"An ... Udah pagi loh."Andina terkejut mendengar panggilan dan sentuhan di tangannya itu. Ia mengerjapkan mata, membuka mata perlahan-lahan dan tersadar dari tidur. Saat hendak bangkit, Andina baru sadar bahwa ia bahkan belum memakai kembali pakaiannya. Ia tidak jadi bangkit, memilih tetap terdiam sambil mencoba mengembalikan separuh nyawanya yang belum kembali. "Mas--." Baru saja Andina hendak mengintrogasi Bram, namun ia sadar bahwa tidak secepat ini. "Ah bentar-bentar, kepalaku sakit." Wajah itu seketika menjadi panik, telapak tangannya refleks menyentuh dahi Andina. "Kamu sakit?" Tanyanya dengan nada khawatir. Andina tersenyum, ia menyingkirkan tangan Bram dari dahinya. Ditatapnya wajah Bram yang masih menyiratkan kekhawatiran, mata itu begitu tajam, kokoh seolah menyimpan banyak sekali rahasia di baliknya. Ya, memang Bram menyimpan banyak sekali rahasia dari Andina, entah apa, Andina sedang berusaha mencari tahu. "Nggak apa-apa, Mas. Aku nggak sakit. Cuma agak kaget aja pas
"Kamu beneran cuma sendiri di apartemen?"Tamara melirik Ken, mereka sudah mulai perjalanan pulang. Ken membawa Tamara dan segala macam barang yang dibeli istrinya selama di Jogja, sementara Mar, ia pulang tentu dengan mobilnya sendiri dan barang bawaannya sendiri. "Kan aku udan jelasin. Memang mau sama siapa?" Jawab Ken santai, sangat santai sekali.Mendengar itu, Tamara hanya mengangguk pelan. Ia berkali-kali melirik Ken yang begitu tenang dan santai di belakang kemudi. Ken tidak nampak gelisah atau panik mendengar pertanyaan yang Tamara lontarkan padanya, jadi apa yang harus dicurigai? Terlebih semalam, ia sudah banyak menghabiskan waktu untuk memeriksa ponsel Ken bahkan sampai ke notes yang ada di dalamnya, semua bersih. Tidak ada hal mencurigakan di sana. Tentang teman wanita Ken, atau apapun itu, semua bersih! "Oh iya, kemarin ada yang survey ke apartment kita. Mau sewa gitu dia sama pacarnya. Cuma belum ngabarin lagi." Ucap Ken masih dengan nada santai. "Bagus dong. Kalo me
"Nah sampai!"Ken memarkirkan mobilnya tepat di sebelah SUV yang semua orang tahu milik siapa itu. Setelah mematikan mesin, ia segera melepas seat belt, melangkah turun dari mobil. Tamara pun menyusul, ia membawa tasnya dan menghampiri Ken yang masih berdiri sambil memainkan ponsel. "Kenapa?" Tanya Tamara ketika melihat suaminya cukup serius dengan ponsel. "Chat eyang ini, kok belum sampai." Jawab Ken tanpa memalingkan wajah.Tamara lantas memasukkan ponsel, ia hendak melangkah lebih dulu ke pintu rumah ketika matanya lantas menangkap sosok itu. Wajah itu tentu sangat tidak asing untuk Tamara, namun kenapa ... Sedetik kemudian Tamara tercengang, mulutnya bahkan setengah terbuka saking syok dengan apa yang matanya tangkap. Dua mata itu balas menatapnya setelah celingak-celinguk, hal yang membuat Tamara lantas tersadar rasa rasa terkejutnya. "Ayo masuk! Kenapa ma--." Kalimat itu terpotong, Tamara menoleh, bahkan bukan hanya dia! Ken nampak tercengang luar biasa, ia baru tersadar ke
"Kamu lihat muka adikmu tadi?"Bram masuk ke kamar, ia meletakkan ponsel di atas nakas lalu menjatuhkan diri di kasur. Sementara Andina yang tengah duduk di meja rias hanya tersenyum sembari mengoleskan krim ke wajahnya dengan perlahan. "Tahu, sempet ngomong juga sama dia tadi." Jelas Andina tanpa menoleh. "Kebakaran dia, makanya langsung merah semua itu muka." Ucap Bram yang sontak membuat Andina terkekeh. "Segitunya kamu perhatiin dia, Mas?" Pancing Andina yang sebenarnya sependapat dengan sang suami. "Nggak udan diperhatiin bener-bener aja udah kelihatan di mata, Sayang. Dah ah, aku mau mandi dulu!"Bram bangkit, ia melangkah menuju kamar mandi. Sebelum masuk, ia berhenti sejenak di dekat meja rias Andina, menatap wajah itu dengan saksama lalu mendekatkan wajah seraya berbisik lirih. "Dandan yang cantik, oke?"***"Dari mana?" Tanya Tamara dengan nada ketus. Mendengar pertanyaan yang sepaket dengan nada tak ramah, seketika mata Ken membelalak, ia melangkah, mendekati Tamara y
"Kenapa sih, Tam?"Ken tidak mengerti, kenapa sepulang dari Jogja, istrinya ini jadi uring-uringan begini. Mereka sudah selesai makan malam, dan sekarang waktunya tidur. "Kenapa? Kamu masih tanya aku kenapa?" Salak Tamara dengan sorot mata tajam. "Lah iya aku tanya kamu kenapa lah, aku ngapain sampai kamu uring-uringan begini, Tam?" Ken frustasi, dia salah apa lagi? "Seneng kan kamu dia sekarang jadi cantik? Iya?"Mendengar itu Ken mendesah panjang, ia menjambak sendiri rambutnya dengan gusar lalu menatap istrinya lekat-lekat. Kenapa jadi dia yang salah begini? Apa yang Ken lakukan sampai dia harus menanggung amarah macam ini? "Dia yang ganti penampilan, kenapa aku yang kena sih?" Protes Ken tak terima. "Ayolah, jangan kayak anak kecil begini!"Mendengar itu, sorot mata Tamara makin tajam. Ia menatap Ken yang masih berusaha membela diri. Perubahan Andina benar-benar membuatnya gusar. Ketakutan demi ketakutan itu menghantui Tamara setiap detik. "Ya aku nggak suka! Aku nggak suka d
"Nanti malam oma kalian mau ke sini loh. Makan malam di rumah semua, ya."Kunyahan Andina terhenti, ia segera mengangkat wajah dan menatap Mar yang sudah duduk di kursi kebesarannya. Wajah terkejut itu dengan segera berubah cerah dan ceria. Ia tersenyum lebar, melupakan sejenak semangkuk oatmeal yang ia pilih sebagai menu sarapan pagi ini. "Serius, Ma? Oma mau ke sini? Nginep?" Cecar Andina tak sabar. "Kalau nginep atau tidaknya, Mama nggak tahu, An. Yang jelas nanti kita akan makan malam sama-sama." Andina mengangguk. Ia kembali melanjutkan sarapannya setelah mendapatkan jawaban. Jika Andina begitu gembira dan penuh antusias dengan rencana kedatangan neneknya, maka berbanding terbalik dengan Tamara. Gadis itu nampak cuek dan tidak peduli. Ia hanya terkejut sesaat, lalu kembali lanjut makan tanpa banyak bicara. "Kalau mau biar nginep di sini saja, Ma. Biar nanti disiapkan kamar." Usul Bram yang segera diikuti anggukan Andina. Mar tersenyum, ia mengunyah isi mulutnya dengan sediki
"An, kamu ngapain?"Andina melirik, Clara yang baru saja datang nampak berdiri dengan mata menyipit di samping meja kerjanya. Andina meletakkan pensil, ia mengangkat wajah dan menoleh ke arah Clara. Melihat sorot mata Andina yang nampak kebingungan, Clara menarik kursi dan duduk di sebelah Andina. Nampak selembar kertas penuh dengan coretan angka ada tepat di depan Andina. "Eh apa ini? Mau ujian matematika lagi kamu?" Clara menarik kertas itu dari depan Andina, memperhatikan sekilas deretan angka itu dengan saksama. "Bantuin ngitung dong, pusing nih!" Desis Andina dengan sorot mata penat. "Baru aja dateng, udah kamu ajak ngitung? Ini ngitung apa sih, An? Simulasi cicilan rumah? Atau gimana?" Clara tak mengerti, ia sama sekali tidak bisa memahami coretan tangan Andina. "Niatnya tanya berapa deposito suami, eh malah suruh ngitung sendiri. Gimana nggak pusing?" Jawab Andina dengan wajah masam. Mendengar itu sontak Clara terbahak-bahak. Ia meletakkan kertas itu ke meja dan tertawa
"Pantes deh, An, suami kamu pilih kuping budek dikatain nganggur ini-itu. Lah dia nggak kerja aja sebulan dapet tiga puluh sembilan juta! Belum sepuluh milyarnya!" Cerocos Clara sembari mengunyah kentang goreng. "Kalo aku jadi dia, ya aku bakalan lakuin apa yang dia lakuin sekarang lah. Ngapain sih susah-susah kerja? Rebahan di rumah dua puluh empat jam pun sebulan dapet duit puluhan juta."Andina memanyunkan bibir, samar-samar dia teringat kalimat Bram ketika Andina meragukan SUV milik Bram terbeli dengan uang Bram sendiri. 'Aku cuma pengangguran, An. Bukan berarti aku nggak ada uang.'Ya! Andina masih ingat betul kalimat itu. Jadi ini yang Bram maksud tidak berarti tak punya uang? Andina tersenyum, ia merasa begitu bodoh sudah mencurigai suaminya sendiri seperti itu. Bram anak konglomerat turun-temurun, pasti dia punya aset, entah apapun itu bentuknya tak peduli dia hanya lontang-lantung di rumah. "Sekarang udah tahu berapa duit suami kamu di bank. Eh itu baru deposito, An. Kamu n
"Loh, Om ngapain ke sini?"Ken sangat terkejut ketika mendapati Bram keluar dari ruangan Dharma dengan setelan jas yang begitu rapi. Kening Ken berkerut, jangan bilang kalau .... "Katanya nggak sudi jadi budak korporat, Om? Berubah pikiran nih?" Kejar Ken ketika sosok itu hanya tersenyum tanpa menjawab. "Emang enggak, siapa yang bilang aku ke sini buat jadi budak korporat?" Balas Bram sembari membalas tatapan menyelidik yang Ken tujukan padanya. "Lah? Terus?" Nampak wajah itu belum puas. Kalau bukan untuk melamar pekerjaan di sini, untuk apa omnya itu datang kemari dengan setelan jas rapi? "Ada lah, ntar kamu juga tau." Balas Bram lantas berlalu. Ditinggal begitu saja oleh Bram tanpa diberi jawaban, membuat Ken makin penasaran. Ia lantas melangkah ke depan pintu ruangan Dharma, baru saja ia hendak mengetuk pintu itu, Dharma ternyata sudah lebih dulu keluar dan membuatnya terkejut. "Astaga, Pakdhe!" Hampir Ken memekik, bagaimana tidak kalau tahu-tahu pintu terbuka dan sosok itu m
"Kamu ganteng bener loh kalau pakai jas begini!" Bram menoleh, ia menatap Andina yang berdiri sembari menatap ke arahnya. Bram tersenyum, merapikan dasinya lalu memakai jas sudah disiapkan Andina. "Lebih suka pakai kaos sama celana." Sahut Bram sembari memperhatikan pantulan dirinya di cermin. "Aku lebih suka kamu nggak pake baju."Bram membelalak, ia memutar tubuhnya hingga kini ia bisa melihat secara langsung Andina yang masih tegak berdiri menatap ke arahnya. Wajahnya nampak menahan tawa membuat Bram mendengus sembari melangkah menghampiri sang istri. "Eh apaan?" Andina bergegas menghindar, tawanya pecah sementara Bram, ia masih terus mengejar sang istri sampai akhirnya bisa menarik tubuh itu dalam pelukannya. "Lepasin ih!" Protes Andina sembari berusaha melepaskan diri. "Nggak! Nggak ada lepas! Tadi bilang apa?" Tanya Bram yang malah mempererat pelukannya. "Canda doang! Udah sana berangkat!" Usir Andina yang masih belum bisa melepaskan diri. Bram mendengus, ia mendekatkan
"Mas yakin dia nggak ngamuk nanti?" Andina melirik Bram, mereka sudah dalam perjalanan pulang sekarang. Sementara Dharma, tentu ia harus kembali ke kantor. "Kenapa ngamuk? Aku salah apa?" Tanya Bram santai. Andina mendengus, ia menyandarkan tubuhnya di jok mobil dengan mata terpejam. Perlahan-lahan ia menghela napas panjang, tentu Andina paham bagaimana karakter orang satu itu, komplit berserta istri dan anak bungsunya. Kalau dua anaknya yang lain, Andina tidak tahu karena mereka hidup di luar negeri dan dengar-dengar sudah berpindah kewarganegaraan. "Coba aja suruh ngamuk, udah berapa banyak dia bikin rugi aku." Desis Bram ketika istrinya terdiam. "Bukan soal duitnya aja, Mas. Tapi kan sama aja dia dibohongi sama kalian selama ini." Jelas Andina yang tengah mempersiapkan diri untuk kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. "Bodo amat. Punya hak apa dia ingin tahu hal-hal pribadiku?"Andina mengalah, ia tidak lagi membantah. Masing-masing mereka fokus pada kegiatan masing-masing. Br
"Kita mau ketemu siapa?"Mereka sudah berada di dalam mobil, hendak pergi entah ke Selendra dulu atau Lajendra, Andina tidak tahu. Sejak tadi Bram bungkam, dilihat dari sorot wajahnya, ia tengah berpikir keras sekarang. "Banyak orang, Sayang. Nanti kamu juga akan tahu." Jawab Bram sekenanya. Andina menghela napas panjang, kalau sudah begini, rasanya lebih baik tidak banyak bertanya dan menunggu nanti siapa orang yang subuh tadi membuat janji dengan Bram. Apakah benar Dharmawan seperti dugaan Andina? Kalau benar dia, itu artinya selama ini Bram punya andil di perusahaan keluarga yang katanya sudah berpindah kepemilikan. 'Melunasi semua hutang Gunawan dan mengambil alih perusahaan? Rasanya tidak mungkin! Tapi apa yang tidak mungkin kalau--.'"An? Mikir apa?"Sontak Andina terkejut, ia menoleh dan mendapati Bram tengah menatap ke arahnya dengan sorot penasaran. Seketika Andina tergagap, jujur rasanya ia ingin mengungkapkan semua rasa penasaran, namun Andina tidak mau dicap lancang, m
Pancingan Andina berhasil. Mar menceritakan semua dengan detail persis seperti obrolannya dengan Bram yang Andina curi dengar kemarin. Mar tidak berusaha menutupi apapun yang itu artinya, pertanyaan Andina perihal siapa yang ditelpon Bram belum mendapatkan jawaban. Andina menatap jendela kamar yang mengarah ke halaman belakang, agaknya memang ia harus bersabar untuk tahu apa-apa saja yang Bram masih rahasiakan darinya. Ia hendak membalikkan badan ketika tangan itu merengkuh tubuh Andina dari belakang. "Astaga! Mas!" Andina memekik terkejut, ia menoleh dan mendapati Bram terkekeh tanpa melepaskan dekapan. "Kata mama tadi nyariin aku?" Tanya Bram malah mempererat pelukan itu. "Iyalah, orang bangun tau-tau nggak ada. Gimana nggak nyariin?" Jawab Andina dengan wajah masam. "Ada urusan tadi, jadi ya harus keluar sebentar." Jawab Bram santai, kini pelukan itu dia lepas. Kening Andina berkerut, ia membalikkan badan dan memperhatikan Bram dengan saksama. Tidak ada yang mencurigakan dari
Andina menggeliat, ia meraba sebelahnya. Kosong! Spontan mata Andina terbuka. Ia menarik selimut untuk menutupi dada dan tertegun sejenak sembari mengembalikan nyawanya yang masih sebagian belum kembali. Pukul dua dini hari. Andina perlahan bangkit. Ia mendapati pakaiannya ada di atas nakas, padahal beberapa jam yang lalu saat ia dan Bram akhirnya kembali masuk ke kamar, pakaian itu tercecer di segala sudut. "Mas?"Sembari perlahan-lahan turun, Andina mencoba memancing, memanggil suaminya berharap dia tengah berada di kamar mandi. Sunyi. Tidak ada jawaban. Akhirnya Andina meraih baju-bajunya, memakai pakaian itu satu persatu lalu melangkah masuk ke walk in closet mereka. Benar, pintu kamar mandi terbuka dan kosong. Bram tidak ada di sana. Lalu kemana suaminya itu pergi pagi buta begini? Ia sudah membuka semua identitasnya, apakah Bram masih harus diam-diam pergi seperti dulu? Karena penasaran, Andina melangkah keluar kamar. Matanya menyipit ketika melihat cahaya dari ruang kerj
"Papa nggak nginep sini aja?" Andina mengantar tamu besar hari ini ke depan rumah. Bukan hanya dia, Bram dan Mar pun ikut mengantarkan. Sudah pukul sepuluh malam dan ini sudah masuk waktunya istirahat. "Nggak usahlah. Orang cuma deket kan rumahnya. Kapan-kapan aja papa sama mama mampir ke sini." Hendra menoleh, mengulaskan senyum di wajah sembari menatap Andina dengan saksama. Papa dan mama? Andina tersenyum kecut mendengar kalimat itu. Memang wanita itu mau kembali berkunjung kemari? Andina meliriknya sekilas, bisa ia lihat wajah perempuan itu sangat tidak senang, meskipun berusaha menutupi dengan senyum, Andina yang sudah cukup lama hidup satu rumah dengan perempuan itu, tentu paham dan hafal betul tiap mimik dan topeng yang dia pakai."Intinya, rumah Bram sama Andina itu rumah Papa juga, jangan sungkan dan sering-sering main kemari ya, Pa." Bram ikut menambahi, sama seperti sang istri, hanya papa yang disebut olehnya, sedangkan Sandra? Agaknya tidak perlu dijelaskan lagi kenapa
"Ibu juga nggak nyangka ini, Hen. Ketipu sama Bram selama ini. Dikasih duit dibalikin, nggak pernah di rumah, ditawari kerjaan nggak mau, udah pikiran ibu kemana-mana." Curhat Mar di sela-sela makan malam, sementara Bram hanya menyimak sambil menahan tawa. "Hendra paham, Bu. Ya mungkin Bram lebih suka bekerja dalam diam. Ada kan beberapa orang yang begitu." Meskipun Mar adalah besannya, Hendra masih memanggilnya dengan panggilan ibu. Sudah sejak ia kecil dibiasakan memanggil Mar dengan sebutan ibu. Ketika sudah punya anak, sesekali di depan anak-anak, Hendra memanggil Mar dengan sebutan eyang. "Ya tapikan sebagai orang tua pikiran tetap kemana-mana kan, Hen? Mana kawin dua kali gagal. Makanya kemarin begitu Andina nggak jadi nikah sama Ken, ibu kawinin aja dia sama Andina." Hampir Andina tersedak, untungnya ia masih bisa menahan diri. Ia dan Bram nampak saling lirik dan lempar pandangan beberapa saat. Kenapa malah membahas hal ini? "Hendra seneng banget, Bu, liat Andina se
"Pas?"Andina tersenyum ketika heels soft pink itu terpasang di kaki. Sangat pas dan cantik di kakinya. Ia sudah selesai membersihkan diri dan merias wajah. Jadi anak buah Clara selama beberapa bulan memberi banyak sekali keuntungan untuk Andina. Dia jadi melek fashion untuk dirinya sendiri, pintar merawat tubuh dan juga bermake-up! Ditunjang dengan segala fasilitas yang Bram sodorkan, Andina yang sekarang sangat berbeda dengan Andina yang dulu. Andina bediri, menatap bayangan dirinya di cermin besar yang ada di walk in closet. Dari ujung kepala sampai ujung kaki, Andina benar-benar sempurna. Crop blazer dan skirt knit membungkus tubuhnya dengan pas. Belum lagi rambutnya yang dia curly sedikit dan dia beri jepit mutiara, sungguh ini benar-benar sangat cantik! Andina bahkan sampai tidak bisa mengenali dirinya lagi. "An, su--."Andina segera menoleh, ia mendapat Bram tertegun menatapnya tanpa kedip. Andina tersenyum, ia melangkah menghampiri sang suami. "Kurang apa?" Tanyanya yang s