunia malam begitu menakjubkan bagi kalangan remaja. Sebuah tempat mewah dengan banyak pelayan yang menyajikan minuman serta pelayanan lain,Tempat yang biasanya ia datangi untuk menenangkan pikiran, kini Ana berkunjung sebagai seorang pekerja."Huft. Capek juga mondar mandir nganterin minuman," benaknya, sedikit menekan kuat punggung belakang yang terasa nyeri."Untung aja, dulu aku pernah lihat temen sekelas nyari kerja di Bar ini.""Walau capek. Yang penting dapet duit!"1 jam yang lalu"Yes, udah dapet kerja!" sorak Ana, berhasil menghubungi salah satu tempat yang membuka lowongan."Tapi! Gimana cara ijinnya?""Pasti mama, nggak bakal ngebolehin aku keluar."10 menit sebelum berangkat.Gadis itu berdandan rapi dengan pakaian casual, membawa sebuah ransel sebaga