Bab 23
Seorang pria dengan tubuh tinggi berdiri di ruang tamu dengan tidak sabaran. Dengan jas hitamnya, pria berusia 42 tahun itu terlihat lebih muda daripada usianya.
Dia menggosok tengkuk lehernya berkali kali dan bicara dengan Papa menanyakan Karina yang belum keluar dari kamarnya sejak dua hari yang lalu.
“Di mana,Karina?” tanya pria itu dengan wajah tegang.
Papa berdehem “Beri dia waktu,Jonathan. Dia sangat terkejut, ini bukan sesuatu yang bisa kamu selesaikan hari ini. Aku paling merasa bersalah di sini.” Papa menegaskan setiap kalimatnya pada pria itu.
Pria bernama Jonathan itu kembali menghela nafas panjang. Dia ikut duduk di bangku ruang tamu bersama Papa. Rasanya dia seperti ingin melompat ke kamar Karina dan mengajak gadis itu bicara.
Kekesalan Jonathan pada diri sendiri karena tidak mengakui Karina sejak dulu. Tapi saat Karina lahir, pria itu masih terlalu muda dan tidak mungkin bisa membesarkan seorang gadis.
Kini dia su
Bab 24Keheningan yang mencekam antara Karina dan Jonathan. Gadis itu terengah-engah, dia puas setelah semua isi bak cuci piring itu pindah ke lantai dengan kondisi yang sudah tidak utuh.Papa turun dari kamar, dia begitu terkejut dengan keributan yang baru saja dia dengar. Jonathan menggeleng agar kakak iparnya itu tidak ikut campur.Keributan barusan bisa menjadi awal yang baik untuknya.Embusan nafas Karina keluar dengan cepat, dia menatap Jonathan dan Papa bergantian.“Apa kalian tau! Aku mengalami masalah mental karena merasa diriku ini adalah orang yang jahat karena merusak ketenangan rumah tangga orang lain!” jerit Karina di depan wajah Jonathan. Dia sampai tidak sadar kalau sekarang kakinya berdarah karena menginjak pecahan kaca yang ia pecahkan sendiri.Jonathan menatap anaknya dengan penuh kepedihan. Dia meraih tangan Karina “Maaf’kan aku. Ijinkan aku menebus semua kesalahan ku,Karina.”“Kenapa baru sekarang?”
Bab 25Hari jumat ini Karina sedang menunggu Mama. Dia memakai baju protektif lengkap dengan masker dan penutup kepala. Gadis itu mengusap tangan Mama yang mulai keriput.“Ma, hari besok lusa aku harus pulang. Perut Tia juga semakin membesar, dia tidak bisa ke sini. Sementara Papa semakin sehar.” Karina meringis “Sepertinya, setelah aku menerima Jonathan sebagai Ayah ku. Papa menjadi lebih ceria dan perduli padaku.”Karina tertunduk menatap lima jari yang sangat ingin dia selamatkan itu.“Maafkan aku,Ma.” Bisik Karina.Saat dirinya hendak keluar, tiba-tiba suara mesin saling bersautan. Karina tau ini bukan pertanda baik, dia langsung memencet tombol untuk memanggil staff medis di sana.Tak lama kemudian, dua orang memakai seragam perawat dan seorang pria yang di dadanya bertuliskan nama dokter Nelson Owen itu mulai mengecek Mama.Seorang perawat mendorong Karina menjauh agar tidak meng
“Aku paling cocok dengan gaun yang memperlihatkan bahu ku,Evan.” Ucap Lea saat mencoba gaun pengantin berbentuk Strapless dress, berwarna putih dengan payet mewah di setiap lekukannya.Pria itu tidak menjawab, dia tidak pernah membayangkan ada di momen ini bersama Lea.“Sekarang giliran mu mencoba beberapa jas yang sudah akuu pilihkan.” Perintah Lea, dia melambaikan tangannya pada Evan dengan kesan menyuruh yang merendahkan.Evan mencoba jas pertama yang berwarna abu-abu, dia langsung melepasnya saat seorang penata busana berdecak kagum.Ini hal yang paling membuang waktu dalam beberapa minggu terakhir ini.Dengan wajah muram dia mencoba jas terakhir berwana hitam pekat, dia akan memilih yang paling aman agar Lea tidak memintanya mencoba pakaian lagi.Pria itu mendesah saat tirai pembatas di buka, dia melihat Lea yang sedang di puji habis-habisan oleh penata busananya, karena di anggap cocok dengan gaun apapun.Bagaimanapun,
Di sepanjang jalan kembali ke kantor, Gina tidak berhenti menggerutu soal Liam yang tidak membiarkan mereka sarapan dengan tenang. Sebenarnya,Karina juga merasa terganggu.Tapi Liam tidak melakukan kesalahan apapun sampai pantas mendapat amukan dari Gina dan dirinya.“Sudahlah,Gina. Dia hanya ingin bicara, tidak lebih.” Karina mencoba menenangkan Gina yang masih bersunggut.Gina mendesah pelan dan menatap Karina keheranan “Kamu masih bisa sesantai ini, padahal dia adalah teman dari pria paling kurang ajar se-Silicon Valley.” Rutuk Gina.“Baiklah...” balas Karina datar,dia memutar setir ke tikungan terakhir.Sial seribu sial, saat mereka datang. Evan dan Lea baru saja keluar dari kantor dan menuju parkiran yang sepi itu. Hanya ada beberapa mobil yang berderet di sebelahnya.Karina menatap Gina,tatapan penuh memelas yang sangat jarang Karina keluarkan. Dia ingin memiliki kemampuan berteleportasi langsung keruangannya tanpa melewati dua manusia
Perih,nyeri,dan silau. Tiga kata itu kini Karina rasakan di saat yang bersamaan. Anehnya, suara orang-orang yang bersahutan terdengar jelas tidak jauh dari tempatnya terbaring. Karina membuka matanya, dia tidak terkejut saat melihat dirinya terbaring di rumah sakit.Yang ia ingat adalah Evan yang menabrak pembatas jalan saat menghindari sebuah mobil pikap hitam yang terparkir di pinggir jalan. Setelah itu,Karina tidak bisa mengingat apapun lagi.“Karina..” ucap seoranag wanita yang nampak lega. Gina mengusap wajahnya kasar, memanggil seorang perawat untuk memeriksa Karina yang baru saja sadar.Polisi,dan beberapa dokter sedang bicara dengan nada yang tidak terdengar oleh Karina.Cara dokter itu menatap Karina sedikit membuat gadis itu tidak nyaman.Seorang dokter datang bersama Gina, dokter itu kemudian menyorotkan senter ke mata Karina.“Apa kamu tau kamu ada di mana?” tanya dokter perempuan dengan mata sipit itu.Karina mengangguk “
September,Boston.Karina mendarat di bandara Internasional Jenderal Edward Lawrence Logan, di Massachusetts. Dia sudah mengabari Jonathan,tapi Karina menolak di jemput karena harus langsung bekerja. Seperti biasa, Jonathan tidak akan memaksa Karina.Untuk sekarang, dia sudah merasa puas dengan keadaan ini. Apalagi, Karina sudah berjanji akan menyempatkan diri kalau semua urusannya selesai.Karina naik taksi, setelah menempuh perjalan satu jam akhirnya dia sampai di tempat tujuan, dia baru pertama kali ke Boston. Anehnya, Karina tidak merasa takut atau merasa kehilangan sesuatu dari Sunnyvale.Dia berasumsi akan merasa betah di Boston untuk sebulan ke depan.Cuaca yang mulai dingin mulai menusuk tubuh Karina. Dia mempererat blazer hitamnya agar angin tidak menerpanya dengan kencang.Dia menghubungi orang yang bersangkutan, memberi tahu kalau dia sudah sampai di alamat yang di berikan.Hingga akhirnya ada seorang wanita keluar dar
Restoran milik Jonathan membuat Karina takjub, dia tidak habis pikir Jonathan akan berhasil membuka restoran sebesar ini tanpa bantuan sang nenek.Dekorasi dan semua pengunjung yang tidak berhenti berdatangan membuat Karina tersenyum bangga. Karina sadar membangun bisnis itu sangat sulit. Apalagi di bidang F&B, sekali jatuh pasti akan sulit bangkit lagi.Sarah berdiri di depan Karina sambil menjaga jarak. Dia sudah di beritahu kalau Karina cukup pemalu.Tapi Karina sebenarnya sudah cukup berubah. Setelah melepas Evan, Karina menjadi sadar bahwa tidak ada gunanya dia menahan diri. Semua itu hanya memberinya sebuah penyesalan.“Apa kamu mau makan sesuatu,Karina?” tawar Jonathan menatap Sarah dan Karina bergantian.Dia harus memastikan kedua wanita itu merasa nyaman.Lirikan Karina pada Sarah membuat wanita berambut ikal sebahu itu cukup cemas.Kemudian,Karina mengangguk tanda setuju.
Saatnya untuk kembali ke Sunnyavale. Dia tidak mengira satu bulan akan berlalu secepat ini.Meski rasanya enggan kembali,Karina tetap harus pulang, banyak perkerjaan yang masih dia bawa. Salah satunya berkas dari Mr.Potter.Sejujurnya,Karina merasa bersemangat saat kemarin mengobrol cukup lama dengan Jonathan dan Sarah soal membuka kafe di sana.Dia tidak pernah memikirkan akan membuka bisnis sendiri. Selama ini dia hanya tertarik dengan kontrak dan angka saja. Dan sekarang Karina sangat ingin untuk mempelajari soal bisnis tersebut.Hari ini ia pergi ke bandara bersama Sarah dan Ian. Jonathan terpaksa apsen karena restonya sedang ramai dan dia tidak mugkin meninggalkannya.Selain itu, Ian masih tidak mau bertemu dengan Jonathan sesering itu. Seminggu sekali sudah cukup baginya.Lagi pula, Karina sudah berpamitan tadi. Bahkan Jonathan memberikan uang saku pada Karina. Meski Karina menolak, tapi Jonathan lebih bersikeras dan akhirnya dia menan
Empat tahun setelah kepergian Karina, banyak hal yang berubah. Misalnya Nick yang memilih untuk tinggal di desa kecil di Toronto. Nick sempat tidak kuat saat tahun pertama kematian Karina. Dia sakit dan tidak memiliki semangat hidup.Akhirnya kedua kakaknya memutuskan untuk membawa Nick kembali ke Toronto.Dean sudah selesai kuliah, dia belum melanjutkan kuliahnya ke tahap S2, dia memilih kerja di perusahaan Brian setelah Brian memutuskan untuk pensiun dini.Jadi ada dua orang yang amat patah hati itu kehilangan arah setelah kehilangan wanita paling mereka cintai. Bagi Nick, Karina adalah segalanya, dunianya. Sementara untuk Brian, Karina adalah masa lalu yang bahkan tidak sempat mendengarkan ucapaan maaf darinya.Dean dan Jasmin memiliki hubungan lebih serius dari sebelumnya. Mereka tinggal bersama di rumah milik kedua orang tuanya. Belum ada pernikahan, karena sekarang Jasmin yang mengelola kafe dan sekarang juga memiliki toko bunga sendiri.Di sisi lain, Diana sedang menjadi dokter
Justin mengantar ibunya ke rumah lalu kembali ke rumah sakit untuk menjalankan tugasnya. Ibuku ngotot untuk bertemu dengan ibu Justin. Kini di rumahku sedang penuh dengan wajah-wajah wanita dewasa.Ibuku bersama dengan kedua kakak ayah yang sepertinya tidak akan pulang dalam waktu dekat ini. Mereka menolak pulang ke Toronto, hanya karena ibuku tidak mau di bawa diajak ke sana.Ibu Justin juga jadi sangat akrab dengan semua wanita di rumahku. Mudah sekali perempuan-perempuan ini mengakrabkan diri. Tidak sampai setengah jam, obrolan mereka sudah menjadi tidak terkontrol.Justin pernah bercerita kalau ibunya membuatkan beberapa kue kering untuk ibuku. Saat mereka membawa ke rumah, semua terkejut dengan kata beberapa dari Justin yang ternyata jumlahnya sangat banyak. Semua orang di rumahku mencobanya, mereka semua suka. Yah, walaupun akhirnya aku juga yang menghabiskan karena ibuku tidak boleh makan terlalu banyak gluten.Aku memejamkan mata di ujung ruang tamu. Suara sahut-sahutan menghi
Aku mendapat tempat magang yang tidak jauh dari rumah. Aku tetap mengambil kesempatan ini karena harus menepati janjiku pada Jasmin. Sebagai laki-laki aku tidak akan pernah ingkar dengan apa yang sudah aku sebutkan.Ibuku sudah tahu, dan dia salah satu orang yang paling mendukungku untuk mengambil keputusan ini. Ayah juga memuji kedewasaanku.Bukan tanpa sebab. Aku berani melakukan ini semua karena sadar bahwa nanti akan tiba saatnya aku yang menjadi kepala keluarga.Ada berapa banyak orang yang akan pada pundakku. Dan kalau aku menunjukan sisi lemahku, aku pasti akan terus berada di tempat dan tidak bisa melangkah lebih maju.Panutanku adalah kedua orang tuaku. Mereka tidak pernah menelantarkan aku dan Diana. Masa kecil kami, di hiasi dengan memori baik dan aku bangga dengan hal itu.Maka dari itu, sekarang moto hidupku adalah. Sedihku tidak boleh lebih lama dari helaan napasku.Aku sedang memindahkan beberapa kotak kardus dari gudang ke ruanganku. Isinya tidak terlalu spesial, tapi
Aku tidak bisa berhadapan dengan ibuku. Setelah, Dean pulang. Aku semakin betah mengurung diri di kamar. Aku hanya keluar untuk ke kampus dan setelah itu aku pulang. Mungkin benar, aku memang tidak tangguh dan kuat. Tapi bagaimana ini, aku benar-benar pengecut.Nyaliku ciut ketika berhadapan dengan ibuku.Dean masuk ke kamarku setelah aku mengambil segelas jus dari kulkas.“Masih tidak mau keluar, huh?”Aku mengangguk, kurebahkan tubuhku di ranjang “Sedang apa di sini?”Rasanya kepalaku mau pecah karena semua penghuni rumah ini mulai memberiku tekanan yang tidak bisa aku tahan lagi.Dean mengetuk-ngetuk meja belajarku “Kami mau mengajak mom foto keluarga. Dan, dad memintaku untuk mengajakmu.”Aku menghela napas panjang. Kutatap cermin yang ada di sebrangku. Dengan wajah ini, aku tidak ingin di foto. Mataku bengkak, dengan warna hitam di bawahnya.“Tunggu lima menit.” ujarku, berdiri dari ranjang.Dean meraih ganggang pintu tapi tidak menekannya “Diana, bisakah kau berhenti bersikap se
Selesai sudah liburan kami, ibu dan ayahku sedang mengemas barang sementara aku dan Jasmin membantu memasukan ke dalam mobil.Adikku yang baik itu sudah pulang lebih dulu dengan pacarnya. Tidak adil.Jasmin mendatangiku setelah selesai memasukan koper terakhir.“Kata mom, kita boleh pulang dulu. Mereka akan pulang nanti sore.” Jelasku pada Jasmin. Dia makin manja setelah tahu aku akan pergi magang.Jasmin mendongak dengan tatapan sendu “Dean, apa kita akan baik-baik saja? Maksudku, aku sudah sangat bergantung padamu. Tidak mudah ternyata melepaskanmu.”Aku memeluk gadis kecil itu kian erat “Tenang. Aku hanya pergi 6 bulan. Semua akan baik-baik saja.”Jasmin akhirnya mengangguk. Dia berjinjit untuk menerima ciumanku.Aku sungguh berharap hubungan kami akan berjalan lancar. Aku rela melakukan apa pun demi gadis ini.*** Beberapa bulan kemudian...Aku pulang ke rumah setelah menghabiskan hampir 4 bulanku di Toronto. Kedua bibiku ikut, mereka terkejut saat aku bercerita soal ibu yang te
Ibu dan ayahku tidak bisa pulang malam ini. Mereka terjebak badai yang tiba-tiba muncul, meski tidak ada peringatan tapi kalau aku lihat memang badai kali ini tidak terlalu parah. Hanya hujan disertai angin yang kencang. Mugkin karena ada di sebelah pantai, angin jadi terasa lebih kencang saat berhembus.Makan malam yang tadi Jasmin buat lebih istimewa dari makan yang aku berikan pada mereka tadi siang. Jasmin membuat beberapa masakan yang aku sendiri tidak tahu namanya. Aku yakin masakan itu cukup rumit.Kata Dean, Jasmin memang suka memasak. Salah satunya makanan manis, dia berjanji akan membuat kue untuk kami semua nanti.Satu hal yang aku sadari, saat kakakku bersama Jasmin. Dean bisa berubah menjadi versi terbaik dirinya. Apa aku juga seperti itu saat bersama Justin? Entahlah, aku hanya bisa merasakan kenyamanan saat bersama Justin.*** Justin menghampiriku di kamar saat dia selesai mandi. Rambutnya masih basah, sampai menetes ke pundaknya. Mata Justin menatapku yang tengurap di
Jasmin masuk ke kamarku setelah Justin keluar. Akhir-akhir ini aku menjadi semakin lengket dengan Jasmin. Dia juga tidak keberatan. Setelah aku menjelaskan kalau aku adalah pria yang penuh dengan kekhawatiran, Jasmin malah mencoba menenangkanku. Dan semua upayanya selalu berhasil.Dia duduk di sebelah ku, ranjang ini terlalu besar untuk kami. Seharusnya aku memakai kamar dengan ranjang yang lebih kecil. Lagian tidak masuk akal, ini bukan kamar utama, tapi kenapa memiliki ranjang king size.“Tadi aku bicara dengan Diana, dia terlihat biasa saja saat aku bilang ingin satu kamar denganmu.” Ucap Jasmin, terdengar jelas kalau dia sedikit terintimidasi dengan adikku.Aku tersenyum dan meraih jari-jarinya yang lentik “Dia memang seperti itu. Tapi percayalah, kalau dia tidak bilang dia membencimu, maka dia tidak begitu.”Jasmin menunduk menatap jemari kami yang saling bertautan “Atau karena aku miskin dan kamu kaya.”“Tidak.” Sahutku, memotong pembicaraanya “Diana tidak seperti itu, begitu ju
Kepalaku bergoyang-goyang ketika mobil Justin memasuki gelangang kapal feri yang masih sepi. Bagaiman tidak, kami berangkat pukul 7 pagi di saat semua orang masih tidur, aku malah harus menyebrangi lautan.Kami akan berlibur, tidak hanya berdua. Ada ibu dan ayahku, Dean dan Jasmin. Mereka sudah berangkat kemarin malam.Ayahku ingin mengajak kami berlibur mumpung ini jadwal libur panjang kuliah. Sebelum kami mulai sibuk sendiri, dia ingin menghabiskan waktu lebih banyak untuk keluarganya.Justin menawarkan diri untuk ikut, setelah hampir 6 bulan berpacaran dengannya. Dia semakin menyatu dengan keluargaku. Terutama ayahku, ayah selalu membanggakan Justin kepada teman-temannya.Apalagi setelah seorang teman ayah diperiksa oleh Justin saat Justin menjaga di rumah sakit.Kalau kalian tanya soal bagaimana hubunganku dengan Justin. Aku tidak bisa bercerita banyak, tapi aku mulai peduli padanya.Justin amat sibuk beberapa bulan ini. Tapi di jam sibuknya, aku selalu menyempatkan mendatanginya
Aku menatap pintu coklat itu setelah tertutup rapat. Mengantar Jasmin sudah menjadi keseharian yang tidak bisa aku hindar. Setelah melawati beberapa kali kencan dengannya. Aku merasa dia wanita yang pantas di lindungi.Jasmin tidak pernah menuntutuku, tidak juga meminta hal yang aneh-aneh meski kondisinya tidak seberuntung orang lain seusianya.Saat ibuku menawarkan pekerjaan sampingan di kafe miliknya, Jasmin langsung menyetujinya tanpa berpikir panjang. Impiannya adalah memiliki toko bunga sendiri.Jasmin juga bercerita dia sudah tidak memiliki ambisi untuk kuliah. Asal hutang kedua orang tuanya lunas, dia sudah cukup puas.Sekarang aku harus ke kampus, aku hampir lupa. Akhir-akhir ini aku benci ke kampus. Berpamitan dengan Jasmin membuatku merasa kekosongan yang tidak ingin kurasakan.Setelah aku sampai kampus, salah seorang dosenku berjalan dengan cepat menghampiriku. Dosen atau lebih terkenal sebagai profesor Brian.Dia meremas pundakku kencang “Apa kamu anak dari Karina?”Sepert