Aku tak memperdulikan siapa mereka dan pintanya untuk membuka pintu. Kemungkinan mereka bukan orang daerah sini. Entahlah. Apakah mereka suruhan? Tapi suruhan siapa? Ayahnya Shopia yang mungkin tak sengaja mendapati pesan Shopia di hapenya lalu mendapati ada riwayat panggilan dan pesan yang dikirimkan ke aku meski aku tak membalasnya tapi dikira kami masih berhubungan?
Aku tak mau ambil pusing. Aku tak mau berurusan dengan mereka. Aku putuskan untuk menginjak pedal gas dengan kencang dan menghindari mereka. Tapi belum sempat aku melakukannya mobil di belakang yang tadi membuntutiku keburu menabrak bagian belakang mobilku. Di saat yang bersmaan pengendara motor satunya dari arah samping seperti melempar benda keras ke kaca mobil dan sedetik kemudian terdengar bunyi TIARRRRRRRR!!!!!
Kaca pintu mobil pecah. Kedua serangan itu membuatku merasa harus berhenti untuk menyelesaikannya secara gentle. Begitu aku keluar dari mobil dan meminta pertanggung jawaba
Dendam dan memaafkan selalu berdekatan. Jika tidak dimaafkan biasanya masih menyimpan dendam. Dendam ada karena rasa ketidakterimaan, rasa sakit hati, merasa direndahkan dan disepelekan. Dampaknya bisa merugikan banyak hal, sengsaranya bisa berkepanjangan namun semua itu bisa mereda dengan kata dan bukti tindakan berupa maaf dan memaafkan.Dan dendam itulah yang menjadi jawaban kejadian pengeroyokan yang tidak fair ini. Hampir setahun yang lalu mungkin ia menunggu. Mencari-cari dimana aku dan celah bagaimana aku bisa dihabisinya. Setelah setahun menunggu hari ini dendam itu terbalaskan.Kejadian itu bermula pada suatu pagi saat beranjak kerja. Dimana ada pengendara motor yang menyempret mobilku. Merasa tidak dia yang menyempret padahal sudah ada saksi kalau dia yang menyempret, dia malah tak terima dan bermaksud menghajarku tapi kalah cepat gerakannya saat mau memukulku.Akibatnya aku yang balik menghajarnya. Sempat aku suruh hafalkan plat nomor mobilku
Bapak penolong yang memperkenalkan diri dengan panggilan Putra itu pamit pulang. Tapi nama lengkapnya adalah Herman Syaputra. Perawakannya mengingatkanku pada ayah Maria, Pak Herman. Dan kebetulan namanya juga ada Herman-nya. Apakah mereka saudaraan dan tinggal berdekatan dengan Maria tinggal, mengingat kejadian pengroyokan itu ada di jalanan dekat rumah Maria? Entahlah. Yang jelas aku sangat berterima kasih padanya.Tak lama kemudian, Ayah dan kakakku datang sehingga Andrew dan Sheily bisa langsung pulang mengingat besok mereka harus ke kantor. Aku percayakan urusan kantor ke mereka berdua. Dan Sheily akan mengusahakan untuk menjengukku lagi besok jika tidak ada jadwal yang tabrakan. Aku bilang tidak perlu dipaksa karena di sini sudah ada keluargaku yang menjaga.Ayah bergegas menghampiriku dan mengelus-elus kepalaku sambil menitikan air mata. Ia terlihat sangat sedih atas kejadian ini. Apalagi ini kali kedua. Melihat sikap dan perhatian ayah yang begitu aku mer
Dengan pelan dan berat hati, Sheily mengatakan yang sejujurnya bahwa sudah lama sekitar beberapa tahun ini ayahnya mengidap penyakit ganas bernama kanker. Namun lantaran kedisiplinannya untuk kontrol dan berobat, membuat penyakit ayahnya itu jarang kambuh.Meski begitu, Sheily selalu mengawasi perkembangan ayah yang sangat dicintainya. Sebagai konsekuensinya ia merelakan waktu libur dan di luar jam kerjanya tidak ia gunakan untuk having fun, jalan-jalan, nongkrong di mall atau kafe sebagaimana khalayak muda umumnya lakukan.Dan itulah alasannya kenapa ia sering menolak diajak kumpul, makan bareng jika tidak ada urgensi yang mendesak. Karena ia tidak mau meninggalkan ayahnya lama-lama. Selama ia kerja, yang merawat ayahnya adalah sang ibu. Sheily selalu siaga jika kapanpun ditelepon ibunya terkait dengan keadaan ayahnya yang membutuhkan pertolongan meskipun sedang kerja.“Apa alasanmu selain kau ingin menjadi anak yang berbakti kepada oran
Sejauh ini Sheily mampu mengajarkanku banyak hal tentang orang tua tanpa aku merasa digurui. Ia berhasil membuat hatiku berdamai dengan ayah. Hingga saat pintu dibuka tanpa ketukan, karena ayah hanya ingin mengambil barangnya yang tertinggal di tas, untuk kemudian pergi keluar setelah memastikan kami baik-baik saja. Aku tak merasa marah karena ia lupa mengetuk pintu.Berbeda dengan sebelum-sebelumnya yang sudah pasti aku akan mengeluh protes dan memarahi ayah. Perasaan itu kudapat dari penjelasan Sheily barusan setelah terpotong saat ayah keluar.“Bapak lihat kejadian tadi? Bukan karena sengaja beliau tidak mengetuk. Usianya yang senja rawan akan lupa terhadap sesuatu yang kecil. Kita sebagai yang muda tidak semestinya jengkel dan sebal karena jika kita ingat saat masih kecil, bukankah kita sering melakukan itu? dan apakah orang tua kita marah? Malah kita dinasihatin dengan lembut dan sayang.”&nb
Setelah menunggu agak lama karena mungkin sedang menyusun jawaban, akhirnya Sheily bersuara juga.“Mungkin ini karena didikan ayahku Pak. Tentang mencintai di tempat dan waktu yang tepat. Ayahku mengajarkanku banyak terkait itu. Soal mencintai, kita memang berhak untuk mencintai siapa saja. Tapi apakah cinta harus memiliki? Haruskah kita memiliki guru favorit kita karena kita mencintainya? Haruskan kita memiliki teman kita hanya karena kita mencintai mereka? Demikian juga dengan sosok yang kucintai.“Aku memang mencintainya tapi apakah aku harus memilikinya? Bagiku mengagumi dalam diam adalah bentuk ekspresi cinta dalam bentuk lain. Karena jika cinta itu diucapkan pada seseorang yang kita cintai tidak pada tempat dan waktunya maka akan riskan terhadap masalah yang ditimbulkannya.“Entah itu patah hati jika cintanya ditolak, entah itu kesedihan yang berlarut lantaran perasaan cemburu atau dikecewakan, entah itu bertengkar sehingga rencana menika
“Kenapa kau seperti ingin menangis Sheil?”Ia tak menjawab. Tak lama kemudian malah benar-benar menitikkan air mata yang artinya ia telah menangis. Aku semakin merasa bersalah dan segera mengintrospkesi diri apakah pertanyaanku salah.“Tidak. Tidak apa-apa Pak.” Ia berusaha mengelak sembari mengusap air matanya yang baru disadarinya terjatuh.“Tidak kenapa-napa tapi kok menangis?” Desakku.“Aku hanya ingat perjuangan Bapak dengan Maria yang begitu dalam sampai kejadian ini pun juga bagian perjuangan Bapak untuk menjemput Maria.” Sheily memberi penjelasan kenapa sampai menangis.“Lalu soal pertanyaanku tadi bagaimana Sheil? Bagaimana menurutmu kasusku dengan Maria yang sudah terlanjur berdrama-drama ini,” ulangku atas pertanyaan yang belum ditangkapnya secara penuh.“Soal itu karena sudah terlanjur dan terjadi maka ambil pelajarannya Pak. Dan melihat situasinya yang menurut say
Sheily bergegas menyampaikan pesannya padaku sambil mendekatkan mulutnya ke telingaku.“Jika sudah sembuh segera datangi Maria. Jangan melakukan kesalahan yang sama.” Usai mengucapkan ia pamit dan pergi.Lalu orang yang kemarin menjadi otak dibalik pengroyokanku itu yang tak lain adalah pengendara motor itu menghampiriku, setelah sebelumnya menyalami orang tua dan kakakku. Di dekatku ia meraih tanganku dan ditaruhnya di tangannya. Sebuah simbol permintaan maafnya padaku.“Maaf Bang atas kejadian kemarin. Jika Abang tidak terima bisa balas aku,” ujarnya singkat. Aku hanya tersenyum dan bilang meresponsnya baik.“Tidak apa-apa Bro. Santai saja. Semoga kita bisa banyak belajar dari kejadian ini.”Agaknya ia kaget dengan sikapku padanya yang tetap lembut. Bagiku kejadian itu adalah pelajaran dan semuanya aku sudah ikhlaskan dan maafkan. Aku tak mau menaruh sakit hati dan dendam atas kejadian itu dan orang-orang yang
Jangan-jangan dia yang kukhawatirkan. Diam-diam Maria telah bertunangan dan tidak mengabariku. Apalagi kemarin ia belum jelas mengatakan sudah menemukan pria yang diinginkannya atau belum. Jangan-jangan dia adalah pesaingku. Orang yang juga mengejar-ngejar Maria. Dan karena belum pasti, Maria belum mau cerita soal itu saat kutanya. Saat aku berspekulasi macam-macam Maria pun datang dari belakang menuju pintu. Sontak ia terkejut dan dari raut mukanya tampak senang dan bahagia.“Hai..Kakak… ! Ayah.. Kak David datang ke rumah. Ibu… Kak David ada di rumah…,” teriaknya kegirangan. Membuat ayah ibunya keluar dan menyambut kedatanganku. Sementara pria yang kuspekulasikan macam-macam itu menyalamiku untuk kemudian pergi.“Mari Nak David silakan duduk,” Pak Herman mempersilakan.“Mau minuma apa nak? Teh, kopi, atau air putih aja?” Ibu Maria menawarkan.“Kok gak ngabarin duluan Kak. Jadi belum dimasakin