Semalam nggak jadi upload karena gempa+travo meledak, listrik mati sampai pagi. Maafkan Author 🙏🏻
Martha mencari-cari kartu nama lusuh yang sudah lama bersarang di dalam dompetnya. Dia cukup lama mengamati barisan angka yang membentuk sebuah nomor telepon seseorang.Dia sejenak ragu tatkala jemarinya mulai mengetikan nomor ponsel mantan suaminya itu. Lebih tepatnya, pria yang masih menjadi suami dan mengusir dirinya ketika mengandung Vina.'Haruskah aku meneleponnya?' Martha kembali ragu. Ibu jarinya mengambang di atas tombol 'panggil.'Setelah menghela napas berulang-ulang, merebahkan diri di atas ranjang, lalu terbangun lagi, Martha akhirnya memutuskan untuk menghubungi pria itu.'Halo?' terdengar suara berat seorang pria dari seberang telepon.Tangan Martha bergetar ketika mendengar suara yang teramat dibencinya. Agaknya, Martha belum siap berbicara dengan pria yang pernah menyakiti hatinya itu.'Halo? Jangan iseng!' bentak pria itu.Ah, pria itu masih sama seperti dulu. Nada suaranya tak berubah, bahkan setelah puluhan lebih berlalu. Arogan dan kasar."Ha ... halo ..." Martha
"Gawat, Vin!" Dion mengatur napas sampai kembali normal.Wajah-wajah para wanita khawatir melihat tingkah Dion, apalagi Vina. Jantung Vina seakan-akan jatuh ke dasar bumi. Takut jika terjadi sesuatu pada Rachel atau calon suami.'Apa Pak Mahendra datang ke sini? Apa Rachel dibawa pergi? Apa Belinda berulah lagi?' Semua kekhawatiran tumpah ruah dalam hati."Ada apa, Dion? Gawat apanya?!" Martha juga tak kalah gelisah."Itu ... elevatornya mati. Saya lelah lari-larian dari atas, Bu! Bagaimana ini ... Vina juga bakal kesusahan naik ke atas lewat tangga dengan gaun seperti itu ....""Ya ampun, Kak Dion bikin khawatir saja!" Reni mencubit keras pipi Dion sampai memerah. Pipi Dion satunya ikut memerah karena terpesona oleh cubitan mesra perempuan di depannya. Padahal, yang mencubit tak berniat mesra sama sekali."He he he .... Ayo, naik! Mau aku gendong, Vin? Ah ... tidak ... tidak ... gigiku bisa dirontokkan Pak Rangga." Dion meringis geli."Ya sudah, naik tangga saja tidak apa-apa daripad
"Mas," lirih Vina.Rangga mulai menurunkan gaun pengantin yang dikenakan Vina. Kedua tangan Vina sontak menutupi badan, yang sebenarnya tak ada gunanya karena masih terlihat jelas.Mata Rangga menangkap sesuatu yang membuat dahinya berkerut. Dalam sekejap, Rangga membopong Vina masuk ke dalam kamar mandi, kemudian menurunkan Vina di depan bathtub."Isi dengan air hangat," perintah Rangga halus.Vina berjongkok sambil menunggu bathtub terisi air hangat. Sementara iris matanya melirik-lirik Rangga yang sedang membuka satu persatu kancing kemeja.Vina segera memejamkan mata tatkala Rangga melepaskan celana. Debaran dalam dada kian berpacu cepat saat kaki Rangga bergerak mendekat."Aaah!" pekik Vina kala Rangga membopong tubuhnya sampai menyentuh air hangat yang masih terisi sebagian di bathtub.Vina duduk meringkuk, memeluk kedua kakinya. Wajahnya menunduk, tak berani membuka mata.Bunyi kecipak air dalam bathtub, diikuti dengan gelombang air yang bergerak tak beraturan, menandakan Rangga
Di tempat lain, ada seseorang yang sedang kepanasan. Bukan panas akan cinta yang menggelora. Namun, panas hati karena gagal melancarkan usaha memisahkan Rangga dan Vina.Belinda berdiri di depan pintu ballroom sambil mengepalkan tangan sampai buku-buku jarinya memutih. Sepasang pengantin yang ada di dalam ballroom hotel yang disebutkan Rico bukanlah Rangga dan Vina."Rico! Kamu membohongi aku lagi!" geram Belinda.Tempat itu memang disewa Rangga sebelumnya. Tetapi, Rico pun tak tahu jika Mahendra yang meminta pihak hotel untuk membatalkan sewa pada Rangga. Sebagai gantinya, Mahendra mengalihkan untuk anak rekan bisnisnya yang mau menikah. Sepasang pengantin berbahagia yang tengah dimaki-maki Belinda dalam hati."Semoga kalian cepat bercerai!" Belinda jadi membenci orang-orang yang menikah karena dirinya tak jadi menikah."Belinda? Kenapa kamu ada di sini?" Julian tak sengaja melewati Belinda ketika hendak naik ke kamarnya di hotel itu."Bukan urusanmu!" Belinda berlalu melewati Julian
"Enak?" Rangga menyeka cairan kental di bibir Vina.Vina mengangguk sebagai respon karena mulutnya terlalu penuh dan tak bisa menjawab. Wanita yang belum ada satu hari menyandang status sebagai istri Rangga Cakrawala itu terus menundukkan kepala karena malu."Mau lagi?" tawar Rangga.Vina dengan cepat menggeleng-gelengkan kepala. Lalu menelan semua yang ada di mulutnya tanpa sisa."Besok lagi tidak usah bikin sarapan, Mas. Nanti kamu lelah.""Tidak enak, ya?""Rasanya lumayan enak, tapi kuning telurnya masih agak mentah," kata Vina jujur dan halus supaya tak menyinggung perasaan Rangga.Vina masih dapat merasakan gelenyar aneh di kerongkongan ketika menelan kuning telur krispi di luar dan lumer di dalam, yang bercampur nasi goreng buatan Rangga. Rasa itu masih ada biarpun Vina sudah menenggak segelas air sampai tak bersisa.Rangga memasukkan sisa sesuap nasi goreng ke mulutnya sendiri. Kepalanya miring ke samping, seakan-akan menghayati setiap bumbu yang masuk ke rongga mulutnya."Aku
"Sudah lama tidak bertemu, Rangga. Bagaimana kabarmu?" tanya Dewa Cakrawala dengan senyum mengembang di wajahnya.Rangga menggertakkan gigi tatkala Dewa mendekat sambil merentangkan tangan hendak memeluk dirinya. Rangga mundur setelah menepis tangan Dewa dengan kasar.Tak pernah Rangga bayangkan sebelumnya, Dewa tiba-tiba muncul di hadapannya. Setelah dua puluh tiga tahun, tak pernah sekali pun Dewa menemui Rangga.Dan sekarang, apa yang Dewa tanyakan?Rangga tertawa miris dalam hati. Apa pria itu sungguh-sungguh bertanya kabar, setelah membuang Rangga dan membunuh Anita, ibu Rangga?Rangga bahkan telah menghapus nama Dewa dari hidupnya. Pria yang dipikir Rangga sangat egois dan tak bertanggung jawab.Dewa keluar dari kediaman Cakrawala hanya karena tak mau mengalah kepada Mahendra. Sehingga Anita yang jadi korban.Meskipun Rangga tahu jika bukan Dewa sendiri yang membunuh Anita, tetap saja, semua terjadi karena Dewa. Keangkuhan Dewa membuat Anita tiada karena tak bisa mendapat pengoba
"Rachel tidak mau tidur bersama kita?" Pertanyaan Rangga itu sudah satu menit berlalu.Vina masih terpesona melihat Rangga dengan kacamata yang sibuk mengetikkan sesuatu di laptop. Apalagi, Rangga hanya mengenakan kaos tipis yang memperlihatkan badan atletisnya.Pria tampan yang masih berkonsentrasi itu tak menyadari jika Vina tak berkedip memandangi dirinya.Rangga memperhatikan Vina sekilas karena pertanyaannya tak dijawab. Lalu kembali fokus pada pekerjaannya. "Kenapa diam saja?" Rangga meninggikan suara agar Vina dapat mendengar.Akan tetapi, Vina justru semakin dalam melamun. Ingatannya menerawang sampai ke masa lalu ketika masih menjadi sekretaris Rangga.Siapa sangka, pria yang dikagumi dirinya dulu ada di hadapannya? Terkadang, Vina masih tak percaya dengan kenyataan itu."... sebentar lagi selesai." Ucapan Rangga seperti mendengung dan hanya terdengar di bagian akhir."Ah, iya. Aku tidur dulu." Vina asal-asalan menjawab.Vina merebahkan diri miring ke samping. Masih betah men
"Dua-duanya ... kami menikah karena dua alasan itu," jawab Vina tanpa ragu.Dewa menghela napas lega. "Syukurlah. Sebenarnya, gadis yang bersama saya tadi adalah putri sahabat saya. Saya berencana menjodohkan Rangga dan Nana, sebelum tahu jika Rangga sudah menikah denganmu."Vina sontak menoleh pada Dewa. Dadanya bergemuruh ketika mendengar Rangga mau dijodohkan."Tidak perlu khawatir, Vina. Kalau kamu dan Rangga menikah karena terpaksa, mungkin saya akan tetap menjodohkan mereka. Tapi, melihat reaksimu, saya yakin kalau kamu tidak membohongi saya."Melihat senyum hangat Dewa, hati Vina menjadi tenang. Agaknya, Dewa memang tak seperti Mahendra."Anda tadi ingin minta tolong apa, Pak?""Panggil saya Papa, Vina.""B-baik ... Papa ...." Baru kali ini, Vina memanggil seseorang dengan sebutan 'Papa.' Hatinya menghangat oleh aliran kebahagiaan."Anda juga ... bicara yang nyaman sama saya," lanjutnya."Baik. Aku senang punya menantu sepertimu. Bolehkah aku bercerita sedikit tentang hubunganku
Gaun keemasan membalut tubuh gadis itu, warna yang menjadi favoritnya sejak kecil. Dia melihat dirinya sendiri di depan cermin.Sempurna!Segala persiapan telah selesai. Gadis itu melangkah dengan percaya diri keluar dari ruang rias. Para pelayan menunduk hormat ketika gadis itu melewati mereka. Salah seorang pelayan memberikan buket bunga yang senada warna dengan gaun yang dikenakannya.“Selamat atas pernikahan Anda, Nona,” ujar pelayan itu.“Terima kasih.” Tak ada tanda-tanda kegugupan di wajahnya biarpun gadis itu baru pertama kali menikah. Kenapa harus gugup? Bukankah hari ini merupakan hari bahagianya? Dia hanya akan tersenyum ketika menyambut pria yang sebentar lagi akan menjadi suaminya. Pria yang sangat dicintainya dan harus menikah dengannya.Di arah yang berlawanan, Vina dan Belinda berjalan cepat ke arahnya. Mereka berdua memeluk dan mengucapkan selamat padanya.Vina yang sudah berdandan cantik dan berusaha tak menangis itu, tak dapat membendung air mata haru. Dia menangk
“Bukan begitu, Ma. Tadi, Mama dan Vina sedang seru bicara. Aku tidak enak mau memotong pembicaraan Mama dan Vina,” balas Belinda dengan suara lirih.Entah ke mana perginya Belinda yang selalu berani kepada semua orang? Ketika menghadapi mertuanya, Belinda merasa segan dan harus terlihat baik. Hingga dirinya tak sadar telah membuat kesalahan yang menyinggung ibu mertuanya.“Benar … sebentar lagi jam sarapan. Kita siap-siap dulu, yuk,” ajak vina sekaligus ingin menghentikan Dewi menegur Belinda.Vina memahami apa yang Belinda rasakan saat ini. Dewa juga sempat bercerita dengannya, tentang tangisan Belinda kemarin.Tak pernah Vina sangka bahwa dirinyalah yang membawa kesedihan di hati Belinda tanpa dia sendiri sadari. Namun, Vina juga tak mungkin tiba-tiba menjauhi Dewi atau tak mau bicara lagi dengannya.Alih-alih pergi bersama Belinda, Dewi justru mengajak Vina pergi ke dapur untuk melihat menu sarapan pagi ini. Vina ingin sekali menolak Dewi di saat Belinda masih dapat mendengar mereka
Julian tak terima jika istrinya dituduh sembarangan. Dia sudah bicara baik-baik dengan ibunya. Tetapi, Dewi malah berbalik memojokkan Belinda.“Terserah Mama saja. Bayangkan sendiri kalau Mama jadi Linda. Mama merasa tidak diterima keluarga Papa, lalu mertua Mama malah bersikap baik pada wanita lain.”“Itu tidak mungkin terjadi, Ian! Keluarga papamu sangat baik pada Mama,” sanggah Dewi.“Bukan itu intinya, Ma!”Julian membuang napas kasar. Tak ada gunanya bicara dengan ibunya. Dia lantas meninggalkan Dewi dan akan menghibur istrinya yang pasti masih murung karena merasa tak dianggap ibunya.Namun, di dalam kamarnya, Vina telah berhasil mencairkan suasana hingga Belinda terlihat mengulas senyuman tatkala mereka membicarakan anak-anak.Julian lantas tidur di sisi istrinya. Dia benar-benar lelah hingga kurang tidur karena menjaga Belinda dan bayinya dua puluh empat jam.Vina pun mengajak suaminya keluar kamar mereka setelah puas melihat keponakan barunya. Setelah Vina menutup pintu, dan b
“Astaga … kenapa kamu bicara seperti itu? Apa yang Mama katakan padamu?”Belinda menggeleng-gelengkan pelan kepalanya, kemudian mengambil Lilian yang berada dalam gendongan Dewa yang menunggu mereka di luar kamar. “Terima kasih, Om.”Dewa tak sengaja mendengar pembicaraan mereka. Dia lantas pergi menemui Dewi untuk menegurnya.“Di sini kamu rupanya.” Dewa duduk di bangku tempat Dewi sedang berdiri memandangi Vina. “Apa yang kamu katakan pada menantumu?”Dewi menoleh pada Dewa singkat. “Apa maksudmu? Aku jarang bicara dengannya. Hari ini pun aku tidak bicara dengannya.”Dewa melihat ke arah Dewi memandang. Dia tahu jika Dewi sedang mengamati Vina, tetapi Dewa kurang peka dengan situasi. Dia tak paham dengan apa yang kakaknya pikirkan. Kenapa Dewi terus-terusan menatap Vina? Apakah Dewi tak menyukai menantu Dewa itu?Dewa menepis pikiran buruknya. Dia kembali konsentrasi dengan masalah Belinda.“Belinda dulu memang sangat menyebalkan. Tetapi, sejak melahirkan Axel, Belinda berubah total
“Aku harus menemani Belinda dan Lilian di sini. Ada banyak orang di rumah Rangga. Kenapa Axel harus dijemput segala?” protes Julian emosi.Dewi membuang napas kasar. “Tidak baik berhutang budi pada sepupumu. Kamu tidak malu karena minta tolong pada Rangga? Ada Tristan juga yang bisa kamu suruh menjaga Axel.”“Tristan tidak boleh terlalu dekat dengan Axel. Dia bisa tergoda merebut istri dan anakku!” Julian meninggikan suara karena nada bicara Dewi terkesan mengajarinya. Julian paling tak suka jika diperlakukan seolah dia tak bisa memutuskan segalanya sendirian.“Kalau istri dan anakmu juga mau bersama Tristan, berarti itu salah istrimu!” Dewi juga tak suka jika Julian bersikap kurang ajar padanya.“Kalian bisa berhenti berteriak tidak?! Kita sekarang sedang berada di rumah sakit!” Dan suara Lia yang paling keras di antara mereka.Dan benar saja, sesaat kemudian, seorang perawat menegur mereka. Perawat itu juga menyampaikan bahwa Belinda sudah bisa keluar dari rumah sakit besok karena ta
Julian melihat ruangan putih di sekelilingnya. Apakah dia sedang bermimpi? Atau dirinya telah mati?Potongan-potongan ingatan meluncur cepat dalam benaknya. Mata Julian terbuka lebar.“Linda!” pekik Julian seraya bangun terduduk begitu mengingat kejadian terakhir yang dilihatnya.“Julian, kamu sudah bangun.” Vina menemani Julian di kursi samping ranjang. Di sudut ruangan, Rangga menutup mulutnya dengan punggung tangan sambil menahan tawa. Bisa-bisanya Julian pingsan saat menemani Belinda melahirkan!“Bayiku kenapa, Vin?! Linda ada di mana?” Julian berusaha berdiri dengan kalap. “Ada air menyembur dan ….”Manik mata Julian bergerak-gerak tak beraturan. Dia mencoba mencari tahu arti tatapan Vina, tetapi kepanikan membuat Julian tak dapat berpikir jernih.“Kenapa hanya ada air yang keluar? Bayiku bagaimana? Apa Belinda keguguran?” Julian takut bukan main ketika bayangan air ketuban pecah tak hilang dari benaknya.“Tenang, Julian!” bentak Vina. “Linda masih di ruang persalinan. Kamu tungg
Julian memandangi jendela besar di hadapannya. Rasanya, masih seperti kemarin ketika Julian dapat melihat pohon-pohon besar di hadapannya. Tetapi, kini pohon-pohon rindang itu tak lagi ada di sana.Seperempat area hutan yang cukup luas milik nenek Julian yang telah diwariskan pada orang tuanya, telah berganti dengan bangunan besar. Julian menjual pohon itu dan digunakan untuk memulai beberapa usaha baru, berhubungan dengan bidang kuliner yang digelutinya.Pabrik pertama yang dimiliki Julian ada di depan mata. Tanpa terasa, pabrik yang dibangun oleh Rangga dan dikelola olehnya telah berkembang pesat. Perusahaan yang dibangun Julian dari nol, kini dapat disandingkan dengan perusahaan Vina. Namun, mereka berdua tetap bersaing secara sehat. Bahkan, terkadang Vina dan Julian berkolaborasi dalam acara-acara besar.Julian telah mematahkan anggapan buruk orang-orang yang masih menganggap dirinya memiliki maksud tertentu. Dia pun tak lagi menggubris orang lain dan fokus pada keluarganya sendir
Julian keluar kamar sambil bersiul-siul. Tepat satu bulan berlalu, pabrik cokelatnya telah selesai. Dia akan pergi mengecek pabrik cokelat karena hari esok, pabrik miliknya sudah mulai beroperasi."Papa, mau pergi ke mana hari Mingu? Aku mau ikut Papa," rengek Axel.Julian berhenti dan tersenyum manis pada anaknya. Tanpa banyak kata, dia menggendong Axel dalam pelukannya.Semakin hari, Axel kian bersikap seperti anak-anak seusianya. Axel pun lebih banyak mengungkap perasaannya. Walau terkadang, Axel masih suka murung dan berpikir sendirian. Tetapi, Axel tetap akan mengatakan apa yang dipikirkannya kepada Julian setelah selesai merenung.Julian mengatakan jika semua akan baik-baik saja meskipun anak itu mengeluh atau marah. Sang ayah menginginkan anak-anaknya mendapat perhatian dan kasih sayang yang cukup. Tak seperti Rangga ataupun dirinya."Pa, aku mengundang Kak Rachel dan Ravi ke sini nanti kalau cokelatnya sudah ada. Aku ingin membuat pesta dengan air mancur cokelat, Papa.""Iya,
"Mantan?" Belinda membuka lebar mulutnya. Jelas-jelas dia sudah menceritakan semua tentang masa lalunya dengan Bima. "Kami tidak pernah punya hubungan spesial apa pun, Sayang … aku hanya-""Siapa yang biang kamu punya hubungan spesial dengannya?" Julian semakin sinis menanggapi. "Oh … kamu sedang mengakui kalau kamu punya hubungan spesial dengan ... siapa tadi namanya? Bisma atau Bima? Atau malah dua-duanya?"Belinda bukannya ingin merayu Julian yang sedang cemburu, tetapi dia jadi kesal karena tuduhan Julian. Apalagi, Julian sangat pintar membolak-balik kata-kata untuk memojokkan dirinya."Ya sudah kalau tidak percaya, jangan pegang-pegang perutku!" Belinda menyentak tangan Julian. "Aku tidak mau anakku sampai mendengar kalau papanya menuduhku macam-macam. Kamu pikir, bayi di dalam kandunganku tidak bisa mendengar kata-kata kita?"Janu yang sedang menyopir dan sedari tadi mendengar perdebatan majikannya, hampir saja menyemburkan tawa. Buah hati mereka bahkan belum terlihat dalam kanto