Handoko masuk ke dalam kamarnya. Hatinya kesal sekali karena tidak bertemu dengan gadis tomboy itu.
Lelaki itu memilih tidur setelah membersihkan tubuhnya dan melewatkan makan malamnya. Suasana hatinya sedang buruk sekarang. Pagi-pagi sekali usai salat subuh, di bawah terdengar sibuk sekali. Handoko merasa tidurnya terganggu lalu berjalan menuruni tangga dan melihat apa yang sedang terjadi. "Loh, kok ada koper besar? Mama sama Papa mau kemana? Keluar negeri lagi?" tanya Handoko heran. Willa dan Hari saling pandang lalu menatap putranya itu dengan bingung. "Kami mau ke kota sebelah, Diandra besok ada event di sana. Sudah dari beberapa hari yang lalu dia ada di sana, masa kamu ga tau sih?" ujar Willa. Handoko diam mematung. Pantas saja gadis itu tidak bisa di temukan di manapun ternyata di luar kota. "Kami berangkat dulu ya. Takut ketinggalan pesawat. Biar calon mantu senang kalau kami datang," ujar Willa"Halo ... Apa kabar Diandra?" sapa Willa sambil memeluk gadis itu. Sementara Hari menyalami Darwin. Lalu Willa dan Sisy pun saling bertukar kabar. Sementara Diandra sendiri sibuk mengurus model, pakaian juga memberi pengarahan kepada perias modelnya. Handoko memandangi gadis itu dari kejauhan. Debar jantungnya seperti ombak saja rasanya. Ah ternyata merindu itu sakit dan menyiksa. 'Ngapain laki-laki itu ada di sini juga? Ada keperluan apa?' batin Handoko. Handoko melihat Leofrand berada di sana juga dan memperhatikan gadis itu dari kejauhan seperti dirinya. Lelaki yang di lihatnya itu tidak menyadari jika sedang di perhatikan oleh seseorang. Lelaki itu pun kembali ke kamarnya. Sesampainya di kamar Handoko mulai berpikir keras tentang kehadiran lelaki yang di kenal namun tak tahu namanya itu. "Hmmm ... Gadis itu cantik juga meski tomboy," ujar Leofrand Tak terasa malam pun tiba
"Selamat atas keberhasilan kamu cantik," ujar Leofrand kepada gadis itu dengan membawa sebuah buket bunga yang sangat besar dan indah. "Terimakasih Leo. Kamu kok bisa tau kalau aku ikut event ini?" tanya Diandra sambil menerima buket bunga besar itu.Handoko membawa buket yang sangat besar yang berisi uang pecahan seratus ribu. Lelaki itu nampak kepayahan membawanya. Sesaat akan tiba di depan Diandra, hatinya kesal sekali melihat ada lelaki lain sudah mendahuluinya. Belum sempat Handoko menjawab, Handoko memarahi lelaki itu. "Hei, apa yang kau lakukan di sini? Pergi sana," usir Handoko. Diandra dan Leofrand menatap Handoko heran. "Kamu ngapain di sini juga?" tanya Diandra. "Memangnya apa yang salah jika aku menghadiri event tunanganku sendiri? Tidak ada larangan untuk itu kan Sayang? Ini buket untukmu, selamat ya! wanita ku memang luar biasa," ujar Handoko. "Apa maksud perkataanmu itu? Siapa yang tunanganmu?" tanya Leofrand kesal. Handoko merasa pertanyaan lelaki itu adalah
"Memang aku sengaja melakukan itu, supaya kau tidak bisa kemana-mana dan tidak ada lelaki yang mendekatimu sampai kita menikah!" seru Handoko. "Memangnya kau siapa melarang aku? Dasar gila," ujar Diandra sambil melangkah pergi. Tanpa mereka sadari, kedua pasang orang tua mereka memperhatikan keduanya. Raut wajah mereka nampak begitu sedih. Hari menghela nafas lalu memandang Darwin. Lelaki yang di pandanginya itu hanya mengangkat kedua alisnya tanpa berbicara. Hanya kedua lelaki itu yang paham cara mereka berkomunikasi itu. Willa dan Sisy diam mematung. Mata mereka mulai memerah, entah menahan marah atau menahan tangis. "Mari kita kembali ke kamar dan beristirahat, biarkan mereka berdua tenang dulu, tak perlu kita ganggu dengan pertanyaan ini itu," ajak Darwin. Mereka berempat akhirnya kembali ke kamar mereka masing-masing. "Dasar Ladyboy gila! Bisanya mengacaukan suasana aja," ujar Diandra marah sambil menghempaskan buket bunga yang di terimanya. Ponselnya berdering, tertera n
"Di, maaf kalau aku lancang nanya pribadi kamu. Memangnya benar kalau kamu sudah bertunangan sama lelaki itu? Kalau gak salah dia itu kan Handoko Hutomo, putra pengusaha kaya dan terkenal di negara kita," tanya Leofrand.Diandra terdiam. Tentu terkejut mendengar fakta bahwa Domo adalah putra salah satu orang terkaya di negeri ini."Masa sih? Aku gak tau kalau Domo anak orang kaya, ga peduli juga sih. Aku sama Domo ga tunangan kok cuma pernah aja pertemuan keluarga gitu di rumahnya dia," jawab Diandra.Leofrand lega, jalannya semakin mulus untuk mendekati Diandra. Hanya saja kali ini karena hatinya sudah mulai menyukai gadis itu, bukan untuk balas dendam seperti keinginan ayahnya.Lelaki itu pun berusaha membuat gadis tomboy itu menjadi nyaman bersamanya. Bercerita banyak lelucon dan juga fashion yang sedang tren saat ini.Mereka membahas motor pigson seperti milik Diandra itu, gadis itu pun menunjukkan foto Bejo motor kesayangannya itu, kemudian Leofrand mengatakan bahwa akan lebih bai
"Di, apa kamu di dalam?" ujar Leo. Terdengar ketukan di pintu kamarnya. Gadis itu pun membuka pintu dengan mulutnya masih mengunyah makanan. Leofrand mengikutinya ke dalam. Gadis itu sibuk memakan nasi beserta lauk yang di bawa oleh Handoko tadi. Kalau sudah ada makanan di depan mata, Diandra tidak peduli siapapun, belum pernah sejarahnya gadis itu memalingkan wajahnya jika makanan berada di depannya. "Di, kamu lapar ya? Maaf ya aku tadi tidak peka," ujar Leo memecah kesunyian. Gadis itu tetap makan dan tidak mengacuhkan lelaki itu sama sekali. Usai makan, dirinya menuju kamar mandi untuk mencuci tangannya. Diandra mengambil air mineral yang berada di atas meja dan duduk untuk minum. Ritual makan sudah selesai, gadis itu meraih ponsel milik Leofrand lalu menyerahkannya. "Ini ponsel kamu yang ketinggalan," ujar Diandra seolah mengusir. Lelaki itu paham, kemudian segera berlalu. Di luar kam
Makan malam pun usai sudah, mereka berempat pun kembali ke kamar masing-masing. "Pa, tadi Mama perhatikan selalu memandang gadis itu, ada apa?" tanya Willa. Wanita itu sudah menahan jengkel sedari tadi, Namun memilih untuk tidak menunjukkannya di depan calon besannya. "Entah kenapa, Papa kok ga merasa asing dengan gadis itu. Rasanya sangat dekat, seperti keluarga dari aroma parfumnya yang mirip milik Handoko," jawab Hari serius. Willa mengerutkan dahinya. Merasa jawaban suaminya itu terasa janggal. "Maksudnya gimana, Pa?" tanya Willa kembali. Hari menjelaskan, seolah-olah ada perasaan antara ayah dan anak. Sontak saja keterangan suaminya itu memantik api amarah istrinya itu. Willa marah sambil menangis, berbagai pertanyaan pun di ajukan olehnya. Hari terkesiap karena baru menyadari ternyata istrinya itu sedang marah besar. "Baik, Papa ga mau menjawab kan? Aku pergi!" ucap Willa dengan sedikit menaikkan nada bicaranya. Wanita itu mengemasi pakaiannya dan menyusunnya di dalam k
"Apaan sih kamu telepon aku?" jawab Diandra. Handoko ternyata menghubungi gadis itu. "Memangnya aku salah kalau telepon kamu? Ga semua perempuan yang aku hubungi loh, kamu istimewa, kan kamu wanitaku," jawabnya santai. "Cih, percaya diri sekali. Eeeh ... Makasih makanannya, enak banget," ujar Diandra. Tiba-tiba listrik di kamar gadis itu berkedip lalu mati, gadis itu berteriak ketakutan. Handoko segera berlari dengan ponsel yang masih menempel di telinganya. "Di ... Halo ...kamu di sana? Apa yang terjadi?" tanya lelaki itu panik. Lift pun terbuka segera saja lelaki itu masuk, dan menakan tombol di mana wanitanya itu berada. Begitu sampai di lantai di mana Diandra berada, tampak lantai itu gelap. Cahaya senter pun terlihat tak jauh darinya. Lelaki itu pun segera berlari menghampiri mereka yang ternyata adalah petugas hotel. "Cepat buka kamar ini, istriku di dalam, cepat!" seru Handoko panik. Dari arah belakang dengan tergopoh-gopoh membuka pintu dengan kunci manual karena ku
"Dokter, bagaimana keadaan pasien yang baru saja masuk?" tanya Hari kepada seorang dokter jaga. "Saat ini sedang berada di ruangan observasi dan di tangani, sepertinya pasien kehilangan kesadaran karena sesuatu. Apakah ada trauma?" tanya dokter itu. Willa menjelaskan bahwa pasien itu adalah calon menantunya dan tidak tahu apa yang membuatnya hilang kesadaran seperti itu. Hari mengucapkan terima kasih lalu mengajak Willa untuk melihat keadaan Diandra. Tampak dari balik kaca gadis itu terbaring lemah. Willa sedih sekali. "Menantuku ... ," gumamnya lirih. Handoko menoleh ke arah suara dan tampak ibunya menangis. Hati lelaki itu semakin marah, ayahnya melihat perubahan wajah anaknya dan mengajaknya keluar. Di luar, Hari meminta penjelasan kepada Handoko. "Apa yang terjadi Han? Mengapa bisa begitu keadaannya?" tanya Hari. "Aku tidak tahu pasti Pa. Sepertinya Diandra takut gelap. Tadi aku telepon dia lalu tiba-tiba berteriak, dalam keadaan panik Han ke kamarnya dan ternyata lanta
[Syarat? Apakah sulit? Apa itu?] tanya Diandra.[Tidak sulit, aku akan memberitahumu nanti jika sudah ku pikirkan,] jawab Jhon.Diandra tidak mengungkapkan isi pembicaraannya dengan Jhon beberapa waktu lalu. Dia khawatir jika nanti Dara dan kakaknya menolak untuk berbulan madu.Bosan berbincang, mereka kemudian membubarkan diri menuju kamar masing-masing. Diandra termenung seorang sendiri, dia memikirkan apa syarat yang akan diajukan oleh Jhon kepadanya.‘Kira-kira apa ya syaratnya? Kok aku jadi was-was, ya? Duh mana boleh aku berburuk sangka begini,’ pikir Diandra.Waktu berlalu, kini Diandra serta keluarga yang lainnya sudah berada di bandar udara. Mereka mengantar tiga pasang pengantin baru untuk berbulan madu.“Hati-hati selama di kampung orang. Jaga tata krama, patuh sama peraturan setempat,” pesan Darwin.Berbagai macam pesan pun mereka lontarkan untuk para pasangan yang akan berbulan madu. Pengumuman akan keberangkatan negara tujuan pun terdengar. Mereka berpelukan dan melepas
“Apaan sih teriak-teriak!’ sembur Sisy.Tampak Diandra berjalan kian kemari mencari sesuatu. Sesekali dia menggaruk kepalanyan lalu menarik rambutnya karena kesal sambil menggerutu.Keluarganya dan yang lain memperhatikan perangai Diandra yang terbilang ... ajaib. Bagaimana tidak, usai berteriak, dia hilir mudik sambil menggerutu. Berbagai pertanyaan juga diabaikan begitu saja tanpa menjawab.“Hei ... wajan ikan paus. Kamu ini kenapa sih? Duduk dulu coba, kepala kami pusing liat kamu mondar mandir gak karuan. Liat tuh Mama sama Papa lengkap sama keluarga inti melototin kamu dari tadi.” Dara mendudukkan Diandra di atas tempat tidur.“Anu ... cincin tunangan aku ilang. Kan mahal itu,” ungkap Diandra.Semua yang mendengar terkejut, bagaimana bisa Diandra seceroboh itu. Sisy menghampiri Diandra dan segera menjewer telinganya karena gemas.“Itu yang gantung di kalung kamu apa? Setan? Pagi-pagi bikin emosi jiwa aja deh. Bisa rusak perawatan mukaku gara-gara kelakuan edan kamu itu,” geram Si
“Entahlah, aku aja bingung sama perasaanku,” keluh Diandra.“Apa ... aku boleh memberi saran? Menurutku dia yang terbaik untukmu. Ini dari sudut pandangku sebagai lelaki, seandainya kau gagal dengannya aku bersedia menikahimu, hahaha,” ujar Jhon berseloroh.Diandra tergelak, di dalam hati dia menggerutu bagaimana bisa pernikahan dibuat gurauan. Baginya pernikahan sekali seumur hidup dan jangan sampai melakukan kesalahan.Usai makan siang, mereka kembali ke kantor Diandra. Tiba di kantor, dia mendapat kabar dari bagian produksi kalau pesanan pria asing itu sudah selesai. Mereka menuju ruang produksi, tampak empat buah busana sudah terpajang di sana. Jhon mengamati dengan rinci setiap jahitan dan juga polanya. Dia tersenyum puas dan mengagumi busana yang sudah dipesan tersebut. Lelaki itu merogoh saku dan mengambil benda pipih dari dalam, lalu menghubungi timnya agar mempersiapkan penerbang an kembali ke negara asalnya.“Aku sangat puas, rasanya tidak sabar untuk memamerkan karya ini d
Lelaki itu adalah Handoko. Dia menatap rumah Dara dengan tangan terkepal, wajah memerah menahan amarah. Dia segera masuk ke dalam mobilnya dan melajukan ke rumah Diandra.Sesampainya di sana, Mahendra dan keluarganya di sambut dengan hangat. Berbagai makan dan minuman sudah di sediakan dengan cepat, bahkan beberapa makanan ringan akan menyusul kemudian.Acara lamaran pun di mulai dengan sangat sederhana. Namun, terasa khidmat. Dara terharu dengan keluarga Diandra dan juga ketulusan dari Orangtua Leofrand. Tukar cincin pun usai, pernikahan akan di laksanakan tiga minggu kemudian.“Cieee, selamat ya. Udah laku aja nih,” seloroh Diandra.“Selamat untuk kalian berdua. Sebagai sahabat dari Diandra, aku akan memberikan hadiah berbulan madu di pulau pribadi milikku selama satu bulan,” ujar Jhon.Suasana terasa hangat. Beberapa kali Dara menyeka air mata yang selalu menetes, dan Leofrand perhatikan itu.Suguhan makanan ringan dan teh dengan kualitas terbaik pun di suguhkan, mereka sangat meni
Diandra menoleh ke arah sumber suara. Tampak olehnya lelaki asing tersebut berjalan ke arahnya.“Tuan Jhon? Saya kira Anda kembali ke hotel untuk beristirahat,” cakap Diandra dengan menggunakan bahasa asing.“Tidak, saya ingin tahu bagaimana pakaian yang luar biasa itu tercipta,” sahut Jhon.Diandra kemudian mengajak pria asing itu duduk di sebuah bangku panjang yang berada di sudut. Keduanya duduk di sana sambil mengamati pekerja yang sedang melaksakana tugasnya dengan serius.“Maaf jika aku lancang karena ini adalah ranah pribadi, apakah lelaki yang di rumah sakit tadi adalah tunanganmu?” tanya Jhon.Diandra menoleh sebentar, kemudian menatap lurus dan menceritakan kisah cintanya. Satu jam sudah Jhon menjadi pendengar setia tanpa menyela sepatah katapun.“Anda luar biasa. Di tengah drama hidup percintaan masih bersikap profesional, salut.” Jhon bertepuk tangan pelan.Senyum patah nan pahit terukir dari bibir Diandra.‘Orang bule ini aneh banget sih. Orang lagi galau begini malah di
“Apa aku boleh masuk? Enak bener makan sendirian ga ngajak-ngajak,” sapa Fikri.Diandra mengangguk sambil meneguk air karena batuk tersedak.“Aku duduk ya.” Fikri menutup pintu kemudian duduk di depan Diandra.Diandra segera membersihkan tangan dengan tisu, jantungnya berdebar dan suasana sedikit kaku karena kehadiran lelaki yang kini duduk di hadapannya.Fikri menatap lembut gadis yang diam-diam sangat di rindui selama beberapa bulan ini. Ingin rasanya dia memeluk tubuh Diandra, jika saja tidak melanggar peraturan agama yang di anut.Fikri segera menyadari kesalahannya. Duduk berdua dalam ruangan tertutup saja akan menimbulkan fitnah dan dosa. Dia kemudian mengajak Diandra duduk di sofa yang di peruntukkan bagi pelanggan.“Maaf aku tadi lancang. Kangen banget sama kamu, Di,” ungkap Fikri.Diandra diam saja. Hatinya memang berdebar saat lelaki yang pernah menjadi penghuni hati datang tiba-tiba. Dia juga tidak menampik jika bahagia datang begitu saja saat mendengar suara serta senyum t
“Diandra kenapa bisa pingsan begini?” tanya Meliana.“Doi pingsan begitu denger transferan 1M, Cin,” terang karyawan Diandra yang ... bertubuh pria berperangai wanita.Meliana tidak kuasa menahan tawa dan terbahak-bahak. Suara tawa itu membuat Diandra siuman.“Satu miliar, mana satu miliar,” ucap Diandra panik.“Hei ... tenang, Sayang. Ini kakak,” kata Meliana.Mata Diandra terbelalak dan memindai sekitar kemudian melompat dari tempat tidur dan berlari, dengan sigap Meliana menagkap tubuh adiknya tersebut.“Tamunya, kak. Aduh bisa gagal ini satu miliar,” cemas Diandra.“Di, di sana ada Mama. Sebentar lagi mereka sampai,” jelas Meliana.Mendengar itu, Diandra kembali ketempat tidur dan berbaring seolah-olang pingsan. Meliana melipat dahi karena bingung dengan apa yang di lakukan adiknya itu.Tak lama terdengar suara menggunakan bahasa asing, tampak pria asing tampan bermata biru bersama sang ibu.Sisy memperkenalkan Meliana kepada tamunya yang bernama Jhon tersebut.“Anda Ibu yang lua
Diandra kehilangan keseimbangan dan hampir saja menabrak pejalan kaki. Dia menepi sejenak guna menenangkan diri.“Sial emang si Domo. Pake acara hampir jatoh segala,” gerutu Diandra.Usai merasa tenang, Diandra kembali melanjutkan perjalanan. Sesampainya di rumah, dia terkejut melihat mobil milik Handoko terparkir di sana.Diandra menarik napas kemudian masuk ke dalam rumah setelah mengucapkan salam terlebih dahulu.“Di, kok kamu pulang telat, sibuk banget ya sekarang?” sapa Handoko.“Iya.” Diandra duduk di sisi Darwin dan menyandarkan kepala di bahu sang Ayah.Handoko tersenyum, melihat dan mendengar suara Diandra saja sudah cukup untuk melepas rasa rindunya selama ini. Dia memandang lekat gadis pujaan hati dan berusaha merekam semuanya untuk di kenang saat rindu menyapa jiwa.Puas memandang selama sepuluh menit, lelaki itu kemudian pamit untuk kembali.“Udah malem, Om, Tante. Saya pulang dulu, assalamualaikum,” pamit Handoko.“Kok buru-buru banget, sih? Waalaikumussalam,” kata Sisy.
Diandra sangat sibuk sekarang. Tidak ada yang berubah dari penampilannya, sikap yang semakin matang serta waspada dalam mengelola usaha yang menjadi pembeda. Selebihnya sama saja seperti yang sudah-sudah.Perlahan Fikiri dan Handoko sudah terkikis dari dalam pikiran dan hatinya, dia tak lagi mau di pusingkan dengan masalah asmara. Baginya masa lalu biarlah tetap berada di tempatnya dan tidak menganggu di kehidupan masa kini. Di kenang jika dia ingin.Sisy kini merasa kehilangan sikap konyol putri bungsunya, karena kini Diandra pulang dari butik langsung menuju kamar setelah berbasa basi sejenak.“Kangen sama anakku yang dulu, sering bikin sakit kepala sih tapi, aku suka,” keluh Sisy.“Berarti dia sekarang lagi belajar dewasa, Ma. Biarkan aja,” kata Darwin.“Papa ga khawatir? Siapa tau aja dia tiba-tiba minta nikah,” cetus Sisy.Darwin melipat kening, perkataan sang istri baru saja masuk akal. Bagaimana jika putri bungsunya tiba-tiba meminta untuk menikah? Hatinya belum siap melepas pu