"Hen? Mau ketemu Andina?"Hendra menoleh, Mar nampak melangkah ke arahnya. Wajah perempuan itu nampak menyimpan rasa simpatik yang mendalam padanya. "Iya, Bu. Andina di mana?" Mendadak hati Hendra terasa pedih. Bayangan wajah Andina tergambar dalam benaknya. Bahkan, mungkin saja ketika peristiwa itu terjadi, Andina belum bisa sempurna merekam cantik wajah ibunya dalam ingatan, dan karena kebodohan Hendra, Andina harus kehilangan kasih sayang dan dekap hangat Theresa untuk selamanya. "Ada di kamar dia, Hen. Ayo ibu antar.""Ah, sebentar, Bu!" Hendra menghentikan langkah Mar yang hendak mengantarkan dia ke kamar Andina. "Kenapa? Ada apa, Hen?"Hendra menghela napas panjang, ia menundukkan wajah beberapa saat, lalu kembali mengangkat wajah setelah menghela napas beberapa kali. "Apa Andina mau ketemu saya, Bu?" tanya Hendra dengan hati diliputi rasa takut. Alis Mar berkerut, sejenak ia terdiam, matanya tak lepas dari wajah Hendra yang menyimpan risau. Hendra tahu, tatapan mata itu t
"Gimana bisa hamil sih?"Akhirnya, setelah mencari beribu alasan, Ken bisa pergi dari rumah sakit. Menitipkan Tamara yang masih pulas tertidur pada orang tuanya. Kini ia berada di depan sebuah kantor pemerintah, tempat di mana Hani bekerja. "Kok kamu jadi tanya aku? Kemaren-kemaren kamu gimana pake pengamannya?" salak Hani dengan sorot mata tajam. Ken mendesah panjang, ia menjambak rambutnya sendiri sembari mendengus. Kepalanya benar-benar mau pecah rasanya, masalah bertubi-tubi menghantamnya hari ini. "Sudah berapa bulan?" tanya Ken kemudian. "Mana ku tahu, aku belum ke dokter. Baru cek tadi pagi." jawab Hani yang seketika membuat Ken mengumpat. "Ya kamu udah telat berapa bulan, goblok!" makinya dengan teramat kesal. Mendengar itu Hani sontak membelalak, matanya menatap tajam ke arah Ken dengan tatapan tak suka. Hani melangkah lebih dekat, segera mengayunkan tangannya guna menampar pipi Ken keras-keras. "Goblok kamu bilang? Segoblok-gobloknya aku, masih goblokan kamu yang bisa
"Ibu udah kabari mama kamu, Hen. Bilang kalau ibu tunggu dia di rumah sakit."Setelah ditolak oleh Andina, kini Hendra melangkah menyusuri koridor rumah sakit. Mereka hendak menengok Tamara dan tentu saja bayinya meskipun Hendra maupun yang lain hanya bisa melihat dari kaca ruangan NICU. "Baik kalau begitu, Bu. Tadi mama juga bilang kalau agak sorean baru bisa ke sini."Tentu saja Hendra sudah mengabari ibunya kalau Tamara harus terpaksa melahirkan lebih awal. Ini cucu pertama Hendra, tentu Mursiyati tidak ingin melewatkan hal ini. "Biar nanti aku sama dia yang bantu Ken urus Tamara, kamu fokus dampingi istrimu saja."Mendengar itu sontak Hendra menoleh, ia menatap Mariani yang terus melangkah. Mendampingi Sandra? Untuk apa? "Biar dia tanggung sendiri semua akibatnya, Bu. Saya tidak mau ikut campur dengan tindakan keji yang dia lakukan. Yang penting saya sudah ikuti prosedur pemeriksaan dari kepolisian dan itu sudah cukup." Tegas Hendra yang mendadak hatinya terasa sakit, terlebih
"Kamu ini gimana sih, Ken? Mau nakal, selingkuh, silahkan tapi main aman dong!"Gunawan benar-benar frustasi. Masalah yang satu belum selesai, ia sudah dapat masalah baru! Tidak tanggung-tanggung, setelah ia dan Ken terbebas dari ancaman penjara, sekarang Ken malah seolah-olah menceburkan diri dengan apa yang dia lakukan. "Pa ... aku selalu main aman, Pa. Cuma ya entah mungkin pas apes aja!" jawab Ken gusar. "Main amanmu gimana? Selalu pake kondom? Atau yang gimana?" Gunawan menatap tajam ke arah Ken, entah harus bagaimana sekarang, ia tidak tahu! "Ya kadang pake, kadang keluarin luar."Jawaban itu benar-benar membuat Gunawan gemas! Tidak cukup Tamara yang hamil ternyata? Ken tidak belajar dari kesalahannya dan sekarang ia menghamili orang lain lagi! Tak hanya menghamili, Ken juga menganiaya perempuan itu sampai harus dilarikan ke rumah sakit karena pendarahan. "Goblok!" maki Gunawan putus asa. "Udah dapat kabar gimana kondisinya?" tanya Gunawan yang sadar bahwa ada masalah lain y
"Tam, kamu sudah bangun?"Ira segera bangkit begitu menyadari Tamara bergerak, tadinya ia bersama dengan mertua dan besan tengah membahas Ken. Dengan suara lirih mereka sendiri pun bertanya-tanya apa yang sebenarnya sedang terjadi. Ira hanya diberi tahu kalau Ken sedang berada di kantor polisi sekarang, ia terlibat masalah, namun untuk lebih jelas masalah apa, Ira belum tahu. Ira hanya mendengar suaminya menyebut nama Hani, bertanya pada Ken apakah benar perempuan itu hamil. Entah ada hubungan apa dengan Ken yang sekarang berada di kantor polisi, Gunawan tidak memberitahunya. Lelaki itu langsung melangkah keluar dengan panik tanpa menghiraukan Ira sama sekali. Selain itu, mereka juga tengah membicarakan Sandra, sungguh cobaan yang bertubi-tubi menghantam keluarga Ira. "Ma ... anak aku mana?" suara itu begitu lemah, matanya terbuka sebentar lalu kembali tertutup. "Tam ... kamu lupa kalau adeknya belum boleh dibawa ke sini dulu?" jatung Ira berdebar kencang, bagaimana kalau Tamara ber
"Bram, kamu datang?"Ada setitik perasaan lega ketika Gunawan melihat sosok itu melangkah mendekatinya. Ia pikir, setelah apa yang sudah dia dan Ken lakukan, ditambah hinaan yang terus menerus Gunawan lontarkan untuk adiknya ini, Bram lantas tidak mau lagi berurusan dengan dia sekeluarga, namun ternyata Gunawan salah. "Tentu. Keponakan ku sedang dalam masalah dan meminta bantuan, bagaimana aku tidak datang?" jawab Bram sembari melempar pertanyaan. "Mana Ken?"Gunawan tersenyum, hatinya terketuk. Ia benar-benar malu dan menyesal telah memperlakukan Bram seperti itu. "Dia di dalam, Bram. Hasil visum sudah keluar, ini artinya--.""Apa katanya? Perempuan itu baik-baik saja, kan?" potong Bram cepat. Gunawan menghela napas panjang. Nampak wajah itu menunduk sejenak. Tak lama, ia kembali membalas tatapan yang Bram lemparkan padanya. "Dia keguguran, Bram. Usia kandungannya masih cukup muda, sekarang dia masih dalam perawatan dokter." jelas Gunawan persis seperti yang tadi disampaikan oleh
"Kamu nggak bisa lanjutin pernikahan ini, Kak!"Andina yang tengah dirias sontak menoleh ke sumber suara. Gadis itu menatap Tamara, adik dari pernikahan kedua papanya itu muncul di depan pintu kamar dengan mata sembab dan kondisi berantakan. “Kamu kenapa, Tam?” tanya Andina, terdengar terkejut, Gadis itu langsung bangkit dan menghampiri sang adik, meninggalkan perias yang tadinya tengah memulas lipstik. “Apa yang terja–”"Aku hamil! Ada anak Ken di dalam perut aku!" potong Tamara. “Jadi Kakak tidak boleh menikahi pria itu.”Apa?Informasi itu membuat Andina tercengang, tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar."Ha-hamil?" Suara Andina tercekat.Ia pasti salah dengar, kan? Bagaimana mungkin calon suami yang akan menikah dengannya hari ini telah menghamili wanita lain?Dan lagi, adik tirinya sendiri?Apa ini lelucon? Tidak mungkin mereka tega padanya, kan?Sayangnya, Tamara mengangguk. "Iya. Aku hamil,” jawabnya tegas. “Dan Kenneth adalah ayah dari janin dalam kandungan aku, K
“Kamu … semisal menikah dengan putra bungsu Eyang bagaimana?”Mata Andina membulat, sebelum kemudian ia tertawa sumbang. “Eyang, jangan bercanda,” ucap Andina. Ia menatap wanita tua yang duduk di sampingnya sejak tadi.Namun, Eyang menggeleng."Andina. Sebelumnya Eyang minta maaf, An,” ucap wanita tua itu. Beliau menggenggam tangan Andina lebih erat. “Dari saat kamu kecil, Eyang udah jatuh hati sama kamu. Kamu gadis yang baik, cantik, dan mandiri.” Eyang membawa tangan Andina ke pangkuannya dan menepuknya pelan sembari melanjutkan, “Apalagi kamu ditinggal mama kamu saat masih sekecil itu. Itu yang membuat Eyang pengen banget kamu jadi bagian dari keluarga Eyang. Jadi saat itu, Eyang putuskan untuk membuat perjanjian itu dengan Oma kamu, An. Agar kamu bisa masuk menjadi cucu Eyang."Andina membalas genggaman nenek mantan tunangannya tersebut. "Andina udah anggap Eyang Mar itu nenek sendiri. Jadi tidak perlu–""Nggak bisa gitu, An.” Eyang memotong kalimat Andina. “Bagaimanapun Eyang
"Bram, kamu datang?"Ada setitik perasaan lega ketika Gunawan melihat sosok itu melangkah mendekatinya. Ia pikir, setelah apa yang sudah dia dan Ken lakukan, ditambah hinaan yang terus menerus Gunawan lontarkan untuk adiknya ini, Bram lantas tidak mau lagi berurusan dengan dia sekeluarga, namun ternyata Gunawan salah. "Tentu. Keponakan ku sedang dalam masalah dan meminta bantuan, bagaimana aku tidak datang?" jawab Bram sembari melempar pertanyaan. "Mana Ken?"Gunawan tersenyum, hatinya terketuk. Ia benar-benar malu dan menyesal telah memperlakukan Bram seperti itu. "Dia di dalam, Bram. Hasil visum sudah keluar, ini artinya--.""Apa katanya? Perempuan itu baik-baik saja, kan?" potong Bram cepat. Gunawan menghela napas panjang. Nampak wajah itu menunduk sejenak. Tak lama, ia kembali membalas tatapan yang Bram lemparkan padanya. "Dia keguguran, Bram. Usia kandungannya masih cukup muda, sekarang dia masih dalam perawatan dokter." jelas Gunawan persis seperti yang tadi disampaikan oleh
"Tam, kamu sudah bangun?"Ira segera bangkit begitu menyadari Tamara bergerak, tadinya ia bersama dengan mertua dan besan tengah membahas Ken. Dengan suara lirih mereka sendiri pun bertanya-tanya apa yang sebenarnya sedang terjadi. Ira hanya diberi tahu kalau Ken sedang berada di kantor polisi sekarang, ia terlibat masalah, namun untuk lebih jelas masalah apa, Ira belum tahu. Ira hanya mendengar suaminya menyebut nama Hani, bertanya pada Ken apakah benar perempuan itu hamil. Entah ada hubungan apa dengan Ken yang sekarang berada di kantor polisi, Gunawan tidak memberitahunya. Lelaki itu langsung melangkah keluar dengan panik tanpa menghiraukan Ira sama sekali. Selain itu, mereka juga tengah membicarakan Sandra, sungguh cobaan yang bertubi-tubi menghantam keluarga Ira. "Ma ... anak aku mana?" suara itu begitu lemah, matanya terbuka sebentar lalu kembali tertutup. "Tam ... kamu lupa kalau adeknya belum boleh dibawa ke sini dulu?" jatung Ira berdebar kencang, bagaimana kalau Tamara ber
"Kamu ini gimana sih, Ken? Mau nakal, selingkuh, silahkan tapi main aman dong!"Gunawan benar-benar frustasi. Masalah yang satu belum selesai, ia sudah dapat masalah baru! Tidak tanggung-tanggung, setelah ia dan Ken terbebas dari ancaman penjara, sekarang Ken malah seolah-olah menceburkan diri dengan apa yang dia lakukan. "Pa ... aku selalu main aman, Pa. Cuma ya entah mungkin pas apes aja!" jawab Ken gusar. "Main amanmu gimana? Selalu pake kondom? Atau yang gimana?" Gunawan menatap tajam ke arah Ken, entah harus bagaimana sekarang, ia tidak tahu! "Ya kadang pake, kadang keluarin luar."Jawaban itu benar-benar membuat Gunawan gemas! Tidak cukup Tamara yang hamil ternyata? Ken tidak belajar dari kesalahannya dan sekarang ia menghamili orang lain lagi! Tak hanya menghamili, Ken juga menganiaya perempuan itu sampai harus dilarikan ke rumah sakit karena pendarahan. "Goblok!" maki Gunawan putus asa. "Udah dapat kabar gimana kondisinya?" tanya Gunawan yang sadar bahwa ada masalah lain y
"Ibu udah kabari mama kamu, Hen. Bilang kalau ibu tunggu dia di rumah sakit."Setelah ditolak oleh Andina, kini Hendra melangkah menyusuri koridor rumah sakit. Mereka hendak menengok Tamara dan tentu saja bayinya meskipun Hendra maupun yang lain hanya bisa melihat dari kaca ruangan NICU. "Baik kalau begitu, Bu. Tadi mama juga bilang kalau agak sorean baru bisa ke sini."Tentu saja Hendra sudah mengabari ibunya kalau Tamara harus terpaksa melahirkan lebih awal. Ini cucu pertama Hendra, tentu Mursiyati tidak ingin melewatkan hal ini. "Biar nanti aku sama dia yang bantu Ken urus Tamara, kamu fokus dampingi istrimu saja."Mendengar itu sontak Hendra menoleh, ia menatap Mariani yang terus melangkah. Mendampingi Sandra? Untuk apa? "Biar dia tanggung sendiri semua akibatnya, Bu. Saya tidak mau ikut campur dengan tindakan keji yang dia lakukan. Yang penting saya sudah ikuti prosedur pemeriksaan dari kepolisian dan itu sudah cukup." Tegas Hendra yang mendadak hatinya terasa sakit, terlebih
"Gimana bisa hamil sih?"Akhirnya, setelah mencari beribu alasan, Ken bisa pergi dari rumah sakit. Menitipkan Tamara yang masih pulas tertidur pada orang tuanya. Kini ia berada di depan sebuah kantor pemerintah, tempat di mana Hani bekerja. "Kok kamu jadi tanya aku? Kemaren-kemaren kamu gimana pake pengamannya?" salak Hani dengan sorot mata tajam. Ken mendesah panjang, ia menjambak rambutnya sendiri sembari mendengus. Kepalanya benar-benar mau pecah rasanya, masalah bertubi-tubi menghantamnya hari ini. "Sudah berapa bulan?" tanya Ken kemudian. "Mana ku tahu, aku belum ke dokter. Baru cek tadi pagi." jawab Hani yang seketika membuat Ken mengumpat. "Ya kamu udah telat berapa bulan, goblok!" makinya dengan teramat kesal. Mendengar itu Hani sontak membelalak, matanya menatap tajam ke arah Ken dengan tatapan tak suka. Hani melangkah lebih dekat, segera mengayunkan tangannya guna menampar pipi Ken keras-keras. "Goblok kamu bilang? Segoblok-gobloknya aku, masih goblokan kamu yang bisa
"Hen? Mau ketemu Andina?"Hendra menoleh, Mar nampak melangkah ke arahnya. Wajah perempuan itu nampak menyimpan rasa simpatik yang mendalam padanya. "Iya, Bu. Andina di mana?" Mendadak hati Hendra terasa pedih. Bayangan wajah Andina tergambar dalam benaknya. Bahkan, mungkin saja ketika peristiwa itu terjadi, Andina belum bisa sempurna merekam cantik wajah ibunya dalam ingatan, dan karena kebodohan Hendra, Andina harus kehilangan kasih sayang dan dekap hangat Theresa untuk selamanya. "Ada di kamar dia, Hen. Ayo ibu antar.""Ah, sebentar, Bu!" Hendra menghentikan langkah Mar yang hendak mengantarkan dia ke kamar Andina. "Kenapa? Ada apa, Hen?"Hendra menghela napas panjang, ia menundukkan wajah beberapa saat, lalu kembali mengangkat wajah setelah menghela napas beberapa kali. "Apa Andina mau ketemu saya, Bu?" tanya Hendra dengan hati diliputi rasa takut. Alis Mar berkerut, sejenak ia terdiam, matanya tak lepas dari wajah Hendra yang menyimpan risau. Hendra tahu, tatapan mata itu t
"Mas? Kamu datang? A--.""Cukup, San! Aku sudah tahu semuanya!" Potong Hendra dingin sambil memberi kode Sandra agar tidak mendekatinya. Sandra yang awalnya hendak bangkit dan menghambur memeluk Hendra, kontan mengurungkan niat begitu mendengar kalimat itu. Wajahnya makin panik, makin pucat dengan keringat dingin yang mengucur. "A-aku bisa jelaskan! Ini semua pasti salah paham, aku--.""Orang kepercayaan Bram udah kasih dan kirim semua bukti itu ke aku, San. Kamu masih mau nyangkal?" Kembali Hendra memotong, ada sorot benci dalam mata itu. "Mas tapi a--.""DIAM!" suara Hendra meninggi, ia tak peduli ada banyak anggota penyidik ada di sana, matanya terus menatap tajam ke arah Sandra yang kelabakan. "Pertanggungjawabkan semua dosa dan kesalahanmu, aku benar-benar nggak pernah ngira kamu sejahat itu, San! Dan silahkan tunggu surat cerai dariku, aku yang akan urus semua!"Mendengar kata cerai, mata Sandra membelalak. Ia segera meraih lengan Hendra, namun lelaki itu mengibaskan tangan S
"Kamu tenang dulu, Sayang!" Andina kontan mengangkat wajah, menatap Bram dengan tatapan marah. Tenang? Bagaimana Bram bisa memintanya tenang setelah tahu bahwa selama ini kematian mamanya bukan karena murni kecelakaan? Bahkan si pembunuh hidup satu atap bersama dengan Andina puluhan tahun! "Gimana aku bisa tenang, Mas? Dia u--.""Sstt!" Potong Bram cepat, telunjuknya sudah menempel di bibir Andina. Setelah Andina terdiam, Bram segera mencengkeram kuat bahu sang istri, menatap lurus ke dalam mata Andina sambil tersenyum simpul. "Aku berjanji padamu bahwa dia akan membayar semuanya, Sayang! Dia, siapapun itu yang sudah nyakitin kamu akan membayar lunas semuanya. Percaya padaku!" Ucap Bram bersungguh-sungguh. Andina mematung di tempatnya berdiri. Air matanya masih menitik, membuat Bram melepaskan satu bahu Andina guna menyeka air matanya. "Kamu percaya sama suamimu ini, kan?" Tanya Bram tanpa melepaskan pandangan. "Aku sudah tidak menutupi apapun dari mu, An. Kamu percaya sama aku,
"Keterlaluan kamu!"Andina yang hendak melangkah menuju mobilnya kontan menoleh, ia baru beberapa detik melihat wajah penuh amarah itu ketika kemudian sebuah tamparan yang begitu keras mendarat di pipinya. Seketika rasa sakit dan panas menjalar di wajah Andina, satu tangan Andina menutup pipinya, bersamaan dengan itu, ia merasakan ada yang menarik rambutnya kuat-kuat. "Sakit, Ma!" Teriak Andina berusaha melepaskan jambakan itu. "Ma? Aku bukan mamamu! Dan setelah apa yang kamu dan suamimu lakukan pada anakku, pikirmu aku masih sudi kamu panggil mama?" Hardik suara itu menahan amarah. "Aku ngapain? Aku nggak ngapa-ngapain Tamara, Tante! Kalaupun suaminya harus dipecat dan mertuanya kehilangan banyak aset itu karena kesalahan mereka sendiri!" Bela Andina sembari mencoba melepaskan jambakan tangan Sandra. "Nggak ngapa-ngapain? Anakku harus melahirkan secepat ini karena syok, pikirmu itu baik? Semua ini gara-gara kamu! Salah kamu!" Ucap suara itu dengan nada penuh benci. Mendengar it