“Apa anda kenal Nona Marsha, Nyonya Sarah?”Pertanyaan itu membuat Sarah yang sedang membagikan makanan tersenyum dan mengangguk pelan. Beberapa orang yang penasaran mengajaknya mengobrol.“Apa yang menyebabkan Nona Marsha menjadi gila?”“Iya, kenapa ya? Padahal jika ke sini tampak normal saja.”“Malah terkadang terlihat mesra dengan Tuan Marc.”“Pssttt!”Wanita pekerja sosial yang memberikan pernyataan terakhir menutup mulutnya. Ia meminta maaf pada Sarah.“Tetapi, Anda memang harus hati-hati, Nyonya Sarah. Jangan sampai Tuan Marc berselingkuh.”Kali ini para wanita itu mengangguk bersamaan. Sarah tidak berkomentar. Ia hanya kembali tersenyum tipis.Acara bagi-bagi makanan selesai. Sarah menatap sekilas tangannya yang digandeng Marc keluar yayasan diikuti pandangan dari semua orang.Pasti mereka sedang membandingkan antara dirinya dengan Marsha. Sarah berkata dalam hati.“Aku perlu ke kantor. Kamu ikut saja, ya.”“Aku perlu bekerja.” Sarah mendesis pelan.Marc menghela napas lalu men
Seorang psikiater berjalan menuju salah satu ruangan. Ia mengintip melalui jendela kecil di pintu. Lalu membuka pintu tersebut saat yakin yang berada di dalam adalah pasiennya."Selamat pagi, Marsha.""Pagi, Auntie." Marsha dengan ramah balas menyapa.Psikiater tersenyum dan mengamati pasiennya. Ia tampak normal."Bagaimana kabarmu hari ini?"Marsha tersenyum lebar lalu mengusap perutnya. "Aku bisa merasakan tendangan bayi tadi.""Oh. Benarkah?" Psikiater mengembuskan napas lalu mencatat."Nanti kalau dia bergerak lagi akan aku beritahu.""Kurasa tidak mungkin karena kamu tidak hamil, Marsha."Marsha memandang wanita di sampingnya dengan tatapan tajam. Ia tidak suka jika ada yang bilang bahwa ia tidak hamil."Aku hamil. Ayah bayi ini namanya Marc.""Bukan, Marsha. Coba ingat-ingat lagi."Seketika mata Marsha mendelik. Ia menarik pakaiannya ke atas dan memperlihatkan perutnya. Berkali-kali mengatakan bahwa ia hamil anak Marc. Ia juga terkekeh sendiri lalu terisak sedih.Psikiater kelua
Malam itu, Marsha tidur dengan tubuh terikat. Ia masih mengamuk dan menjerit. Lilian mencatat banyak kejadian pada berkas Marsha.Marc mendapat pesan dari rumah sakit jiwa. Sebenarnya ia kesal masih terus dihubungkan dengan kasus Marsha. Tetapi karena merasa belum mendapatkan keadilan untuk istrinya, Marc akhirnya mau menjadi penjamin bagi Marsha.Salah satu fungsi penjamin adalah menerima informasi sekecil apa pun tentang Marsha. Kali ini Marc hanya bisa mengembuskan napas panjang saat mendengar laporan Marsha kembali mengamuk dan bahkan mengancam nyawa psikiaternya.Akhirnya, karena tidak tau harus berbuat apa, Marc melimpahkan kasus tersebut sepenuhnya pada pengacara Frank. Ia menandatangani surat kekuasaan dan menyerahkannya pada kantor pengacara.“Aku sudah lelah dengan kasus ini dan ingin segera mengakhirinya.” Marc berkata pada Larry.“Ini kasus yang cukup pelik. Kurasa memang harus dipertimbangkan masak-masak.”Marc menatap malas pada teman dekatnya. “Tidak rumit karena semua
Baru kali ini Marc pulang ke rumahnya sendiri dengan jantung berdebar kencang. Sebelum turun dari mobil, ia mengatur napas lebih dulu.Paperbag berisi coklat ia bawa dengan tangan sedikit bergetar. Sepanjang jalan menuju kamar, Marc mengembuskan napas panjang.“Hai.” Marc menyapa Sarah yang sedanv duduk bersandar di ranjang.Sarah menurunkan buku yang sedang ia baca. “Hai.” Balasnya kemudian.Cium pipinya. Ucapkan terima kasih dan berikan coklat. Kalimat Larry terngiang di telinga Marc saat ini.Marc mendekati Sarah. “Cup.” Ia mencium sekilas pipi Sarah.Sarah mengerjap mendapat perlakuan manis itu dan memaksakan senyum canggungnya.“Terima kasih sudah menungguku. Ini untukmu.” Marc memberikan paperbag mewah itu pada Sarah.Sarah menerimanya dengan kening berkerut. Ia mengeluarkan kotak mewah dan mengamatinya dengan mata tak berkedip.“Coklat ini?”“Kan aku sudah bilang akan memberikan coklat padamu.”“Tapi tidak coklat ini, Marc.” Sarah bicara sambil tetap mengamati kotak mewah di ta
“Kenapa wajahmu jadi merah sekali, Sarah.”Pertanyaan Marc menyadarkan Sarah. Ia mengerjap-ngerjap untuk menghilangkan rasa malu.“Emmm ... aku mau pipis.” Sarah segera turun dari ranjang dan masuk ke kamar mandi.Huuhfttt. Malu-maluin. Sarah mendesah dalam hati.Marc menatap pintu kamar mandi yang ditutup Sarah. Lelaki itu melakukan peregangan otot di atas ranjang lalu meraih ponselnya.Satu pesan menarik perhatian. Pagi-pagi sekali, ternyata Larry sudah memberinya perintah.Bangun tidur, kecup pipi Sarah dan katakan selamat pagi. Lalu, ajak mandi bersama. Tidak perlu aku ajari kan, bagaimana kamu harus melayani istrimu di sana.Larry mengakhiri kalimatnya dengan ikon tertawa ngakak. Marc mencebik.“Telat, Bro. Sarah sudah bangun dan langsung masuk ke kamar mandi tanpa aku sempat mengucapkan selamat pagi.”Marc mengirim pesan suaranya. Beberapa detik kemudian Larry pun membalas dengan pesan suara. Marc menekan tombol untuk mendengarkan pesan tersebut.“Cepat susul ke kamar mandi. Sek
Sarah membelalakkan mata. Lalu spontan ia memeluk Marc kemudian memberikan senyum manisnya.“Beneran? Kamu nggak bohong, kan?” Sepasang mata jernih itu memohon pada Marc.Lelaki itu mengangguk. Ia mendapati kenyataan hatinya ikut senang melihat Sarah bahagia. Apalagi ia juga mendapat bonus pelukan.“Kapan aku boleh mulai kerja?”“Eh, ada syaratnya.” Buru-buru, Marc menyela.Wajah Sarah kini memberengut. Meski begitu ia mengangguk dan berkata akan mempertimbangkan syarat-syarat yang diajukan Marc.“Jam kerjamu hanya pagi sampai jam dua siang. Tidak ada lembur.”“Aku harus bilang dulu sama Irwan tentang itu. Aku kan tidak bisa memutuskan begitu.” Nada suara Sarah terdengar sedih sekarang.“Mereka harus mengerti kondisimu yang sedang hamil. Aku rasa jika mereka sangat membutuhkan kinerjamu, mereka akan setuju.”Kepala Sarah mengangguk.“Kamu bekerja dari kantorku. Di ruanganku agar aku tetap bisa memantaumu.”Kali ini Sarah terkejut. Ia mengerutkan dahi mendengar syarat dari Marc.“Kenap
Restoran selalu ramai saat jam makan siang. Mau restoran pinggir jalan ataupun restoran mewah. Semuanya sibuk dengan pelanggan masing-masing.Namun begitu, Marc mendapat tempat untuk mereka bertiga. Orang kaya memang sering mendapat hak istimewa di mana-mana. Sarah yakin Marc bisa mendapat tempat karena ia adalah pengusaha terkenal.“Mau makan apa, Sarah?” Marc berkata sambil membolak-balik buku menu.“Terserah. Aku tidak tau makanan favorit di sini.”Marc melirik Larry saat mendengar kata terserah. Demi apapun ia jadi takut mendengar kata tersebut.Larry dengan cepat menentukan pilihan menunya. Ia lalu mengetik pesan dan memberi kode pada Marc untuk membaca pesannya.“Sebentar. Ada pesan masuk.” Marc meminta izin pada Sarah yang langsung mengangguk.Setelah membaca pesan tersebut. Marc menutup buku menunya, lalu menatap buku menu di depan Sarah.Melihat temannya butuh suasana berdua, Larry pamit untuk ke kamar mandi. Kini, Sarah dan Marc mendiskusikan menu dengan jarak berdekatan.“F
Sarah melirik suaminya. Kadang ia bingung bagaimana sebenarnya perasaan Marc padanya. Seperti hari ini, Marc tampak lebih manis dari biasanya.“Tidak ada yang tau selain Tuhan.”Kalimat itu tentu diucapkan Sarah berdasarkan pengalaman hidupnya. Bagaimana ia melihat orang tuanya berpisah karena kematian. Juga perpisahan Frank dan Lucy yang masih di luar dugaan.“Memang benar. Tetapi, Tuhan melihat jika hambanya berusaha untuk selalu bersama.”“Kenapa kamu ingin kita bersama? Bukankah kamu tidak mencintaiku?”Tidak ada jawaban dari Marc. Segera saja Sarah menduga, Marc memang tidak pernah mencintainya. Ia menatap keluar jendela di sampingnya sambil mengusap perut.Saat itu ingin sekali Marc menelepon Larry. Bertanya bagaimana menjawab pertanyaan wanita yang menanyakan apakah ia mencintainya? Bukankah wanita mahluk sensitif? Harusnya mereka mengerti, bukan?“Kita kembali ke kantor, ya.” Marc mengalihkan pembicaraan.Sarah mengangguk. Ia juga bingung harus melakukan apa. Mungkin di kantor
Tiga tahun berlalu dengan cepat. Keluarga Carrington sedang berlibur di sebuah perkemahan mewah. Mereka juga mengajak keluarga Ibu Irma.Irwan dan Vania telah menikah dan memiliki satu orang anak perempuan yang dinamai Nirvana."Kenapa Kak Arzan jagain Vana terus?" Vivi memberengut kesal saat ia minta Arzan menemaninya main tetapi anak lelaki itu sedang sibuk menjaga adiknya."Vana masih kecil, Vivi. Sini, kita main sama-sama." Arzan menepuk sisinya yang kosong. Namun, Vivi malah melengos dan memilih bergelayut manja di kaki Papanya."Aku panggil Irwan dulu biar ia menjaga Vana." Vania yang sedang memasak dapur merasa tak enak hati mendengar pembicaraan Arzan dan Vivi."Sudah, biarkan saja. Gak papa, kok." Sarah yang sedang hamil besar menenangkan Vania."Aku gak enak, Sarah. Sepertinya Vivi cemburu karena Arzan menjaga Vana terus.""Lihat itu." Sarah mengendik pada Vivi yang kini asyik bermain bersama Marc. "Dia kesal cuma sebentar, kok."Vania tersenyum simpul dan mengangguk. Apalagi
Ulang tahun pertama Vivi sangat meriah. Meski anak perempuan itu belum memiliki banyak teman, tetapi tamu-tamu undangan mulai dari balita hingga kakek nenek banyak yang hadir.Marc menyulap taman belakang menjadi taman bermain yang nyaman dengan tenda dan AC portable di mana-mana. Berbagai makanan sehat tersebar di penjuru taman.Sebagian tamu adalah teman-teman Arzan yang membawa adik-adik mereka. Vivi jadi memiliki teman sebaya."Sepertinya, prediksi Arzan tepat. Akhir-akhir ini mereka jadi dekat, bukan?" Sarah melirik pada Irwan dan Vania yang tampak asyik berbincang dengan ibu Irma.Tanpa melihat objek pembicaraan mereka, Marc mengangguk. Lelaki itu melingkari tangan di pinggang sang istri dan membawanya ke meja makan."Masih lapar?" Sarah mengamati suaminya yang mengambil makanan cukup banyak."Apa kamu tidak lihat? Aku tadi lari-larian mengikuti Vivi?" Marc memotong steak ayam lalu menyuapi dirinya. "Lagipula, steak ini lezat sekali."Bahkan Sarah akhirnya ikut makan karena Mrac
Sesuai rencana, berita tentang Marc dan Vania menghilang. Tentu saja itu tidak lepas dari tim yang dibuat Adrian untuk menghapus semua postingan tersebut.“Sayang.” Marc menyapa istrinya yang sedang menyusui Vivi.“Ya?”“Jam berapa Arzan datang?”“Vania bilang, mereka sudah dalam perjalanan.”“Hmm ... aku ada rapat. Sengaja kubuat online. Tapi kalau Arzan datang dan aku belum selesai, minta ia ke ruang kerjaku saja, ya.”“Oke. Selamat rapat.”Marc mengangguk. Lalu, membungkuk sedikit untuk mencium pipi istri dan putrinya. Setelah itu, ia keluar dari ruang bayi.Setelah Marc keluar, seorang pelayan masuk membawa paket untuk Sarah.“Tolong dibuka,” pinta Sarah pada pelayan yang langsung mengangguk.Sarah tau isi paket itu adalah buku-buku Vania yang ia pesan secara online. Pelayan memberikan buku -buku yang masih berplastik itu pada Sarah lalu keluar.Vivi melepas puncak dada Mamanya karena tertarik dengan buku yang dipegang Sarah. Ia merebut buku tersebut lalu ikut membolak-balik halam
“Maafkan aku. Aku mengaku salah.” Khanza menunduk dalam-dalam.Adrian dan pengacara mendatangi kantor penerbit buku Vania. Mereka memberikan data bahwa Khanza membuat berita kebohongan agar publik tertarik pada cerita Vania dan membeli buku terbarunya.Direktur penerbitan menggeleng samar melihat data-data tersebut. Ia tidak menyangka Khanza berbuat seperti itu.“Aku melakukannya untuk Vania.” Khanza berkilah, membela diri.“Aku yakin Vania pun tak setuju kamu membantu dengan cara ini.” Adrian mengecam.“Vania sedang tidak fokus. Banyak pikiran. Jadi, aku pikir, aku perlu membantunya sedikit.”Direktur menggeleng. Ia juga tampak tidak setuju. Apalagi sampai ada pengacara yang menuntut mereka.“Masalahnya, Nona.” Pengacara menatap wajah Khanza dengan pandangan tajam. “Yang anda cemarkan adalah keluarga Carrington, terutama Tuan Marc.”“Lelaki yang selama ini terkenal dingin dan tidak bersosialisasi dengan media.” Adrian menambahkan.Direktur menengahi. Mereka akan membuat pengumuman pe
Pagi di bumi perkemahan cukup cerah setelah semalaman hujan. Pengelola bahkan tidak mengizinkan peserta kemping untuk melakukan trekking.“Terus kita ngapain, Om?” Arzan mengguncang-guncang tangan Irwan.“Masih ada pilihan untuk memancing. Kamu mau?”“Om bisa memancing?”“Bisa, dong.”“Mauuu.” Arzan menjerit senang.Vania menatap kebersamaan Irwan dan Arzan. Seandainya Bryan masih hidup, mungkin yang berdiri di depannya sekarang ada sosok Bryan dan Arzan. Vania menggeleng membuyarkan lamunannya.Telah lima tahun berlalu, tetapi rasanya masih sama. Kehilangan dan kedukaan itu masih sangat jelas di mata Vania.“Ibu, ayo ikut memancing,” ajak Arzan.Vania tau, Arzan pasti disuruh Irwan. Ia sebenarnya tidak tau apa-apa tentang memancing, tetapi demi menemani Arzan, Vania mengangguk.Perahu disiapkan pengelola perkemahan. Vania melihat Irwan berbincang dengan penjaga Arzan. Seperti setiap kegiatan Arzan, harus dilaporkan pada keluarga Carrington.Akhirnya mereka bertiga di atas perahu. Mer
Irwan menunggu. Vania mungkin sedang mengumpulkan kekuatan untuk memceritakan kisah kelamnya pada seseorang. Apalagi ia adalah orang baru yang pertama kali ditemui."Aku dan Bryan, ayah Arzan menikah tanpa restu. Kami lari dari keluarga karena memilih mempertahankan cinta."Vania mengembuskan napas kasar. Ia menyandarkan punggung pada dinding. Jari-jari tangannya saling bertautan."Di perkemahan seperti ini lah kami berbulan madu. Tiga bulan kemudian, aku hamil. Kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, beberapa bulan berikutnya, Bryan didiagnosis menderita kanker usus."Isakan Vania membuat Irwan memeluk erat Arzan. Ia tak ingin Arzan terbangun. Vania lalu sadar untuk segera menguasai diri.Sembari mengatur napas, Vania mengusap air matanya. Kini ia duduk sambil memeluk kaki-kakinya yang ditekuk.Dalam keadaan hamil, Vania merawat Bryan. Bryan cukup tegar dan berusaha menjalani pengobatan didampingi Vania.Pilihan itu datang saat Vania melahirkan. Kondisi Bryan bertambah lemah. Keuanga
Alrzan langsung bersembunyi di balik tubuh Vania. Wanita itu menyorotkan lampu senter pada lelaki yang berdiri di kegelapan. Arzan mengintip lalu bersorak.“Om Irwan.” Arzan langsung berlari menghampiri dan memeluk Irwan. “Lampu kabin kami mati, Om.”Irwan mengusap kepala Arzan. “Iya, kabin Om juga. Tadinya Om mau mencari bantuan tapi mendengar teriakan. Kebetulan sekali kita ada di sini, ya."“Aku bersama Ibu Vania. Cuma berdua.” Arzan menunjuk Vania yang terpaku di tempat melihat kedekatan putranya dengan lelaki yang dipanggil Om Irwan tersebut.Irwan mengangguk. Setelah berada pada jarak cukup dekat, Irwan menjulurkan tangan. Vania menyambutnya dan tersenyum penuh kelegaan.“Irwan. Aku putra Ibu Irma.”Sejenak setelah balas menyebut namanya, Vania mengamati Irwan. Rasanya ia pernah bertemu dengan lelaki ini. Tetapi, ia tidak ingat meskipun ia sering berada di kafe.“Kita memang belum pernah bertemu sebelum ini.” Irwan menjawab pengamatan Vania pada dirinya. “Oh, mungkin sekali. Saa
“Jadi Khanza, editor Vania yang menjadi otak gosip antara kamu dan Vania?” Sarah mengangkat alisnya. Tak menyangka bahwa ternyata orang terdekat Vania lah yang membuat kebohongan tersebut.“Iya. Itu dilakukan untuk mendongkrak penjualan buku Vania. Kamu ingat? Gosip itu beredar tak lama novel baru Vania terbit di pasaran.”Sarah mengangguk mengerti. “Vania tau?”“Itu sedang diselidiki Om Adrian.”“Perasaanku mengatakan Vania tidak ada sangkut pautnya dengan ini semua.”Pernyataan Sarah dikuatkan oleh dugaan bahwa Vania tidak mungkin mempertaruhkan nama baiknya. Jika ia memang terlibat dan keluarga Carrington tau, ia pasti tidak akan bertemu lagi dengan Arzan. Bahkan Sarah sendiri pun akan melarangnya.Marc mengangguk setuju. Ia berharap hari ini juga sudah mendapat kabar dari orang-orang Adrian yang bekerja untuk mengusut kasus pencemaran nama baik ini.“Jika Arzan sudah pulang, kemungkinan ia menemukan berita tersebut akan besar. Aku tidak ingin itu terjadi.”“Aku tau.” Sarah mencebi
Dua hari kemudian, Vania menjemput Arzan. Selama akhir minggu, ia akhirnya memperoleh izin membawa Arzan hanya berdua saja. Vania menjemput Arzan di rumah keluarga Carrington.Sarah menyambut Vania sambil menggandeng Arzan. Ia menyerahkan tangan Arzan pada Vania dan hanya berpesan untuk bersenang-senang.“Ingat pesan Mama ya, Sayang.” Sarah mengelus kepala Arzan sebelum putra angkatnya itu masuk ke dalam mobil.Arzan mengangguk lalu memeluk Sarah erat-erat. Ia juga mencium pipi Sarah dan berkata akan menurut pada pesan sang Mama. Vania memperhatikan inetraksi tersebut dengan rasa haru.Selalu saja ada rasa iri di hati Vania. Tapi, ia merasa itu hal yang wajar. Ia bertanya dalam hati kapan Arzan akan sehangat itu pada dirinya.Dalam perjalanan, Arzan lebih banyak mengamati jalanan. Sesekali ia menengok ke belakang. Sebuah mobil van mengikuti kendaraan Vania.“Ada mobil penjagamu, ya?” Vania tersenyum pada Arzan.Anak lelaki itu hanya mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan ibu kandu