“Ti-tidak! Tentu saja tidak.” Helena langsung membantah, mematahkan pemikiran bodoh sahabatnya. Kalau saat ini Mia tidak sedang menjadi pusat perhatian banyak orang, Helena pasti sudah membungkam mulut wanita itu. Bagaimana bisa dia berbicara seenaknya di hadapan Willson? Menyadari Helena panik, Mia dan suaminya terkekeh sementara Willson hanya melirik Helena dengan tatapan yang tak dapat dibaca. Untuk mengalihkan topik pembicaraan dan kabur dari pembahasan konyol ini, Helena menyapa suami Mia yang sejak tadi dia acuhkan. Meski sapaannya terdengar akrab, tapi Helena berusaha untuk tidak berlebihan demi menjaga perasaan sahabatnya. Percakapan hangat mereka terputus saat pengumuman digemakan di ruangan tersebut. Sebuah pengumuman yang menyatakan bahwa kini sudah memasuki waktunya pesta dansa. “Di mana pasanganmu, Helena? Bukankah aku sudah memintamu untuk membawa pasangan?” tanya Mia. “Aku ... aku tidak tahu harus mengajak siapa.” “Astaga, kau punya beberapa teman pria, ‘kan? Ken
“Helena, apa yang kau lakukan?!”Willson bertanya tegas karena melihat kondisi Helena yang basah kuyup sambil dengan bodohnya berdiri di tepi jalan.“Aku sedang menunggu taksi.”Willson mengusap wajahnya dengan gusar. Ia mengurungkan niat untuk bertanya lebih banyak lagi dan segera menuntun Helena agar ikut masuk ke dalam mobilnya.“Tidak, Kak. Aku tidak mau. Biarkan aku naik taksi saja.”“Jangan konyol, Helena. Kamu tidak bisa terus-terusan menunggu di sini.”Helena masih bersikeras melontarkan banyak penolakan. Namun, dengan kesabaran yang mulai menipis, Willson mengangkat tubuh Helena dan membawanya paksa ke dalam mobil. Meski sempat memberontak, tapi kini Helena sudah duduk aman di jok mahal miliknya.“Kak, jangan lakukan ini.” Helena kembali berucap, ia sungguh tak mau merepotkan Willson.Tidak menjawab, Willson hanya diam. Pria itu langsung menempati kembali kursi kemudinya dan menancap gas sebelum Helena berusaha untuk keluar.“Kak Willson, tolong berhenti. Turunkan ak
"Sstt ... Mas."Helena berusaha mengeluarkan tangan Dion dari dalam piyamanya. Namun, justru Dion semakin meliarkan gerakan jarinya. Membuat Helena meringis menahan geli dan rasa takut sekaligus.Perlakuannya yang kasar dan kata-kata kotor yang keluar dari mulutnya saat berhubungan, membuat Helena merasa seolah ia tidak sedang memuaskan suaminya sendiri melainkan binatang buas.Helena seringkali menangis di pelukan pria itu. Ia memohon agar Dion memperlakukan dia dengan semestinya. Helena ingin hubungan suami-istri yang terjadi di antara mereka dilakukan dengan cara yang baik-baik. Bukan dengan pemaksaan dan kekasaran seperti ini. Tapi seperti biasa, Dion tak pernah mengindahkan keinginannya tersebut. "Eumph!!" Dion menahan bibir Helena dengan bibirnya. Lelaki itu memberikan ciuman yang semakin dalam seakan sedang mencari sesuatu yang sejak tadi ia tahan. "Kamu berani pergi terlalu lama dan membiarkanku menunggu hingga larut. Jadi sekarang persiapkan dirimu sampai pagi. Mengerti?"
"Kamu sakit?"Mia tidak henti-henti menanyakan hal yang sama pada Helena. Sahabatnya itu menggelengkan kepala, memberikan jawaban yang sama pula.Helena mengatakan bahwa dia tidak sakit sama sekali. Dan setelah Mia memeriksa suhu tubuhnya, memang terkesan normal dan tidak panas. Namun, anehnya wajah Helena tampak sangat pucat seperti orang kelelahan.Helena hanya bisa meyakinkan Mia bahwa dia baik-baik saja. Tidak mungkin dia menceritakan tentang kegilaan Dion semalam yang menyuruhnya bermain hingga pagi. Selain Mia yang tidak mengenal Dion, sahabatnya itu juga belum tahu kalau dirinya sudah menikah. Jadi tidak ada gunanya menceritakan hal-hal buruk tentang Dion padanya."Coba cek dulu. Takutnya ada yang hilang." Mia menunjuk dompet di tangan Helena dengan gerakan dagunya.Setelah memeriksa keseluruhan isi dompet tersebut, Helena tersenyum tipis."Tidak ada yang hilang, kok. Semuanya masih lengkap.""Huh, syukurlah." Mia berucap sebelum meminum jus mangga miliknya."Ngomong-ngomong, k
"Aku punya tugas baru lagi untukmu."Dion tersenyum miring saat berkata demikian. Salah satu tangannya memegang ponsel, sementara yang satu lainnya tanpa sadar memainkan pulpen dengan jari-jemarinya yang tegas."Tidak. Saat ini aku sedang tidak bisa keluar. Kita ketemuan besok di kafe untuk membicarakannya. Aku akan mengirimkan alamat kafenya padamu.""Tenang saja. Semua sudah aku siapkan. Kamu hanya perlu melakukannya dengan benar. Untuk imbalan, aku juga sudah menyiapkannya."Di saat yang bersamaan, ketukan pintu terdengar. Dion menoleh dan mendapati seorang wanita cantik masuk dengan membawa senyuman terbaiknya. Dion membalas senyuman Monica. Sekilas, dia memindai penampilan seksi Monica yang mengenakan pakaian super ketat. Ia mengamati setiap lekukannya tanpa celah. Mulai dari atas ke bawah, dan sebaliknya. Kalau saja Rania tidak kembali angkat bicara, mungkin saat ini Dion masih belum kembali pada dunia nyata dan larut dalam fantasi liarnya."Baiklah. Kita lanjutkan lagi nanti."
"Sungguh? Kamu akan melakukan itu pada kakakmu?"Netra Monica membinar sempurna mengetahui rencana yang Dion buat untuk Willson. Meski Monica tidak terlalu membenci Willson, tapi dia tak rela jika mengetahui bahwa posisi Willson berada jauh di atas kekasihnya. Dia ingin Dion-lah yang terbaik dalam segala hal. Karena apa pun yang menjadi milik Dion, akan menjadi miliknya juga."Tentu saja." Dion menjawab dengan penuh percaya diri. Dia meyakinkan Monica bahwa rencananya kali ini pasti akan berhasil dan membuahkan hasil yang luar biasa.***Willson menatap hamparan danau yang airnya begitu tenang. Udara hari ini terbilang cukup sejuk. Angin lembut yang melintas membuat rambut Willson bergerak indah dan bebas. Kicauan burung pun turut memeriahkan suasana damai tersebut.Willson bersandar pada pagar besi di pinggir danau. Tak peduli apakah lengan kemejanya akan kotor atau tidak, dia terlalu sibuk memandangi gedung-gedung perkotaan yang berada jauh di seberang sana. Willson senang lantaran t
"Dia mabuk lagi?"Helena mengerutkan kening. Ia memandangi Willson yang tengah berjalan keluar dari mobil dengan sempoyongan. Pria itu seperti kesulitan mengimbangi langkahnya. Namun, tak lama kemudian salah satu penjaga rumah datang dan membantunya.Willson terlihat menolak. Ia menyuruh penjaga itu untuk menjauh. Tetapi setelah berusaha berjalan sendiri, dia malah kehilangan keseimbangannya. Syukurlah penjaga tersebut sudah lebih dulu menahannya.Helena bergidik ngeri. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana pria itu membawa mobilnya dalam keadaan mabuk berat. Tapi di balik perasaan aneh tersebut, Helena merasa sedikit khawatir. Dirinya takut jika Willson terus-terusan seperti ini, maka pria itu bisa saja mengalami sesuatu yang tidak diinginkan saat berkendara. Kecelakaan bisa terjadi kapan saja, 'kan? Jika bukan sekarang, mungkin nanti."Helena, ambilkan aku minum."Seketika Helena tersadar dari lamunannya. Ia masuk kembali ke dalam kamar dan menyaksikan Dion yang terbangun karena teng
"Will berangkat duluan." Tanpa basa-basi, Willson langsung bangkit. Meninggalkan sarapannya yang belum selesai dan meninggalkan Rebecca yang hendak bicara serius dengannya.Rebecca berdecak lidah. Dia tahu Willson sengaja menghindarinya. Apalagi dirinya sangat yakin bahwa Willson mengerti apa yang ingin dia bahas. Seketika suasana menjadi lebih hening dan canggung setelah menyaksikan Rebecca dicampakkan oleh putranya sendiri. Carlos yang teringat akan sesuatu, mengatakan pada Rebecca bahwa hari ini mereka memiliki jadwal pertemuan dengan kerabat jauh yang sudah lama tak bertemu. Mendengar itu, Rebecca memaksakan senyumnya. Dia masih sedikit kecewa dengan perlakuan Willson beberapa saat lalu."Ayo," kata Dion saat bangkit dari kursi sambil menyapu bibirnya dengan tisu."Ke mana?" Helena menatap bingung."Hari ini kamu ada pemotretan di Gedung X dekat kantorku, 'kan?"Helena tak langsung menjawab. Dia menoleh menatap Rebecca, dan wanita paruh baya itu tiba-tiba mengangguk lembut. Tern
"Will berangkat duluan." Tanpa basa-basi, Willson langsung bangkit. Meninggalkan sarapannya yang belum selesai dan meninggalkan Rebecca yang hendak bicara serius dengannya.Rebecca berdecak lidah. Dia tahu Willson sengaja menghindarinya. Apalagi dirinya sangat yakin bahwa Willson mengerti apa yang ingin dia bahas. Seketika suasana menjadi lebih hening dan canggung setelah menyaksikan Rebecca dicampakkan oleh putranya sendiri. Carlos yang teringat akan sesuatu, mengatakan pada Rebecca bahwa hari ini mereka memiliki jadwal pertemuan dengan kerabat jauh yang sudah lama tak bertemu. Mendengar itu, Rebecca memaksakan senyumnya. Dia masih sedikit kecewa dengan perlakuan Willson beberapa saat lalu."Ayo," kata Dion saat bangkit dari kursi sambil menyapu bibirnya dengan tisu."Ke mana?" Helena menatap bingung."Hari ini kamu ada pemotretan di Gedung X dekat kantorku, 'kan?"Helena tak langsung menjawab. Dia menoleh menatap Rebecca, dan wanita paruh baya itu tiba-tiba mengangguk lembut. Tern
"Dia mabuk lagi?"Helena mengerutkan kening. Ia memandangi Willson yang tengah berjalan keluar dari mobil dengan sempoyongan. Pria itu seperti kesulitan mengimbangi langkahnya. Namun, tak lama kemudian salah satu penjaga rumah datang dan membantunya.Willson terlihat menolak. Ia menyuruh penjaga itu untuk menjauh. Tetapi setelah berusaha berjalan sendiri, dia malah kehilangan keseimbangannya. Syukurlah penjaga tersebut sudah lebih dulu menahannya.Helena bergidik ngeri. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana pria itu membawa mobilnya dalam keadaan mabuk berat. Tapi di balik perasaan aneh tersebut, Helena merasa sedikit khawatir. Dirinya takut jika Willson terus-terusan seperti ini, maka pria itu bisa saja mengalami sesuatu yang tidak diinginkan saat berkendara. Kecelakaan bisa terjadi kapan saja, 'kan? Jika bukan sekarang, mungkin nanti."Helena, ambilkan aku minum."Seketika Helena tersadar dari lamunannya. Ia masuk kembali ke dalam kamar dan menyaksikan Dion yang terbangun karena teng
"Sungguh? Kamu akan melakukan itu pada kakakmu?"Netra Monica membinar sempurna mengetahui rencana yang Dion buat untuk Willson. Meski Monica tidak terlalu membenci Willson, tapi dia tak rela jika mengetahui bahwa posisi Willson berada jauh di atas kekasihnya. Dia ingin Dion-lah yang terbaik dalam segala hal. Karena apa pun yang menjadi milik Dion, akan menjadi miliknya juga."Tentu saja." Dion menjawab dengan penuh percaya diri. Dia meyakinkan Monica bahwa rencananya kali ini pasti akan berhasil dan membuahkan hasil yang luar biasa.***Willson menatap hamparan danau yang airnya begitu tenang. Udara hari ini terbilang cukup sejuk. Angin lembut yang melintas membuat rambut Willson bergerak indah dan bebas. Kicauan burung pun turut memeriahkan suasana damai tersebut.Willson bersandar pada pagar besi di pinggir danau. Tak peduli apakah lengan kemejanya akan kotor atau tidak, dia terlalu sibuk memandangi gedung-gedung perkotaan yang berada jauh di seberang sana. Willson senang lantaran t
"Aku punya tugas baru lagi untukmu."Dion tersenyum miring saat berkata demikian. Salah satu tangannya memegang ponsel, sementara yang satu lainnya tanpa sadar memainkan pulpen dengan jari-jemarinya yang tegas."Tidak. Saat ini aku sedang tidak bisa keluar. Kita ketemuan besok di kafe untuk membicarakannya. Aku akan mengirimkan alamat kafenya padamu.""Tenang saja. Semua sudah aku siapkan. Kamu hanya perlu melakukannya dengan benar. Untuk imbalan, aku juga sudah menyiapkannya."Di saat yang bersamaan, ketukan pintu terdengar. Dion menoleh dan mendapati seorang wanita cantik masuk dengan membawa senyuman terbaiknya. Dion membalas senyuman Monica. Sekilas, dia memindai penampilan seksi Monica yang mengenakan pakaian super ketat. Ia mengamati setiap lekukannya tanpa celah. Mulai dari atas ke bawah, dan sebaliknya. Kalau saja Rania tidak kembali angkat bicara, mungkin saat ini Dion masih belum kembali pada dunia nyata dan larut dalam fantasi liarnya."Baiklah. Kita lanjutkan lagi nanti."
"Kamu sakit?"Mia tidak henti-henti menanyakan hal yang sama pada Helena. Sahabatnya itu menggelengkan kepala, memberikan jawaban yang sama pula.Helena mengatakan bahwa dia tidak sakit sama sekali. Dan setelah Mia memeriksa suhu tubuhnya, memang terkesan normal dan tidak panas. Namun, anehnya wajah Helena tampak sangat pucat seperti orang kelelahan.Helena hanya bisa meyakinkan Mia bahwa dia baik-baik saja. Tidak mungkin dia menceritakan tentang kegilaan Dion semalam yang menyuruhnya bermain hingga pagi. Selain Mia yang tidak mengenal Dion, sahabatnya itu juga belum tahu kalau dirinya sudah menikah. Jadi tidak ada gunanya menceritakan hal-hal buruk tentang Dion padanya."Coba cek dulu. Takutnya ada yang hilang." Mia menunjuk dompet di tangan Helena dengan gerakan dagunya.Setelah memeriksa keseluruhan isi dompet tersebut, Helena tersenyum tipis."Tidak ada yang hilang, kok. Semuanya masih lengkap.""Huh, syukurlah." Mia berucap sebelum meminum jus mangga miliknya."Ngomong-ngomong, k
"Sstt ... Mas."Helena berusaha mengeluarkan tangan Dion dari dalam piyamanya. Namun, justru Dion semakin meliarkan gerakan jarinya. Membuat Helena meringis menahan geli dan rasa takut sekaligus.Perlakuannya yang kasar dan kata-kata kotor yang keluar dari mulutnya saat berhubungan, membuat Helena merasa seolah ia tidak sedang memuaskan suaminya sendiri melainkan binatang buas.Helena seringkali menangis di pelukan pria itu. Ia memohon agar Dion memperlakukan dia dengan semestinya. Helena ingin hubungan suami-istri yang terjadi di antara mereka dilakukan dengan cara yang baik-baik. Bukan dengan pemaksaan dan kekasaran seperti ini. Tapi seperti biasa, Dion tak pernah mengindahkan keinginannya tersebut. "Eumph!!" Dion menahan bibir Helena dengan bibirnya. Lelaki itu memberikan ciuman yang semakin dalam seakan sedang mencari sesuatu yang sejak tadi ia tahan. "Kamu berani pergi terlalu lama dan membiarkanku menunggu hingga larut. Jadi sekarang persiapkan dirimu sampai pagi. Mengerti?"
“Helena, apa yang kau lakukan?!”Willson bertanya tegas karena melihat kondisi Helena yang basah kuyup sambil dengan bodohnya berdiri di tepi jalan.“Aku sedang menunggu taksi.”Willson mengusap wajahnya dengan gusar. Ia mengurungkan niat untuk bertanya lebih banyak lagi dan segera menuntun Helena agar ikut masuk ke dalam mobilnya.“Tidak, Kak. Aku tidak mau. Biarkan aku naik taksi saja.”“Jangan konyol, Helena. Kamu tidak bisa terus-terusan menunggu di sini.”Helena masih bersikeras melontarkan banyak penolakan. Namun, dengan kesabaran yang mulai menipis, Willson mengangkat tubuh Helena dan membawanya paksa ke dalam mobil. Meski sempat memberontak, tapi kini Helena sudah duduk aman di jok mahal miliknya.“Kak, jangan lakukan ini.” Helena kembali berucap, ia sungguh tak mau merepotkan Willson.Tidak menjawab, Willson hanya diam. Pria itu langsung menempati kembali kursi kemudinya dan menancap gas sebelum Helena berusaha untuk keluar.“Kak Willson, tolong berhenti. Turunkan ak
“Ti-tidak! Tentu saja tidak.” Helena langsung membantah, mematahkan pemikiran bodoh sahabatnya. Kalau saat ini Mia tidak sedang menjadi pusat perhatian banyak orang, Helena pasti sudah membungkam mulut wanita itu. Bagaimana bisa dia berbicara seenaknya di hadapan Willson? Menyadari Helena panik, Mia dan suaminya terkekeh sementara Willson hanya melirik Helena dengan tatapan yang tak dapat dibaca. Untuk mengalihkan topik pembicaraan dan kabur dari pembahasan konyol ini, Helena menyapa suami Mia yang sejak tadi dia acuhkan. Meski sapaannya terdengar akrab, tapi Helena berusaha untuk tidak berlebihan demi menjaga perasaan sahabatnya. Percakapan hangat mereka terputus saat pengumuman digemakan di ruangan tersebut. Sebuah pengumuman yang menyatakan bahwa kini sudah memasuki waktunya pesta dansa. “Di mana pasanganmu, Helena? Bukankah aku sudah memintamu untuk membawa pasangan?” tanya Mia. “Aku ... aku tidak tahu harus mengajak siapa.” “Astaga, kau punya beberapa teman pria, ‘kan? Ken
“Terima kasih.”Helena menatap Willson tulus. Tatapan wanita itu tampak sangat teduh dan damai. Suaranya yang selembut kapas mengalir di telinga Willson dengan indah. Sungguh ucapan terima kasih yang begitu anggun, namun Willson tidak tahu Helena berterimakasih untuk apa.Willson mengernyit, membalas tatapan wanita itu dengan segala kebingungannya. Menunjukkan bahwa ia membutuhkan penjelasan lebih.“Berkat Kakak, Dion sudah tidak pernah melukaiku lagi. Dia tidak pernah melayangkan tangannya untuk memukulku.”Sekilas, Willson mengamati tubuh Helena. Bekas luka dan memar yang menghiasi tubuhnya memang sudah memudar drastis, bahkan nyaris tak terlihat lagi. Selain itu, tidak ada juga tanda-tanda luka atau lebam baru di tangan dan kakinya. “Sama-sama,” jawab Willson singkat diikuti senyuman tipis.“Aku berjanji untuk segera membalasnya. Kakak tinggal katakan saja apa yang harus aku lakukan untuk balas budi pada Kakak,” titah Helena. Dia sungguh merasa harus membalas segala kebaikan