“Kamu mengenaliku?”Marsha tersenyum menatap Marc. Wanita yang masih mengenakan pakaian pasien rumah sakit itu terkekeh. “Kamu suamiku yang tampan dan kaya raya.”Marc menggeleng keras dan membalas, “Bukan. Aku bukan suamimu.”Seketika wajah Marsha menegang. Secara tiba-tiba ia melihat Sarah lalu tangannya terjulur berusaha menggapai adik tirinya tersebut.“Kamu pelakor! Iya, kan? Kamu yang merebut suamiku. Tolong! Ada pelakor!” Marsha menjerit kembali tak terkendali.Kegaduhan itu mulai menjadi perhatian para pengunjung dan staff rumah sakit. Seorang dokter berlari mendekat lalu memerintahkan Marsha dibawa ke ruang perawatan.Tentu saja Marsha meronta. Ia memanggil-manggil nama Marc dengan suara keras. Frank dan Marc memandang dengan wajah Marsha tanpa belas kasihan.Sementara Sarah terlihat takut. Ia menggigit bibirnya dan menunduk hingga Marc sadar lalu segera memeluk Sarah serta menenangkannya.“Tenang.”Sarah mengangguk mendengar satu kata dari Marc. Sebenarnya ia sangat ingin pu
Frank menghampiri Sarah. Ia duduk di depan menantunya dan menatap Sarah dan mengelengkan kepala.“Terbuat dari apa hatimu, Sarah. Mereka menghinamu, membuangmu, membohongi, mengancam bahkan melakukan percobaan pembunuhan tetapi kamu masih mau membantu mereka.”“Kasihan mereka, Pa. Siapa lagi yang bantu kalau bukan aku?”“Dan menurutmu mereka akan berterima kasih padamu?”“Aku tidak butuh ucapan terima kasih, Pa.”Marc akhirnya juga gemas mendengar ucapan istrinya. Lelaki itu membuang napas berat sebelum berkata tegas pada Sarah.“Lalu, jika kamu membantu mereka dan mereka meminta maaf kamu bersedia memaafkan?”Sarah tidak langsung menjawab. Ia bingung sendiri. Otaknya mengatakan ibu dan kakak tirinya tidak akan pernah menyesal dan berbaik hati padanya namun hati kecilnya tetap merasa kasihan pada mereka.“Biarkan Adrian yang mengurus aset itu, ya. Tolong Papa, Jangan berhubungan lagi dengan Tinna dan Marsha.”Akhirnya Sarah mengangguk setuju atas permintaan Frank. Marc terkesima melih
“Jadi, malam ini kamu tidak pulang lagi?” Sarah berusaha menahan sesak di dada dan melirik Marc.Lelaki tampan yang berstatus suaminya itu sedang mengepak pakaian ke dalam koper. Pagi tadi, ia baru saja pulang dan membawa satu tas penuh baju kotor.“Kamu tau, aku harus menjaga Papa.”“Bukankah sudah ada tim dokter dan beberapa perawat yang menjaga Papa?” Sarah menyahut dengan nada keberatan.Bagaimana tidak? Mereka baru menikah satu bulan yang lalu. Satu minggu kemudian, Papa mertuanya sakit dan sejak itu kesehatannya terus menurun. Marc yang merupakan anak tunggal kemudian sering meninggalkan Sarah sendirian untuk menjaga Papanya. “Kenapa kamu seperti tidak suka aku menjaga Papaku?” Marc membalas dengan tatapan dinginnya pada Sarah.Sarah tersentak sedikit melihat sikap Zack. “Bukan begitu. Kita baru saja menikah, tetapi sangat jarang bersama.”“Kita menikah karena dijodohkan, apa yang mau kamu harapkan?” Zack telah selesai berkemas. Ia menatap Sarah tanpa senyum.Akhirnya, Sarah ti
Marc masih terlihat sibuk mondar-mandir ke rumah sakit.Belum ada satu pun pendonor yang cocok untuk Daddy-nya, meski sudah banyak yangmengajukan diri.Sarah mendapat giliran pemeriksaan di akhir pekan. Ia harusberpikir keras bagaimana caranya pergi agar tidak diketahui Marc. Sarah tau, Lucytidak akan mau menerima ginjalnya. Jadi, lebih baik ia terus merahasiakan ini.“Apa ada kabar dari rumah sakit?” Sarah bertanya saatmenelepon Marc.“Belum ada yang cocok.” Marc menjawab dengan hembusan napasberat.Satu hari telah berlalu. Dengan kompensasi besar sebagaipendonor, sebenarnya membuat banyak orang tertarik. Sayangnya, belasan orangyang dites, tidak satu pun cocok untuk menjadi pendonor.“Ya, sudah. Semoga malam ini ada kabar baik. Kamu jagakesehatan, ya.”“Hem.”Sarah menutup saluran telepon. Marc semakin dingindengannya. Jika tidak ditelepon, suaminya itu tidak akan memberi kabar. Padahal sebelumnya,Marc cukup hangat karena lelaki itu cukup dekat dengan mendiang ayah Sarahs
Beberapa jam setelah operasi, Sarah terbangun di sebuah ruang sederhana. Ia menatap sekeliling dengan kebingungan. Napasnya tertahan saat merasakan sakit di sisi kiri tulang rusuk bagian belakang.Sesaat ia teringat, ia baru saja mendonorkan ginjalnya pada Papa mertua. Tetapi di mana ia saat ini?“Oh, kamu sudah bangun?” Tinna berdiri di sisi ranjang sambil berkacak pinggang dengan angkuh.“Berapa lama aku tertidur? Apa operasinya berhasil?” cecar Sarah.“Kamu tidak perlu tau kabar Frank. Yang jelas, sebentar lagi kamu akan dipindahkan ke rumah sakit lain.”“Kenapa tidak di sini? Aku tidak mengerti.”“Bukankah kau sendiri yang ingin identitasmu sebagai pendonor dirahasiakan?” Kemudian Tinna berkata ia akan mengurus semuanya. Sarah diminta menjauhi keluarga Carrington. Karena tidak ada tenaga untuk melawan, Sarah hanya bisa diam lalukembali tertidur.Esok harinya, Sarah terbangun di sebuah bangsal rumah sakit. Luka sayatan di perutnya masih terasa nyeri namun sudah jauh berkurang. Net
“Apa di rumah sakit ada pekerjaan yang bisa aku lakukan,Bu?” Sarah bertanya pada Ibu Irma saat mereka makan malam bersama.Ibu Irma mengangkat kedua alisnya, lalu menggeleng pelan.“Kondisimu belum siap untuk bekerja, Nak.”“Tetapi, Sarah membutuhkan pekerjaan, Bu.” Sarah kemudianbercerita bahwa tabungannya sudah habis dan kini hanya tersisa beberaparatus ribu saja di dompetnya.Namun, Ibu Irma tetap menggeleng. Menurutnya, butuh waktusatu bulan untuk Sarah memulihkan diri. Masalah uang, Ibu Irma berkata ia tidakkeberatan Sarah tinggal bersamanya sampai Sarah sembuh total.Apa yang dikatakan Ibu Irma memang benar. Sarah akhirnyahanya mengangguk dan melanjutkan makan.Setelah membantu Ibu Irma membereskan peralatan makan, Sarahduduk di ruang tamu. Ia mengangkat blusnya dan mengamati hasil operasi.Luka sayatan itu masih terbungkus perekat khusus yang tidak boleh dibuka.“Apa terasa sakit?” Tiba-tiba, Ibu Irma duduk di sampingnyadan ikut memperhatikan luka Sarah.“Terkadang di b
Sarah menggeleng tak mengerti. Beberapa kali ia berusaha mencoba menghubungi Marc, namun teleponnya selalu dialihkan. Satu bulan telah berlalu dan ia benar-benar putus hubungan dengan suami dan keluarganya.Hal ini membuat Sarah bertekad bangkit dan kembali dengan pribadi yang lebih kokoh.Ia harus pulang ke kota dan melihat dengan mata kepala sendiri tentang apa yang terjadi pasca operasi.“Lelaki itu pantas hidup lebih lama.” Ibu Irma berceloteh di samping Sarah sambil melirik ponsel Sarah.Layar kecil itu memang sedang menampilkan berita tentang Frank Carrington. Setelah dinyatakan sembuh, lelaki itu semakin melebarkan sayapnya ke berbagai yayasan sosial. Bersama Marc, putra satu-satunya, mereka kerap kali berdonasi besar-besaran untuk membantu orang-orang yang kekurangan.“Eh, siapa, Bu?” Sarah menoleh dan menatap Ibu Irma dengan raut bingung.“Itu.” Ibu Irma mengendikkan dagu pada layar ponsel Sarah. “Tuan Carrington sangat bermanfaat hidupnya untuk orang banyak, ia pantas mendap
“Kamu baik-baik saja?” Frank menatap Sarah yang terdiam dan tampak tegang.Sarah mengangkat sedikit kepala dan menatap Papa mertua-nya. “I – Iya, Pa. Maaf, Sarah hanya kaget saja bahwa ternyata Marsha yang mendonorkan ginjalnya untuk Papa.”“Kamu tidak tau? Apa saat itu kamu sudah pergi?”Kepala Sarah hanya menggeleng menanggapi pertanyaan Frank. Sungguh ia masih shock. Lalu, tiba-tiba ia ingat sesuatu.“Pa, boleh Sarah tau berapa hutang Ayah?”Frank yang sedang minum air putih hampir tersedak. Ia berdehem sedikit lalu menatap Sarah dengan pandangan bingung.“Hutang apa, Nak?”“Bukannya Ayah berhutang pada Papa? Biaya rumah sakit, sekolah aku dan Marsha dan cicilan rumah. Papa tidak tau?”Kepala Frank menggeleng-geleng. “Dari mana kamu dapat informasi itu? Tidak. Thomas, ayahmu tidak berhutang pada siapa pun. Papa tau pasti tentang itu.”Apa Ayah berhutang pada bank? Atau jangan-jangan hutang Ayah dianggap lunas oleh Papa karena ia mau menikah dengan Marc? Sarah bertanya-tanya di dala