"Diandra ini kemana, sih. Udah sore begini belum pulang juga," resah Sisy.
Wanita itu terus menatap ke arah pintu masuk.
"Non Diandra biasanya sebentar lagi pulang, Nyonya," ucap Bi Munih.
Kemudian Sisy menuju ruang keluarga dan duduk di sana. Lima menit kemudian, kembali gelisah. Anak bungsu kesayangan tetap juga belum tampak batang hidungnya.
"Assalamualaikum, selamat petang pemirsa," sapa Diandra.
Gadis itu melepas sepatunya, lalu melemparkan begitu saja ke sembarang arah.
"Wa'alaikumussalam. Diandra, kamu ambil gak sepatu kamu itu! Simpan di rak, atau Mama buang!" perintah Sisy.
Dia kesal dengan tingkah laku putri bungsunya itu. Diandra pun segera menuruti perintah ibunya itu, dengan memungut kembali sepatu yang sudah di lemparkan sembarangan itu, kemudian meletakkan di rak sepatu.
"Mama, mau minta tolong sama kamu. Anterin ke butik ada perlu," titah Sisy.
"Boleh, Ma. Syaratnya pakai motor ya. Sama si Bejo," sahut Diandra.
Sisy menimbang sejenak. Dirinya sangat jarang, bahkan nyaris tidak pernah keluar memakai motor atau dibonceng sepeda motor. Namun karena ada pertemuan mendadak mau tidak mau dia harus setuju.
"Ga bahaya, tah?" tanya Sisy.
"Yo, bahaya," jawab Diandra asal.
Sisy menepuk bahu Diandra kesal. Memang anak bungsunya ini jarang sekali bisa di ajak berbicara dengan serius.
Gadis itu menyerahkan pelindung kepala atau biasa di kenal dengan sebutan helm kepada Sisy. Lalu memakai helm untuknya juga. Setelah selesai Diandra melajukan sepeda motor menuju butik.
Di sepanjang jalan Sisy berteriak ketakutan. Bagaimana tidak, Diandra melajukan sepeda motornya dengan kecepatan sedang cenderung tinggi, kemudian menyalip mobil dan motor lainnya sesukanya.
Sesampainya di halaman parkir butik, Sisy memarahi putrinya itu. Diandra mendengar omelan sang ibu dengan menundukkan kepalanya.
"Sudahlah, Mama itu seneng bener mempermasalahkan masalah yang tidak terlalu bermasalah karena dengan begitu, masalah yang sedang menjadi masalah akan lebih bermasalah," balas Diandra tidak mau kalah.
"Udah ah, pusing Mama ngomong sama kamu. Nanti Mama pulang sendiri, kamu langsung pulang aja," perintah Sisy.
Wanita itu kemudian masuk ke dalam butik. Meninggalkan Diandra sendirian di tempat parkir.
Diandra pun tertawa, kemudian melajukan sepeda motor menuju rumah milik kedua orangtua nya.
"Maaf, sudah menunggu lama?" tanya Sisy dengan perasaan tidak enak.
"Belum, Tante Sisy. Baru juga tiga puluh menit," jawab Julia.
Kemudian Sisy mengajak Julia, tamunya itu untuk berbicara di dalam kantor saja. Supaya lebih leluasa.
"Tante sudah dengar dari Meliana, apa kalian serius dengan rencana itu? Julia sudah tahu kan Diandra itu bagaimana. Menurutku, sedikit mengkhawatirkan jika menjodohkan mereka," beber Sisy.
"Saya dan Meli yakin. Kami berusaha untuk memperbaiki kepribadian keduanya yang terbalik. Handoko berada di tangan yang tepat," tandas Julia yakin.
Sisy masih mengkhawatirkan tingkah laku putri bungsunya itu. Keluarga Julia bukanlah yang bisa di singgung. Jika ini terjadi tentu akan berimbas pada bisnis Darwin.
Julia seperti memahami pikiran Sisy. Kemudian dia menjelaskan bahwa akan merundingkan tentang hal perjodohan ini dan berjanji tidak akan berpengaruh apapun jika seandainya gagal.
Sisy menghembuskan nafas lega. Kemudian mengatakan kapan pun siap jika keluarga Hutomo akan mengadakan pertemuan keluarga terlebih dahulu. Satu jam berlalu, pembicaraan mereka pun selesai. Julia mengantarkan Sisy kembali ke rumahnya.
Sesampainya di rumah, Julia mendengar suara tawa dari adik dan kedua orangtuanya.
"Waaah, sepertinya seru sekali. Ada apa ini?" tanya Julia sambil mencium pipi ibunya.
Willa pun menceritakan kisahnya di masa kecil dulu. Ketika dirinya semasa kecil di kejar seekor anjing dan nekat memanjat pohon, namun tak bisa untuk turun dan hampir tiga jam berada di atas pohon lalu menangis ketakutan.Julia pun ikut tertawa. Kemudian gadis itu menyampaikan kepada kedua orang tuanya, untuk menjodohkan Handoko dengan putri bungsu dari Darwin.Handoko menanggapi dengan sikap dingin. Raut tidak suka tergambar di wajahnya."Darwin? Aku pernah mendengarnya. Dia lelaki yang baik, tegas serta jujur. Papa menyukainya. Anak-anaknya juga punya masa depan yang bagus. Kalau tidak salah, Meliana sahabatmu kan? Ma, sebaiknya kita atur saja pertemuan keluarga secepatnya," pinta Hari."Nanti Mama atur harinya. Tiga hari dari sekarang sepertinya bagus," sambung Willa.Julia pun mengatakan akan menghubungi pihak Darwin segera dan mempertemukan calon tunangan Handoko."Tuan, Nyonya. Makan malam sudah siap," ujar Bi Surti.Mereka ber empat pun berjalan menuju meja makan. Bi Surti sudah menghidangkan semua makanan di meja makan. Peralatan makan pun sudah tersusun rapi.Mereka kemudian mulai makan malam. Tidak ada pembicaraan selama makan malam berlangsung. Hanya suara dentingan sendok yang beradu dengan piring yang terdengar.Hari ini semua menjalani aktivitas seperti biasa. Termasuk Diandra, pagi ini gadis itu sudah tiba di butiknya. Diandra nampak sibuk dengan pembukuan. Banyak tagihan yang harus di urus, termasuk gaji karyawan yang harus dibayarkan sore ini.Diandra tenggelam dengan kesibukannya. Hingga pukul delapan malam, ponselnya berdering. Sang Ratu, demikian nama yang tertera pada ponselnya. Tentu saja itu adalah nomor ponsel Sisy, ibu Diandra.
"Assalamualaikum, Ma. Ada apa?" tanya Diandra."Wa'alaikumussalam, kamu kok belum pulang, Nak. Ini sudah jam delapan loh," jawab Sisy.Diandra pun mengatakan, bahwa dirinya akan pulang setengah jam lagi. Gadis itu kini bersiap untuk pulang ke rumah. Tampak karyawan sedang bergurau sambil menutup butik itu. "Terima kasih atas kerja samanya hari ini, semangat habiskan uang gaji ya, hahaha," seloroh Diandra. Mereka pun tertawa, satu persatu karyawan sudah meninggalkan butik. Diandra adalah orang terakhir. Tak butuh waktu lama gadis itu sudah sampai di rumahnya."Di, sini sebentar, Nak. Ada yang mau kami bicarakan," panggil Sisy.Diandra pun mendekati kedua orang tua dan kedua kakaknya. Lalu duduk di samping Meliana."Diandra, besok malam kita mau ke rumah pengusaha besar. Papa harap kamu gak buat ulah di sana," kata Darwin serius."Jaga sikap kamu, Mama sudah siapkan pakaian yang bakal kamu pakai besok malam," imbuh Sisy.Diandra hanya diam. Memandang wajah kedua orang tua dan kedua kakaknya dengan tatapan bingung."Eheem ... Jadi gini, Dek, besok itu pertemuan keluarga. Kami berniat menjodohkan kamu sama anak bungsu dari keluarga itu," ungkap Aris.Diandra tiba-tiba berdiri. Namun tangannya di tarik oleh Meliana agar duduk kembali.Gadis itu termenung. Kemudian tersenyum dan mengatakan setuju dengan rencana keluarganya itu. Diandra memang tampak urakan tetapi dia adalah anak yang penurut. Meski sering bertindak sesuka hati.Setelah selesai, Diandra pun pamit untuk ke kamarnya. Kedua orang tuanya mengangguk, gadis itu pun berlalu menuju kamar.Sesampainya di kamar, Diandra membersihkan tubuhnya. Lalu mengganti pakaian dan merebahkan diri di kasur empuk nan nyaman itu."Hmmm ... Seperti apa ya lelaki yang akan di jodohkan untukku?" gumam Diandra. Apa yang terjadi besok? Apakah sesuai dengan angan-angan Diandra? Atau ... Malah jadi kacau?"Bangun ... Diandra!" teriak Sisy. Wanita menggedor pintu kamar anak bungsunya itu. Seperti biasa, ritual membangunkan Diandra memang memakan waktu. Meski kamar tidak di kunci namun mereka tidak ada yang menerobos masuk ke kamar, jika tidak dalam keadaan darurat.Kemudian terdengar suara pintu di buka dari dalam. Tampak lah wajah bangun tidur Diandra."Kamu ini, anak perawan bangun jam sepuluh. Cepat mandi sana kita mau ke salon," perintah Sisy.Diandra hanya mengangguk, lalu kembali ke dalam kamar dengan pintu yang masih terbuka. Lalu menuju kamar mandi dan membersihkan tubuhnya.Setelah selesai, gadis itu menutup pintu kamarnya. Lalu memilih pakaian yang akan di kenakan. Kaos oblong berwarna abu-abu dan celana pendek se lutut, berbahan jeans, menjadi pilihan. Kemudian keluar kamar menuju ruang tamu."Astagaaaa ... Begini pakaian kamu ke salon? Apa ga bisa pakai rok atau apalah yang mencerminkan kalau kamu itu perempuan," keluh Sisy kesal. Dia resah melihat penampilan anaknya. Semen
"Allahuakbar ..." ucap Sisy dan Meliana melihat tingkah Diandra.Sisy dan Meliana saling pandang, kemudian membuang nafas kasar."Dek. Perhatikan Kakak, ya," perintah Meliana. Gadis itu berbicara dengan nada pelan namun, suara gemeratak gigi terdengar jelas.Meliana mencontohkan cara berjalan yang benar dan bagaimana membawa tas. Sepuluh menit kemudian, dia meminta Diandra mempraktekkan yang sudah diperagakannya tadi.Diandra mulai berjalan anggun. Sisy dan Meliana senang, namun ada hal yang membuat mereka kembali mengelus dada.Gadis tomboy itu berjalan sangat lambat, mirip pengantin tetapi sambil sedikit mengayunkan tubuhnya."Sudah bagus, Diandra. Ayo kita pulang," ajak Sisy karena merasa sudah putus asa.Sisy keluar ruangan. Diandra mengganti pakaiannya, melepas sepatu yang di pakai. Lalu di masukkan ke dalam kantong belanja. Kemudian menyusul ibu dan kakaknya. Meliana kemudian berpesan kepada karyawan, agar menutup butik.Waktu sudah menunjukkan pukul enam. Sisy meminta mereka un
"Cih, bukannya harusnya aku yang tanya? Kamu ini siapa? Marah-marah ga jelas di rumahku. kamu jangan geer kalau aku menyukaimu, yang tadi aku lakukan adalah menghormati orang tua dan berbakti kepada kedua orang tua," ejek Handoko.Julia meminta Handoko untuk tenang. Sementara Meliana melakukan hal yang sama kepada adiknya. Diandra kesal lalu berjalan keluar. Gadis itu kini duduk di teras menenangkan diri."Perjodohan apa-apaan ini? Aku ngebayangin cowok cool, keren. Kok malah si Domo sih? Ga sudi aku," gerutu Diandra.Julia dan Meliana menyusul Diandra ke teras. Sementara Handoko kembali ke kamarnya."Dek, kamu ga papa?" tanya Meliana."Aku kesal, Kak. Berusaha biar mempesona, eh malah ketemunya sama si Domo," jawab Diandra."Sebentar. Kamu sudah kenal Adikku? Dimana? Kapan?" tanya Julia penasaran.Diandra pun menceritakan bahwa setahun belakangan ini, mereka sering bertemu di taman. Biasanya saat bermain sepeda dua kali seminggu. Gadis itu menuturkan, bahwa dia tidak tahu sama sekali
"Kak, kenapa sedih?" tanya Handoko. Dia melihat kakaknya masuk kamar dengan wajah sedih."Tidak ada apa-apa, Dek. Kakak hanya lelah," jawab Julia. Gadis itu menghempaskan tubuh di kasur empuk milik adiknya.Handoko merasa ada yang salah dengan sikap kakaknya terasa ganjil. Hal ini karena Julia jarang sekali berwajah muram karena sedih.Lelaki itu kini berusaha berusaha berpikir, apakah yang menjadi penyebab kakaknya bersedih. Lalu mengingat kejadian hari ini."Kakak sedih karena si gadis tomboy itu ya? Sudahlah, tidak perlu di pikirkan. Aku selalu saja sial jika bertemu dengannya," urai Handoko.Hati lelaki itu kesal mengingat beberapa hari yang lalu dan berakhir di tendang teman si gadis tomboy."Dek, katanya kamu sama gadis itu sering ketemu di taman ya? Apa itu benar?" tanya Julia.Handoko pun mengangguk. Lalu menceritakan awal mula mereka bertemu senada dengan Diandra, Handoko tidak menceritakan pertemuan di diskotik."Jadi gitu Kak. Setiap ketemu ga pernah aman, sial terus padah
Awal pertemuan gadis yang bernama Maya dengan Handoko adalah ketika di undang Sinta sahabatnya untuk menghadiri sebuah acara amal untuk pembangunan sekolah dan menyediakan air minum di daerah terpencil . Maya memiliki mata cokelat dengan bulu mata yang lentik, senyum manis yang mampu mencairkan hati siapa pun di balik kecantikan dan keceriaannya, tersimpan obsesi yang mendalam terhadap seorang pria bernama Handoko, seorang pria kaya yang dingin menjadi idola semua anak gadis keluarga kaya. Handoko, dengan pesona yang memikat dan harta kekayaan yang melimpah, telah menyita perhatian Maya dan teman-temannya sejak pertama kali mereka bertemu di sebuah acara amal. Sejak saat itu, Maya merasa seperti terhipnotis oleh aura kekayaan dan ketampanan Handoko. Namun, teman-temannya, Lia dan Rani, menyadari bahwa Maya telah terperangkap dalam impiannya yang menurut mereka mustahil dan berulang kali menasehatinya. "Lia, Rani, aku yakin aku bisa membuat Handoko jatuh cinta padaku," cetus Maya b
"Kenapa harus Darwin yang jadi pemenang tender? Sial!" berang Mahendra. Lelaki itu nampak kesal sekali. Setelah beberapa hari yang lalu, mendapat kabar bahwa Darwin lah pemenang tender.Amarahnya mulai dari hari itu, sampai kini tidak juga kunjung reda. Lelaki itu merasa sudah sempurna dalam menyusun perencanaan namun malah Darwin yang menang. Padahal konsep dari pesaingnya itu sederhana."Sudahlah Pa. Masih banyak celah untuk membalas. Lagipula, jika kita menang, kita pasti sedikit repot karena sediaan bahan produksi kita tidak cukup untuk itu," papar Leofrand.Mahendra diam saja. Ada benarnya juga ucapan anaknya itu."Pa, kalau boleh tahu. Apa alasan papa membencinya? Bukankah dulu kalian bersahabat?'" tanya Leofrand.Mahendra menutup matanya, lalu mengatur nafasnya sebelum menjawab pertanyaan anaknya itu.Darwin pun menceritakan awal mula kisahnya dulu. Sebenarnya Dirinya, Darwin dan Sisy adalah sahabat. Mereka sepakat untuk tidak saling jatuh cinta mengingat hanya Sisy satu-satuny
Di dalam mobil Dara menanyakan apa maksud dari kalimat sahabatnya itu. Diandra pun menceritakan tujuan perjodohan antara dirinya dengan lelaki itu dan juga kejadian di kolam renang tempo hari. "Jadi begitu ceritanya. Kejadian di kolam renang itu yang bikin emosi. Waktu dia gendong aku ke kursi, aku ngerasa loh kalo ada sesuatu yang mengeras di bagian tengah badannya. Mesum banget kan?" ujar gadis itu kesal. Dara terdiam, memikirkan cerita sahabatnya itu. Ada hal yang ganjil dengan perilaku Domo itu. Lelaki yang mereka berdua kenal. Dara hanya dua kali melihat Domo berpakaian wanita, saat di mall lalu di butik terkenal dan mahal. "Tapi Di. Dari cerita kamu barusan, berarti si Domo normal dong tapi, kenapa perilakunya begitu ya?" ujar Dara. "Nah bener juga. Apa karena itu mereka bersikeras untuk menjodohkan kami? Alasannya karena sifat dan sikap kami yang bertolak belakang?" jawab Diandra. Dara pun mengusulkan agar sahabat nya itu mem
Handoko masuk ke dalam kamarnya. Hatinya kesal sekali karena tidak bertemu dengan gadis tomboy itu. Lelaki itu memilih tidur setelah membersihkan tubuhnya dan melewatkan makan malamnya. Suasana hatinya sedang buruk sekarang. Pagi-pagi sekali usai salat subuh, di bawah terdengar sibuk sekali. Handoko merasa tidurnya terganggu lalu berjalan menuruni tangga dan melihat apa yang sedang terjadi. "Loh, kok ada koper besar? Mama sama Papa mau kemana? Keluar negeri lagi?" tanya Handoko heran. Willa dan Hari saling pandang lalu menatap putranya itu dengan bingung. "Kami mau ke kota sebelah, Diandra besok ada event di sana. Sudah dari beberapa hari yang lalu dia ada di sana, masa kamu ga tau sih?" ujar Willa. Handoko diam mematung. Pantas saja gadis itu tidak bisa di temukan di manapun ternyata di luar kota. "Kami berangkat dulu ya. Takut ketinggalan pesawat. Biar calon mantu senang kalau kami datang," ujar Willa
[Syarat? Apakah sulit? Apa itu?] tanya Diandra.[Tidak sulit, aku akan memberitahumu nanti jika sudah ku pikirkan,] jawab Jhon.Diandra tidak mengungkapkan isi pembicaraannya dengan Jhon beberapa waktu lalu. Dia khawatir jika nanti Dara dan kakaknya menolak untuk berbulan madu.Bosan berbincang, mereka kemudian membubarkan diri menuju kamar masing-masing. Diandra termenung seorang sendiri, dia memikirkan apa syarat yang akan diajukan oleh Jhon kepadanya.‘Kira-kira apa ya syaratnya? Kok aku jadi was-was, ya? Duh mana boleh aku berburuk sangka begini,’ pikir Diandra.Waktu berlalu, kini Diandra serta keluarga yang lainnya sudah berada di bandar udara. Mereka mengantar tiga pasang pengantin baru untuk berbulan madu.“Hati-hati selama di kampung orang. Jaga tata krama, patuh sama peraturan setempat,” pesan Darwin.Berbagai macam pesan pun mereka lontarkan untuk para pasangan yang akan berbulan madu. Pengumuman akan keberangkatan negara tujuan pun terdengar. Mereka berpelukan dan melepas
“Apaan sih teriak-teriak!’ sembur Sisy.Tampak Diandra berjalan kian kemari mencari sesuatu. Sesekali dia menggaruk kepalanyan lalu menarik rambutnya karena kesal sambil menggerutu.Keluarganya dan yang lain memperhatikan perangai Diandra yang terbilang ... ajaib. Bagaimana tidak, usai berteriak, dia hilir mudik sambil menggerutu. Berbagai pertanyaan juga diabaikan begitu saja tanpa menjawab.“Hei ... wajan ikan paus. Kamu ini kenapa sih? Duduk dulu coba, kepala kami pusing liat kamu mondar mandir gak karuan. Liat tuh Mama sama Papa lengkap sama keluarga inti melototin kamu dari tadi.” Dara mendudukkan Diandra di atas tempat tidur.“Anu ... cincin tunangan aku ilang. Kan mahal itu,” ungkap Diandra.Semua yang mendengar terkejut, bagaimana bisa Diandra seceroboh itu. Sisy menghampiri Diandra dan segera menjewer telinganya karena gemas.“Itu yang gantung di kalung kamu apa? Setan? Pagi-pagi bikin emosi jiwa aja deh. Bisa rusak perawatan mukaku gara-gara kelakuan edan kamu itu,” geram Si
“Entahlah, aku aja bingung sama perasaanku,” keluh Diandra.“Apa ... aku boleh memberi saran? Menurutku dia yang terbaik untukmu. Ini dari sudut pandangku sebagai lelaki, seandainya kau gagal dengannya aku bersedia menikahimu, hahaha,” ujar Jhon berseloroh.Diandra tergelak, di dalam hati dia menggerutu bagaimana bisa pernikahan dibuat gurauan. Baginya pernikahan sekali seumur hidup dan jangan sampai melakukan kesalahan.Usai makan siang, mereka kembali ke kantor Diandra. Tiba di kantor, dia mendapat kabar dari bagian produksi kalau pesanan pria asing itu sudah selesai. Mereka menuju ruang produksi, tampak empat buah busana sudah terpajang di sana. Jhon mengamati dengan rinci setiap jahitan dan juga polanya. Dia tersenyum puas dan mengagumi busana yang sudah dipesan tersebut. Lelaki itu merogoh saku dan mengambil benda pipih dari dalam, lalu menghubungi timnya agar mempersiapkan penerbang an kembali ke negara asalnya.“Aku sangat puas, rasanya tidak sabar untuk memamerkan karya ini d
Lelaki itu adalah Handoko. Dia menatap rumah Dara dengan tangan terkepal, wajah memerah menahan amarah. Dia segera masuk ke dalam mobilnya dan melajukan ke rumah Diandra.Sesampainya di sana, Mahendra dan keluarganya di sambut dengan hangat. Berbagai makan dan minuman sudah di sediakan dengan cepat, bahkan beberapa makanan ringan akan menyusul kemudian.Acara lamaran pun di mulai dengan sangat sederhana. Namun, terasa khidmat. Dara terharu dengan keluarga Diandra dan juga ketulusan dari Orangtua Leofrand. Tukar cincin pun usai, pernikahan akan di laksanakan tiga minggu kemudian.“Cieee, selamat ya. Udah laku aja nih,” seloroh Diandra.“Selamat untuk kalian berdua. Sebagai sahabat dari Diandra, aku akan memberikan hadiah berbulan madu di pulau pribadi milikku selama satu bulan,” ujar Jhon.Suasana terasa hangat. Beberapa kali Dara menyeka air mata yang selalu menetes, dan Leofrand perhatikan itu.Suguhan makanan ringan dan teh dengan kualitas terbaik pun di suguhkan, mereka sangat meni
Diandra menoleh ke arah sumber suara. Tampak olehnya lelaki asing tersebut berjalan ke arahnya.“Tuan Jhon? Saya kira Anda kembali ke hotel untuk beristirahat,” cakap Diandra dengan menggunakan bahasa asing.“Tidak, saya ingin tahu bagaimana pakaian yang luar biasa itu tercipta,” sahut Jhon.Diandra kemudian mengajak pria asing itu duduk di sebuah bangku panjang yang berada di sudut. Keduanya duduk di sana sambil mengamati pekerja yang sedang melaksakana tugasnya dengan serius.“Maaf jika aku lancang karena ini adalah ranah pribadi, apakah lelaki yang di rumah sakit tadi adalah tunanganmu?” tanya Jhon.Diandra menoleh sebentar, kemudian menatap lurus dan menceritakan kisah cintanya. Satu jam sudah Jhon menjadi pendengar setia tanpa menyela sepatah katapun.“Anda luar biasa. Di tengah drama hidup percintaan masih bersikap profesional, salut.” Jhon bertepuk tangan pelan.Senyum patah nan pahit terukir dari bibir Diandra.‘Orang bule ini aneh banget sih. Orang lagi galau begini malah di
“Apa aku boleh masuk? Enak bener makan sendirian ga ngajak-ngajak,” sapa Fikri.Diandra mengangguk sambil meneguk air karena batuk tersedak.“Aku duduk ya.” Fikri menutup pintu kemudian duduk di depan Diandra.Diandra segera membersihkan tangan dengan tisu, jantungnya berdebar dan suasana sedikit kaku karena kehadiran lelaki yang kini duduk di hadapannya.Fikri menatap lembut gadis yang diam-diam sangat di rindui selama beberapa bulan ini. Ingin rasanya dia memeluk tubuh Diandra, jika saja tidak melanggar peraturan agama yang di anut.Fikri segera menyadari kesalahannya. Duduk berdua dalam ruangan tertutup saja akan menimbulkan fitnah dan dosa. Dia kemudian mengajak Diandra duduk di sofa yang di peruntukkan bagi pelanggan.“Maaf aku tadi lancang. Kangen banget sama kamu, Di,” ungkap Fikri.Diandra diam saja. Hatinya memang berdebar saat lelaki yang pernah menjadi penghuni hati datang tiba-tiba. Dia juga tidak menampik jika bahagia datang begitu saja saat mendengar suara serta senyum t
“Diandra kenapa bisa pingsan begini?” tanya Meliana.“Doi pingsan begitu denger transferan 1M, Cin,” terang karyawan Diandra yang ... bertubuh pria berperangai wanita.Meliana tidak kuasa menahan tawa dan terbahak-bahak. Suara tawa itu membuat Diandra siuman.“Satu miliar, mana satu miliar,” ucap Diandra panik.“Hei ... tenang, Sayang. Ini kakak,” kata Meliana.Mata Diandra terbelalak dan memindai sekitar kemudian melompat dari tempat tidur dan berlari, dengan sigap Meliana menagkap tubuh adiknya tersebut.“Tamunya, kak. Aduh bisa gagal ini satu miliar,” cemas Diandra.“Di, di sana ada Mama. Sebentar lagi mereka sampai,” jelas Meliana.Mendengar itu, Diandra kembali ketempat tidur dan berbaring seolah-olang pingsan. Meliana melipat dahi karena bingung dengan apa yang di lakukan adiknya itu.Tak lama terdengar suara menggunakan bahasa asing, tampak pria asing tampan bermata biru bersama sang ibu.Sisy memperkenalkan Meliana kepada tamunya yang bernama Jhon tersebut.“Anda Ibu yang lua
Diandra kehilangan keseimbangan dan hampir saja menabrak pejalan kaki. Dia menepi sejenak guna menenangkan diri.“Sial emang si Domo. Pake acara hampir jatoh segala,” gerutu Diandra.Usai merasa tenang, Diandra kembali melanjutkan perjalanan. Sesampainya di rumah, dia terkejut melihat mobil milik Handoko terparkir di sana.Diandra menarik napas kemudian masuk ke dalam rumah setelah mengucapkan salam terlebih dahulu.“Di, kok kamu pulang telat, sibuk banget ya sekarang?” sapa Handoko.“Iya.” Diandra duduk di sisi Darwin dan menyandarkan kepala di bahu sang Ayah.Handoko tersenyum, melihat dan mendengar suara Diandra saja sudah cukup untuk melepas rasa rindunya selama ini. Dia memandang lekat gadis pujaan hati dan berusaha merekam semuanya untuk di kenang saat rindu menyapa jiwa.Puas memandang selama sepuluh menit, lelaki itu kemudian pamit untuk kembali.“Udah malem, Om, Tante. Saya pulang dulu, assalamualaikum,” pamit Handoko.“Kok buru-buru banget, sih? Waalaikumussalam,” kata Sisy.
Diandra sangat sibuk sekarang. Tidak ada yang berubah dari penampilannya, sikap yang semakin matang serta waspada dalam mengelola usaha yang menjadi pembeda. Selebihnya sama saja seperti yang sudah-sudah.Perlahan Fikiri dan Handoko sudah terkikis dari dalam pikiran dan hatinya, dia tak lagi mau di pusingkan dengan masalah asmara. Baginya masa lalu biarlah tetap berada di tempatnya dan tidak menganggu di kehidupan masa kini. Di kenang jika dia ingin.Sisy kini merasa kehilangan sikap konyol putri bungsunya, karena kini Diandra pulang dari butik langsung menuju kamar setelah berbasa basi sejenak.“Kangen sama anakku yang dulu, sering bikin sakit kepala sih tapi, aku suka,” keluh Sisy.“Berarti dia sekarang lagi belajar dewasa, Ma. Biarkan aja,” kata Darwin.“Papa ga khawatir? Siapa tau aja dia tiba-tiba minta nikah,” cetus Sisy.Darwin melipat kening, perkataan sang istri baru saja masuk akal. Bagaimana jika putri bungsunya tiba-tiba meminta untuk menikah? Hatinya belum siap melepas pu