Namun sayang seribu sayang. Belum sempat aku mengangkat telponnya Maria mendekatiku dan mengatakan sesuatu untuk kemudian pergi. Membuat langkah tanganku terhenti seketika.
“Kak, dengarkan aku. Meski saat ini aku tidak memperoleh cinta Kakak tapi aku berjanji akan berjuang sekuat tenaga untuk membuat Kakak mencintaiku. Meski pada akhirnya kita tidak jadi menikah alias perjodohan itu sesuai apa yang Kakak inginkan. Batal!”
Aku tak merespons sama sekali. Maria berjalan membelakangiku lalu menjauh dan pergi entah kemana. Mungkin pulang dan menceritakan kejadian ini pada ayahnya. Atau bergegas ke kamar begitu sampai rumah lalu menangisi apa yang terjadi dengan terus meratapi. Aku tidak peduli. Itu urusannya dan bukan urusanku. Lagian di awal aku sudah bilang dan berkali-kali aku tegaskan kalau aku tidak mencintanya.
Telepon terus berdering hingga akhirnya mati. Sengaja tak kuangkat. Rasanya kurang nendang jika a
Pilihan ini cukup menyulitkanku untuk kupilih. Antara melanjutkan pekerjaanku di hari pertama mulai proyek atau pulang ke rumah sebagaimana disarankan orang yang ada di telepon. Suara pemilik telpon itu tak lain dan tak bukan adalah Maria. Hati dan pikiranku diliputi kebingungan dengan sekenario kejadian yang disampaikan dengan terburu-buru oleh Maria.Ia bilang kalau ayah sedang kumat jantungnya dan membutuhkan perawatan segera. Tapi kenapa ia ada di rumahku? Lalu ibu kemana? Kenapa bukan ibu yang memberi tahuku langsung. Aku berpikir kalau mungkin itu adalah akal-akalan ayah saja agar aku bisa menemui Maria. Seperti yang dilakukan sebelumnya. Karena keraguanku itu ditambah aku harus segera melaksanakan tugasku sebagai ketua akhirnya drama itu tak begitu kugubris. Aku bilang padanya lakukan saja apa yang bisa dilakukan jika ayah benar benar kambuh. Tak lama kemudian aku menutup teleponnya dan menyampaikan kalau aku sangat sibuk hari ini.Ya! Aku lebih me
Aku pun segera menuju rumah sakit. Rumah sakit yang sama dengan tempat aku dirawat. Mobilku melesat cepat. Jalanan tak seramai saat berangkat. Karena sudah semakin larut tak banyak kendaraan yang memadati seisi jalan kota sehingga aku sampai di rumah sakit lebih cepat.Setiba disana aku langsung ke resepsionis, menunjukkan identitas dan memberitahu keperluanku. Sesaat kemudian petugas memberitahu tempat ayah dirawat. Bergegas aku menuju ke ruangan yang dimaksud.Begitu tiba di ruangan, pintu kuketuk lalu kubuka. Semua perhatian mengarah padaku. Ayah yang terbaring lemas dengan oksigen membantu pernafasannya dan tentu saja infus yang terhubung ke salah satu punggung tangannya. Wajahnya berubah senang begitu tahu aku datang hanya saja ia tak bicara. Ibu yang tahu aku datang juga lega dan sedikit mengeluhkan kenapa baru datang sekarang. Aku jelaskan soal pembukaan proyek dan hari pertama eksekusi. Lalu di samping ibu ada Pak Herman dan putri kesayangannya Maria juga sedan
“Duduk saja jika mau.”Tampak wajah cantiknya yang putih bersih itu berbinar dan senang. Dalam hati aku tetap menanyakan kegigihannya masih mengejarku padahal sudah jelas-jelas aku menolaknya.“Terima kasih Kak.”“Kamu tidak apa-apa disini dan membiarkan ayahmu duduk sendiri di bangku depan ruangan inap?”“Ayah malah yang nyuruh.”Aku mengangguk saja. Dan hening tak ada pembicaraan. Sampai akhirnya ia yang menekan egonya untuk bertanya terlebih dahulu.“Untung saja Ayah Kakak segera dibawa ke rumah sakit. Jika terlambat sejam saja kami tidak tahu bagaimana nasibnya.”“Oo. Terima kasih ya sudah sangat peduli dengan keluarga kami.”“Ini bukan soal terima kasih. Tapi perhatian kita dan kepedulian saat situasi genting seperti tadi pagi di rumah Kakak.” Aku terdiam. Seperti tertampar dengan ucapan Maria.“Karena paniknya aku bingung haru
“Hubungan tidak baik?”“Bukan hanya itu kak. Lebih!” Aku mulai serius menatap Maria. Kuamati wajahnya yang masih tetap cantik di situasi sepert ini dan tengah semangat menjelaskan perihal ini.“Sebagaimana yang kusampaikan tempo lalu soal konsekuensi itu. Tidak hanya hubungan baik. Melainkan yang lebih penting dari itu. Kesehatan dan keberlangsungan hidup orang tua kita. Ibarat lem yang sudah sangat melekat lama lalu dicabut paksa.“Hubungan erat dan super sejoli berpuluh-puluh tahun dengan harapan dan mimpi mereka berdua yang sudah sangat melekat lalu harus rusak dengan dengan perjodohan itu. Memang belum tentu akan seperti itu tapi jika tidak kuat mental maka akan berpengaruh ke kesehatan. Apalagi kita tahu bahwa kedua ayah kita memiliki riwayat penyakit yang gampang sekali kambuh.“Dan pembatalan perjodohan itu sangat berpotensi menyerang penyakit yang bisa kapan saja kambuh. Dan biasanya untuk menyembuhkan san
“Di kamarmu saja kalau kamu boleh. Lalu kamu tidur di kamar tamu. Ya nggaklah. Kamu gimana sih. Ibu Sudah bilang Mpok Yanti untuk menyiapkan kamar tamunya. Nanti Maria bisa tidur di situ.”Perintah mendadak yang sangat tidak aku inginkan. Sebenarnya berat sekali dan ingin menolak tapi situasi sedang tidak bersahabat untuk berdebat dengan ibu. Agar aku bisa segera pulang dan istirahat aku iyakan saja. Kami berpamitan ke ibu dan Pak Herman. Kata ibu ayah sudah terlelap jadi tidak perlu pamit. Lalu kami segera meluncur ke rumah.Malam semakin larut dan jalanan semakin sepi dari kendaraan. Membuat mobil yang kukendarai melesat lebih cepat. Sementara aku menyetir mobil, Maria yang duduk di sampingku hanya diam dengan wajah sumringahnya. Mungkin ia merasa menang aku berada di pihaknya.Sejauh ini aku tak pernah membayangkan duduk berduan di dalam mobil bersamanya. Apalagi dia menginap di rumahku dan sedikit banyak akan tahu aktivitasku. Duh! Merepotkan. Ak
“Gadis cantik di samping saya adalah calon tunangan saya pak. Ibu saya yang menyuruh untuk membawa ke rumah karena ayah sedang dirawat di rumah sakit. Jika ingin bukti kebenaran ucapan saya apa perlu saya teleponkan?” Jelasku sambil mengeluarkan handphone untuk menelepon jika diminta. Seketika Pak Sekuriti mengerti dan memaklumi lalu mempersilakan kami langsung masuk kompleks sebelum menitipkan salam pada keluargaku yang sedang ditimpa musibah.Aku toleh Maria yang ekspresi wajahnya berubah lagi. Kali ini ia tersipu malu bercampur wajah bahagia dan berbunga. Pastilah karena ucapanku barusan.“Terima kasih ya Kak sudah menyelamatkanku.”“Itu sudah keahlianku. Biasa saja kali,” responsku pendek. Dalam hati aku sebal kenapa begitu aku beri kesempatan berbicara ia hanya diam saja.“Dan terima kasih sudah menganggapku tunangan Kakak.” Kali ini aku menoleh ke arahnya sekadar memastikan d
Aku menyesal kenapa tadi tidak segera menyalakan lampu terlebih dahulu. Rasa letih bercampur kantuk membuatku alpa. Biasanya aku juga melakukan hal yang sama tapi tidak pernah mendapati kejadian aneh seperti ini. Segera saja aku bangkit dari ranjang dan menyalakan lampu.Aku semakin kaget setelah tahu yang tadi diatas ranjang adalah Maria. Ia yang mendapatiku terkaget segera bangkit sambil menahan malu bercampur rasa kantuknya.“Kenapa kamu di sini? Ini kamarku,” keluhku padanya. Ia malah kebingungan.“Maaf Kak. Aku sungguh tidak tahu. Mpok Yanti yang menyuruhku masuk ke kamar ini.”Duh. Mpok Yanti. Bagaimana sih dia. Bukannya ia sudah tahu kamar tamu dimana. Sontak aku berteriak memanggil namanya.“Mpok Yantiiiiiiiiiiiii!!!!!!!!”Sekali tidak ada suara.“Mpokkkkkkkk Mpok Yantiiiiiiiiiiiii.”Aku tak tahu teriakanku semakin kencang.“Mpokk cepetttt sini..!!!!Mpok
Usai terkejut dengan pengakuan Mpok Yanti, aku langsung bergegas ke kantor. Mobil melesat menyusuri jalanan yang sebentar lagi penuh. Di jalan aku menelpon ibu. Menanyakan kondisi terupdate ayah. Katanya masih sama dan belum ada progres yang signifikan.Kutawarkan apa sore pulang kerja aku perlu ke sana? Ibu bilang tidak perlu jika aku masih sibuk dan capek. Karena kedua Kakakku sudah datang dan akan bergantian berjaga menemani ibu jagain ayah. Aku juga sudah sampaikan kalau Mpok Yanti sudah menyiapkan apa yang ibu minta dan nanti agak siangan Maria akan berangkat ke rumah sakit.Soal masakan tadi. Aku akui masakan Maria benar-benar enak. Tapi karena gengsi aku malu mengakui di depan Maria. Tadi usai Mpok Yanti bilang kalau masakan itu yang masak adalah Maria aku sampai menghampiri Maria ke belakang untuk memastikan kalau ia benar-benar yang memasak. Ia hanya tersenyum dan berterima kasih karena sudah mau memakanan makanan yang sudah dimasak.Jujur aku katakan b