Maaf, Mas ... tapi, aku sedang diet ....
"Enak?" Rangga menyeka cairan kental di bibir Vina.Vina mengangguk sebagai respon karena mulutnya terlalu penuh dan tak bisa menjawab. Wanita yang belum ada satu hari menyandang status sebagai istri Rangga Cakrawala itu terus menundukkan kepala karena malu."Mau lagi?" tawar Rangga.Vina dengan cepat menggeleng-gelengkan kepala. Lalu menelan semua yang ada di mulutnya tanpa sisa."Besok lagi tidak usah bikin sarapan, Mas. Nanti kamu lelah.""Tidak enak, ya?""Rasanya lumayan enak, tapi kuning telurnya masih agak mentah," kata Vina jujur dan halus supaya tak menyinggung perasaan Rangga.Vina masih dapat merasakan gelenyar aneh di kerongkongan ketika menelan kuning telur krispi di luar dan lumer di dalam, yang bercampur nasi goreng buatan Rangga. Rasa itu masih ada biarpun Vina sudah menenggak segelas air sampai tak bersisa.Rangga memasukkan sisa sesuap nasi goreng ke mulutnya sendiri. Kepalanya miring ke samping, seakan-akan menghayati setiap bumbu yang masuk ke rongga mulutnya."Aku
"Sudah lama tidak bertemu, Rangga. Bagaimana kabarmu?" tanya Dewa Cakrawala dengan senyum mengembang di wajahnya.Rangga menggertakkan gigi tatkala Dewa mendekat sambil merentangkan tangan hendak memeluk dirinya. Rangga mundur setelah menepis tangan Dewa dengan kasar.Tak pernah Rangga bayangkan sebelumnya, Dewa tiba-tiba muncul di hadapannya. Setelah dua puluh tiga tahun, tak pernah sekali pun Dewa menemui Rangga.Dan sekarang, apa yang Dewa tanyakan?Rangga tertawa miris dalam hati. Apa pria itu sungguh-sungguh bertanya kabar, setelah membuang Rangga dan membunuh Anita, ibu Rangga?Rangga bahkan telah menghapus nama Dewa dari hidupnya. Pria yang dipikir Rangga sangat egois dan tak bertanggung jawab.Dewa keluar dari kediaman Cakrawala hanya karena tak mau mengalah kepada Mahendra. Sehingga Anita yang jadi korban.Meskipun Rangga tahu jika bukan Dewa sendiri yang membunuh Anita, tetap saja, semua terjadi karena Dewa. Keangkuhan Dewa membuat Anita tiada karena tak bisa mendapat pengoba
"Rachel tidak mau tidur bersama kita?" Pertanyaan Rangga itu sudah satu menit berlalu.Vina masih terpesona melihat Rangga dengan kacamata yang sibuk mengetikkan sesuatu di laptop. Apalagi, Rangga hanya mengenakan kaos tipis yang memperlihatkan badan atletisnya.Pria tampan yang masih berkonsentrasi itu tak menyadari jika Vina tak berkedip memandangi dirinya.Rangga memperhatikan Vina sekilas karena pertanyaannya tak dijawab. Lalu kembali fokus pada pekerjaannya. "Kenapa diam saja?" Rangga meninggikan suara agar Vina dapat mendengar.Akan tetapi, Vina justru semakin dalam melamun. Ingatannya menerawang sampai ke masa lalu ketika masih menjadi sekretaris Rangga.Siapa sangka, pria yang dikagumi dirinya dulu ada di hadapannya? Terkadang, Vina masih tak percaya dengan kenyataan itu."... sebentar lagi selesai." Ucapan Rangga seperti mendengung dan hanya terdengar di bagian akhir."Ah, iya. Aku tidur dulu." Vina asal-asalan menjawab.Vina merebahkan diri miring ke samping. Masih betah men
"Dua-duanya ... kami menikah karena dua alasan itu," jawab Vina tanpa ragu.Dewa menghela napas lega. "Syukurlah. Sebenarnya, gadis yang bersama saya tadi adalah putri sahabat saya. Saya berencana menjodohkan Rangga dan Nana, sebelum tahu jika Rangga sudah menikah denganmu."Vina sontak menoleh pada Dewa. Dadanya bergemuruh ketika mendengar Rangga mau dijodohkan."Tidak perlu khawatir, Vina. Kalau kamu dan Rangga menikah karena terpaksa, mungkin saya akan tetap menjodohkan mereka. Tapi, melihat reaksimu, saya yakin kalau kamu tidak membohongi saya."Melihat senyum hangat Dewa, hati Vina menjadi tenang. Agaknya, Dewa memang tak seperti Mahendra."Anda tadi ingin minta tolong apa, Pak?""Panggil saya Papa, Vina.""B-baik ... Papa ...." Baru kali ini, Vina memanggil seseorang dengan sebutan 'Papa.' Hatinya menghangat oleh aliran kebahagiaan."Anda juga ... bicara yang nyaman sama saya," lanjutnya."Baik. Aku senang punya menantu sepertimu. Bolehkah aku bercerita sedikit tentang hubunganku
'Sejak kapan kamu jadi seperti kucing nakal begini, Vina?' Kata-kata Rangga semalam menggelitik ingatan Vina.Vina menggeleng kuat untuk menepis suara Rangga yang seolah-olah masih berbisik di telinga. Salahnya sendiri coba-coba menggoda harimau tidur. Akhirnya, dirinya-lah yang diterkam harimau kelaparan itu. Badan Vina luluh lantak, tetapi hatinya senang. Rangga tak lagi mendiamkan dirinya. Walaupun dampaknya juga sedikit membuat Vina kesulitan. Kaki dan pinggang Vina yang pegal-pegal membuktikan betapa buas dan gagah Rangga semalam. Pria yang jarang mengucap maaf itu, berkali-kali meminta maaf pada Vina pagi harinya. Bukan hanya maaf lewat mulut saja. Tetapi, juga pada tindakan. Seperti saat ini ..."Jangan begini, Mas! Malu kalau sampai dilihat Ibu sama Rachel!"Rangga tengah membopong Vina menuju dapur untuk menyiapkan sarapan. Bahkan, sampai di dapur pun, Rangga terus menempel padanya. Perangko saja kalah darinya."Maaf, Sayang."'Sayang ....' Hati Vina berbunga-bunga mendeng
"Vina ..." Nana memalingkan wajah ke arah Rangga. "Kakak tiri saya."Rangga masih mencerna ucapan Nana. Bagaimana bisa Vina memiliki adik tiri? Apakah Martha pernah memiliki suami lain? Atau ayah Vina yang menikah dua kali?Kalau dipikir-pikir lagi, Rangga tak banyak tahu tentang keluarga Vina. Rangga jadi merasa kurang dianggap karena Vina tak pernah bercerita."Maaf, saya kelepasan bicara. Sebenarnya, Kak Vina juga belum tahu. Saya harap, Anda tidak mengatakan pada Kak Vina. Biarlah Papi kami yang menjelaskan kepadanya," ucap Nana dengan raut bersalah.Rangga tak menanggapi Nana lagi. Dia keluar dari vila menyusul Vina, lalu membopongnya. Vina otomatis mengalungkan tangan pada Rangga. Sepertinya, Vina sudah mulai terbiasa digendong ke mana-mana."Siapa perempuan yang ada di vila itu, Mas?" tanya Vina curiga sambil memicingkan mata. "Itu ... bukankah Nana?"Rangga mengangkat alisnya. Mungkinkah Vina tahu jika Nana adik tirinya? "Kamu kenal?""Dia Nana, perempuan yang kemarin bersama
"Sudah cukup bermain rumah-rumahan, Rangga. Pulang dengan Kakek sekarang!" tegas Mahendra."Bawa masuk Rachel ke dalam, Vin," bisik Rangga.Beruntung, Rachel tidur sejak dalam perjalanan dan belum terbangun. Vina gegas membaringkan rachel di ranjang kamarnya yang terletak lebih jauh dari ruang tamu.Vina keluar setelah memastikan Rachel nyaman. Dia samar-samar mendengar Mahendra masih terus berdebat dengan Rangga dan menghina Martha, seakan-akan mereka saling mengenal sejak dulu.Kaki Vina berhenti sebelum mencapai ruang tamu tatkala mendengar sesuatu yang baru saja dia tahu."Martha ... apa kamu sengaja menyuruh anakmu untuk menggoda cucuku karena kejadian zaman dulu? Hem? Ayolah, aku menghambat semua usahamu karena salahmu sendiri menggoda suami orang!" hina Mahendra dengan nada angkuh dan merendahkan."Tutup mulutmu, Mahendra!" bentak Martha dengan raut muka dan mata memerah.Vina sangat tercengang mendengar ucapan Mahendra itu. Benarkah ibunya perebut suami orang dan dirinya adalah
"Maafkan Ibu, Vina. Selama ini, Ibu sudah menyembunyikan kebenaran tentang ayahmu. Ayah kandungmu sebenarnya masih hidup," ungkap Martha dengan berlinang air mata, suaranya pun bergetar."Aku dan Martha berteman sejak lama, tapi kami tidak punya hubungan spesial, seperti tuduhan Mahendra. Dan ... benar kata Martha, Papa pergi dari rumah atas permintaan mamamu." Dewa menambahkan dengan rasa sesal.Baik Vina maupun Rangga tak menanggapi penjelasan mereka. Vina merasa dikhianati oleh ibunya sendiri. Sedangkan Rangga pun tak lantas memaafkan papanya yang tak menepati janji."Ibu dan ayahmu menikah lebih dulu secara agama. Tapi, ayahmu membohongi Ibu. Dia ternyata sudah menikah dengan wanita lain yang punya status sosial tinggi dan kekayaan berlimpah, tidak seperti Ibu.""Mas, antar aku ke kamar. Aku ingin istirahat," kata Vina.Rangga membimbing Vina sampai kamar. Mereka berdua tak menghiraukan Martha dan Dewa yang gelisah karena anak-anaknya tak mau bicara."Mas siapkan air hangat dulu, y
Gaun keemasan membalut tubuh gadis itu, warna yang menjadi favoritnya sejak kecil. Dia melihat dirinya sendiri di depan cermin.Sempurna!Segala persiapan telah selesai. Gadis itu melangkah dengan percaya diri keluar dari ruang rias. Para pelayan menunduk hormat ketika gadis itu melewati mereka. Salah seorang pelayan memberikan buket bunga yang senada warna dengan gaun yang dikenakannya.“Selamat atas pernikahan Anda, Nona,” ujar pelayan itu.“Terima kasih.” Tak ada tanda-tanda kegugupan di wajahnya biarpun gadis itu baru pertama kali menikah. Kenapa harus gugup? Bukankah hari ini merupakan hari bahagianya? Dia hanya akan tersenyum ketika menyambut pria yang sebentar lagi akan menjadi suaminya. Pria yang sangat dicintainya dan harus menikah dengannya.Di arah yang berlawanan, Vina dan Belinda berjalan cepat ke arahnya. Mereka berdua memeluk dan mengucapkan selamat padanya.Vina yang sudah berdandan cantik dan berusaha tak menangis itu, tak dapat membendung air mata haru. Dia menangk
“Bukan begitu, Ma. Tadi, Mama dan Vina sedang seru bicara. Aku tidak enak mau memotong pembicaraan Mama dan Vina,” balas Belinda dengan suara lirih.Entah ke mana perginya Belinda yang selalu berani kepada semua orang? Ketika menghadapi mertuanya, Belinda merasa segan dan harus terlihat baik. Hingga dirinya tak sadar telah membuat kesalahan yang menyinggung ibu mertuanya.“Benar … sebentar lagi jam sarapan. Kita siap-siap dulu, yuk,” ajak vina sekaligus ingin menghentikan Dewi menegur Belinda.Vina memahami apa yang Belinda rasakan saat ini. Dewa juga sempat bercerita dengannya, tentang tangisan Belinda kemarin.Tak pernah Vina sangka bahwa dirinyalah yang membawa kesedihan di hati Belinda tanpa dia sendiri sadari. Namun, Vina juga tak mungkin tiba-tiba menjauhi Dewi atau tak mau bicara lagi dengannya.Alih-alih pergi bersama Belinda, Dewi justru mengajak Vina pergi ke dapur untuk melihat menu sarapan pagi ini. Vina ingin sekali menolak Dewi di saat Belinda masih dapat mendengar mereka
Julian tak terima jika istrinya dituduh sembarangan. Dia sudah bicara baik-baik dengan ibunya. Tetapi, Dewi malah berbalik memojokkan Belinda.“Terserah Mama saja. Bayangkan sendiri kalau Mama jadi Linda. Mama merasa tidak diterima keluarga Papa, lalu mertua Mama malah bersikap baik pada wanita lain.”“Itu tidak mungkin terjadi, Ian! Keluarga papamu sangat baik pada Mama,” sanggah Dewi.“Bukan itu intinya, Ma!”Julian membuang napas kasar. Tak ada gunanya bicara dengan ibunya. Dia lantas meninggalkan Dewi dan akan menghibur istrinya yang pasti masih murung karena merasa tak dianggap ibunya.Namun, di dalam kamarnya, Vina telah berhasil mencairkan suasana hingga Belinda terlihat mengulas senyuman tatkala mereka membicarakan anak-anak.Julian lantas tidur di sisi istrinya. Dia benar-benar lelah hingga kurang tidur karena menjaga Belinda dan bayinya dua puluh empat jam.Vina pun mengajak suaminya keluar kamar mereka setelah puas melihat keponakan barunya. Setelah Vina menutup pintu, dan b
“Astaga … kenapa kamu bicara seperti itu? Apa yang Mama katakan padamu?”Belinda menggeleng-gelengkan pelan kepalanya, kemudian mengambil Lilian yang berada dalam gendongan Dewa yang menunggu mereka di luar kamar. “Terima kasih, Om.”Dewa tak sengaja mendengar pembicaraan mereka. Dia lantas pergi menemui Dewi untuk menegurnya.“Di sini kamu rupanya.” Dewa duduk di bangku tempat Dewi sedang berdiri memandangi Vina. “Apa yang kamu katakan pada menantumu?”Dewi menoleh pada Dewa singkat. “Apa maksudmu? Aku jarang bicara dengannya. Hari ini pun aku tidak bicara dengannya.”Dewa melihat ke arah Dewi memandang. Dia tahu jika Dewi sedang mengamati Vina, tetapi Dewa kurang peka dengan situasi. Dia tak paham dengan apa yang kakaknya pikirkan. Kenapa Dewi terus-terusan menatap Vina? Apakah Dewi tak menyukai menantu Dewa itu?Dewa menepis pikiran buruknya. Dia kembali konsentrasi dengan masalah Belinda.“Belinda dulu memang sangat menyebalkan. Tetapi, sejak melahirkan Axel, Belinda berubah total
“Aku harus menemani Belinda dan Lilian di sini. Ada banyak orang di rumah Rangga. Kenapa Axel harus dijemput segala?” protes Julian emosi.Dewi membuang napas kasar. “Tidak baik berhutang budi pada sepupumu. Kamu tidak malu karena minta tolong pada Rangga? Ada Tristan juga yang bisa kamu suruh menjaga Axel.”“Tristan tidak boleh terlalu dekat dengan Axel. Dia bisa tergoda merebut istri dan anakku!” Julian meninggikan suara karena nada bicara Dewi terkesan mengajarinya. Julian paling tak suka jika diperlakukan seolah dia tak bisa memutuskan segalanya sendirian.“Kalau istri dan anakmu juga mau bersama Tristan, berarti itu salah istrimu!” Dewi juga tak suka jika Julian bersikap kurang ajar padanya.“Kalian bisa berhenti berteriak tidak?! Kita sekarang sedang berada di rumah sakit!” Dan suara Lia yang paling keras di antara mereka.Dan benar saja, sesaat kemudian, seorang perawat menegur mereka. Perawat itu juga menyampaikan bahwa Belinda sudah bisa keluar dari rumah sakit besok karena ta
Julian melihat ruangan putih di sekelilingnya. Apakah dia sedang bermimpi? Atau dirinya telah mati?Potongan-potongan ingatan meluncur cepat dalam benaknya. Mata Julian terbuka lebar.“Linda!” pekik Julian seraya bangun terduduk begitu mengingat kejadian terakhir yang dilihatnya.“Julian, kamu sudah bangun.” Vina menemani Julian di kursi samping ranjang. Di sudut ruangan, Rangga menutup mulutnya dengan punggung tangan sambil menahan tawa. Bisa-bisanya Julian pingsan saat menemani Belinda melahirkan!“Bayiku kenapa, Vin?! Linda ada di mana?” Julian berusaha berdiri dengan kalap. “Ada air menyembur dan ….”Manik mata Julian bergerak-gerak tak beraturan. Dia mencoba mencari tahu arti tatapan Vina, tetapi kepanikan membuat Julian tak dapat berpikir jernih.“Kenapa hanya ada air yang keluar? Bayiku bagaimana? Apa Belinda keguguran?” Julian takut bukan main ketika bayangan air ketuban pecah tak hilang dari benaknya.“Tenang, Julian!” bentak Vina. “Linda masih di ruang persalinan. Kamu tungg
Julian memandangi jendela besar di hadapannya. Rasanya, masih seperti kemarin ketika Julian dapat melihat pohon-pohon besar di hadapannya. Tetapi, kini pohon-pohon rindang itu tak lagi ada di sana.Seperempat area hutan yang cukup luas milik nenek Julian yang telah diwariskan pada orang tuanya, telah berganti dengan bangunan besar. Julian menjual pohon itu dan digunakan untuk memulai beberapa usaha baru, berhubungan dengan bidang kuliner yang digelutinya.Pabrik pertama yang dimiliki Julian ada di depan mata. Tanpa terasa, pabrik yang dibangun oleh Rangga dan dikelola olehnya telah berkembang pesat. Perusahaan yang dibangun Julian dari nol, kini dapat disandingkan dengan perusahaan Vina. Namun, mereka berdua tetap bersaing secara sehat. Bahkan, terkadang Vina dan Julian berkolaborasi dalam acara-acara besar.Julian telah mematahkan anggapan buruk orang-orang yang masih menganggap dirinya memiliki maksud tertentu. Dia pun tak lagi menggubris orang lain dan fokus pada keluarganya sendir
Julian keluar kamar sambil bersiul-siul. Tepat satu bulan berlalu, pabrik cokelatnya telah selesai. Dia akan pergi mengecek pabrik cokelat karena hari esok, pabrik miliknya sudah mulai beroperasi."Papa, mau pergi ke mana hari Mingu? Aku mau ikut Papa," rengek Axel.Julian berhenti dan tersenyum manis pada anaknya. Tanpa banyak kata, dia menggendong Axel dalam pelukannya.Semakin hari, Axel kian bersikap seperti anak-anak seusianya. Axel pun lebih banyak mengungkap perasaannya. Walau terkadang, Axel masih suka murung dan berpikir sendirian. Tetapi, Axel tetap akan mengatakan apa yang dipikirkannya kepada Julian setelah selesai merenung.Julian mengatakan jika semua akan baik-baik saja meskipun anak itu mengeluh atau marah. Sang ayah menginginkan anak-anaknya mendapat perhatian dan kasih sayang yang cukup. Tak seperti Rangga ataupun dirinya."Pa, aku mengundang Kak Rachel dan Ravi ke sini nanti kalau cokelatnya sudah ada. Aku ingin membuat pesta dengan air mancur cokelat, Papa.""Iya,
"Mantan?" Belinda membuka lebar mulutnya. Jelas-jelas dia sudah menceritakan semua tentang masa lalunya dengan Bima. "Kami tidak pernah punya hubungan spesial apa pun, Sayang … aku hanya-""Siapa yang biang kamu punya hubungan spesial dengannya?" Julian semakin sinis menanggapi. "Oh … kamu sedang mengakui kalau kamu punya hubungan spesial dengan ... siapa tadi namanya? Bisma atau Bima? Atau malah dua-duanya?"Belinda bukannya ingin merayu Julian yang sedang cemburu, tetapi dia jadi kesal karena tuduhan Julian. Apalagi, Julian sangat pintar membolak-balik kata-kata untuk memojokkan dirinya."Ya sudah kalau tidak percaya, jangan pegang-pegang perutku!" Belinda menyentak tangan Julian. "Aku tidak mau anakku sampai mendengar kalau papanya menuduhku macam-macam. Kamu pikir, bayi di dalam kandunganku tidak bisa mendengar kata-kata kita?"Janu yang sedang menyopir dan sedari tadi mendengar perdebatan majikannya, hampir saja menyemburkan tawa. Buah hati mereka bahkan belum terlihat dalam kanto