Rendi tersenyum misterius. Tanpa menjawab pertanyaan kemudian mengajak Diandra dan Brandon pulang.
Gadis itu menyerahkan tas kepada Rendi dan Brandon. Ketiganya nampak berjalan keluar meninggalkan diskotik itu.
Dua puluh menit berselang, mereka sudah sampai di rumah gadis itu. Tampak seorang lelaki membuka pintu pagar dan gadis itu pun masuk. Lalu mengendap-endap menuju jendela, kemudian menghilang.
"Ah ... Nyampe rumah juga. Lumayan, dapet tambahan uang satu juta. Buat uang jajan si Bejo," ujarnya.
Diandra merebahkan dirinya dan tertidur, tanpa mengganti pakaian atau membersihkan tubuh terlebih dahulu.
Pukul sepuluh pagi, gadis itu mulai menggeliatkan tubuhnya. Setelah mendengar riuh di depan kamar yang di mulai dari satu jam yang lalu.
Gadis itu pun membuka pintu kamar. Tampak seorang wanita muda, seorang wanita paruh baya dan lelaki muda sudah berdiri di depan pintu kamarnya. Masing-masing mereka membawa panci, kuali, tutup panci lengkap dengan sendok berbahan stainless. Mereka bertiga adalah ibu, kakak perempuan dan kakak lelaki Diandra.
"Aduuuh, apaan sih ini? Pagi-pagi buta begini udah ada orkes di depan kamar, maaf ga ada uang receh," gerutu gadis itu saat membuka pintunya.
"Pagi-pagi buta dari mana? Tuh liat, udah jam berapa? Anak perawan bangunnya kok siang. Rejeki di patok ayam nanti baru tau rasa," sungut ibunya.
Sisy kemudian menjewer telinga anak bungsunya itu.
"Sakit, Ma, aduuuh duh ampun. Ya kalau rejekinya di patok ayam tinggal potong aja ayamnya. Jadi ga matok lagi kan, gitu aja kok repot," kilah Diandra sambil menggosok telinga yang terasa panas karena jeweran ibunya.
Kakak laki-laki Diandra tak kalah cerewet. Lelaki muda itu mengomentari kamar sang adik yang menurutnya mirip terkena badai.
"Hih, anak perawan kok kamarnya begini. Kaos kaki di lempar kemana-mana, handuk kok bisa ada di dekat tong sampah. Ini lagi, tas sudah berapa abad gak di cuci? Seprainya, astagaaaa, ini warna krem loh aslinya kenapa jadi berubah warna jadi kehitaman begini," cemooh Aris, kakak lelaki Diandra.
Begitulah kegaduhan di kamar Diandra dan itu terjadi setiap hari. Catat.
Setelah memastikan bahwa Diandra masih berada di dalam kamarnya, mereka pun bubar.
Meliana berangkat menuju klinik, Aris menuju bengkel motor, Darwin ayah mereka sudah berangkat ke kantor sejak jam delapan pagi tadi, sedangkan ibunya, Sisy, di rumah saja.
Dua jam berlalu, kini waktu menunjukkan pukul dua belas siang. Diandra keluar dari dalam kamar lalu menuju meja makan. Nampak ibunya sudah berada di sana. Setelah berbasa-basi, Diandra pun makan siang. Gadis itu menyendok makanannya sendiri.
"Diandra, astaga. Kamu itu perempuan kenapa makannya banyak banget sih. Papa aja makan ga banyak gitu, itu turunin kakinya," gerundel Sisy.
Sisy tidak habis pikir dengan tingkah anak bungsunya itu.
"Maklum aja, Ma, ini kan porsi tukang gitu loh. Lagian kan Diandra masih dalam masa pertumbuhan," sahut Diandra.
Gadis itu menyahuti ibunya dengan mulut yang masih berisi makanan.
"Itu makanan yang di mulut abisin dulu baru menjawab. Ga sopan banget kamu ini lagian, masa pertumbuhan dari mana? Umur kamu itu sudah 22 tahun," cibir Sisy kesal.
Meski sering ribut dengan anak bungsunya, Sisy sangat menyayangi Diandra rumah terasa sangat sepi jika tidak ada gadis itu.
Satu jam kemudian, Diandra berpamitan akan ke bengkel Aris, kakaknya.
Diandra pun menuju garasi yang terpisah dari rumah. Tampak sepeda motor berwarna merah dengan jenis Pigson. Gadis itu mengelus sepeda motor dan memeluknya bak memeluk seseorang.
"Halo, Bejo. Apa kau merindukanku? Tentu tidak. Yuk kita jajan ke bengkel Kak Aris, aku ada uang nih," kata Diandra bermonolog.
Tak perlu merasa aneh dengan tingkah Diandra yang suka bicara sendiri itu, Sedikit ajaib memang.
Gadis itu sebenarnya sangat cantik. Hanya saja penampilannya seperti lelaki. Namun bukan berarti tidak menyukai lawan jenis. Belum ada pikiran mencari pasangan begitu lah alasannya. Padahal lelaki takut dan menjauh karena sikapnya yang tidak menunjukkan bahwa dirinya itu perempuan.
Sepuluh menit berlalu, Diandra sudah sampai di bengkel milik kakaknya. Bengkel itu cukup besar juga luas karena dilengkapi tempat pencucian mobil. Suara bising kendaraan yang diservis, tak menganggu di telinga Diandra.
"Kak, aku mau ganti lampu si Bejo. Mau yang LED biar silau," pinta Diandra.
"Ya udah sana, Parman sebentar lagi selesai tuh, inget jangan ikut membongkar motor. Kamu ini taunnya bikin kacau aja, aku juga yang rugi nanti!" perintah Aris.
Diandra hanya tertawa mendengar omelan Aris. Sudah lebih dari dua kali dia membuat ulah. Satu minggu yang lalu, seorang pelanggan ingin mengganti oli sepeda motor. Dengan semangat gadis itu meminta ia saja yang mengerjakan. Hasilnya, sepeda motor itu di bongkar seluruhnya dan lupa memasang kembali knalpotnya. Setelah terpasang, ternyata tertukar dengan milik sepeda motor yang lain.
Diandra kini mematuhi perintah Aris. Gadis itu duduk sambil menunggu motor selesai. Untuk menghabiskan waktu dia mengajak pegawai bengkel berbincang agar tidak bosan.
Bejo alias sepeda motor kesayangan Diandra sudah selesai. Gadis itu pun membayar tagihan motornya itu di kasir, lalu berpamitan kepada kakaknya.
"Kamu mau kemana, Dek?" tanya Aris.
"Biasa, Kak. Ke butik sapa tau ketemu pangeran ngondek," jawab Diandra sambil beranjak pergi.
Diandra menghabiskan waktunya di toko itu hingga sore. Seorang wanita tinggi dengan penampilan elegan masuk ke dalam butik lalu melihat-lihat beberapa dress dan pakaian dalam.
Nampak plastik belanja sudah terisi beberapa potong pakaian dan pakaian dalam. Kini, wanita itu berjalan melihat tas tangan lalu memilih beberapa. Kemudian menuju kasir untuk membayar barang yang akan dibeli.
Diandra keluar dari butik dan menyalakan sepeda motornya. Wanita itu memakai kaca mata hitam lalu keluar menuju mobilnya.
Wanita itu memundurkan mobilnya tanpa melihat bahwa ada sepeda motor di samping yang juga akan keluar.
Braaaaak.
"Aduuuh," terdengar suara Diandra.
Diandra terjatuh dari sepeda motornya sendiri. Sementara wanita itu turun dari mobil.
Gadis berusaha bangkit. Kemudian wanita tadi berjalan mendekati Diandra yang susah payah berdiri, dan menyilangkan kedua tangan di dada.
"Heh! Liat tuh kelakuan kamu sama si Bejo. Terkulai lemah tak berdaya dan merebahkan tubuhnya ke bumi. Tanggung jawab ga! Bangunin tuh si Bejo!" sembur Diandra.
Wanita itu membuka kacamata hitamnya, lalu melepaskan sepatu hak tinggi dan letakkan di bagian belakang mobil, lalu membuat motor Diandra kembali berdiri.
"Loh?! Domo, ngapain kamu di sini? Ngikutin aku ya!" sergah Diandra.
Wanita yang dipanggil Domo itu tidak mengacuhkannya, dia mengambil kacamata dan sepatu yang di letakkan di bagian belakang mobil, lalu meninggalkan Diandra tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
"Sial banget aku, kenapa sih ketemu anak itu lagi. Tadi malem dia injek kaki aku, hari ini nabrak mobil, apa sih maunya itu anak!" hardik Handoko, sambil memukul stir mobilnya.
Diandra pun segera memeriksa keadaan Bejo, motor kesayangannya.
"Bejo, untung aja kamu cuma lecet dikit doang. Ga papa lah namanya juga laki," ujar gadis itu.
Gadis itu kemudian memeluk lalu menghidupkan sepeda motornya, kemudian pulang menuju rumah.
Setibanya di rumah, tampak sang ayah tengah berada di ruang keluarga, sedang berbicara santai dengan ibunya. Diandra berusaha menghindar.
"Diandra, sini sebentar, Nak," panggil Darwin.
Gadis tomboy nan cantik itu dengan langkah gontai mendekati ayahnya.
"Sore, Pa," sapa Diandra.
Gadis itu kemudian duduk di samping ayahnya dengan menggeser paksa sang ibu.
"Papa perhatikan, kamu makin sering sama si Bejo. Kapan kami lihat gadis bungsu ini dengan lelaki sungguhan?" tanya Darwin.
"Gimana laki-laki ada yang mau, Pa. Lihatlah penampilannya yang kumal seperti gak diurus. Seandainya Mama masih muda dan menjadi laki-laki, ga bakalan mau sama Diandra," seloroh Sisy.
"Mama kejam amat sama anak sendiri. Jangan-jangan Diandra boleh nemu di tong sampah," rajuk Diandra.
Darwin memeluk putri bungsunya. Lelaki itu membelai lembut rambut Diandra dengan penuh kasih sayang.
"Papa dan Mama jangan khawatir. Mel akan menjodohkan Diandra dengan adik Julia Hutomo," tukas Meliana yang mendengar pembicaraan mereka.
Sisy dan Darwin tercengang lalu saling bertukar pandang dengan raut wajah heran sambil melipat kening. Kemudian keduanya menatap Melianna dengan tatapan meminta penjelasan.
"Kamu ngomong apa barusan, Mel?" tanya Darwin.
Meliana pun menjelaskan bahwa Julia memiliki ide agar menjodohkan Diandra dengan adiknya, juga mengatakan jika Diandra juga tahu akan hal itu. Kini tinggal menunggu kabar dari keluarga Hutomo saja.
Diandra pamit menuju kamarnya. Sesampainya di kamar gadis itu pun membersihkan tubuh lalu melempar handuk begitu saja di sembarang arah.
Gadis itu pun memakai kaos oblong dan celana cargo pendek. Kemudian menuju meja makan.
Satu jam kemudian, meja makan sudah ramai dengan keluarga inti. Mereka makan malam dengan tenang. Setengah jam kemudian, makan malam pun usai. Diandra kembali berpamitan untuk ke kamar.
Pukul sepuluh malam, suasana rumah sudah sepi. Seperti biasa Diandra mengendap-endap untuk keluar. Sebuah mobil sudah menunggunya di luar pagar, mereka langsung berangkat ketika gadis itu sudah berada di dalam.
Melalui sebuah pesan singkat tadi sore, Leofrand memberitahu Diandra akan menunggu mereka di ruang tunggu diskotik. Tentu saja Rendi yang memberikan nomor ponsel Diandra.
Tak butuh waktu lama mereka bertiga akhirnya sudah sampai. Tampak Leofrand sudah menunggu. Wajahnya berbinar dan mengulas senyum saat melihat gadis tomboy itu datang.
Mereka duduk di tempat yang sudah di pilih Leofrand. Penari mulai berada di atas panggung. Seperti biasa, Rendi dan Brandon menitipkan tas mereka dan Brandon memberi upah untuk menjaga tas.
Leofrand tetap duduk di samping Diandra. Sesekali dia mencuri pandang menatap wajah gadis yang duduk tak jauh darinya.
Tampak seorang gadis berpenampilan minim di depan mereka. Menari seolah mengundang lelaki untuk datang kepadanya. Beberapa lelaki mulai berdatangan seperti semut yang mengerubungi gula. Namun wanita itu tetap menjaga jarak. Hingga salah seorang lelaki meremas bokong wanita itu.
Wanita itu menepis tangan lelaki kurang ajar dengan sopan. Namun diulangi kembali.
Buuugh.
"Aduuuh," teriak lelaki itu.
Terdengar suara gaduh. Ternyata Diandra memukul lelaki kurang ajar yang meremas bokong wanita. Lelaki itu tidak terima, bersiap akan memukul gadis itu. Namun Leofrand lebih dulu memukulnya.
Suasana diskotik itu sedikit gaduh. Sebagian ada yang tidak peduli, ada juga yang berusaha melerai.
Leofrand akhirnya mengajak Diandra pulang dengan terlebih dahulu berpamitan dengan kedua teman Diandra.
"Kamu ngapain cari ribut di sana?" tanya Leofrand, sambil menghidupkan mobilnya dan melajukannya.
"Siapa suruh melecehkan. Memang cara pakaian perempuan itu mengundang lelaki berbuat kurang ajar, tapi kan jangan begitu aku paling gak suka lihat yang gak adil. Lagian dia itu pelanggan butik aku," sahur Diandra.
Lelaki tampan itu menoleh sejenak, kemudian kembali fokus mengemudi.
'Cewek tomboy yang menarik. Tidak sia - sia aku mendekatinya,' batinnya.
Siapa sebenarnya Leofrand? Apakah ada niat tersembunyi dengan Diandra?
Leofrand pun kembali melajukan mobilnya, meninggalkan rumah Diandra. Lelaki itu kembali ke rumahnya. Hilang sudah keinginannya untuk kembali ke diskotik itu. Sesampainya di rumah, dirinya melihat ayahnya belum tidur. Masih nampak sibuk dengan pekerjaan dengan laptop di depannya. "Dari mana kamu? Gimana dengan anak bungsu Darwin? Apa kamu sudah berhasil mendekatinya?" tanya Mahendra, ayah Leofrand. "Sejauh ini baru aja kenalan Pa. Anak itu persis seperti informasi yang Papa berikan. Gadis aneh dan unik," jawab Leofrand. Mahendra pun merapikan kertas-kertas yang berada di mejanya. Lalu mengajak Leofrand untuk beristirahat, karena besok ada presentasi penting, merebut tender besar untuk perusahaan mereka. Di dalam kamar, Leofrand tidak bisa tidur. Lelaki itu selalu terbayang wajah Diandra dan tingkah konyolnya itu. Lalu tersenyum sendiri. Dua jam setelahnya akhirnya tertidur. Matahari mulai menyembul malu-malu dari peraduannya. Beberapa burung gereja berkejaran, hinggap di balkon ka
"Diandra ini kemana, sih. Udah sore begini belum pulang juga," resah Sisy. Wanita itu terus menatap ke arah pintu masuk. "Non Diandra biasanya sebentar lagi pulang, Nyonya," ucap Bi Munih. Kemudian Sisy menuju ruang keluarga dan duduk di sana. Lima menit kemudian, kembali gelisah. Anak bungsu kesayangan tetap juga belum tampak batang hidungnya. "Assalamualaikum, selamat petang pemirsa," sapa Diandra. Gadis itu melepas sepatunya, lalu melemparkan begitu saja ke sembarang arah. "Wa'alaikumussalam. Diandra, kamu ambil gak sepatu kamu itu! Simpan di rak, atau Mama buang!" perintah Sisy. Dia kesal dengan tingkah laku putri bungsunya itu. Diandra pun segera menuruti perintah ibunya itu, dengan memungut kembali sepatu yang sudah di lemparkan sembarangan itu, kemudian meletakkan di rak sepatu. "Mama, mau minta tolong sama kamu. Anterin ke butik ada perlu," titah Sisy. "Boleh, Ma. Syaratnya pakai motor ya. Sama si Bejo," sahut Diandra. Sisy menimbang sejenak. Dirinya sangat jarang, ba
"Bangun ... Diandra!" teriak Sisy. Wanita menggedor pintu kamar anak bungsunya itu. Seperti biasa, ritual membangunkan Diandra memang memakan waktu. Meski kamar tidak di kunci namun mereka tidak ada yang menerobos masuk ke kamar, jika tidak dalam keadaan darurat.Kemudian terdengar suara pintu di buka dari dalam. Tampak lah wajah bangun tidur Diandra."Kamu ini, anak perawan bangun jam sepuluh. Cepat mandi sana kita mau ke salon," perintah Sisy.Diandra hanya mengangguk, lalu kembali ke dalam kamar dengan pintu yang masih terbuka. Lalu menuju kamar mandi dan membersihkan tubuhnya.Setelah selesai, gadis itu menutup pintu kamarnya. Lalu memilih pakaian yang akan di kenakan. Kaos oblong berwarna abu-abu dan celana pendek se lutut, berbahan jeans, menjadi pilihan. Kemudian keluar kamar menuju ruang tamu."Astagaaaa ... Begini pakaian kamu ke salon? Apa ga bisa pakai rok atau apalah yang mencerminkan kalau kamu itu perempuan," keluh Sisy kesal. Dia resah melihat penampilan anaknya. Semen
"Allahuakbar ..." ucap Sisy dan Meliana melihat tingkah Diandra.Sisy dan Meliana saling pandang, kemudian membuang nafas kasar."Dek. Perhatikan Kakak, ya," perintah Meliana. Gadis itu berbicara dengan nada pelan namun, suara gemeratak gigi terdengar jelas.Meliana mencontohkan cara berjalan yang benar dan bagaimana membawa tas. Sepuluh menit kemudian, dia meminta Diandra mempraktekkan yang sudah diperagakannya tadi.Diandra mulai berjalan anggun. Sisy dan Meliana senang, namun ada hal yang membuat mereka kembali mengelus dada.Gadis tomboy itu berjalan sangat lambat, mirip pengantin tetapi sambil sedikit mengayunkan tubuhnya."Sudah bagus, Diandra. Ayo kita pulang," ajak Sisy karena merasa sudah putus asa.Sisy keluar ruangan. Diandra mengganti pakaiannya, melepas sepatu yang di pakai. Lalu di masukkan ke dalam kantong belanja. Kemudian menyusul ibu dan kakaknya. Meliana kemudian berpesan kepada karyawan, agar menutup butik.Waktu sudah menunjukkan pukul enam. Sisy meminta mereka un
"Cih, bukannya harusnya aku yang tanya? Kamu ini siapa? Marah-marah ga jelas di rumahku. kamu jangan geer kalau aku menyukaimu, yang tadi aku lakukan adalah menghormati orang tua dan berbakti kepada kedua orang tua," ejek Handoko.Julia meminta Handoko untuk tenang. Sementara Meliana melakukan hal yang sama kepada adiknya. Diandra kesal lalu berjalan keluar. Gadis itu kini duduk di teras menenangkan diri."Perjodohan apa-apaan ini? Aku ngebayangin cowok cool, keren. Kok malah si Domo sih? Ga sudi aku," gerutu Diandra.Julia dan Meliana menyusul Diandra ke teras. Sementara Handoko kembali ke kamarnya."Dek, kamu ga papa?" tanya Meliana."Aku kesal, Kak. Berusaha biar mempesona, eh malah ketemunya sama si Domo," jawab Diandra."Sebentar. Kamu sudah kenal Adikku? Dimana? Kapan?" tanya Julia penasaran.Diandra pun menceritakan bahwa setahun belakangan ini, mereka sering bertemu di taman. Biasanya saat bermain sepeda dua kali seminggu. Gadis itu menuturkan, bahwa dia tidak tahu sama sekali
"Kak, kenapa sedih?" tanya Handoko. Dia melihat kakaknya masuk kamar dengan wajah sedih."Tidak ada apa-apa, Dek. Kakak hanya lelah," jawab Julia. Gadis itu menghempaskan tubuh di kasur empuk milik adiknya.Handoko merasa ada yang salah dengan sikap kakaknya terasa ganjil. Hal ini karena Julia jarang sekali berwajah muram karena sedih.Lelaki itu kini berusaha berusaha berpikir, apakah yang menjadi penyebab kakaknya bersedih. Lalu mengingat kejadian hari ini."Kakak sedih karena si gadis tomboy itu ya? Sudahlah, tidak perlu di pikirkan. Aku selalu saja sial jika bertemu dengannya," urai Handoko.Hati lelaki itu kesal mengingat beberapa hari yang lalu dan berakhir di tendang teman si gadis tomboy."Dek, katanya kamu sama gadis itu sering ketemu di taman ya? Apa itu benar?" tanya Julia.Handoko pun mengangguk. Lalu menceritakan awal mula mereka bertemu senada dengan Diandra, Handoko tidak menceritakan pertemuan di diskotik."Jadi gitu Kak. Setiap ketemu ga pernah aman, sial terus padah
Awal pertemuan gadis yang bernama Maya dengan Handoko adalah ketika di undang Sinta sahabatnya untuk menghadiri sebuah acara amal untuk pembangunan sekolah dan menyediakan air minum di daerah terpencil . Maya memiliki mata cokelat dengan bulu mata yang lentik, senyum manis yang mampu mencairkan hati siapa pun di balik kecantikan dan keceriaannya, tersimpan obsesi yang mendalam terhadap seorang pria bernama Handoko, seorang pria kaya yang dingin menjadi idola semua anak gadis keluarga kaya. Handoko, dengan pesona yang memikat dan harta kekayaan yang melimpah, telah menyita perhatian Maya dan teman-temannya sejak pertama kali mereka bertemu di sebuah acara amal. Sejak saat itu, Maya merasa seperti terhipnotis oleh aura kekayaan dan ketampanan Handoko. Namun, teman-temannya, Lia dan Rani, menyadari bahwa Maya telah terperangkap dalam impiannya yang menurut mereka mustahil dan berulang kali menasehatinya. "Lia, Rani, aku yakin aku bisa membuat Handoko jatuh cinta padaku," cetus Maya b
"Kenapa harus Darwin yang jadi pemenang tender? Sial!" berang Mahendra. Lelaki itu nampak kesal sekali. Setelah beberapa hari yang lalu, mendapat kabar bahwa Darwin lah pemenang tender.Amarahnya mulai dari hari itu, sampai kini tidak juga kunjung reda. Lelaki itu merasa sudah sempurna dalam menyusun perencanaan namun malah Darwin yang menang. Padahal konsep dari pesaingnya itu sederhana."Sudahlah Pa. Masih banyak celah untuk membalas. Lagipula, jika kita menang, kita pasti sedikit repot karena sediaan bahan produksi kita tidak cukup untuk itu," papar Leofrand.Mahendra diam saja. Ada benarnya juga ucapan anaknya itu."Pa, kalau boleh tahu. Apa alasan papa membencinya? Bukankah dulu kalian bersahabat?'" tanya Leofrand.Mahendra menutup matanya, lalu mengatur nafasnya sebelum menjawab pertanyaan anaknya itu.Darwin pun menceritakan awal mula kisahnya dulu. Sebenarnya Dirinya, Darwin dan Sisy adalah sahabat. Mereka sepakat untuk tidak saling jatuh cinta mengingat hanya Sisy satu-satuny
[Syarat? Apakah sulit? Apa itu?] tanya Diandra.[Tidak sulit, aku akan memberitahumu nanti jika sudah ku pikirkan,] jawab Jhon.Diandra tidak mengungkapkan isi pembicaraannya dengan Jhon beberapa waktu lalu. Dia khawatir jika nanti Dara dan kakaknya menolak untuk berbulan madu.Bosan berbincang, mereka kemudian membubarkan diri menuju kamar masing-masing. Diandra termenung seorang sendiri, dia memikirkan apa syarat yang akan diajukan oleh Jhon kepadanya.‘Kira-kira apa ya syaratnya? Kok aku jadi was-was, ya? Duh mana boleh aku berburuk sangka begini,’ pikir Diandra.Waktu berlalu, kini Diandra serta keluarga yang lainnya sudah berada di bandar udara. Mereka mengantar tiga pasang pengantin baru untuk berbulan madu.“Hati-hati selama di kampung orang. Jaga tata krama, patuh sama peraturan setempat,” pesan Darwin.Berbagai macam pesan pun mereka lontarkan untuk para pasangan yang akan berbulan madu. Pengumuman akan keberangkatan negara tujuan pun terdengar. Mereka berpelukan dan melepas
“Apaan sih teriak-teriak!’ sembur Sisy.Tampak Diandra berjalan kian kemari mencari sesuatu. Sesekali dia menggaruk kepalanyan lalu menarik rambutnya karena kesal sambil menggerutu.Keluarganya dan yang lain memperhatikan perangai Diandra yang terbilang ... ajaib. Bagaimana tidak, usai berteriak, dia hilir mudik sambil menggerutu. Berbagai pertanyaan juga diabaikan begitu saja tanpa menjawab.“Hei ... wajan ikan paus. Kamu ini kenapa sih? Duduk dulu coba, kepala kami pusing liat kamu mondar mandir gak karuan. Liat tuh Mama sama Papa lengkap sama keluarga inti melototin kamu dari tadi.” Dara mendudukkan Diandra di atas tempat tidur.“Anu ... cincin tunangan aku ilang. Kan mahal itu,” ungkap Diandra.Semua yang mendengar terkejut, bagaimana bisa Diandra seceroboh itu. Sisy menghampiri Diandra dan segera menjewer telinganya karena gemas.“Itu yang gantung di kalung kamu apa? Setan? Pagi-pagi bikin emosi jiwa aja deh. Bisa rusak perawatan mukaku gara-gara kelakuan edan kamu itu,” geram Si
“Entahlah, aku aja bingung sama perasaanku,” keluh Diandra.“Apa ... aku boleh memberi saran? Menurutku dia yang terbaik untukmu. Ini dari sudut pandangku sebagai lelaki, seandainya kau gagal dengannya aku bersedia menikahimu, hahaha,” ujar Jhon berseloroh.Diandra tergelak, di dalam hati dia menggerutu bagaimana bisa pernikahan dibuat gurauan. Baginya pernikahan sekali seumur hidup dan jangan sampai melakukan kesalahan.Usai makan siang, mereka kembali ke kantor Diandra. Tiba di kantor, dia mendapat kabar dari bagian produksi kalau pesanan pria asing itu sudah selesai. Mereka menuju ruang produksi, tampak empat buah busana sudah terpajang di sana. Jhon mengamati dengan rinci setiap jahitan dan juga polanya. Dia tersenyum puas dan mengagumi busana yang sudah dipesan tersebut. Lelaki itu merogoh saku dan mengambil benda pipih dari dalam, lalu menghubungi timnya agar mempersiapkan penerbang an kembali ke negara asalnya.“Aku sangat puas, rasanya tidak sabar untuk memamerkan karya ini d
Lelaki itu adalah Handoko. Dia menatap rumah Dara dengan tangan terkepal, wajah memerah menahan amarah. Dia segera masuk ke dalam mobilnya dan melajukan ke rumah Diandra.Sesampainya di sana, Mahendra dan keluarganya di sambut dengan hangat. Berbagai makan dan minuman sudah di sediakan dengan cepat, bahkan beberapa makanan ringan akan menyusul kemudian.Acara lamaran pun di mulai dengan sangat sederhana. Namun, terasa khidmat. Dara terharu dengan keluarga Diandra dan juga ketulusan dari Orangtua Leofrand. Tukar cincin pun usai, pernikahan akan di laksanakan tiga minggu kemudian.“Cieee, selamat ya. Udah laku aja nih,” seloroh Diandra.“Selamat untuk kalian berdua. Sebagai sahabat dari Diandra, aku akan memberikan hadiah berbulan madu di pulau pribadi milikku selama satu bulan,” ujar Jhon.Suasana terasa hangat. Beberapa kali Dara menyeka air mata yang selalu menetes, dan Leofrand perhatikan itu.Suguhan makanan ringan dan teh dengan kualitas terbaik pun di suguhkan, mereka sangat meni
Diandra menoleh ke arah sumber suara. Tampak olehnya lelaki asing tersebut berjalan ke arahnya.“Tuan Jhon? Saya kira Anda kembali ke hotel untuk beristirahat,” cakap Diandra dengan menggunakan bahasa asing.“Tidak, saya ingin tahu bagaimana pakaian yang luar biasa itu tercipta,” sahut Jhon.Diandra kemudian mengajak pria asing itu duduk di sebuah bangku panjang yang berada di sudut. Keduanya duduk di sana sambil mengamati pekerja yang sedang melaksakana tugasnya dengan serius.“Maaf jika aku lancang karena ini adalah ranah pribadi, apakah lelaki yang di rumah sakit tadi adalah tunanganmu?” tanya Jhon.Diandra menoleh sebentar, kemudian menatap lurus dan menceritakan kisah cintanya. Satu jam sudah Jhon menjadi pendengar setia tanpa menyela sepatah katapun.“Anda luar biasa. Di tengah drama hidup percintaan masih bersikap profesional, salut.” Jhon bertepuk tangan pelan.Senyum patah nan pahit terukir dari bibir Diandra.‘Orang bule ini aneh banget sih. Orang lagi galau begini malah di
“Apa aku boleh masuk? Enak bener makan sendirian ga ngajak-ngajak,” sapa Fikri.Diandra mengangguk sambil meneguk air karena batuk tersedak.“Aku duduk ya.” Fikri menutup pintu kemudian duduk di depan Diandra.Diandra segera membersihkan tangan dengan tisu, jantungnya berdebar dan suasana sedikit kaku karena kehadiran lelaki yang kini duduk di hadapannya.Fikri menatap lembut gadis yang diam-diam sangat di rindui selama beberapa bulan ini. Ingin rasanya dia memeluk tubuh Diandra, jika saja tidak melanggar peraturan agama yang di anut.Fikri segera menyadari kesalahannya. Duduk berdua dalam ruangan tertutup saja akan menimbulkan fitnah dan dosa. Dia kemudian mengajak Diandra duduk di sofa yang di peruntukkan bagi pelanggan.“Maaf aku tadi lancang. Kangen banget sama kamu, Di,” ungkap Fikri.Diandra diam saja. Hatinya memang berdebar saat lelaki yang pernah menjadi penghuni hati datang tiba-tiba. Dia juga tidak menampik jika bahagia datang begitu saja saat mendengar suara serta senyum t
“Diandra kenapa bisa pingsan begini?” tanya Meliana.“Doi pingsan begitu denger transferan 1M, Cin,” terang karyawan Diandra yang ... bertubuh pria berperangai wanita.Meliana tidak kuasa menahan tawa dan terbahak-bahak. Suara tawa itu membuat Diandra siuman.“Satu miliar, mana satu miliar,” ucap Diandra panik.“Hei ... tenang, Sayang. Ini kakak,” kata Meliana.Mata Diandra terbelalak dan memindai sekitar kemudian melompat dari tempat tidur dan berlari, dengan sigap Meliana menagkap tubuh adiknya tersebut.“Tamunya, kak. Aduh bisa gagal ini satu miliar,” cemas Diandra.“Di, di sana ada Mama. Sebentar lagi mereka sampai,” jelas Meliana.Mendengar itu, Diandra kembali ketempat tidur dan berbaring seolah-olang pingsan. Meliana melipat dahi karena bingung dengan apa yang di lakukan adiknya itu.Tak lama terdengar suara menggunakan bahasa asing, tampak pria asing tampan bermata biru bersama sang ibu.Sisy memperkenalkan Meliana kepada tamunya yang bernama Jhon tersebut.“Anda Ibu yang lua
Diandra kehilangan keseimbangan dan hampir saja menabrak pejalan kaki. Dia menepi sejenak guna menenangkan diri.“Sial emang si Domo. Pake acara hampir jatoh segala,” gerutu Diandra.Usai merasa tenang, Diandra kembali melanjutkan perjalanan. Sesampainya di rumah, dia terkejut melihat mobil milik Handoko terparkir di sana.Diandra menarik napas kemudian masuk ke dalam rumah setelah mengucapkan salam terlebih dahulu.“Di, kok kamu pulang telat, sibuk banget ya sekarang?” sapa Handoko.“Iya.” Diandra duduk di sisi Darwin dan menyandarkan kepala di bahu sang Ayah.Handoko tersenyum, melihat dan mendengar suara Diandra saja sudah cukup untuk melepas rasa rindunya selama ini. Dia memandang lekat gadis pujaan hati dan berusaha merekam semuanya untuk di kenang saat rindu menyapa jiwa.Puas memandang selama sepuluh menit, lelaki itu kemudian pamit untuk kembali.“Udah malem, Om, Tante. Saya pulang dulu, assalamualaikum,” pamit Handoko.“Kok buru-buru banget, sih? Waalaikumussalam,” kata Sisy.
Diandra sangat sibuk sekarang. Tidak ada yang berubah dari penampilannya, sikap yang semakin matang serta waspada dalam mengelola usaha yang menjadi pembeda. Selebihnya sama saja seperti yang sudah-sudah.Perlahan Fikiri dan Handoko sudah terkikis dari dalam pikiran dan hatinya, dia tak lagi mau di pusingkan dengan masalah asmara. Baginya masa lalu biarlah tetap berada di tempatnya dan tidak menganggu di kehidupan masa kini. Di kenang jika dia ingin.Sisy kini merasa kehilangan sikap konyol putri bungsunya, karena kini Diandra pulang dari butik langsung menuju kamar setelah berbasa basi sejenak.“Kangen sama anakku yang dulu, sering bikin sakit kepala sih tapi, aku suka,” keluh Sisy.“Berarti dia sekarang lagi belajar dewasa, Ma. Biarkan aja,” kata Darwin.“Papa ga khawatir? Siapa tau aja dia tiba-tiba minta nikah,” cetus Sisy.Darwin melipat kening, perkataan sang istri baru saja masuk akal. Bagaimana jika putri bungsunya tiba-tiba meminta untuk menikah? Hatinya belum siap melepas pu