“Apa yang terjadi padamu?”
Helena tertegun. Ia baru paham kalau ternyata Willson menyadari luka buatan Dion di lehernya. Secepat kilat Helena menutupi luka segar tersebut.“Katakan padaku, apa yang terjadi denganmu?”“Aku ... aku tidak kenapa-napa. Ini hanya luka kecil saja.”“Sekali lagi aku tanya. Apa yang terjadi padamu, Helena?!” Willson mulai tegas. Dan ya, ketegasan pria itu membuat Helena gemetar. Ini adalah kali pertamanya ia mendengar Willson berbicara dengan lantang.“Jangan bilang kalau ini ulahnya Dion,” tambah Willson dengan intonasi yang kembali rendah.Helena menggeleng cepat. “Tentu saja bukan. Kemarin aku jatuh dan—““Kamu jatuh dan menyebabkan luka di leher? Jangan konyol, Hel. Kamu tidak bisa membohongiku.”“Aku tidak bohong, Kak.”Willson semakin penasaran. Ia membuka paksa cardigan yang dipakai Helena dan mendapati beberapa luka serta lebam lainnya.“Sekarang kamu masih mau bilang bahwa kamu terjatuh?”Helena mengaku kalah. Dia tak bisa mengelak lagi.“Jujurlah. Aku tidak akan memberitahukannya pada siapa pun.” Willson berusaha membujuk Helena dengan cara yang lebih lembut. Ia tahu pasti Dion sudah mengancam Helena hingga wanita itu tak berani mengatakannya.“Kakak benar. Ini memang perbuatan Dion.”Willson mengusap wajahnya dengan gusar. Tangannya mengepal erat hingga menampakkan urat-urat tegasnya.“Anak itu!!”“Kak, tolong bicara pelan-pelan. Nanti ada yang mendengarnya.”Willson menurut. Ia merendahkan kembali intonasinya dan mencoba mengendalikan emosi.“Apakah ini karena aku telah merusakmu?”Willson sangat khawatir. Meski dia tidak memiliki perasaan apa pun pada Helena, tapi entah mengapa ia sangat tak terima jika ada yang berani menyakiti wanita itu. Mungkin hal ini disebabkan oleh perasaan bersalah yang terus menghantuinya.“Sepertinya bukan karena itu saja, Kak. Sejak awal bertemu, dia memang sudah memperlakukanku dengan kasar. Bahkan dia menunjukkan secara terang-terangan bahwa aku tidak pantas untuknya.”“Lalu mengapa kamu masih mempertahankan pernikahan ini? Dia tidak mencintaimu, Hel.”“Tapi aku mencintainya,” bantah Helena.Seketika suasana menjadi hening. Entah apa yang ada di pikiran Helena hingga ia mengeluarkan kalimat bodoh itu.Cinta? Tentu saja tidak ada sedikitpun cinta untuk Dion. Meski ia sudah berusaha untuk mencintai pria itu, namun nyatanya sangat sulit. Tak ada alasan yang dapat membuat Helena jatuh cinta padanya sekarang.“Kamu mencintai orang seperti dia?”“Ya. Aku sangat-sangat mencintainya.” Helena tidak berani menatap Willson. Ia takut pria itu dapat membaca kebohongannya lagi.Willson membeku. Dia sempat berpikir apakah Helena sudah tidak normal? Bagaimana bisa ada wanita normal mencintai pria yang terus menyiksanya? Namun, dia juga tidak memiliki hak untuk mengatur perasaan siapa pun.Tampaknya Willson sudah tak mau membahas hal itu lebih jauh lagi. Ia pergi sejenak mengambil P3K dan mengobati luka-luka di tubuh Helena.“Ini sudah masuk ke dalam tindakan kriminal, Hel. Dion melakukan kekerasan padamu. Tapi kamu malah diam saja.”“Aku bisa mengatasi masalahku sendiri, Kak. Akan ku pastikan Dion luluh suatu hari nanti. Mungkin bukan sekarang, tapi aku yakin saatnya akan segera tiba.”Sambil mengobati luka tersebut, sesekali Willson mencuri pandang ke arah Helena. Sepertinya dia harus mengambil tindakan agar Dion segera menyudahi tindakan KDRT-nya.“Kamu adalah wanita baik dan kamu pantas mendapatkan yang baik juga.” Kalimat terakhir yang Willson ucapkan sebelum ia pergi meninggalkan Helena sendirian. Sementara Helena hanya terdiam bisu seraya memandang punggung Willson yang mulai lenyap dari pandangannya.Malam ini Dion memutuskan untuk menginap di apartemennya. Melihat Helena setiap hari sungguh membuatnya jenuh. Selain itu, di apartemen ini juga ada Monica, kekasih dan belahan jiwanya.Monica, wanita yang sudah memegang status sebagai pacar Dion selama tiga tahun terakhir. Mereka bahkan tinggal bersama di apartemen ini sebelum akhirnya Dion diminta untuk pulang ke kediaman Maverick setelah menikah dengan Helena.Dion mengambil kesucian Monica sejak mereka baru menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih. Baginya itu merupakan sebuah kehormatan tersendiri. Dia pikir dirinya akan melakukan hal yang sama pada Helena. Tapi ternyata istrinya itu sudah tidak suci lagi. Ada pria lain yang telah mengambil kesempatannya lebih dulu.Itulah salah satu alasan yang membuat Dion murka. Monica saja yang berstatus sebagai pacar rela menyerahkan mahkotanya untuk dia, lantas mengapa Helena berani menyerahkannya pada pria lain?“Istri kamu tahu kalau kamu pergi ke sini, Mas?”“Untuk apa aku memberitahunya? Lagipula tidak penting juga, ‘kan.”“Sebegitu bencinya kamu pada Helena?”“Ya, tentu saja. Dan apakah kamu tahu? saat aku menyentuh dia, miliknya sudah tidak rapat lagi. Aku rasa sepertinya sudah ada pria lain yang mencobanya lebih dulu daripada aku,” ujar Dion.Walau tampangnya terlihat baik-baik saja, namun sebenarnya Dion merasa sedikit kecewa. Dia sungguh tak menyangka bahwa sudah ada pria lain yang mencicipi tubuh Helena sebelum dirinya. Tapi meskipun begitu, setidaknya ini bisa menjadi alasan dia untuk lebih membenci wanita itu lagi. Alasan untuk terus menyiksanya tanpa ampun.Monica terlihat syok. Ia reflek menutup mulutnya yang sedikit terbuka.“Astaga, dasar wanita murahan. Aku kasihan padamu karena telah menikahi dia, Mas.” Monica menyandarkan kepalanya di bahu Dion.“Kalau bukan karena permintaan Mama dan Papa, aku tidak akan mau menikah dengannya. Semua ini kulakukan agar mereka semakin percaya padaku dan menyerahkan sebagian tanggung jawab perusahaan mereka. Selama ini hanya Willson-lah yang mereka percayai.”“Sabar, Mas. Aku yakin sebentar lagi posisi Willson akan tergantikan olehmu, kok.”Dion tersenyum lantas mengecup dahi Monica. “Aku senang memiliki wanita sepertimu, sayang.”Monica sangat bangga mendengarnya. Ia pun memeluk tubuh Dion dengan manja. Tidak bisa menahan diri lagi, mereka berdua bercanda ria dan ‘bersenang-senang’ sesaat.Tetapi meskipun begitu, rasa senang Monica tidak seperti biasanya. Tiba-tiba saja ia teringat dengan sesuatu. Tanpa segan Monica bertanya apakah Dion juga memberikan uang bulanan pada Helena atau tidak.Sesuai yang diharapkan, Dion berkata tidak. Selama ini Helena menanggung kebutuhan hidupnya sendiri. Dan syukurlah wanita itu juga tak pernah memintanya.Di akhir percakapan sebelum tidur bersama, Monica menyampaikan pesan agar Dion berhati-hati dengan Helena. Jangan sampai pria itu termakan oleh tipu dayanya. Monica selalu bersemangat memanas-manasi Dion agar lelaki itu semakin membenci sang istri.Kalau saja Dion tidak mengiming-imingi tambahan uang jajan pada Monica, pasti wanita itu tak akan mengizinkan Dion untuk menikah dengan Helena sejak awal. Sudah jelas semua ini Monica lakukan demi keuntungan pribadi.Beberapa hari terakhir ini Dion menginap di apartemen pribadinya dengan tujuan menenangkan diri. Namun, pagi ini dia harus kembali ke rumah karena orang tuanya sudah rewel dan terus menghubunginya.Mereka merasa kasihan pada Helena. Belum ada sebulan menikah, tapi Dion sudah keluyuran tidak jelas dan terus meninggalkannya. Pria itu menjadikan kesibukan kantor sebagai bahan alasan.Seperti biasa, keluarga Maverick selalu berkumpul saat waktu sarapan tiba. Di hadapan semua orang, Dion memperlakukan Helena bak seorang ratu.“Sayang, coba kamu cicipi yang ini, ya?” Dion menunjuk ke salah satu menu sarapan di meja makan tersebut.Helena membalasnya dengan anggukan kecil. Ia benar-benar tak bisa merespon lebih. Tanpa mereka sadari, sejak tadi Willson memperhatikan gerak-gerik Dion dengan perasaan jijik.“Duh, romantis banget sih kalian. Setiap hari ada saja kelakuan yang membuat kami iri,” gumam sang bibi.“Namanya juga anak muda, Ma,” balas suaminya.Di saat yang sama, adik Rebecca itu melirik Willson dengan sinis.“Kamu kapan menikah, Will? Adik kamu saja sudah duluan. Nanti jadi perjaka tua, lho.”Dalam sekejap semua mata langsung tertuju pada Willson saat bibinya berkata demikian.“Bukan urusan kalian.”“Will, benar apa yang dikatakan bibimu. Akan lebih baik jika kamu mencari pasangan juga. Tidak mungkin ‘kan kamu akan sendirian terus? Kamu butuh pendamping hidup,” tutur ayahnya.Willson hanya diam. Daripada membalas obrolan basi itu, lebih baik dia menahan diri. Lagipula apa yang dikatakan sang ayah tidak sepenuhnya salah. Dia memang ingin berumah tangga seperti yang lain. Tapi tidak untuk saat ini. Hatinya masih menantikan masa lalunya.“Permisi, Tuan. Dokter yang Anda panggil sudah datang,” ujar seorang pelayan.“Suruh dia masuk sekarang.”“Baik.”Lagi. Untuk kesekian kalinya semua mata tertuju pada Willson. Kali ini sorot mereka seolah dipenuhi tanda tanya."Will, siapa yang sakit?" Rebecca mengernyit."Tidak ada." Respon singkat Willson membuat semua orang saling bersitatap satu sama lain."Lalu untuk apa kamu memanggil dokter ke sini kalau tidak ada yang sakit?""Sekedar memeriksa kondisi kesehatan kita semua," jawabnya santai. Sekilas ia melirik ke arah Dion, merasa geli dengan wajah gugup adiknya tersebut."Jangan ngaco, Will. Kita semua baik-baik saja," sambar Manda."Ya, Bibi benar. Kita memang baik-baik saja. Tapi mungkin tidak dengan yang lain. Aku ingin semua orang di rumah ini diperiksa kesehatannya. Termasuk para pelayan dan sopir sekalipun. Minimal kita harus memastikan bahwa semua penghuni di sini dalam keadaan sehat."Bagi mereka, keputusan Willson terdengar tidak masuk akal. Untuk apa ia repot-repot melakukan hal itu hanya demi mengetahui kondisi kesehatan orang lain? Apalagi ini adalah kali pertamanya Willson melakukan hal bodoh tersebut. Selama ini dia selalu bersikap acuh dan tak peduli dengan kondisi siapapun."
“Tidak. Aku tidak memiliki hubungan apa pun dengannya.” Helena dengan lantang membalasnya. Dia panik sehingga tidak bisa memikirkan jawaban lain selain yang dilontarkan.Melihat raut wajah Helena yang gugup seperti itu, Dion memicingkan mata. “Kau yakin?” tanyanya.Helena mengangguk tegas, namun bibirnya terasa kaku. Ia tak bisa berkata saat menjawabnya. Tak diduga, Dion malah tertawa kecil. Entah apa yang ditertawakan oleh pria itu, Helena sama sekali tidak mengetahuinya. Yang dia tahu hanyalah dirinya yang sedang berada di ujung jurang.“Tapi sepertinya sikap Willson berkata lain.”“Ma-maaf, Mas. Aku tidak mengerti apa yang kamu katakan,” titah Helena.Dion mendekat, memotong jarak di antara mereka. Dengan santai pria itu mengambil sedikit rambut Helena dan memainkan dengan jari-jemarinya. Selama sepersekian detik, jantung Helena rasanya seperti berhenti. Dia merasa sesak dan kesulitan untuk bernapas.“Bukankah Willson tampak sangat peduli padamu, hm?”“Peduli bagaimana, Ma
“Terima kasih.”Helena menatap Willson tulus. Tatapan wanita itu tampak sangat teduh dan damai. Suaranya yang selembut kapas mengalir di telinga Willson dengan indah. Sungguh ucapan terima kasih yang begitu anggun, namun Willson tidak tahu Helena berterimakasih untuk apa.Willson mengernyit, membalas tatapan wanita itu dengan segala kebingungannya. Menunjukkan bahwa ia membutuhkan penjelasan lebih.“Berkat Kakak, Dion sudah tidak pernah melukaiku lagi. Dia tidak pernah melayangkan tangannya untuk memukulku.”Sekilas, Willson mengamati tubuh Helena. Bekas luka dan memar yang menghiasi tubuhnya memang sudah memudar drastis, bahkan nyaris tak terlihat lagi. Selain itu, tidak ada juga tanda-tanda luka atau lebam baru di tangan dan kakinya. “Sama-sama,” jawab Willson singkat diikuti senyuman tipis.“Aku berjanji untuk segera membalasnya. Kakak tinggal katakan saja apa yang harus aku lakukan untuk balas budi pada Kakak,” titah Helena. Dia sungguh merasa harus membalas segala kebaikan
“Ti-tidak! Tentu saja tidak.” Helena langsung membantah, mematahkan pemikiran bodoh sahabatnya. Kalau saat ini Mia tidak sedang menjadi pusat perhatian banyak orang, Helena pasti sudah membungkam mulut wanita itu. Bagaimana bisa dia berbicara seenaknya di hadapan Willson? Menyadari Helena panik, Mia dan suaminya terkekeh sementara Willson hanya melirik Helena dengan tatapan yang tak dapat dibaca. Untuk mengalihkan topik pembicaraan dan kabur dari pembahasan konyol ini, Helena menyapa suami Mia yang sejak tadi dia acuhkan. Meski sapaannya terdengar akrab, tapi Helena berusaha untuk tidak berlebihan demi menjaga perasaan sahabatnya. Percakapan hangat mereka terputus saat pengumuman digemakan di ruangan tersebut. Sebuah pengumuman yang menyatakan bahwa kini sudah memasuki waktunya pesta dansa. “Di mana pasanganmu, Helena? Bukankah aku sudah memintamu untuk membawa pasangan?” tanya Mia. “Aku ... aku tidak tahu harus mengajak siapa.” “Astaga, kau punya beberapa teman pria, ‘kan? Ken
“Helena, apa yang kau lakukan?!”Willson bertanya tegas karena melihat kondisi Helena yang basah kuyup sambil dengan bodohnya berdiri di tepi jalan.“Aku sedang menunggu taksi.”Willson mengusap wajahnya dengan gusar. Ia mengurungkan niat untuk bertanya lebih banyak lagi dan segera menuntun Helena agar ikut masuk ke dalam mobilnya.“Tidak, Kak. Aku tidak mau. Biarkan aku naik taksi saja.”“Jangan konyol, Helena. Kamu tidak bisa terus-terusan menunggu di sini.”Helena masih bersikeras melontarkan banyak penolakan. Namun, dengan kesabaran yang mulai menipis, Willson mengangkat tubuh Helena dan membawanya paksa ke dalam mobil. Meski sempat memberontak, tapi kini Helena sudah duduk aman di jok mahal miliknya.“Kak, jangan lakukan ini.” Helena kembali berucap, ia sungguh tak mau merepotkan Willson.Tidak menjawab, Willson hanya diam. Pria itu langsung menempati kembali kursi kemudinya dan menancap gas sebelum Helena berusaha untuk keluar.“Kak Willson, tolong berhenti. Turunkan ak
"Sstt ... Mas."Helena berusaha mengeluarkan tangan Dion dari dalam piyamanya. Namun, justru Dion semakin meliarkan gerakan jarinya. Membuat Helena meringis menahan geli dan rasa takut sekaligus.Perlakuannya yang kasar dan kata-kata kotor yang keluar dari mulutnya saat berhubungan, membuat Helena merasa seolah ia tidak sedang memuaskan suaminya sendiri melainkan binatang buas.Helena seringkali menangis di pelukan pria itu. Ia memohon agar Dion memperlakukan dia dengan semestinya. Helena ingin hubungan suami-istri yang terjadi di antara mereka dilakukan dengan cara yang baik-baik. Bukan dengan pemaksaan dan kekasaran seperti ini. Tapi seperti biasa, Dion tak pernah mengindahkan keinginannya tersebut. "Eumph!!" Dion menahan bibir Helena dengan bibirnya. Lelaki itu memberikan ciuman yang semakin dalam seakan sedang mencari sesuatu yang sejak tadi ia tahan. "Kamu berani pergi terlalu lama dan membiarkanku menunggu hingga larut. Jadi sekarang persiapkan dirimu sampai pagi. Mengerti?"
"Kamu sakit?"Mia tidak henti-henti menanyakan hal yang sama pada Helena. Sahabatnya itu menggelengkan kepala, memberikan jawaban yang sama pula.Helena mengatakan bahwa dia tidak sakit sama sekali. Dan setelah Mia memeriksa suhu tubuhnya, memang terkesan normal dan tidak panas. Namun, anehnya wajah Helena tampak sangat pucat seperti orang kelelahan.Helena hanya bisa meyakinkan Mia bahwa dia baik-baik saja. Tidak mungkin dia menceritakan tentang kegilaan Dion semalam yang menyuruhnya bermain hingga pagi. Selain Mia yang tidak mengenal Dion, sahabatnya itu juga belum tahu kalau dirinya sudah menikah. Jadi tidak ada gunanya menceritakan hal-hal buruk tentang Dion padanya."Coba cek dulu. Takutnya ada yang hilang." Mia menunjuk dompet di tangan Helena dengan gerakan dagunya.Setelah memeriksa keseluruhan isi dompet tersebut, Helena tersenyum tipis."Tidak ada yang hilang, kok. Semuanya masih lengkap.""Huh, syukurlah." Mia berucap sebelum meminum jus mangga miliknya."Ngomong-ngomong, k
"Aku punya tugas baru lagi untukmu."Dion tersenyum miring saat berkata demikian. Salah satu tangannya memegang ponsel, sementara yang satu lainnya tanpa sadar memainkan pulpen dengan jari-jemarinya yang tegas."Tidak. Saat ini aku sedang tidak bisa keluar. Kita ketemuan besok di kafe untuk membicarakannya. Aku akan mengirimkan alamat kafenya padamu.""Tenang saja. Semua sudah aku siapkan. Kamu hanya perlu melakukannya dengan benar. Untuk imbalan, aku juga sudah menyiapkannya."Di saat yang bersamaan, ketukan pintu terdengar. Dion menoleh dan mendapati seorang wanita cantik masuk dengan membawa senyuman terbaiknya. Dion membalas senyuman Monica. Sekilas, dia memindai penampilan seksi Monica yang mengenakan pakaian super ketat. Ia mengamati setiap lekukannya tanpa celah. Mulai dari atas ke bawah, dan sebaliknya. Kalau saja Rania tidak kembali angkat bicara, mungkin saat ini Dion masih belum kembali pada dunia nyata dan larut dalam fantasi liarnya."Baiklah. Kita lanjutkan lagi nanti."
"Will berangkat duluan." Tanpa basa-basi, Willson langsung bangkit. Meninggalkan sarapannya yang belum selesai dan meninggalkan Rebecca yang hendak bicara serius dengannya.Rebecca berdecak lidah. Dia tahu Willson sengaja menghindarinya. Apalagi dirinya sangat yakin bahwa Willson mengerti apa yang ingin dia bahas. Seketika suasana menjadi lebih hening dan canggung setelah menyaksikan Rebecca dicampakkan oleh putranya sendiri. Carlos yang teringat akan sesuatu, mengatakan pada Rebecca bahwa hari ini mereka memiliki jadwal pertemuan dengan kerabat jauh yang sudah lama tak bertemu. Mendengar itu, Rebecca memaksakan senyumnya. Dia masih sedikit kecewa dengan perlakuan Willson beberapa saat lalu."Ayo," kata Dion saat bangkit dari kursi sambil menyapu bibirnya dengan tisu."Ke mana?" Helena menatap bingung."Hari ini kamu ada pemotretan di Gedung X dekat kantorku, 'kan?"Helena tak langsung menjawab. Dia menoleh menatap Rebecca, dan wanita paruh baya itu tiba-tiba mengangguk lembut. Tern
"Dia mabuk lagi?"Helena mengerutkan kening. Ia memandangi Willson yang tengah berjalan keluar dari mobil dengan sempoyongan. Pria itu seperti kesulitan mengimbangi langkahnya. Namun, tak lama kemudian salah satu penjaga rumah datang dan membantunya.Willson terlihat menolak. Ia menyuruh penjaga itu untuk menjauh. Tetapi setelah berusaha berjalan sendiri, dia malah kehilangan keseimbangannya. Syukurlah penjaga tersebut sudah lebih dulu menahannya.Helena bergidik ngeri. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana pria itu membawa mobilnya dalam keadaan mabuk berat. Tapi di balik perasaan aneh tersebut, Helena merasa sedikit khawatir. Dirinya takut jika Willson terus-terusan seperti ini, maka pria itu bisa saja mengalami sesuatu yang tidak diinginkan saat berkendara. Kecelakaan bisa terjadi kapan saja, 'kan? Jika bukan sekarang, mungkin nanti."Helena, ambilkan aku minum."Seketika Helena tersadar dari lamunannya. Ia masuk kembali ke dalam kamar dan menyaksikan Dion yang terbangun karena teng
"Sungguh? Kamu akan melakukan itu pada kakakmu?"Netra Monica membinar sempurna mengetahui rencana yang Dion buat untuk Willson. Meski Monica tidak terlalu membenci Willson, tapi dia tak rela jika mengetahui bahwa posisi Willson berada jauh di atas kekasihnya. Dia ingin Dion-lah yang terbaik dalam segala hal. Karena apa pun yang menjadi milik Dion, akan menjadi miliknya juga."Tentu saja." Dion menjawab dengan penuh percaya diri. Dia meyakinkan Monica bahwa rencananya kali ini pasti akan berhasil dan membuahkan hasil yang luar biasa.***Willson menatap hamparan danau yang airnya begitu tenang. Udara hari ini terbilang cukup sejuk. Angin lembut yang melintas membuat rambut Willson bergerak indah dan bebas. Kicauan burung pun turut memeriahkan suasana damai tersebut.Willson bersandar pada pagar besi di pinggir danau. Tak peduli apakah lengan kemejanya akan kotor atau tidak, dia terlalu sibuk memandangi gedung-gedung perkotaan yang berada jauh di seberang sana. Willson senang lantaran t
"Aku punya tugas baru lagi untukmu."Dion tersenyum miring saat berkata demikian. Salah satu tangannya memegang ponsel, sementara yang satu lainnya tanpa sadar memainkan pulpen dengan jari-jemarinya yang tegas."Tidak. Saat ini aku sedang tidak bisa keluar. Kita ketemuan besok di kafe untuk membicarakannya. Aku akan mengirimkan alamat kafenya padamu.""Tenang saja. Semua sudah aku siapkan. Kamu hanya perlu melakukannya dengan benar. Untuk imbalan, aku juga sudah menyiapkannya."Di saat yang bersamaan, ketukan pintu terdengar. Dion menoleh dan mendapati seorang wanita cantik masuk dengan membawa senyuman terbaiknya. Dion membalas senyuman Monica. Sekilas, dia memindai penampilan seksi Monica yang mengenakan pakaian super ketat. Ia mengamati setiap lekukannya tanpa celah. Mulai dari atas ke bawah, dan sebaliknya. Kalau saja Rania tidak kembali angkat bicara, mungkin saat ini Dion masih belum kembali pada dunia nyata dan larut dalam fantasi liarnya."Baiklah. Kita lanjutkan lagi nanti."
"Kamu sakit?"Mia tidak henti-henti menanyakan hal yang sama pada Helena. Sahabatnya itu menggelengkan kepala, memberikan jawaban yang sama pula.Helena mengatakan bahwa dia tidak sakit sama sekali. Dan setelah Mia memeriksa suhu tubuhnya, memang terkesan normal dan tidak panas. Namun, anehnya wajah Helena tampak sangat pucat seperti orang kelelahan.Helena hanya bisa meyakinkan Mia bahwa dia baik-baik saja. Tidak mungkin dia menceritakan tentang kegilaan Dion semalam yang menyuruhnya bermain hingga pagi. Selain Mia yang tidak mengenal Dion, sahabatnya itu juga belum tahu kalau dirinya sudah menikah. Jadi tidak ada gunanya menceritakan hal-hal buruk tentang Dion padanya."Coba cek dulu. Takutnya ada yang hilang." Mia menunjuk dompet di tangan Helena dengan gerakan dagunya.Setelah memeriksa keseluruhan isi dompet tersebut, Helena tersenyum tipis."Tidak ada yang hilang, kok. Semuanya masih lengkap.""Huh, syukurlah." Mia berucap sebelum meminum jus mangga miliknya."Ngomong-ngomong, k
"Sstt ... Mas."Helena berusaha mengeluarkan tangan Dion dari dalam piyamanya. Namun, justru Dion semakin meliarkan gerakan jarinya. Membuat Helena meringis menahan geli dan rasa takut sekaligus.Perlakuannya yang kasar dan kata-kata kotor yang keluar dari mulutnya saat berhubungan, membuat Helena merasa seolah ia tidak sedang memuaskan suaminya sendiri melainkan binatang buas.Helena seringkali menangis di pelukan pria itu. Ia memohon agar Dion memperlakukan dia dengan semestinya. Helena ingin hubungan suami-istri yang terjadi di antara mereka dilakukan dengan cara yang baik-baik. Bukan dengan pemaksaan dan kekasaran seperti ini. Tapi seperti biasa, Dion tak pernah mengindahkan keinginannya tersebut. "Eumph!!" Dion menahan bibir Helena dengan bibirnya. Lelaki itu memberikan ciuman yang semakin dalam seakan sedang mencari sesuatu yang sejak tadi ia tahan. "Kamu berani pergi terlalu lama dan membiarkanku menunggu hingga larut. Jadi sekarang persiapkan dirimu sampai pagi. Mengerti?"
“Helena, apa yang kau lakukan?!”Willson bertanya tegas karena melihat kondisi Helena yang basah kuyup sambil dengan bodohnya berdiri di tepi jalan.“Aku sedang menunggu taksi.”Willson mengusap wajahnya dengan gusar. Ia mengurungkan niat untuk bertanya lebih banyak lagi dan segera menuntun Helena agar ikut masuk ke dalam mobilnya.“Tidak, Kak. Aku tidak mau. Biarkan aku naik taksi saja.”“Jangan konyol, Helena. Kamu tidak bisa terus-terusan menunggu di sini.”Helena masih bersikeras melontarkan banyak penolakan. Namun, dengan kesabaran yang mulai menipis, Willson mengangkat tubuh Helena dan membawanya paksa ke dalam mobil. Meski sempat memberontak, tapi kini Helena sudah duduk aman di jok mahal miliknya.“Kak, jangan lakukan ini.” Helena kembali berucap, ia sungguh tak mau merepotkan Willson.Tidak menjawab, Willson hanya diam. Pria itu langsung menempati kembali kursi kemudinya dan menancap gas sebelum Helena berusaha untuk keluar.“Kak Willson, tolong berhenti. Turunkan ak
“Ti-tidak! Tentu saja tidak.” Helena langsung membantah, mematahkan pemikiran bodoh sahabatnya. Kalau saat ini Mia tidak sedang menjadi pusat perhatian banyak orang, Helena pasti sudah membungkam mulut wanita itu. Bagaimana bisa dia berbicara seenaknya di hadapan Willson? Menyadari Helena panik, Mia dan suaminya terkekeh sementara Willson hanya melirik Helena dengan tatapan yang tak dapat dibaca. Untuk mengalihkan topik pembicaraan dan kabur dari pembahasan konyol ini, Helena menyapa suami Mia yang sejak tadi dia acuhkan. Meski sapaannya terdengar akrab, tapi Helena berusaha untuk tidak berlebihan demi menjaga perasaan sahabatnya. Percakapan hangat mereka terputus saat pengumuman digemakan di ruangan tersebut. Sebuah pengumuman yang menyatakan bahwa kini sudah memasuki waktunya pesta dansa. “Di mana pasanganmu, Helena? Bukankah aku sudah memintamu untuk membawa pasangan?” tanya Mia. “Aku ... aku tidak tahu harus mengajak siapa.” “Astaga, kau punya beberapa teman pria, ‘kan? Ken
“Terima kasih.”Helena menatap Willson tulus. Tatapan wanita itu tampak sangat teduh dan damai. Suaranya yang selembut kapas mengalir di telinga Willson dengan indah. Sungguh ucapan terima kasih yang begitu anggun, namun Willson tidak tahu Helena berterimakasih untuk apa.Willson mengernyit, membalas tatapan wanita itu dengan segala kebingungannya. Menunjukkan bahwa ia membutuhkan penjelasan lebih.“Berkat Kakak, Dion sudah tidak pernah melukaiku lagi. Dia tidak pernah melayangkan tangannya untuk memukulku.”Sekilas, Willson mengamati tubuh Helena. Bekas luka dan memar yang menghiasi tubuhnya memang sudah memudar drastis, bahkan nyaris tak terlihat lagi. Selain itu, tidak ada juga tanda-tanda luka atau lebam baru di tangan dan kakinya. “Sama-sama,” jawab Willson singkat diikuti senyuman tipis.“Aku berjanji untuk segera membalasnya. Kakak tinggal katakan saja apa yang harus aku lakukan untuk balas budi pada Kakak,” titah Helena. Dia sungguh merasa harus membalas segala kebaikan