Hari ke dua di lalui Wen Pai kecil di kediaman pangeran , malamnya dia tinggal di kamar rahasia sudah 3 malam dan semua kamar sudah dia alami, sekarang sedang hujan salju yang lebat dan dia baru di suruh tidur di ruang terbuka untuk merasakan hujan salju yang luar biasa dingin ini, setelah dia baru bangun dari air hangat rendaman, jadi tentu saja Wen Pai kecil makin berasa dingin.
Ketika salju yang turun makin hebat dan Wen Pai kecil makin kedinginan dan hampir pingsan, dia melihat Jendral mendatanginya..
"Hai, budak tolol, kemari, jangan bangun tapi berguling kemari."
"Bagus, sekarang guling lagi ke ujung sana sampai batas salju lalu putar badanmu guling menuju kamar 1 , setelah itu guling ke mari , begitu kamu lakukan sampai kamar 4 dan terakhir sampai disini, mengerti? Jawab tolol."
"Bangun dulu dari tidurmu."
Baru Wen Pai kecil bangun menghadap Jendral, pahanya dipukul rotan.
"Setiap saya bertanya, kamu harus jawab, begitu kamu lupa menj
Begitu tersadar dari tidurnya, Wen Pai mendapati sakit yang luar biasa di sekujur tubuhnya dan tercium bau busuk dari sekitarnya. Wen Pai melihat di sekeliling, ternyata dia berada di sebuah lorong tempat menjual hewan untuk di makan, di sekitarnya banyak pengemis yang memakai pakaian compang camping sedang meminta sedekah di kedua pinggir jalan. Kira kira ada sepuluh orang, mereka semua tidak bebas, ada kakinya di rantai dengan tiang , ada yang tangannya di borgol satu sama lain, ada yang pinggangnya di rantai lalu di rantai itu di pasang beban. Ada yang lehernya di pasang lempeng besi yang membuat dia harus menggeleng gelengkan kepalanya se waktu waktu. Umur mereka beragam kira kira yang terkecil berumur tiga belas tahun dan yang tertua telah paruh baya sekitar empat puluh sampai lima puluh tahun. Sedangkan dia sendiri, Wen Pai melihat dirinya di depannya ada mangkuk besi kotor penuh dengan air busuk yang ia cium. Tangannya di borgol satu sa
Dengan malas dan terpaksa, Wen Pai menuju kotak kotak itu , melepas bajunya yang tipis, kotor dan bau itu, baru saja dia menaruh di gerobak, pemilik gerobak membuangnya ke genangan air yang kotor di bawah kolong gerobak di dekat kotoran kuda. "Baju yang kotor dan berbau itu jangan di taruh di gerobak, nanti kotak kotak itu bau." Kata pemilik gerobak itu, dia berani menghina dan mencemooh Wen Pai, karena mandor saja tidak menghargainya, dan sepertinya waktunya untuk tiga hari ini telah di beli oleh mandor itu. "Baiklah, saya serahkan pengemis ini ke kamu, tapi ingat dia tidak boleh cacat dan meninggal."Kata ketua pasrah. Siapa yang berani melawan mandor yang terkenal brutal dan tidak takut mati ini. Wen Pai memulai memindahkan kotak pertama dengan jalan perlahan lahan, karena dia harus menyesuaikan irama duri duri yang di dada, punggung dan pahanya itu. Wen Pai harus membiasakan irama duri itu dengan langkah langkahnya , kalau W
Baru sesaat , Wen Pai memejamkan mata sambil berdiri bersender di tembok pintu toko, cambuk kembali mendera dirinya. Ketika Wen Pai membuka mata terlihatlah mandor yang tersenyum puas dan ketua yang mengikutinya. "Siapa suruh kamu tidur disana, bukankah saya menyuruh jadi pengemis di gerobak gerobak itu." Kata mandor sambil melihat gerobak gerobak yang penuh dengan salju dan salju yang menderu itu. "Sana pergi, Ini Kamu dibeli obat oleh pejabat tadi untuk membuat kamu tidak kedinginan, Oh ya, baju kamu yang basah itu disuruh pakai selama kamu jadi pengemis." "Ini mangkuk pengemismu, menurut pejabat tadi yang menghampiri saya , setiap mengemis kamu harus mendapat hasil, jika tidak saya harus memukul kedua telapak tanganmu sebanyak , paling sedikit lima kali , kalau saya mau lebih juga boleh." "Jika kamu pukul telapak tangannya . bagaimana nanti dia mengangkat kotak kotak itu," "menurut pejabat itu dia tetep dapat mengangkatnya, tapi mungkin jad
Kembali pengawal mencambuknya dan Wen Pai kecil menjerit dengan penuh kesakitan. "Pukul terus, jangan berhenti . jika badannya tidak terluka dan keluar darah jangan berhenti, toh selama ada kacanya , apapun yang kita lakukan tidak akan membuat dia meninggal, Dia harus membayar dengan kesakitan karena berani membuat mati hewan peliharaanku, Ular yang saya pelihara dari kecil." Setiap selesai cambuk menyentuhnya pasti badan Wen Pai bergetar dan menjerit dengan kencangnya. "Hayo, budak, minta ampun, nanti saya bebaskan kamu, turunkan dia." Kata Pangeran sambil mendatanginya. "Ambil kan garam kasar, baurkan ke seluruh badannya terutama yang tidak terlihat ada lukanya, saya ingin melihat kesengsaraannya." Para pengawal bergidik mendengar hukuman yang akan di berikan kepada Wen Pai, selama ini justru kulit yang tidak terluka itu ADALAH luka yang paling dalam dan itu diperlihatkan dari kaca kaca sekeliling ruangan ini. Didalam kaca, badan Wen
Merasakan cambuk memukulnya, Wen Pai tersadar dari meditasinya dan merasakan sedih, karena melupakan penderitaan Wen Pai kecil, iya mengapa dia melupakannya. "Bangun, perlihatkan mangkuk sedekahmu, " Kata ketua. Wen Pai memberikan mangkuk kosongnya dan di simpan oleh ketua dan terlihat sebilah rotan di tangannya, tanpa di suruh, Wen Pai manjuluekan tangannya siap di hukum, lima kali pukulan rotan membuat tangan Wen Pai biru ke merah merahan. Setelah melihat toko sudah di buka, tanpa menunggu mandor Wen Pai membuka gerobak satu lagi dan mulai memindahkan kotaknya dengan menahan rasa sakit di kedua tangannya , dada, punggung dan pahanya. Melihat kerja Wen Pai agak cepat, mandor berulah lagi, tiba tiba keisengannya keluar setelah mandor selesai makan siang , melihat Wen Pai berjalan ke gerobak, iseng iseng di cambuklah punggung khususnya duri di lempeng, sambil merasakan sakit Wen Pai tetap berjalan menuju gerobak ke dua untuk mengambil kotak terakhir da
"Jadi jual budak itu menguntungkan ya, saya mau mulai beli budak , ah. " "Kamu kira gampang mempunyai budak yang sehat." "Hei, tidak senang saya melihat kain kotor di pahanya, turunkan saja, dia toh budak, jadi bisa di perlakukan seperti apapun? "Hai, budak, saya lihat kamu sudah besar, kamu tentu bisa merentangkan kakimu sejajar pangkal paha, bukan? Mana cambuk, jawab saya." "Pangeran, maaf, budak ini tidak bisa berbicara." "Sial, justru saya paling senang mendengar mereka mengeluh dan menjerit." "Hei,masa kamu mau dia cuma merentangkan pahanya saja." "Oh, tentu saja tidak, mari kita berlomba menghukumnya, siapa yang paling banyak menghukumnya." "Kalau malam ini kita kurang puas, besok malam kita culik lagi dia." "Dia toh budak, asal tidak meninggal kita tidak salah." Mulailah pangeran itu memanjakan tangannya memainkan cambuk ke badan Wen Pai, tapi setiap kali cambuk itu mengenai lempeng besi , cambuk
"Tunggu, bukankah dia mau jadi pengemis, biarkan dia jadi pengemis." "Bukankah pemuda pemuda bangsawan yang kurang ajar itu senang menyiksa pengemis." "Hari ini biar dia menjadi pengemis." " Kita lihat, apa yang akan mereka lakukan?" "Hai, budak kamu duduk disana saya, dekat kumbangan, cari tempat yg kering, kamu duduk dengan mangkok mu di depan. Dengan posisi berlutut." "Ayaah, mereka datang membawa 2 pengemis yang berhasil di tangkap oleh mereka." "Hei, paman pengemis kenapa kamu melepaskan mereka, kami belum suruh di lepaskan." "Mau cari mati ya, apa mau saya minta ayahku untuk melarang pengemis ada di kota ini." "Tuan muda, mereka perlu makan." "Nih, saya kasih makan," sambil berkata begitu, pemuda itu membuang roti dan menginjaknya. "Itu, makan, ambil cepat." Di dorongnya lah pengemis itu. "Jangan ambil dengan tangan, makan dengan mulutmu." "Seperti ini, " sambil di injak
Dengan santai Wen Pai datang ke jantung pasar setelah mukanya di hitamkan oleh Ajudan Jendral dan disambut dengan cambukan ber tubi tubi dari mandor yang sedang marah sama pengemis. "Tuan mandor, jangan marah sama ketua, saya yang salah telah melarikan diri. Saya akan ganti kerugianmu, saya akan bekerja tiga hari untukmu tanpa bayar, setelah saya menyelesaikan pekerjaan ini. Tapi Tuan Mandor harus tetap membayar ketua." "Kamu janji mau bekerja untuk saya tiga hari setelah menyelesaikan pekerjaan ini, tapi ada tambahannya, jika kamu tidak mau tidak jadi." "Apa?" "Kamu harus tetap mau saya cambuk, baik kamu salah atau tidak atau di saat saya iseng." Wen Pai hanya mengangguk setuju. Setelah itu dia menghampiri gerobak ke empat, langitpun mulai hujan salju, Wen Pai menjatuhkan bajunya di bawah gerobak. Dengan diam dan membiarkan mandor mencambuk duri besi di badannya setiap Wen Pai menuju ke gerobak. Dan kadang kadang dia mengikuti d