Ternyata ... lebih teliti kalau update sore ....
Di saat suasana hati Julian sedang bagus karena punggungnya sudah hampir pulih dan dapat memuaskannya, Belinda mulai bicara pelan-pelan pada suaminya."Vina tadi mengajak kita piknik bersama akhir pekan nanti. Biasanya, sebulan sekali kami berkumpul di taman hiburan RnR dengan seluruh keluarga kita.""Oh ....""Kenapa hanya 'oh' saja, Sayang? Kamu juga harus ikut, ya?" pinta Belinda.Julian telah banyak melewati waktu di penjara sendiri tanpa tahu dunia luar. Dia baru tahu jika ada acara seperti itu. Sejak dulu, Keluarga Cakrawala jarang berkumpul kalau bukan membahas masalah seputar bisnis. Mahendra pun hanya memedulikan Rangga dan hampir tak pernah bertanya keseharian Julian.Mungkin, karena dirinyalah semua Keluarga Cakrawala tak bisa berkumpul sebelumnya. Rangga dan Mahendra selalu tak menyukai kehadirannya. Julian malas jika dianggap sebagai perusak suasana terus-menerus."Akhir pekan nanti aku banyak pesanan, Sayang. Kamu dan Axel saja yang ke sana." Julian memang mendapatkan p
"Rangga memang bodoh karena menolak wanita sehebat dan secantik istriku." Julian tak bisa lepas memandangi Belinda yang meringkuk sambil menghadap dirinya.Dilihat dari samping saja, Belinda tak ada kekurangan sedikit pun. Apalagi, wanita itu tak menyebalkan dan jahat seperti dulu. Belinda terkadang galak, suka mengomel, juga bukan wanita lemah yang harus mengandalkan seorang pria. Kenapa Julian baru melihat keistimewaan Belinda sekarang?"Kamu yang memisahkan aku dan Rangga, Sayang. Tapi, aku beruntung karena tidak jadi memiliki Rangga. Dia sangat menakutkan, Sayang." Belinda merengek manja seraya memutar jari telunjuknya di otot dada Julian dengan gerakan abstrak. "Lalu ... cantik mana aku dan Vina? Kamu dulu pernah menyukainya, bukan?" Julian meraih jari Belinda dan menggigitnya dengan gemas. "Aku tidak pernah jatuh cinta dengan Vina. Dan tentu saja, istriku yang paling cantik sedunia."Tangan Julian terselip di bawah selimut. Menelusuri tubuh istrinya dengan sesekali meremas bagi
“Baik, Pak ... saya sudah mengirimkan pengajuan kerja sama dengannya. Sebentar, lagi Pak Julian pasti akan datang.”“Bagus … aku harus segera pergi. Pastikan dia tidak tahu kalau kita saling mengenal.”Julian bergegas meninggalkan tempat itu begitu Tristan berjalan ke arah parkiran yang ada di area belakang Julian. Dia kemudian masuk ke gedung kantor orang suruhan Tristan atau pelanggan barunya tersebut.Pria yang bernama Andi itu, baru saja kembali ke dalam. Dia sangat terkejut menemukan Julian sudah berdiri mematung di lobi. Andi langsung melirik ke arah luar ketika Tristan melewati pintu kaca di belakang Julian.“Pak Julian?”“Ya.”“Saya Andi, orang yang menghubungi Anda kemarin. Mari ikut dengan saya.” Andi mendorong pelan punggung Julian memasuki ruangannya agar tak berbalik dan melihat Tristan.Pria itu segera menjelaskan tentang kerja sama mereka. Setiap hari, Julian harus mengantar lima ratus kotak makanan ke perusahaannya. Andi juga memilih menu paling mahal untuk pesanannya.
"Tunggu, Kak!" Nana menghalangi Dion ketika mendekati Julian. "Kita bicara berdua ... jangan di sini." Dia menarik Dion menjauh.Dion diseret Nana sambil masih menatap tajam Julian. "Kenapa? Minta dihajar?" tantang Julian, kesal melihat Dion melihatnya bagaikan orang jahat yang menyakiti istrinya."Sayang ... kamu di sini rupanya ... ada apa ini?" Belinda dan Vina baru saja muncul. Dia menatap Julian dan Rangga bergantian.Julian menunjuk Dion dan Nana yang telah menjauh dengan mengangkat dagu ke arah mereka. "Bocah-bocah gila itu membuat masalah." Dia menunjukkan kepalanya. "Lihat ini, Sayang. Istri si gila itu memukul kepalaku. Wanita itu mengejar-ngejarku seperti orang gila," adunya.Belinda panik ketika meraba-raba kepala Julian. "Di mana, Sayang? Kita ke rumah sakit saja dulu. Kita harus melakukan pemeriksaan MRI."Rangga yang sedang berdiri dengan dua tangan bersarang di saku celana dan tak jauh dari mereka itu berdecih kesal. "Berlebihan sekali. Kepalamu terbuat dari plastik? K
Wajah Julian sontak memucat tatkala melihat kanan dan kirinya. Tubuhnya seakan-akan melayang di udara.Keringat mulai membasahi badannya. Sekujur tubuhnya terasa berdesir hingga ke tulang belakang.Julian harus memegang sesuatu!Hanya ada Tristan di hadapannya. Julian lantas berpegangan erat pada pinggiran kursi yang didudukinya."Anda tidak apa-apa?"'Kamu baik-baik saja?' Mendadak, Julian mendengar suara remaja lelaki milik pria di hadapannya.Dia teringat saat dulu bermain dengan Tristan di rumah neneknya. Julian terpeleset dan hampir saja jatuh ke jurang. Perasaan yang sama waktu itu, hampir mirip dengan yang dialaminya sekarang. Julian tak takut lagi berdiri di depan jendela kaca besar yang menghadap ke jurang di rumahnya. Namun, lain halnya dengan berada di ketinggian wahana bianglala.Duduk di bilik yang sempit, membuat sekujur tubuh Julian berkedut-kedut dan takut. Jantung Julian berdegup kencang dan seakan hampir keluar dari tempatnya ketika guncangan pelan kian terasa akibat
"Senang?" Julian melirik sinis pada sang istri. Dia cukup kesal karena Belinda menjebak dirinya."Sayang ... aku tidak bermaksud menjebak atau berbohong padamu. Kenapa kamu bilang seperti itu sejak kita pulang?"Julian menyentak tangan Belinda yang berusaha memeluknya perlahan. Dia lalu meringkuk di kasur dan menyelimuti badannya sangat rapat hingga mirip kepompong."Sayang ... aku hanya ingin kita berdua dapat hidup dengan tenang. Salah satunya, dengan melupakan semua dendam di hati kita. Sayang ...." Belinda merengek sambil berusaha memasukkan tangan di dalam balutan selimut Julian. Tetapi, Julian tak membiarkan Belinda menyentuh tubuhnya.Belinda mendengus kesal, lalu keluar dari kamar. Julian terlonjak kaget ketika mendengar pintu ditutup dengan kencang. Dia sontak menoleh ke arah pintu.Mendadak, Julian takut jika Belinda benar-benar marah padanya. Dia hanya merajuk, kenapa Belinda malah pergi? Apakah Belinda tak akan kembali lagi?Pikiran buruk selalu menghantui Julian. Dia pun
"Sayang, kita harus menjemput Axel sekarang, lalu merayakan kehamilan anak kedua kita." Julian tak sedetik pun melepaskan genggaman tangannya pada Belinda."Aku harus bekerja karena tidak jadi sakit," keluh Belinda, yang sedang menikmati dimanja sang suami."Tidak dengar kata dokter tadi? Kamu tidak boleh kelelahan. Besok saja kerjanya. Jangan makan buah kebanyakan juga, Sayang."Belinda mengecup singkat bibir Julian. "Iya, Sayang.""Selamat atas kehamilan anak keduanya, Bu Linda, Pak Julian. Kita mau ke mana ini, Pak, Bu?" Janu terlihat mulai gerah melihat adegan mesra di kursi penumpang belakang. Julian kali ini tak menjauhkan diri meskipun ada Janu di depan mereka. "Pulang saja. Tidak ... kita mampir ke toko bayi dulu. Mau beli persiapan untuk anak kedua kita sekarang?" Julian sangat antusias menyambut anak kedua mereka lantaran dirinya tak pernah sekali pun memedulikan Belinda ketika mengandung Axel. Kali ini, Julian tak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk menjaga istri dan bua
Misi pencarian pun dimulai. Rangga dan Julian terpaksa mengikuti permintaan anak-anak. Namun, mereka harus menemukan harta karun itu terlebih dulu, sebelum ditemukan orang lain.“Aku yakin, Nenek terakhir kali menaruhnya di tempat ini.” Julian sedang mengacak-acak salah satu kamar di bangunan belakang.Rangga pun terpaksa mengotori tangannya hingga kemeja mahalnya terkena debu dan sarang laba-laba. “Cari sampai ketemu! Memalukan sekali kalau sampai ada yang lihat … harta karun apanya?!”Gerakan Julian terhenti. Dia menatap nyalang Rangga, lalu melemparkan bantal lama dan kotor yang tergeletak di sampingnya ke arah Rangga.Rangga dengan sigap menangkis dengan lengannya. “Sial! Mau mengajak ribut?”“Itu adalah harta karun untuk Nenek! Jangan menghina apa yang Nenek sukai!” bentak Julian.Rangga berdecak kesal, kemudian melanjutkan pencarian. Dia menemukan sesuatu yang mengganjal di kakinya.Salah satu lantai kayu berderit ketika dia menginjaknya. Terdengar bunyi rongga di bawah kayu itu.
Gaun keemasan membalut tubuh gadis itu, warna yang menjadi favoritnya sejak kecil. Dia melihat dirinya sendiri di depan cermin.Sempurna!Segala persiapan telah selesai. Gadis itu melangkah dengan percaya diri keluar dari ruang rias. Para pelayan menunduk hormat ketika gadis itu melewati mereka. Salah seorang pelayan memberikan buket bunga yang senada warna dengan gaun yang dikenakannya.“Selamat atas pernikahan Anda, Nona,” ujar pelayan itu.“Terima kasih.” Tak ada tanda-tanda kegugupan di wajahnya biarpun gadis itu baru pertama kali menikah. Kenapa harus gugup? Bukankah hari ini merupakan hari bahagianya? Dia hanya akan tersenyum ketika menyambut pria yang sebentar lagi akan menjadi suaminya. Pria yang sangat dicintainya dan harus menikah dengannya.Di arah yang berlawanan, Vina dan Belinda berjalan cepat ke arahnya. Mereka berdua memeluk dan mengucapkan selamat padanya.Vina yang sudah berdandan cantik dan berusaha tak menangis itu, tak dapat membendung air mata haru. Dia menangk
“Bukan begitu, Ma. Tadi, Mama dan Vina sedang seru bicara. Aku tidak enak mau memotong pembicaraan Mama dan Vina,” balas Belinda dengan suara lirih.Entah ke mana perginya Belinda yang selalu berani kepada semua orang? Ketika menghadapi mertuanya, Belinda merasa segan dan harus terlihat baik. Hingga dirinya tak sadar telah membuat kesalahan yang menyinggung ibu mertuanya.“Benar … sebentar lagi jam sarapan. Kita siap-siap dulu, yuk,” ajak vina sekaligus ingin menghentikan Dewi menegur Belinda.Vina memahami apa yang Belinda rasakan saat ini. Dewa juga sempat bercerita dengannya, tentang tangisan Belinda kemarin.Tak pernah Vina sangka bahwa dirinyalah yang membawa kesedihan di hati Belinda tanpa dia sendiri sadari. Namun, Vina juga tak mungkin tiba-tiba menjauhi Dewi atau tak mau bicara lagi dengannya.Alih-alih pergi bersama Belinda, Dewi justru mengajak Vina pergi ke dapur untuk melihat menu sarapan pagi ini. Vina ingin sekali menolak Dewi di saat Belinda masih dapat mendengar mereka
Julian tak terima jika istrinya dituduh sembarangan. Dia sudah bicara baik-baik dengan ibunya. Tetapi, Dewi malah berbalik memojokkan Belinda.“Terserah Mama saja. Bayangkan sendiri kalau Mama jadi Linda. Mama merasa tidak diterima keluarga Papa, lalu mertua Mama malah bersikap baik pada wanita lain.”“Itu tidak mungkin terjadi, Ian! Keluarga papamu sangat baik pada Mama,” sanggah Dewi.“Bukan itu intinya, Ma!”Julian membuang napas kasar. Tak ada gunanya bicara dengan ibunya. Dia lantas meninggalkan Dewi dan akan menghibur istrinya yang pasti masih murung karena merasa tak dianggap ibunya.Namun, di dalam kamarnya, Vina telah berhasil mencairkan suasana hingga Belinda terlihat mengulas senyuman tatkala mereka membicarakan anak-anak.Julian lantas tidur di sisi istrinya. Dia benar-benar lelah hingga kurang tidur karena menjaga Belinda dan bayinya dua puluh empat jam.Vina pun mengajak suaminya keluar kamar mereka setelah puas melihat keponakan barunya. Setelah Vina menutup pintu, dan b
“Astaga … kenapa kamu bicara seperti itu? Apa yang Mama katakan padamu?”Belinda menggeleng-gelengkan pelan kepalanya, kemudian mengambil Lilian yang berada dalam gendongan Dewa yang menunggu mereka di luar kamar. “Terima kasih, Om.”Dewa tak sengaja mendengar pembicaraan mereka. Dia lantas pergi menemui Dewi untuk menegurnya.“Di sini kamu rupanya.” Dewa duduk di bangku tempat Dewi sedang berdiri memandangi Vina. “Apa yang kamu katakan pada menantumu?”Dewi menoleh pada Dewa singkat. “Apa maksudmu? Aku jarang bicara dengannya. Hari ini pun aku tidak bicara dengannya.”Dewa melihat ke arah Dewi memandang. Dia tahu jika Dewi sedang mengamati Vina, tetapi Dewa kurang peka dengan situasi. Dia tak paham dengan apa yang kakaknya pikirkan. Kenapa Dewi terus-terusan menatap Vina? Apakah Dewi tak menyukai menantu Dewa itu?Dewa menepis pikiran buruknya. Dia kembali konsentrasi dengan masalah Belinda.“Belinda dulu memang sangat menyebalkan. Tetapi, sejak melahirkan Axel, Belinda berubah total
“Aku harus menemani Belinda dan Lilian di sini. Ada banyak orang di rumah Rangga. Kenapa Axel harus dijemput segala?” protes Julian emosi.Dewi membuang napas kasar. “Tidak baik berhutang budi pada sepupumu. Kamu tidak malu karena minta tolong pada Rangga? Ada Tristan juga yang bisa kamu suruh menjaga Axel.”“Tristan tidak boleh terlalu dekat dengan Axel. Dia bisa tergoda merebut istri dan anakku!” Julian meninggikan suara karena nada bicara Dewi terkesan mengajarinya. Julian paling tak suka jika diperlakukan seolah dia tak bisa memutuskan segalanya sendirian.“Kalau istri dan anakmu juga mau bersama Tristan, berarti itu salah istrimu!” Dewi juga tak suka jika Julian bersikap kurang ajar padanya.“Kalian bisa berhenti berteriak tidak?! Kita sekarang sedang berada di rumah sakit!” Dan suara Lia yang paling keras di antara mereka.Dan benar saja, sesaat kemudian, seorang perawat menegur mereka. Perawat itu juga menyampaikan bahwa Belinda sudah bisa keluar dari rumah sakit besok karena ta
Julian melihat ruangan putih di sekelilingnya. Apakah dia sedang bermimpi? Atau dirinya telah mati?Potongan-potongan ingatan meluncur cepat dalam benaknya. Mata Julian terbuka lebar.“Linda!” pekik Julian seraya bangun terduduk begitu mengingat kejadian terakhir yang dilihatnya.“Julian, kamu sudah bangun.” Vina menemani Julian di kursi samping ranjang. Di sudut ruangan, Rangga menutup mulutnya dengan punggung tangan sambil menahan tawa. Bisa-bisanya Julian pingsan saat menemani Belinda melahirkan!“Bayiku kenapa, Vin?! Linda ada di mana?” Julian berusaha berdiri dengan kalap. “Ada air menyembur dan ….”Manik mata Julian bergerak-gerak tak beraturan. Dia mencoba mencari tahu arti tatapan Vina, tetapi kepanikan membuat Julian tak dapat berpikir jernih.“Kenapa hanya ada air yang keluar? Bayiku bagaimana? Apa Belinda keguguran?” Julian takut bukan main ketika bayangan air ketuban pecah tak hilang dari benaknya.“Tenang, Julian!” bentak Vina. “Linda masih di ruang persalinan. Kamu tungg
Julian memandangi jendela besar di hadapannya. Rasanya, masih seperti kemarin ketika Julian dapat melihat pohon-pohon besar di hadapannya. Tetapi, kini pohon-pohon rindang itu tak lagi ada di sana.Seperempat area hutan yang cukup luas milik nenek Julian yang telah diwariskan pada orang tuanya, telah berganti dengan bangunan besar. Julian menjual pohon itu dan digunakan untuk memulai beberapa usaha baru, berhubungan dengan bidang kuliner yang digelutinya.Pabrik pertama yang dimiliki Julian ada di depan mata. Tanpa terasa, pabrik yang dibangun oleh Rangga dan dikelola olehnya telah berkembang pesat. Perusahaan yang dibangun Julian dari nol, kini dapat disandingkan dengan perusahaan Vina. Namun, mereka berdua tetap bersaing secara sehat. Bahkan, terkadang Vina dan Julian berkolaborasi dalam acara-acara besar.Julian telah mematahkan anggapan buruk orang-orang yang masih menganggap dirinya memiliki maksud tertentu. Dia pun tak lagi menggubris orang lain dan fokus pada keluarganya sendir
Julian keluar kamar sambil bersiul-siul. Tepat satu bulan berlalu, pabrik cokelatnya telah selesai. Dia akan pergi mengecek pabrik cokelat karena hari esok, pabrik miliknya sudah mulai beroperasi."Papa, mau pergi ke mana hari Mingu? Aku mau ikut Papa," rengek Axel.Julian berhenti dan tersenyum manis pada anaknya. Tanpa banyak kata, dia menggendong Axel dalam pelukannya.Semakin hari, Axel kian bersikap seperti anak-anak seusianya. Axel pun lebih banyak mengungkap perasaannya. Walau terkadang, Axel masih suka murung dan berpikir sendirian. Tetapi, Axel tetap akan mengatakan apa yang dipikirkannya kepada Julian setelah selesai merenung.Julian mengatakan jika semua akan baik-baik saja meskipun anak itu mengeluh atau marah. Sang ayah menginginkan anak-anaknya mendapat perhatian dan kasih sayang yang cukup. Tak seperti Rangga ataupun dirinya."Pa, aku mengundang Kak Rachel dan Ravi ke sini nanti kalau cokelatnya sudah ada. Aku ingin membuat pesta dengan air mancur cokelat, Papa.""Iya,
"Mantan?" Belinda membuka lebar mulutnya. Jelas-jelas dia sudah menceritakan semua tentang masa lalunya dengan Bima. "Kami tidak pernah punya hubungan spesial apa pun, Sayang … aku hanya-""Siapa yang biang kamu punya hubungan spesial dengannya?" Julian semakin sinis menanggapi. "Oh … kamu sedang mengakui kalau kamu punya hubungan spesial dengan ... siapa tadi namanya? Bisma atau Bima? Atau malah dua-duanya?"Belinda bukannya ingin merayu Julian yang sedang cemburu, tetapi dia jadi kesal karena tuduhan Julian. Apalagi, Julian sangat pintar membolak-balik kata-kata untuk memojokkan dirinya."Ya sudah kalau tidak percaya, jangan pegang-pegang perutku!" Belinda menyentak tangan Julian. "Aku tidak mau anakku sampai mendengar kalau papanya menuduhku macam-macam. Kamu pikir, bayi di dalam kandunganku tidak bisa mendengar kata-kata kita?"Janu yang sedang menyopir dan sedari tadi mendengar perdebatan majikannya, hampir saja menyemburkan tawa. Buah hati mereka bahkan belum terlihat dalam kanto