Buat yang kangen kabarnya Dion. Kasih dikit aja, ya ... Nggak akan dilanjutkan di judul ini..
"Tunggu, Kak!" Nana menghalangi Dion ketika mendekati Julian. "Kita bicara berdua ... jangan di sini." Dia menarik Dion menjauh.Dion diseret Nana sambil masih menatap tajam Julian. "Kenapa? Minta dihajar?" tantang Julian, kesal melihat Dion melihatnya bagaikan orang jahat yang menyakiti istrinya."Sayang ... kamu di sini rupanya ... ada apa ini?" Belinda dan Vina baru saja muncul. Dia menatap Julian dan Rangga bergantian.Julian menunjuk Dion dan Nana yang telah menjauh dengan mengangkat dagu ke arah mereka. "Bocah-bocah gila itu membuat masalah." Dia menunjukkan kepalanya. "Lihat ini, Sayang. Istri si gila itu memukul kepalaku. Wanita itu mengejar-ngejarku seperti orang gila," adunya.Belinda panik ketika meraba-raba kepala Julian. "Di mana, Sayang? Kita ke rumah sakit saja dulu. Kita harus melakukan pemeriksaan MRI."Rangga yang sedang berdiri dengan dua tangan bersarang di saku celana dan tak jauh dari mereka itu berdecih kesal. "Berlebihan sekali. Kepalamu terbuat dari plastik? K
Wajah Julian sontak memucat tatkala melihat kanan dan kirinya. Tubuhnya seakan-akan melayang di udara.Keringat mulai membasahi badannya. Sekujur tubuhnya terasa berdesir hingga ke tulang belakang.Julian harus memegang sesuatu!Hanya ada Tristan di hadapannya. Julian lantas berpegangan erat pada pinggiran kursi yang didudukinya."Anda tidak apa-apa?"'Kamu baik-baik saja?' Mendadak, Julian mendengar suara remaja lelaki milik pria di hadapannya.Dia teringat saat dulu bermain dengan Tristan di rumah neneknya. Julian terpeleset dan hampir saja jatuh ke jurang. Perasaan yang sama waktu itu, hampir mirip dengan yang dialaminya sekarang. Julian tak takut lagi berdiri di depan jendela kaca besar yang menghadap ke jurang di rumahnya. Namun, lain halnya dengan berada di ketinggian wahana bianglala.Duduk di bilik yang sempit, membuat sekujur tubuh Julian berkedut-kedut dan takut. Jantung Julian berdegup kencang dan seakan hampir keluar dari tempatnya ketika guncangan pelan kian terasa akibat
"Senang?" Julian melirik sinis pada sang istri. Dia cukup kesal karena Belinda menjebak dirinya."Sayang ... aku tidak bermaksud menjebak atau berbohong padamu. Kenapa kamu bilang seperti itu sejak kita pulang?"Julian menyentak tangan Belinda yang berusaha memeluknya perlahan. Dia lalu meringkuk di kasur dan menyelimuti badannya sangat rapat hingga mirip kepompong."Sayang ... aku hanya ingin kita berdua dapat hidup dengan tenang. Salah satunya, dengan melupakan semua dendam di hati kita. Sayang ...." Belinda merengek sambil berusaha memasukkan tangan di dalam balutan selimut Julian. Tetapi, Julian tak membiarkan Belinda menyentuh tubuhnya.Belinda mendengus kesal, lalu keluar dari kamar. Julian terlonjak kaget ketika mendengar pintu ditutup dengan kencang. Dia sontak menoleh ke arah pintu.Mendadak, Julian takut jika Belinda benar-benar marah padanya. Dia hanya merajuk, kenapa Belinda malah pergi? Apakah Belinda tak akan kembali lagi?Pikiran buruk selalu menghantui Julian. Dia pun
"Sayang, kita harus menjemput Axel sekarang, lalu merayakan kehamilan anak kedua kita." Julian tak sedetik pun melepaskan genggaman tangannya pada Belinda."Aku harus bekerja karena tidak jadi sakit," keluh Belinda, yang sedang menikmati dimanja sang suami."Tidak dengar kata dokter tadi? Kamu tidak boleh kelelahan. Besok saja kerjanya. Jangan makan buah kebanyakan juga, Sayang."Belinda mengecup singkat bibir Julian. "Iya, Sayang.""Selamat atas kehamilan anak keduanya, Bu Linda, Pak Julian. Kita mau ke mana ini, Pak, Bu?" Janu terlihat mulai gerah melihat adegan mesra di kursi penumpang belakang. Julian kali ini tak menjauhkan diri meskipun ada Janu di depan mereka. "Pulang saja. Tidak ... kita mampir ke toko bayi dulu. Mau beli persiapan untuk anak kedua kita sekarang?" Julian sangat antusias menyambut anak kedua mereka lantaran dirinya tak pernah sekali pun memedulikan Belinda ketika mengandung Axel. Kali ini, Julian tak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk menjaga istri dan bua
Misi pencarian pun dimulai. Rangga dan Julian terpaksa mengikuti permintaan anak-anak. Namun, mereka harus menemukan harta karun itu terlebih dulu, sebelum ditemukan orang lain.“Aku yakin, Nenek terakhir kali menaruhnya di tempat ini.” Julian sedang mengacak-acak salah satu kamar di bangunan belakang.Rangga pun terpaksa mengotori tangannya hingga kemeja mahalnya terkena debu dan sarang laba-laba. “Cari sampai ketemu! Memalukan sekali kalau sampai ada yang lihat … harta karun apanya?!”Gerakan Julian terhenti. Dia menatap nyalang Rangga, lalu melemparkan bantal lama dan kotor yang tergeletak di sampingnya ke arah Rangga.Rangga dengan sigap menangkis dengan lengannya. “Sial! Mau mengajak ribut?”“Itu adalah harta karun untuk Nenek! Jangan menghina apa yang Nenek sukai!” bentak Julian.Rangga berdecak kesal, kemudian melanjutkan pencarian. Dia menemukan sesuatu yang mengganjal di kakinya.Salah satu lantai kayu berderit ketika dia menginjaknya. Terdengar bunyi rongga di bawah kayu itu.
“Sayang, kita tidak boleh mengambil harta karun ini.” Vina pelan-pelan melepaskan perhiasan dari tangan putranya. Belinda pun melakukan hal yang sama pada Axel. “Semua ini warisan dan ada wasiat dari nenek buyut untuk ayah-ayah kalian.”“Ambil saja. Lagi pula, aku juga tidak mungkin memakai perhiasan wanita,” balas Rangga acuh tak acuh.“Benar, Rangga sudah berjanji untuk membuatkan aku pabrik coklat. Buat anak-anak kita saja.” Julian langsung mengadu pada Belinda tentang janji Rangga padanya.“Pabrik coklat?” Rachel membuka mata lebar.Axel, Ravi, dan Rachel tiba-tiba bergandengan membentuk lingkaran, lalu bersorak-sorak seraya melompat kecil. “Hore, pabrik coklat!”“Jaga mulutmu. Kamu ingin mereka bertanya dari mana asal perjanjian itu?” Rangga masih bicara dengan suara perutnya. Mulutnya hanya terbuka sangat kecil hingga nyamuk lalat pun tak dapat masuk ke sana.Sesungguhnya, baik Rangga maupun Julian merasa tersentuh oleh surat dari nenek mereka. Namun, mereka sudah dewasa sekaran
Julian menggenggam erat tangan Belinda ketika dia melihat Bima mendatangi mereka. Dia sudah mendengar semua cerita tentang Bima ketika dirinya masih di balik jeruji besi.Julian dapat memahami jika Belinda menganggap pria itu penting baginya. Akan tetapi, kenapa Bima tiba-tiba datang mencari Belinda setelah sekian lama?Apakah Belinda akan kembali memedulikan bocah ingusan itu? Julian tak ingin Belinda berpaling walau sekejap dari dirinya karena pria lain.“B-Bima?” Belinda pun terkejut bukan main sehingga dia bingung harus bereaksi seperti apa.“Apa kabarmu?” Bima kesulitan menyembunyikan perasaan kalutnya.Napas Bima memburu, kedua tangannya mengepal erat, seakan ingin menarik Belinda ke dalam pelukan untuk meluapkan rasa rindunya. Juga untuk menjauhkan dari pria yang telah menyakiti Belinda dan Axel.Namun, Bima tak dapat melakukannya. Sangat jelas di mata Bima, tangan Belinda dan Julian terpaut begitu erat. Belinda pun seakan enggan melepas tangan suaminya.“Aku … baik-baik saja ….
"Mantan?" Belinda membuka lebar mulutnya. Jelas-jelas dia sudah menceritakan semua tentang masa lalunya dengan Bima. "Kami tidak pernah punya hubungan spesial apa pun, Sayang … aku hanya-""Siapa yang biang kamu punya hubungan spesial dengannya?" Julian semakin sinis menanggapi. "Oh … kamu sedang mengakui kalau kamu punya hubungan spesial dengan ... siapa tadi namanya? Bisma atau Bima? Atau malah dua-duanya?"Belinda bukannya ingin merayu Julian yang sedang cemburu, tetapi dia jadi kesal karena tuduhan Julian. Apalagi, Julian sangat pintar membolak-balik kata-kata untuk memojokkan dirinya."Ya sudah kalau tidak percaya, jangan pegang-pegang perutku!" Belinda menyentak tangan Julian. "Aku tidak mau anakku sampai mendengar kalau papanya menuduhku macam-macam. Kamu pikir, bayi di dalam kandunganku tidak bisa mendengar kata-kata kita?"Janu yang sedang menyopir dan sedari tadi mendengar perdebatan majikannya, hampir saja menyemburkan tawa. Buah hati mereka bahkan belum terlihat dalam kanto