"Di, apa kamu di dalam?" ujar Leo.
Terdengar ketukan di pintu kamarnya. Gadis itu pun membuka pintu dengan mulutnya masih mengunyah makanan. Leofrand mengikutinya ke dalam. Gadis itu sibuk memakan nasi beserta lauk yang di bawa oleh Handoko tadi. Kalau sudah ada makanan di depan mata, Diandra tidak peduli siapapun, belum pernah sejarahnya gadis itu memalingkan wajahnya jika makanan berada di depannya. "Di, kamu lapar ya? Maaf ya aku tadi tidak peka," ujar Leo memecah kesunyian. Gadis itu tetap makan dan tidak mengacuhkan lelaki itu sama sekali. Usai makan, dirinya menuju kamar mandi untuk mencuci tangannya. Diandra mengambil air mineral yang berada di atas meja dan duduk untuk minum. Ritual makan sudah selesai, gadis itu meraih ponsel milik Leofrand lalu menyerahkannya. "Ini ponsel kamu yang ketinggalan," ujar Diandra seolah mengusir. Lelaki itu paham, kemudian segera berlalu. Di luar kamMakan malam pun usai sudah, mereka berempat pun kembali ke kamar masing-masing. "Pa, tadi Mama perhatikan selalu memandang gadis itu, ada apa?" tanya Willa. Wanita itu sudah menahan jengkel sedari tadi, Namun memilih untuk tidak menunjukkannya di depan calon besannya. "Entah kenapa, Papa kok ga merasa asing dengan gadis itu. Rasanya sangat dekat, seperti keluarga dari aroma parfumnya yang mirip milik Handoko," jawab Hari serius. Willa mengerutkan dahinya. Merasa jawaban suaminya itu terasa janggal. "Maksudnya gimana, Pa?" tanya Willa kembali. Hari menjelaskan, seolah-olah ada perasaan antara ayah dan anak. Sontak saja keterangan suaminya itu memantik api amarah istrinya itu. Willa marah sambil menangis, berbagai pertanyaan pun di ajukan olehnya. Hari terkesiap karena baru menyadari ternyata istrinya itu sedang marah besar. "Baik, Papa ga mau menjawab kan? Aku pergi!" ucap Willa dengan sedikit menaikkan nada bicaranya. Wanita itu mengemasi pakaiannya dan menyusunnya di dalam k
"Apaan sih kamu telepon aku?" jawab Diandra. Handoko ternyata menghubungi gadis itu. "Memangnya aku salah kalau telepon kamu? Ga semua perempuan yang aku hubungi loh, kamu istimewa, kan kamu wanitaku," jawabnya santai. "Cih, percaya diri sekali. Eeeh ... Makasih makanannya, enak banget," ujar Diandra. Tiba-tiba listrik di kamar gadis itu berkedip lalu mati, gadis itu berteriak ketakutan. Handoko segera berlari dengan ponsel yang masih menempel di telinganya. "Di ... Halo ...kamu di sana? Apa yang terjadi?" tanya lelaki itu panik. Lift pun terbuka segera saja lelaki itu masuk, dan menakan tombol di mana wanitanya itu berada. Begitu sampai di lantai di mana Diandra berada, tampak lantai itu gelap. Cahaya senter pun terlihat tak jauh darinya. Lelaki itu pun segera berlari menghampiri mereka yang ternyata adalah petugas hotel. "Cepat buka kamar ini, istriku di dalam, cepat!" seru Handoko panik. Dari arah belakang dengan tergopoh-gopoh membuka pintu dengan kunci manual karena ku
"Dokter, bagaimana keadaan pasien yang baru saja masuk?" tanya Hari kepada seorang dokter jaga. "Saat ini sedang berada di ruangan observasi dan di tangani, sepertinya pasien kehilangan kesadaran karena sesuatu. Apakah ada trauma?" tanya dokter itu. Willa menjelaskan bahwa pasien itu adalah calon menantunya dan tidak tahu apa yang membuatnya hilang kesadaran seperti itu. Hari mengucapkan terima kasih lalu mengajak Willa untuk melihat keadaan Diandra. Tampak dari balik kaca gadis itu terbaring lemah. Willa sedih sekali. "Menantuku ... ," gumamnya lirih. Handoko menoleh ke arah suara dan tampak ibunya menangis. Hati lelaki itu semakin marah, ayahnya melihat perubahan wajah anaknya dan mengajaknya keluar. Di luar, Hari meminta penjelasan kepada Handoko. "Apa yang terjadi Han? Mengapa bisa begitu keadaannya?" tanya Hari. "Aku tidak tahu pasti Pa. Sepertinya Diandra takut gelap. Tadi aku telepon dia lalu tiba-tiba berteriak, dalam keadaan panik Han ke kamarnya dan ternyata lanta
"Diandra trauma gelap, karena dulu semasa kecil pernah dikurung oleh temannya di dalam lemari, kemudian tiba-tiba mati listrik. Dia panik lalu terus menangis, sesak nafas kemudian pingsan. Sejak saat itu, Diandra akan ketakutan dan berteriak jika tiba-tiba gelap," jawab Sisy. "Tidak sengaja sebenarnya, namanya juga anak-anak, mereka tidak menyadari jika itu berbahaya. Bahkan orang tua temannya sangat menyesal dan akhirnya pindah ke luar kota karena merasa bersalah," sambung Darwin. Hari pun mengangguk mendengar penjelasan keduanya. Satu jam berlalu, Diandra sudah mulai pulih. Mereka sepakat untuk kembali ke hotel dan beristirahat. Dua unit mobil yang mengantarkan mereka pun sudah di hubungi petugas hotel untuk menjemput mereka di rumah sakit. Kini mereka sudah berada di depan ruangan IGD, pembayaran sudah di lakukan oleh Willa dan membawa beberapa obat yang harus di minum gadis itu. Mereka lalu masuk ke dalam mobil, saat akan tiba di hotel perut Diandra berbunyi. Gadis itu terse
"Di, kamu ada di dalam?" ujar Leofrand. Diandra tampak kesal karena terganggu, kemudian membuka pintu dengan wajah di tekuk. "Kamu ga papa? Tadi aku liat kamu di gendong sama laki-laki yang ngaku tunangan kamu itu, mukanya panik banget," ucap Leofrand. Deg. Gadis itu menghentikan tangannya yang sedang mengambil cemilannya. 'Hah? Domo yang bawa aku ke rumah sakit? Ga salah?' batin gadis itu. Lelaki itu mengambil ponselnya dari saku celananya lalu menunjukkan sebuah rekaman kepada Diandra. Gadis itu melihat dengan jelas dirinya sedang pingsan dan Handoko tampak panik. Terdengar juga lelaki itu marah kepada pihak hotel serta mengancamnya jika terjadi sesuatu pada dirinya. Tak lama, Handoko masuk ke dalam mobil, rekaman berhenti. "Kamu lihat sendiri kan, betapa sombong dan arogannya lelaki itu. Mentang-mentang kaya, sesukanya saja," ucapnya. "Memangnya, jika kamu yang menemukan aku dalam keadaan seperti itu, apa yang kamu lakukan?" tanya Diandra. Nampak raut tidak suka di wajah
"Boy, sebarkan kembali video yang sudah ku kirimkan kepadamu. Bahkan kalau bisa, giring opini buruk kepada lelaki yang sedang menggendong wanita itu," ujar Leofrand kepada Boy."Baik, Tuan," jawab Boy.Lelaki itu mulai menyebar video yang di berikan Leofrand kepadanya. Kalimat halus yang menyudutkan pun tak lupa di tuliskan.Boy pun melaporkan bahwa pekerjaannya sudah selesai. Leofrand tertawa jahat, dirinya tidak sabar menunggu esok hari, malam ini terasa sangat panjang baginya."Jadi ... Waktu aku pingsan yang bawa aku Domo? Kalau ga salah ingat, yang aku peluk di rumah sakit, juga Domo. Waduh," gumam Diandra.Gadis itu kini berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya usai mengusir kedua lelaki yang berkelahi itu.Ada perasaan bersalah kepada Handoko karena mengusirnya dan tidak mengobati lukanya, apalagi mengucapkan terima kasih.Diandra kesal dengan ulah Leofrand, ternyata lelaki itu memiliki rencana licik ketika mendekatinya. Gadis itu mengambil ponselnya lalu menghubungi seseorang,
"Tuan sudah lihat sendiri usaha yang sudah aku dan tim lakukan, tidak semua mereka bisa di pengaruhi," jawab Boy "Sial!!!" Leofrand membanting ponselnya ke tempat tidur. Handoko yang melihat kehebohan di dunia maya itu merasa terbantu dengan ulah Leofrand yang tidak disengaja itu. Kini banyak yang memuji dan setuju dengan sikap yang di ambil oleh Handoko saat itu. "Sepertinya aku harus berterima kasih kepada lelaki bajingan itu," gumamnya. Kini lelaki itu menyusun semua pakaian dan peralatan mandinya ke dalam tas ranselnya. Setelah selesai, lelaki itu menggendong tas ranselnya dan menuju kamar Diandra. "Diandra ... Buka pintunya," ujarnya sambil menekan bel berkali-kali. "Haih ... Ga sabaran amat jadi orang, ujar gadis itu kesal. Handoko langsung masuk ke dalam kamarnya, lalu menjadikan ranselnya sebagai ganjal pintu. Lelaki itu membantu Diandra mengemasi semua barang bawaannya ke dalam koper lalu membuang buket bunga dari Leofrand ke tempat sampah. "Semua sudah selesai, a
"Ada apa ini? Kenapa ramai begini?" tanya Hari kepada Julia. Mobil pun membunyikan klaksonnya, seorang petugas keamanan pun membuka pintu gerbang yang besar dan berat itu dengan menggunakan remote sementara petugas yang lainnya menghalau para wartawan. Kedua mobil pun masuk dan petugas keamanan berhasil menghalau kemudian menutup kembali pintu gerbang. "Ini kenapa sih aku di tumpuk begini?" ujar Diandra menggerutu. Meliana pun segera menyingkirkan koper dan plastik berisi oleh-oleh yang mereka beli dari bandara. Kini mereka semua sudah berada di dalam ruang tamu. Tampak raut tidak senang di wajah Hari. "Pa, duduk dulu," pinta Julia. Gadis itu memeluk ayahnya dan membimbingnya untuk duduk. "Papa ga mengerti dengan keadaan ini, Sayang," ujarnya sambil mengelus punggung tangan putri kesayangannya itu. "Semua ini karena video unggahan Leofrand sialan itu," ujar Handoko kesal. Darwin terkejut dan menoleh ke arah Handoko, wajahnya seolah meminta penjelasan atas kalimat yang sudah
[Syarat? Apakah sulit? Apa itu?] tanya Diandra.[Tidak sulit, aku akan memberitahumu nanti jika sudah ku pikirkan,] jawab Jhon.Diandra tidak mengungkapkan isi pembicaraannya dengan Jhon beberapa waktu lalu. Dia khawatir jika nanti Dara dan kakaknya menolak untuk berbulan madu.Bosan berbincang, mereka kemudian membubarkan diri menuju kamar masing-masing. Diandra termenung seorang sendiri, dia memikirkan apa syarat yang akan diajukan oleh Jhon kepadanya.‘Kira-kira apa ya syaratnya? Kok aku jadi was-was, ya? Duh mana boleh aku berburuk sangka begini,’ pikir Diandra.Waktu berlalu, kini Diandra serta keluarga yang lainnya sudah berada di bandar udara. Mereka mengantar tiga pasang pengantin baru untuk berbulan madu.“Hati-hati selama di kampung orang. Jaga tata krama, patuh sama peraturan setempat,” pesan Darwin.Berbagai macam pesan pun mereka lontarkan untuk para pasangan yang akan berbulan madu. Pengumuman akan keberangkatan negara tujuan pun terdengar. Mereka berpelukan dan melepas
“Apaan sih teriak-teriak!’ sembur Sisy.Tampak Diandra berjalan kian kemari mencari sesuatu. Sesekali dia menggaruk kepalanyan lalu menarik rambutnya karena kesal sambil menggerutu.Keluarganya dan yang lain memperhatikan perangai Diandra yang terbilang ... ajaib. Bagaimana tidak, usai berteriak, dia hilir mudik sambil menggerutu. Berbagai pertanyaan juga diabaikan begitu saja tanpa menjawab.“Hei ... wajan ikan paus. Kamu ini kenapa sih? Duduk dulu coba, kepala kami pusing liat kamu mondar mandir gak karuan. Liat tuh Mama sama Papa lengkap sama keluarga inti melototin kamu dari tadi.” Dara mendudukkan Diandra di atas tempat tidur.“Anu ... cincin tunangan aku ilang. Kan mahal itu,” ungkap Diandra.Semua yang mendengar terkejut, bagaimana bisa Diandra seceroboh itu. Sisy menghampiri Diandra dan segera menjewer telinganya karena gemas.“Itu yang gantung di kalung kamu apa? Setan? Pagi-pagi bikin emosi jiwa aja deh. Bisa rusak perawatan mukaku gara-gara kelakuan edan kamu itu,” geram Si
“Entahlah, aku aja bingung sama perasaanku,” keluh Diandra.“Apa ... aku boleh memberi saran? Menurutku dia yang terbaik untukmu. Ini dari sudut pandangku sebagai lelaki, seandainya kau gagal dengannya aku bersedia menikahimu, hahaha,” ujar Jhon berseloroh.Diandra tergelak, di dalam hati dia menggerutu bagaimana bisa pernikahan dibuat gurauan. Baginya pernikahan sekali seumur hidup dan jangan sampai melakukan kesalahan.Usai makan siang, mereka kembali ke kantor Diandra. Tiba di kantor, dia mendapat kabar dari bagian produksi kalau pesanan pria asing itu sudah selesai. Mereka menuju ruang produksi, tampak empat buah busana sudah terpajang di sana. Jhon mengamati dengan rinci setiap jahitan dan juga polanya. Dia tersenyum puas dan mengagumi busana yang sudah dipesan tersebut. Lelaki itu merogoh saku dan mengambil benda pipih dari dalam, lalu menghubungi timnya agar mempersiapkan penerbang an kembali ke negara asalnya.“Aku sangat puas, rasanya tidak sabar untuk memamerkan karya ini d
Lelaki itu adalah Handoko. Dia menatap rumah Dara dengan tangan terkepal, wajah memerah menahan amarah. Dia segera masuk ke dalam mobilnya dan melajukan ke rumah Diandra.Sesampainya di sana, Mahendra dan keluarganya di sambut dengan hangat. Berbagai makan dan minuman sudah di sediakan dengan cepat, bahkan beberapa makanan ringan akan menyusul kemudian.Acara lamaran pun di mulai dengan sangat sederhana. Namun, terasa khidmat. Dara terharu dengan keluarga Diandra dan juga ketulusan dari Orangtua Leofrand. Tukar cincin pun usai, pernikahan akan di laksanakan tiga minggu kemudian.“Cieee, selamat ya. Udah laku aja nih,” seloroh Diandra.“Selamat untuk kalian berdua. Sebagai sahabat dari Diandra, aku akan memberikan hadiah berbulan madu di pulau pribadi milikku selama satu bulan,” ujar Jhon.Suasana terasa hangat. Beberapa kali Dara menyeka air mata yang selalu menetes, dan Leofrand perhatikan itu.Suguhan makanan ringan dan teh dengan kualitas terbaik pun di suguhkan, mereka sangat meni
Diandra menoleh ke arah sumber suara. Tampak olehnya lelaki asing tersebut berjalan ke arahnya.“Tuan Jhon? Saya kira Anda kembali ke hotel untuk beristirahat,” cakap Diandra dengan menggunakan bahasa asing.“Tidak, saya ingin tahu bagaimana pakaian yang luar biasa itu tercipta,” sahut Jhon.Diandra kemudian mengajak pria asing itu duduk di sebuah bangku panjang yang berada di sudut. Keduanya duduk di sana sambil mengamati pekerja yang sedang melaksakana tugasnya dengan serius.“Maaf jika aku lancang karena ini adalah ranah pribadi, apakah lelaki yang di rumah sakit tadi adalah tunanganmu?” tanya Jhon.Diandra menoleh sebentar, kemudian menatap lurus dan menceritakan kisah cintanya. Satu jam sudah Jhon menjadi pendengar setia tanpa menyela sepatah katapun.“Anda luar biasa. Di tengah drama hidup percintaan masih bersikap profesional, salut.” Jhon bertepuk tangan pelan.Senyum patah nan pahit terukir dari bibir Diandra.‘Orang bule ini aneh banget sih. Orang lagi galau begini malah di
“Apa aku boleh masuk? Enak bener makan sendirian ga ngajak-ngajak,” sapa Fikri.Diandra mengangguk sambil meneguk air karena batuk tersedak.“Aku duduk ya.” Fikri menutup pintu kemudian duduk di depan Diandra.Diandra segera membersihkan tangan dengan tisu, jantungnya berdebar dan suasana sedikit kaku karena kehadiran lelaki yang kini duduk di hadapannya.Fikri menatap lembut gadis yang diam-diam sangat di rindui selama beberapa bulan ini. Ingin rasanya dia memeluk tubuh Diandra, jika saja tidak melanggar peraturan agama yang di anut.Fikri segera menyadari kesalahannya. Duduk berdua dalam ruangan tertutup saja akan menimbulkan fitnah dan dosa. Dia kemudian mengajak Diandra duduk di sofa yang di peruntukkan bagi pelanggan.“Maaf aku tadi lancang. Kangen banget sama kamu, Di,” ungkap Fikri.Diandra diam saja. Hatinya memang berdebar saat lelaki yang pernah menjadi penghuni hati datang tiba-tiba. Dia juga tidak menampik jika bahagia datang begitu saja saat mendengar suara serta senyum t
“Diandra kenapa bisa pingsan begini?” tanya Meliana.“Doi pingsan begitu denger transferan 1M, Cin,” terang karyawan Diandra yang ... bertubuh pria berperangai wanita.Meliana tidak kuasa menahan tawa dan terbahak-bahak. Suara tawa itu membuat Diandra siuman.“Satu miliar, mana satu miliar,” ucap Diandra panik.“Hei ... tenang, Sayang. Ini kakak,” kata Meliana.Mata Diandra terbelalak dan memindai sekitar kemudian melompat dari tempat tidur dan berlari, dengan sigap Meliana menagkap tubuh adiknya tersebut.“Tamunya, kak. Aduh bisa gagal ini satu miliar,” cemas Diandra.“Di, di sana ada Mama. Sebentar lagi mereka sampai,” jelas Meliana.Mendengar itu, Diandra kembali ketempat tidur dan berbaring seolah-olang pingsan. Meliana melipat dahi karena bingung dengan apa yang di lakukan adiknya itu.Tak lama terdengar suara menggunakan bahasa asing, tampak pria asing tampan bermata biru bersama sang ibu.Sisy memperkenalkan Meliana kepada tamunya yang bernama Jhon tersebut.“Anda Ibu yang lua
Diandra kehilangan keseimbangan dan hampir saja menabrak pejalan kaki. Dia menepi sejenak guna menenangkan diri.“Sial emang si Domo. Pake acara hampir jatoh segala,” gerutu Diandra.Usai merasa tenang, Diandra kembali melanjutkan perjalanan. Sesampainya di rumah, dia terkejut melihat mobil milik Handoko terparkir di sana.Diandra menarik napas kemudian masuk ke dalam rumah setelah mengucapkan salam terlebih dahulu.“Di, kok kamu pulang telat, sibuk banget ya sekarang?” sapa Handoko.“Iya.” Diandra duduk di sisi Darwin dan menyandarkan kepala di bahu sang Ayah.Handoko tersenyum, melihat dan mendengar suara Diandra saja sudah cukup untuk melepas rasa rindunya selama ini. Dia memandang lekat gadis pujaan hati dan berusaha merekam semuanya untuk di kenang saat rindu menyapa jiwa.Puas memandang selama sepuluh menit, lelaki itu kemudian pamit untuk kembali.“Udah malem, Om, Tante. Saya pulang dulu, assalamualaikum,” pamit Handoko.“Kok buru-buru banget, sih? Waalaikumussalam,” kata Sisy.
Diandra sangat sibuk sekarang. Tidak ada yang berubah dari penampilannya, sikap yang semakin matang serta waspada dalam mengelola usaha yang menjadi pembeda. Selebihnya sama saja seperti yang sudah-sudah.Perlahan Fikiri dan Handoko sudah terkikis dari dalam pikiran dan hatinya, dia tak lagi mau di pusingkan dengan masalah asmara. Baginya masa lalu biarlah tetap berada di tempatnya dan tidak menganggu di kehidupan masa kini. Di kenang jika dia ingin.Sisy kini merasa kehilangan sikap konyol putri bungsunya, karena kini Diandra pulang dari butik langsung menuju kamar setelah berbasa basi sejenak.“Kangen sama anakku yang dulu, sering bikin sakit kepala sih tapi, aku suka,” keluh Sisy.“Berarti dia sekarang lagi belajar dewasa, Ma. Biarkan aja,” kata Darwin.“Papa ga khawatir? Siapa tau aja dia tiba-tiba minta nikah,” cetus Sisy.Darwin melipat kening, perkataan sang istri baru saja masuk akal. Bagaimana jika putri bungsunya tiba-tiba meminta untuk menikah? Hatinya belum siap melepas pu