Tanggung jawab apa? Jangan-jangan... Rangga pernah menodai wanita lain? đ±
"Rachel tidak mau tidur bersama kita?" Pertanyaan Rangga itu sudah satu menit berlalu.Vina masih terpesona melihat Rangga dengan kacamata yang sibuk mengetikkan sesuatu di laptop. Apalagi, Rangga hanya mengenakan kaos tipis yang memperlihatkan badan atletisnya.Pria tampan yang masih berkonsentrasi itu tak menyadari jika Vina tak berkedip memandangi dirinya.Rangga memperhatikan Vina sekilas karena pertanyaannya tak dijawab. Lalu kembali fokus pada pekerjaannya. "Kenapa diam saja?" Rangga meninggikan suara agar Vina dapat mendengar.Akan tetapi, Vina justru semakin dalam melamun. Ingatannya menerawang sampai ke masa lalu ketika masih menjadi sekretaris Rangga.Siapa sangka, pria yang dikagumi dirinya dulu ada di hadapannya? Terkadang, Vina masih tak percaya dengan kenyataan itu."... sebentar lagi selesai." Ucapan Rangga seperti mendengung dan hanya terdengar di bagian akhir."Ah, iya. Aku tidur dulu." Vina asal-asalan menjawab.Vina merebahkan diri miring ke samping. Masih betah men
"Dua-duanya ... kami menikah karena dua alasan itu," jawab Vina tanpa ragu.Dewa menghela napas lega. "Syukurlah. Sebenarnya, gadis yang bersama saya tadi adalah putri sahabat saya. Saya berencana menjodohkan Rangga dan Nana, sebelum tahu jika Rangga sudah menikah denganmu."Vina sontak menoleh pada Dewa. Dadanya bergemuruh ketika mendengar Rangga mau dijodohkan."Tidak perlu khawatir, Vina. Kalau kamu dan Rangga menikah karena terpaksa, mungkin saya akan tetap menjodohkan mereka. Tapi, melihat reaksimu, saya yakin kalau kamu tidak membohongi saya."Melihat senyum hangat Dewa, hati Vina menjadi tenang. Agaknya, Dewa memang tak seperti Mahendra."Anda tadi ingin minta tolong apa, Pak?""Panggil saya Papa, Vina.""B-baik ... Papa ...." Baru kali ini, Vina memanggil seseorang dengan sebutan 'Papa.' Hatinya menghangat oleh aliran kebahagiaan."Anda juga ... bicara yang nyaman sama saya," lanjutnya."Baik. Aku senang punya menantu sepertimu. Bolehkah aku bercerita sedikit tentang hubunganku
'Sejak kapan kamu jadi seperti kucing nakal begini, Vina?' Kata-kata Rangga semalam menggelitik ingatan Vina.Vina menggeleng kuat untuk menepis suara Rangga yang seolah-olah masih berbisik di telinga. Salahnya sendiri coba-coba menggoda harimau tidur. Akhirnya, dirinya-lah yang diterkam harimau kelaparan itu. Badan Vina luluh lantak, tetapi hatinya senang. Rangga tak lagi mendiamkan dirinya. Walaupun dampaknya juga sedikit membuat Vina kesulitan. Kaki dan pinggang Vina yang pegal-pegal membuktikan betapa buas dan gagah Rangga semalam. Pria yang jarang mengucap maaf itu, berkali-kali meminta maaf pada Vina pagi harinya. Bukan hanya maaf lewat mulut saja. Tetapi, juga pada tindakan. Seperti saat ini ..."Jangan begini, Mas! Malu kalau sampai dilihat Ibu sama Rachel!"Rangga tengah membopong Vina menuju dapur untuk menyiapkan sarapan. Bahkan, sampai di dapur pun, Rangga terus menempel padanya. Perangko saja kalah darinya."Maaf, Sayang."'Sayang ....' Hati Vina berbunga-bunga mendeng
"Vina ..." Nana memalingkan wajah ke arah Rangga. "Kakak tiri saya."Rangga masih mencerna ucapan Nana. Bagaimana bisa Vina memiliki adik tiri? Apakah Martha pernah memiliki suami lain? Atau ayah Vina yang menikah dua kali?Kalau dipikir-pikir lagi, Rangga tak banyak tahu tentang keluarga Vina. Rangga jadi merasa kurang dianggap karena Vina tak pernah bercerita."Maaf, saya kelepasan bicara. Sebenarnya, Kak Vina juga belum tahu. Saya harap, Anda tidak mengatakan pada Kak Vina. Biarlah Papi kami yang menjelaskan kepadanya," ucap Nana dengan raut bersalah.Rangga tak menanggapi Nana lagi. Dia keluar dari vila menyusul Vina, lalu membopongnya. Vina otomatis mengalungkan tangan pada Rangga. Sepertinya, Vina sudah mulai terbiasa digendong ke mana-mana."Siapa perempuan yang ada di vila itu, Mas?" tanya Vina curiga sambil memicingkan mata. "Itu ... bukankah Nana?"Rangga mengangkat alisnya. Mungkinkah Vina tahu jika Nana adik tirinya? "Kamu kenal?""Dia Nana, perempuan yang kemarin bersama
"Sudah cukup bermain rumah-rumahan, Rangga. Pulang dengan Kakek sekarang!" tegas Mahendra."Bawa masuk Rachel ke dalam, Vin," bisik Rangga.Beruntung, Rachel tidur sejak dalam perjalanan dan belum terbangun. Vina gegas membaringkan rachel di ranjang kamarnya yang terletak lebih jauh dari ruang tamu.Vina keluar setelah memastikan Rachel nyaman. Dia samar-samar mendengar Mahendra masih terus berdebat dengan Rangga dan menghina Martha, seakan-akan mereka saling mengenal sejak dulu.Kaki Vina berhenti sebelum mencapai ruang tamu tatkala mendengar sesuatu yang baru saja dia tahu."Martha ... apa kamu sengaja menyuruh anakmu untuk menggoda cucuku karena kejadian zaman dulu? Hem? Ayolah, aku menghambat semua usahamu karena salahmu sendiri menggoda suami orang!" hina Mahendra dengan nada angkuh dan merendahkan."Tutup mulutmu, Mahendra!" bentak Martha dengan raut muka dan mata memerah.Vina sangat tercengang mendengar ucapan Mahendra itu. Benarkah ibunya perebut suami orang dan dirinya adalah
"Maafkan Ibu, Vina. Selama ini, Ibu sudah menyembunyikan kebenaran tentang ayahmu. Ayah kandungmu sebenarnya masih hidup," ungkap Martha dengan berlinang air mata, suaranya pun bergetar."Aku dan Martha berteman sejak lama, tapi kami tidak punya hubungan spesial, seperti tuduhan Mahendra. Dan ... benar kata Martha, Papa pergi dari rumah atas permintaan mamamu." Dewa menambahkan dengan rasa sesal.Baik Vina maupun Rangga tak menanggapi penjelasan mereka. Vina merasa dikhianati oleh ibunya sendiri. Sedangkan Rangga pun tak lantas memaafkan papanya yang tak menepati janji."Ibu dan ayahmu menikah lebih dulu secara agama. Tapi, ayahmu membohongi Ibu. Dia ternyata sudah menikah dengan wanita lain yang punya status sosial tinggi dan kekayaan berlimpah, tidak seperti Ibu.""Mas, antar aku ke kamar. Aku ingin istirahat," kata Vina.Rangga membimbing Vina sampai kamar. Mereka berdua tak menghiraukan Martha dan Dewa yang gelisah karena anak-anaknya tak mau bicara."Mas siapkan air hangat dulu, y
"Ayah," panggil Rachel seraya mengguncang badan Rangga.Setelah semalam menguping pembicaraan para orang dewasa, Rachel tak bisa tidur nyenyak. Rachel pura-pura tidur sampai Rangga memindahkan ke kamarnya.Rachel masih ingat, suara berisik di ruang tamu membangunkan tidurnya. Rachel keluar dari kamar Vina dan menuju arah datangnya suara.Awalnya, Rachel senang bisa melihat semua anggota keluarga berkumpul. Ketika Rachel hendak ikut berbaur, para orang dewasa itu saling berteriak dan hampir berkelahi.Kenapa mereka bertengkar? Padahal, Rachel ingin berkumpul dengan semua keluarganya. Rachel ingin bertanya kepada ayahnya, tetapi Rangga tak kunjung bangun. Ayahnya masih kelelahan setelah memangsa bundanya.Rachel turun perlahan dari kasur, lalu mencari Vina. "Bunda ... Bunda di mana?!" seru Rachel.Sudah berkeliling seluruh tempat, Rachel tak bisa menemukan Vina. Rachel sebenarnya bisa menyeret bangku kecil dan membuka pintu, dia juga pernah melakukan itu dulu. Tapi, tak mau berakhir dim
"Benar, saya akan menolak jika istri dan mertua saya tidak setuju." Rangga menjawab tegas tanpa sedikit pun keraguan.Nana mendekat pada Vina, meraih tangannya, dan menatap penuh harap. "Setelah tahu kalau Papi punya anak dari istri lain, awalnya aku terkejut. Tapi, aku juga senang karena ternyata aku punya seorang kakak. Tidak bolehkah kalau aku ingin mengenal Kak Vina lebih dekat lagi?"Melihat Nana terlihat bersungguh-sungguh, Vina jadi tak enak hati menolak. Apalagi, keputusannya bersangkutan dengan proyek Rangga.'Kenapa jadi aku yang memutuskan?' keluh Vina dalam hati."Kakak ... aku tidak akan mengganggu anggota keluarga lainnya. Aku cuma ingin bersama Kak Vina," pinta Nana."Bersikap baiklah pada adikmu. Jangan egois," kata Barra berlagak bijak, tapi tetap tak mau menatap Vina.Ucapan Barra seperti api yang mematahkan ikatan rasa pada Nana. Masa bodoh dengan keinginan Nana. Vina tak mau menuruti Barra!Vina melepaskan diri dari Nana dan menggandeng Rangga sebagai gantinya. "Mas
Gaun keemasan membalut tubuh gadis itu, warna yang menjadi favoritnya sejak kecil. Dia melihat dirinya sendiri di depan cermin.Sempurna!Segala persiapan telah selesai. Gadis itu melangkah dengan percaya diri keluar dari ruang rias. Para pelayan menunduk hormat ketika gadis itu melewati mereka. Salah seorang pelayan memberikan buket bunga yang senada warna dengan gaun yang dikenakannya.âSelamat atas pernikahan Anda, Nona,â ujar pelayan itu.âTerima kasih.â Tak ada tanda-tanda kegugupan di wajahnya biarpun gadis itu baru pertama kali menikah. Kenapa harus gugup? Bukankah hari ini merupakan hari bahagianya? Dia hanya akan tersenyum ketika menyambut pria yang sebentar lagi akan menjadi suaminya. Pria yang sangat dicintainya dan harus menikah dengannya.Di arah yang berlawanan, Vina dan Belinda berjalan cepat ke arahnya. Mereka berdua memeluk dan mengucapkan selamat padanya.Vina yang sudah berdandan cantik dan berusaha tak menangis itu, tak dapat membendung air mata haru. Dia menangk
âBukan begitu, Ma. Tadi, Mama dan Vina sedang seru bicara. Aku tidak enak mau memotong pembicaraan Mama dan Vina,â balas Belinda dengan suara lirih.Entah ke mana perginya Belinda yang selalu berani kepada semua orang? Ketika menghadapi mertuanya, Belinda merasa segan dan harus terlihat baik. Hingga dirinya tak sadar telah membuat kesalahan yang menyinggung ibu mertuanya.âBenar ⊠sebentar lagi jam sarapan. Kita siap-siap dulu, yuk,â ajak vina sekaligus ingin menghentikan Dewi menegur Belinda.Vina memahami apa yang Belinda rasakan saat ini. Dewa juga sempat bercerita dengannya, tentang tangisan Belinda kemarin.Tak pernah Vina sangka bahwa dirinyalah yang membawa kesedihan di hati Belinda tanpa dia sendiri sadari. Namun, Vina juga tak mungkin tiba-tiba menjauhi Dewi atau tak mau bicara lagi dengannya.Alih-alih pergi bersama Belinda, Dewi justru mengajak Vina pergi ke dapur untuk melihat menu sarapan pagi ini. Vina ingin sekali menolak Dewi di saat Belinda masih dapat mendengar mereka
Julian tak terima jika istrinya dituduh sembarangan. Dia sudah bicara baik-baik dengan ibunya. Tetapi, Dewi malah berbalik memojokkan Belinda.âTerserah Mama saja. Bayangkan sendiri kalau Mama jadi Linda. Mama merasa tidak diterima keluarga Papa, lalu mertua Mama malah bersikap baik pada wanita lain.ââItu tidak mungkin terjadi, Ian! Keluarga papamu sangat baik pada Mama,â sanggah Dewi.âBukan itu intinya, Ma!âJulian membuang napas kasar. Tak ada gunanya bicara dengan ibunya. Dia lantas meninggalkan Dewi dan akan menghibur istrinya yang pasti masih murung karena merasa tak dianggap ibunya.Namun, di dalam kamarnya, Vina telah berhasil mencairkan suasana hingga Belinda terlihat mengulas senyuman tatkala mereka membicarakan anak-anak.Julian lantas tidur di sisi istrinya. Dia benar-benar lelah hingga kurang tidur karena menjaga Belinda dan bayinya dua puluh empat jam.Vina pun mengajak suaminya keluar kamar mereka setelah puas melihat keponakan barunya. Setelah Vina menutup pintu, dan b
âAstaga ⊠kenapa kamu bicara seperti itu? Apa yang Mama katakan padamu?âBelinda menggeleng-gelengkan pelan kepalanya, kemudian mengambil Lilian yang berada dalam gendongan Dewa yang menunggu mereka di luar kamar. âTerima kasih, Om.âDewa tak sengaja mendengar pembicaraan mereka. Dia lantas pergi menemui Dewi untuk menegurnya.âDi sini kamu rupanya.â Dewa duduk di bangku tempat Dewi sedang berdiri memandangi Vina. âApa yang kamu katakan pada menantumu?âDewi menoleh pada Dewa singkat. âApa maksudmu? Aku jarang bicara dengannya. Hari ini pun aku tidak bicara dengannya.âDewa melihat ke arah Dewi memandang. Dia tahu jika Dewi sedang mengamati Vina, tetapi Dewa kurang peka dengan situasi. Dia tak paham dengan apa yang kakaknya pikirkan. Kenapa Dewi terus-terusan menatap Vina? Apakah Dewi tak menyukai menantu Dewa itu?Dewa menepis pikiran buruknya. Dia kembali konsentrasi dengan masalah Belinda.âBelinda dulu memang sangat menyebalkan. Tetapi, sejak melahirkan Axel, Belinda berubah total
âAku harus menemani Belinda dan Lilian di sini. Ada banyak orang di rumah Rangga. Kenapa Axel harus dijemput segala?â protes Julian emosi.Dewi membuang napas kasar. âTidak baik berhutang budi pada sepupumu. Kamu tidak malu karena minta tolong pada Rangga? Ada Tristan juga yang bisa kamu suruh menjaga Axel.ââTristan tidak boleh terlalu dekat dengan Axel. Dia bisa tergoda merebut istri dan anakku!â Julian meninggikan suara karena nada bicara Dewi terkesan mengajarinya. Julian paling tak suka jika diperlakukan seolah dia tak bisa memutuskan segalanya sendirian.âKalau istri dan anakmu juga mau bersama Tristan, berarti itu salah istrimu!â Dewi juga tak suka jika Julian bersikap kurang ajar padanya.âKalian bisa berhenti berteriak tidak?! Kita sekarang sedang berada di rumah sakit!â Dan suara Lia yang paling keras di antara mereka.Dan benar saja, sesaat kemudian, seorang perawat menegur mereka. Perawat itu juga menyampaikan bahwa Belinda sudah bisa keluar dari rumah sakit besok karena ta
Julian melihat ruangan putih di sekelilingnya. Apakah dia sedang bermimpi? Atau dirinya telah mati?Potongan-potongan ingatan meluncur cepat dalam benaknya. Mata Julian terbuka lebar.âLinda!â pekik Julian seraya bangun terduduk begitu mengingat kejadian terakhir yang dilihatnya.âJulian, kamu sudah bangun.â Vina menemani Julian di kursi samping ranjang. Di sudut ruangan, Rangga menutup mulutnya dengan punggung tangan sambil menahan tawa. Bisa-bisanya Julian pingsan saat menemani Belinda melahirkan!âBayiku kenapa, Vin?! Linda ada di mana?â Julian berusaha berdiri dengan kalap. âAda air menyembur dan âŠ.âManik mata Julian bergerak-gerak tak beraturan. Dia mencoba mencari tahu arti tatapan Vina, tetapi kepanikan membuat Julian tak dapat berpikir jernih.âKenapa hanya ada air yang keluar? Bayiku bagaimana? Apa Belinda keguguran?â Julian takut bukan main ketika bayangan air ketuban pecah tak hilang dari benaknya.âTenang, Julian!â bentak Vina. âLinda masih di ruang persalinan. Kamu tungg
Julian memandangi jendela besar di hadapannya. Rasanya, masih seperti kemarin ketika Julian dapat melihat pohon-pohon besar di hadapannya. Tetapi, kini pohon-pohon rindang itu tak lagi ada di sana.Seperempat area hutan yang cukup luas milik nenek Julian yang telah diwariskan pada orang tuanya, telah berganti dengan bangunan besar. Julian menjual pohon itu dan digunakan untuk memulai beberapa usaha baru, berhubungan dengan bidang kuliner yang digelutinya.Pabrik pertama yang dimiliki Julian ada di depan mata. Tanpa terasa, pabrik yang dibangun oleh Rangga dan dikelola olehnya telah berkembang pesat. Perusahaan yang dibangun Julian dari nol, kini dapat disandingkan dengan perusahaan Vina. Namun, mereka berdua tetap bersaing secara sehat. Bahkan, terkadang Vina dan Julian berkolaborasi dalam acara-acara besar.Julian telah mematahkan anggapan buruk orang-orang yang masih menganggap dirinya memiliki maksud tertentu. Dia pun tak lagi menggubris orang lain dan fokus pada keluarganya sendir
Julian keluar kamar sambil bersiul-siul. Tepat satu bulan berlalu, pabrik cokelatnya telah selesai. Dia akan pergi mengecek pabrik cokelat karena hari esok, pabrik miliknya sudah mulai beroperasi."Papa, mau pergi ke mana hari Mingu? Aku mau ikut Papa," rengek Axel.Julian berhenti dan tersenyum manis pada anaknya. Tanpa banyak kata, dia menggendong Axel dalam pelukannya.Semakin hari, Axel kian bersikap seperti anak-anak seusianya. Axel pun lebih banyak mengungkap perasaannya. Walau terkadang, Axel masih suka murung dan berpikir sendirian. Tetapi, Axel tetap akan mengatakan apa yang dipikirkannya kepada Julian setelah selesai merenung.Julian mengatakan jika semua akan baik-baik saja meskipun anak itu mengeluh atau marah. Sang ayah menginginkan anak-anaknya mendapat perhatian dan kasih sayang yang cukup. Tak seperti Rangga ataupun dirinya."Pa, aku mengundang Kak Rachel dan Ravi ke sini nanti kalau cokelatnya sudah ada. Aku ingin membuat pesta dengan air mancur cokelat, Papa.""Iya,
"Mantan?" Belinda membuka lebar mulutnya. Jelas-jelas dia sudah menceritakan semua tentang masa lalunya dengan Bima. "Kami tidak pernah punya hubungan spesial apa pun, Sayang ⊠aku hanya-""Siapa yang biang kamu punya hubungan spesial dengannya?" Julian semakin sinis menanggapi. "Oh ⊠kamu sedang mengakui kalau kamu punya hubungan spesial dengan ... siapa tadi namanya? Bisma atau Bima? Atau malah dua-duanya?"Belinda bukannya ingin merayu Julian yang sedang cemburu, tetapi dia jadi kesal karena tuduhan Julian. Apalagi, Julian sangat pintar membolak-balik kata-kata untuk memojokkan dirinya."Ya sudah kalau tidak percaya, jangan pegang-pegang perutku!" Belinda menyentak tangan Julian. "Aku tidak mau anakku sampai mendengar kalau papanya menuduhku macam-macam. Kamu pikir, bayi di dalam kandunganku tidak bisa mendengar kata-kata kita?"Janu yang sedang menyopir dan sedari tadi mendengar perdebatan majikannya, hampir saja menyemburkan tawa. Buah hati mereka bahkan belum terlihat dalam kanto