"Kamu nggak gelut melulu sama om kamu itu, kan?"Ken yang tengah menyantap masakan ndeso ala mbok Jum hampir saja tersedak mendengar pertanyaan itu. Terlebih kata gelut yang keluar dari mulut sang istri. "Delapan hari ini di sini, kosakata mu bertambah ya?" Gumam Ken setelah susah payah menelan nasinya. "Emang tahu arti gelut itu apa?" Pancingnya sambil menahan tawa. "Tau! Kata mbok Jum, gelut itu berantem, berkelahi, saling pukul." Jawab Tamara singkat. "Nah! Emang aku pernah saling pukul sama dia? Ya meskipun sebenarnya aku pengen banget mukul palanya itu."Tamara mencebik, ia hanya duduk saja menemani Ken makan. Ia sudah cukup kenyang, lagipun matanya sudah terasa berat. Efek sudah malam dan tentu saja meladeni serangan singkat Ken di kamar mandi tadi. "Ya emang enggak, cuma kan kalian ribut mulu, Sayang!" Ujar Tamara mengingatkan. "Ya itu belum tentu dan nggak bisa disebut gelut juga." Tamara tidak menanggapi, ia menyeruput teh hangat yang disiapkan mbok Jum untuknya. Segela
"An ... Udah pagi loh."Andina terkejut mendengar panggilan dan sentuhan di tangannya itu. Ia mengerjapkan mata, membuka mata perlahan-lahan dan tersadar dari tidur. Saat hendak bangkit, Andina baru sadar bahwa ia bahkan belum memakai kembali pakaiannya. Ia tidak jadi bangkit, memilih tetap terdiam sambil mencoba mengembalikan separuh nyawanya yang belum kembali. "Mas--." Baru saja Andina hendak mengintrogasi Bram, namun ia sadar bahwa tidak secepat ini. "Ah bentar-bentar, kepalaku sakit." Wajah itu seketika menjadi panik, telapak tangannya refleks menyentuh dahi Andina. "Kamu sakit?" Tanyanya dengan nada khawatir. Andina tersenyum, ia menyingkirkan tangan Bram dari dahinya. Ditatapnya wajah Bram yang masih menyiratkan kekhawatiran, mata itu begitu tajam, kokoh seolah menyimpan banyak sekali rahasia di baliknya. Ya, memang Bram menyimpan banyak sekali rahasia dari Andina, entah apa, Andina sedang berusaha mencari tahu. "Nggak apa-apa, Mas. Aku nggak sakit. Cuma agak kaget aja pas
"Kamu beneran cuma sendiri di apartemen?"Tamara melirik Ken, mereka sudah mulai perjalanan pulang. Ken membawa Tamara dan segala macam barang yang dibeli istrinya selama di Jogja, sementara Mar, ia pulang tentu dengan mobilnya sendiri dan barang bawaannya sendiri. "Kan aku udan jelasin. Memang mau sama siapa?" Jawab Ken santai, sangat santai sekali.Mendengar itu, Tamara hanya mengangguk pelan. Ia berkali-kali melirik Ken yang begitu tenang dan santai di belakang kemudi. Ken tidak nampak gelisah atau panik mendengar pertanyaan yang Tamara lontarkan padanya, jadi apa yang harus dicurigai? Terlebih semalam, ia sudah banyak menghabiskan waktu untuk memeriksa ponsel Ken bahkan sampai ke notes yang ada di dalamnya, semua bersih. Tidak ada hal mencurigakan di sana. Tentang teman wanita Ken, atau apapun itu, semua bersih! "Oh iya, kemarin ada yang survey ke apartment kita. Mau sewa gitu dia sama pacarnya. Cuma belum ngabarin lagi." Ucap Ken masih dengan nada santai. "Bagus dong. Kalo me
"Nah sampai!"Ken memarkirkan mobilnya tepat di sebelah SUV yang semua orang tahu milik siapa itu. Setelah mematikan mesin, ia segera melepas seat belt, melangkah turun dari mobil. Tamara pun menyusul, ia membawa tasnya dan menghampiri Ken yang masih berdiri sambil memainkan ponsel. "Kenapa?" Tanya Tamara ketika melihat suaminya cukup serius dengan ponsel. "Chat eyang ini, kok belum sampai." Jawab Ken tanpa memalingkan wajah.Tamara lantas memasukkan ponsel, ia hendak melangkah lebih dulu ke pintu rumah ketika matanya lantas menangkap sosok itu. Wajah itu tentu sangat tidak asing untuk Tamara, namun kenapa ... Sedetik kemudian Tamara tercengang, mulutnya bahkan setengah terbuka saking syok dengan apa yang matanya tangkap. Dua mata itu balas menatapnya setelah celingak-celinguk, hal yang membuat Tamara lantas tersadar rasa rasa terkejutnya. "Ayo masuk! Kenapa ma--." Kalimat itu terpotong, Tamara menoleh, bahkan bukan hanya dia! Ken nampak tercengang luar biasa, ia baru tersadar ke
"Kamu lihat muka adikmu tadi?"Bram masuk ke kamar, ia meletakkan ponsel di atas nakas lalu menjatuhkan diri di kasur. Sementara Andina yang tengah duduk di meja rias hanya tersenyum sembari mengoleskan krim ke wajahnya dengan perlahan. "Tahu, sempet ngomong juga sama dia tadi." Jelas Andina tanpa menoleh. "Kebakaran dia, makanya langsung merah semua itu muka." Ucap Bram yang sontak membuat Andina terkekeh. "Segitunya kamu perhatiin dia, Mas?" Pancing Andina yang sebenarnya sependapat dengan sang suami. "Nggak udan diperhatiin bener-bener aja udah kelihatan di mata, Sayang. Dah ah, aku mau mandi dulu!"Bram bangkit, ia melangkah menuju kamar mandi. Sebelum masuk, ia berhenti sejenak di dekat meja rias Andina, menatap wajah itu dengan saksama lalu mendekatkan wajah seraya berbisik lirih. "Dandan yang cantik, oke?"***"Dari mana?" Tanya Tamara dengan nada ketus. Mendengar pertanyaan yang sepaket dengan nada tak ramah, seketika mata Ken membelalak, ia melangkah, mendekati Tamara y
"Kenapa sih, Tam?"Ken tidak mengerti, kenapa sepulang dari Jogja, istrinya ini jadi uring-uringan begini. Mereka sudah selesai makan malam, dan sekarang waktunya tidur. "Kenapa? Kamu masih tanya aku kenapa?" Salak Tamara dengan sorot mata tajam. "Lah iya aku tanya kamu kenapa lah, aku ngapain sampai kamu uring-uringan begini, Tam?" Ken frustasi, dia salah apa lagi? "Seneng kan kamu dia sekarang jadi cantik? Iya?"Mendengar itu Ken mendesah panjang, ia menjambak sendiri rambutnya dengan gusar lalu menatap istrinya lekat-lekat. Kenapa jadi dia yang salah begini? Apa yang Ken lakukan sampai dia harus menanggung amarah macam ini? "Dia yang ganti penampilan, kenapa aku yang kena sih?" Protes Ken tak terima. "Ayolah, jangan kayak anak kecil begini!"Mendengar itu, sorot mata Tamara makin tajam. Ia menatap Ken yang masih berusaha membela diri. Perubahan Andina benar-benar membuatnya gusar. Ketakutan demi ketakutan itu menghantui Tamara setiap detik. "Ya aku nggak suka! Aku nggak suka d
"Nanti malam oma kalian mau ke sini loh. Makan malam di rumah semua, ya."Kunyahan Andina terhenti, ia segera mengangkat wajah dan menatap Mar yang sudah duduk di kursi kebesarannya. Wajah terkejut itu dengan segera berubah cerah dan ceria. Ia tersenyum lebar, melupakan sejenak semangkuk oatmeal yang ia pilih sebagai menu sarapan pagi ini. "Serius, Ma? Oma mau ke sini? Nginep?" Cecar Andina tak sabar. "Kalau nginep atau tidaknya, Mama nggak tahu, An. Yang jelas nanti kita akan makan malam sama-sama." Andina mengangguk. Ia kembali melanjutkan sarapannya setelah mendapatkan jawaban. Jika Andina begitu gembira dan penuh antusias dengan rencana kedatangan neneknya, maka berbanding terbalik dengan Tamara. Gadis itu nampak cuek dan tidak peduli. Ia hanya terkejut sesaat, lalu kembali lanjut makan tanpa banyak bicara. "Kalau mau biar nginep di sini saja, Ma. Biar nanti disiapkan kamar." Usul Bram yang segera diikuti anggukan Andina. Mar tersenyum, ia mengunyah isi mulutnya dengan sediki
"An, kamu ngapain?"Andina melirik, Clara yang baru saja datang nampak berdiri dengan mata menyipit di samping meja kerjanya. Andina meletakkan pensil, ia mengangkat wajah dan menoleh ke arah Clara. Melihat sorot mata Andina yang nampak kebingungan, Clara menarik kursi dan duduk di sebelah Andina. Nampak selembar kertas penuh dengan coretan angka ada tepat di depan Andina. "Eh apa ini? Mau ujian matematika lagi kamu?" Clara menarik kertas itu dari depan Andina, memperhatikan sekilas deretan angka itu dengan saksama. "Bantuin ngitung dong, pusing nih!" Desis Andina dengan sorot mata penat. "Baru aja dateng, udah kamu ajak ngitung? Ini ngitung apa sih, An? Simulasi cicilan rumah? Atau gimana?" Clara tak mengerti, ia sama sekali tidak bisa memahami coretan tangan Andina. "Niatnya tanya berapa deposito suami, eh malah suruh ngitung sendiri. Gimana nggak pusing?" Jawab Andina dengan wajah masam. Mendengar itu sontak Clara terbahak-bahak. Ia meletakkan kertas itu ke meja dan tertawa
"Caesar bobok?"Andina yang baru saja meletakkan Caesar di dalam box bayi, seketika menoleh ke sumber suara. Senyum Andina merekah tatkala sosok itu melangkah masuk dengan begitu perlahan. Tamara melongok ke dalam box, tersenyum lebar sembari memperhatikan Caesar dengan saksama. Entah mengapa, melihat wajah gembira dan senyum merekah itu, hati Andina benar-benar terasa bahagia dan begitu damai. "Duh ganteng banget keponakan tante." desisnya lirih sembari berpegangan pada tepian box. "Celine kemana? Kok nggak dibawa?" tanya Andina ketika sadar adiknya itu hanya datang seorang diri. Tamara menoleh, ia menghela napas panjang sembari menyodorkan paper bag yang dibawanya. "Tengokin bayi ngajak bocil? Alamat bakalan ada huru-hara, Kak!" desisnya dengan wajah cemberut. Andina menerima paper bag dari sang adik. Nama yang tercetak di sana adalah sebuah patisserie kenamaan favorit mereka. "Jadi ini para busui mau tea time nih?" tanyanya sembari melirik Tamara. "Exactly! Pas banget nih C
"Loh Bram, ngapain di sini?"Bram dan Hendra menoleh, nampak Roy melangkah dengan santai menghampiri mereka. Di tangan Roy, ada satu kantong plastik besar yang entah apa isinya. Bram menatap lelaki itu dengan gemas, rasanya kalau tidak ada papa mertuanya di sini, sudah Bram pukuli lelaki satu ini. "Kamu nggak nungguin bini, Bram?" tanyanya masih dengan sangat santai. Bram melotot, ia mengusap wajahnya dengan kasar laku menatap tajam ke arah Roy. "Aku di sini ini ngapain sih, Roy? Lagi sabung ayam gitu?" jawab Bram sekenanya. Ia tengah risau, gelisah dan sangat khawatir tetapi cecurut yang sialnya menjadi orang kepercayaan Bram ini malah membuatnya gemas. "Ya enggak, maksudku kenapa kamu nggak nungguin di dalem? Nah di dalem Andina sama siapa?" tanyanya sembari meletakkan kantong plastik di kursi, Roy segera menjabat tangan Hendra dengan sopan. "Kamu mau aku pingsan di dalem terus nambahin kerjaan dokternya?" tanya Bram dengan sorot mata tajam. Mendengar itu, diluar dugaan Roy t
“Sakit?”Bram menatap Andina dengan penuh rasa khawatir, sejak beberapa jam yang lalu, Andina sudah merasakan mulas dan sensasi nyeri di perut. Bahkan kini mereka sudah berada di rumah sakit sekarang, bersiap di kamar VVIP yang sudah Bram pesan jauh-jauh hari.“Lumayanlah, Mas.” jawab Andina sembari tersenyum, ia masih berusaha tenang, meskipun mulas itu makin teratur.“Operasi aja gimana? Biar aku bi—““Eh, nggak mau!”Andina segera menarik tangan Bram yang hendak melangkah menuju pintu, ia memaksa suaminya kembali duduk di sofa yang ada di dalam ruangan.“Kenapa nggak mau sih? Aku takut kamu kenapa-napa, Sayang!” wajah Bram sudah begitu panik, bisa Andina lihat sorot itu nampak gusar.“Dokter bilang semua baik, nggak ada indikasi serius jadi aku pengen lahiran normal aja, Mas.” tegas Andina tanpa melepaskan tangan Bram yang ia genggam.“Aku nggak tega liat kamu kesakitan, An. Udah deh kita operasi aja.”Kembali Andina menggeleng. Mendengar cerita Tamara perihal efek-efek yang dia ra
"Pelan-pelan, Sayang!"Andina tersenyum, semenjak dia hamil, Bram benar-benar memperlakukan dia dengan begitu lembut. Semua yang Andina mau selalu dituruti tanpa perlu waktu lama. Andina yang sehari-hari sudah diratukan oleh Bram, kini makin dimanjakan dengan sangat ugal-ugalan! "Agenda hari ini kamu ada jadwal manicure, creambath sama kita cari perlengkapan bayi!"Bukan salah Andina kalau ia lantas terkekeh, kepalanya mendongak, menatap Bram yang masih berdiri dan nampak bersiap membantu Andina berdiri. "Sejak kapan owner perusahaan ternama, resto ternama jadi aspri aku?" goda Andina yang membuat Bram ikut terkekeh. "Lah kamu baru tahu kalau the real bos dari owner perusahaan ternama itu kamu? Dan jangan lupa ini!" Bram jongkok di depan Andina, mengelus dan mengecup perut Andina yang menyembul. Andina tersenyum, ia mengusap lembut kepala Bram, merapikan rambut lelaki itu dengan tangan tanpa mengalihkan pandangan. "Makasih bikin aku jadi perempuan yang paling beruntung di dunia,
Dua bulan kemudian .... "Eh Kak? Kamu nggak apa-apa?"Tamara seketika panik ketika tubuh kakaknya hampir saja terhuyung jatuh kalau tidak berpegangan pada meja ganti popok Celine. Wajah Andina memang pucat, namun tadi dia masih lincah, dan kini. "Tam ... ini kok tiba-tiba aku pusing banget, ya? Tolongin dong." Mata Andina terpejam, satu tangannya memijat pelipis perlahan. Tamara tak banyak bicara, ia segera meletakan botol lotion milik celine dan memapah kakaknya yang nampak payah itu. Mereka sudah hampir dekat ke sofa menyusui yang ada di kamar Tamara ketika tubuh Andina melemas dan ambruk ke bawah, Tamara langsung menahan tubuh itu sebelum mencium lantai, sekuat tenaga ia membantu kakaknya sampai ke sofa, lalu berteriak-teriak panik sembari membetulkan posisi Andina. "PA ... PAPA! TOLONGIN KAKAK PINGSAN, PA!" teriak Tamara panik, ia lupa kalau Celine tengah tertidur pulas di dalam box. Untung saja bayi itu tidak terbangun, Tamara mengusap-usap hidung Andina dengan minyak telon
"Eh ngapain?"Andina kontan mendorong Bram yang hendak ikut masuk ke kamar mandi. Mata lelaki itu membulat, menatap Andina dengan tatapan protes. Andina pun membalas tatapan itu, ia masih berdiri di depan pintu kamar mandi dan menutup akses lelaki itu masuk ke dalam. "Mau ikut!" jawab Bram persis seperti anak kecil. "Nggak ada ikut! Tungguin luar!" tegas Andina yang segera masuk dan menutup pintu kamar mandi. Sejenak Andina bersandar di balik pintu. Jantungnya berdegup kencang. Sebenarnya ia belum ada tanda-tanda hamil, telat haid pun baru seminggu dan Bram sudah begitu bernafsu untuk tahu hasil 'kerja keras' mereka selama liburan di Jepang.Andina segera melangkah menuju kloset, ia sudah mempersiapkan semuanya. Testpack sudah berada di tangan dan kalau boleh jujur, Andina sangat takut saat ini. Bagaimana kalau hasilnya tidak sesuai harapan? Bagaimana kalau dia mengecewakan? "Nggak akan tahu kalau nggak dicoba!" gumam Andina lirih lalu meletakkan benda itu di wastafel. Ia segera
Sandra menghentikan kakinya begitu masuk ke dalam ruangan. Matanya menyapu para hadirin yang datang. Bisa dia lihat ada Hendra, Mursiyati, Mariani bahkan ayah dari mendiang Theresa pun turut hadir.Mendadak jantungnya berdegup dua kali lebih cepat, seumur hidup, setelah pembunuhan itu dia lakukan, Sandra belum pernah setakut ini. Bulu kuduk Sandra mendadak meremang, ia bahkan melonjak terkejut ketika polwan yang mengawalnya mencolek bahu Sandra dan memberinya kode untuk melangkah masuk.Dengan kepala tertunduk, Sandra melangkah menuju tempat yang sudah disediakan untuknya. Pengacara yang Sandra pilih, sudah hadir dan duduk di sana. Namun Sandra tahu betul bahwa dia tidak boleh berharap banyak pada hari ini. Memang apa yang dia harapkan? Bisa bebas seperti puluhan tahun yang lalu? Mustahil!Sandra duduk di kursi, ia masih belum berani mengangkat wajah sampai kemudian pengacaranya menyenggol lengan Sandra dengan siku.“Bu ... Ibu nggak apa-apa?”***“Hari ini, kan?”Baru saja Bram henda
"Ada apa?" Mereka sudah di lounge bandara sekarang, Bram nampak memasukkan ponsel ke dalam tas, ia baru saja selesai menerima telepon, entah dari siapa, Andina tidak tahu. "Sidang putusan untuk kasus pembunuhan mama digelar tiga hari lagi, Sayang."Mata Andina membulat, ia menghela napas lalu menganggukkan kepala perlahan. Melihat itu nampak kening Bram berkerut, ia menatap istrinya dengan tatapan tidak percaya. "Kamu nggak pengen aku ba--""Aku nggak pengen dateng ke persidangan itu. Aku udah nggak pengen liat mukanya lagi. Aku cuma pengen denger kabar kalo dia dapet hukuman seberat-beratnya, Mas." potong suara itu lirih. Bram segera menjatuhkan diri di sofa yang ada tepat di sebelah Andina duduk. Ia meraih tangan Andina, meremas tangan itu dengan begitu lembut. "Dia tidak akan bisa mengelak lagi, Sayang. Tidak ada yang bisa membantunya lolos kali ini." gumam Bram dengan nada mantap. Andina tersenyum, ingin rasanya ia menghapus wajah dan semua kenangan akan kehidupan Andina yan
"Papa tunggu sini, ya?"Tamara menoleh, ia melayangkan tatapan protes itu ke arah Hendra. "Loh, kan Papa aku minta nemenin." gumam Tamara merajuk. Hendra menghela napas panjang, ia melangkah mendekati Tamara, mengusap lembut puncak kepala anak bungsunya itu dengan penuh kasih sayang. "Ini kan papa temenin, Tam. Cuma kalau untuk sampai ke dalam, papa nggak sanggup. Papa nggak bisa liat wajah laki-laki yang udah mengkhianati dan menyakiti hati anak papa sampai sedalam ini." ucap Hendra lirih, "Lagipun, kalian harus membahas banyak hal di dalam, yang itu diluar kewenangan papa untuk tahu. Jadi papa tunggu di sini, ya? Bicarakan baik-baik dengan kepala dingin."Tamara mendengus, mau bagaimana lagi? Yang dikatakan Hendra ada benarnya! Tamara harus masuk dan duduk membahas banyak hal perihal masa depan anak mereka. "Baiklah kalau begitu. Papa tunggu, ya? Aku masuk ke dalam dulu."Hendra mengangguk pelan, ia tersenyum dan menatap Tamara yang melangkah masuk ke dalam. Sepeninggal Tamara,