Restoran selalu ramai saat jam makan siang. Mau restoran pinggir jalan ataupun restoran mewah. Semuanya sibuk dengan pelanggan masing-masing.Namun begitu, Marc mendapat tempat untuk mereka bertiga. Orang kaya memang sering mendapat hak istimewa di mana-mana. Sarah yakin Marc bisa mendapat tempat karena ia adalah pengusaha terkenal.“Mau makan apa, Sarah?” Marc berkata sambil membolak-balik buku menu.“Terserah. Aku tidak tau makanan favorit di sini.”Marc melirik Larry saat mendengar kata terserah. Demi apapun ia jadi takut mendengar kata tersebut.Larry dengan cepat menentukan pilihan menunya. Ia lalu mengetik pesan dan memberi kode pada Marc untuk membaca pesannya.“Sebentar. Ada pesan masuk.” Marc meminta izin pada Sarah yang langsung mengangguk.Setelah membaca pesan tersebut. Marc menutup buku menunya, lalu menatap buku menu di depan Sarah.Melihat temannya butuh suasana berdua, Larry pamit untuk ke kamar mandi. Kini, Sarah dan Marc mendiskusikan menu dengan jarak berdekatan.“F
Sarah melirik suaminya. Kadang ia bingung bagaimana sebenarnya perasaan Marc padanya. Seperti hari ini, Marc tampak lebih manis dari biasanya.“Tidak ada yang tau selain Tuhan.”Kalimat itu tentu diucapkan Sarah berdasarkan pengalaman hidupnya. Bagaimana ia melihat orang tuanya berpisah karena kematian. Juga perpisahan Frank dan Lucy yang masih di luar dugaan.“Memang benar. Tetapi, Tuhan melihat jika hambanya berusaha untuk selalu bersama.”“Kenapa kamu ingin kita bersama? Bukankah kamu tidak mencintaiku?”Tidak ada jawaban dari Marc. Segera saja Sarah menduga, Marc memang tidak pernah mencintainya. Ia menatap keluar jendela di sampingnya sambil mengusap perut.Saat itu ingin sekali Marc menelepon Larry. Bertanya bagaimana menjawab pertanyaan wanita yang menanyakan apakah ia mencintainya? Bukankah wanita mahluk sensitif? Harusnya mereka mengerti, bukan?“Kita kembali ke kantor, ya.” Marc mengalihkan pembicaraan.Sarah mengangguk. Ia juga bingung harus melakukan apa. Mungkin di kantor
“Kenapa tidak langsung bilang saja kalau kamu mencintai Sarah?” Larry berdesis kesal mendengar cerita Marc.“Aku kan sudah bilang, aku tidak yakin. Aku tidak mau membohongi Sarah.”“Duh, kamu itu bos paling dingin yang aku kenal. Mahasiswa yang kecerdasannya mendapat pengakuan internasional. Pengusaha yang setiap langkahnya selalu penuh percaya diri. Tetapi, berhadapan dengan Sarah saja bingung.”“Jelas itu semua tidak ada hubungannya!”Detik berikutnya, Larry hanya mendengar keluh kesah Marc tentang hubungannya dengan Sarah. Bagaimana Sarah tersenyum dan senang mendapat bunga darinya dan pembicaraan mereka tentang masa depan.“Itu bisa bicara tentang kalian yang akan hidup berdua selamanya.”“Kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibirku. Sepertinya itu ucapan jujur.”“Dan kamu tidak mau mencintai wanita yang kamu ajak hidup seumur hidupmu?”Larry lalu memberikan beberapa pesan pada teman dekatnya. Marc mengangguk mengerti. Sepertinya lamgkah-langkah yang Larry ucapkan mudah.Marc
“Maaf. Aku haus.” Sarah menunjukkan botol minuman yang dipegangnya.Marc menggeleng lalu merebut botol tersebut. “Jangan minum sembarangan. Kita ke kafe saja beli jus buah.”Sarah berjalan di samping Marc. “Memangnya kamu larinya sudah selesai?”Bagaimana ia bisa olahraga jika tadi saat lari perhatiannya selalu tertuju ke kursi di mana Sarah duduk. Dan ia hampir gila saat melihat kursi itu kosong hingga berlari sangat cepat.“Nggak papa. Kita ke kafe saja dulu.”Kafe itu berada di pinggir jalan. Masih sepi, hanya ada satu pengunjung. Marc memesan jus buah stroberi dan roti kismis untuk Sarah.“Kamu nggak makan?”“Nanti saja di rumah.”“Kamu mau lari lagi? Aku janji di sini saja. Kamu bisa melihatku dari jalur jogging.”Memang ia bisa melihat Sarah. Tetapi, saat istrinya ada apa-apa, ia mungkin tidak bisa langsung membantu.Namun karena merasa keadaan aman, Marc akhirnya kembali berlari. Satu putaran aman. Sarah tersenyum dan melambai saat Marc melintasinya.Biasanya Marc berlari palin
Benar dugaan Marc. Sarah mendapat panggilan esok harinya untuk mulai bekerja. Untung saja gedung perkantorannya dekat dengan perusahaan Marc.“Hari ini kamu istirahat di rumah saja karena besok akan mulai kerja.” Marc berkata pada Sarah.“Iya. Aku juga memang harus menyiapkan diri.”Apa maksudnya menyiapkan diri? Marc tidak menggubris pernyataan istrinya.“Nanti sore kita ke rumah sakit untuk kontrol, jadi aku akan pulang lebih awal.”“Ok. Aku tunggu.” Saat itu tiba-tiba, Sarah teringat sesuatu. “Ya Tuhan, Marc.”Marc langsung menoleh cepat dan menatap Sarah. “Kenapa?”“Berarti hari ini Papa dan Ibu Irma akan bertemu Mama Lucy dong di rumah sakit? Mereka bilang mau ikut, kan”Keduanya bertatapan dengan wajah tegang. Sarah menggigit bibir dalamnya memikirkan apa yang akan terjadi nanti sore.“Ya sudahlah. Lambat laun, Mama juga akan tau.”Sarah mengangguk. Hanya saja ia khawatir, Lucy kembali kesal dengannya. Apalagi ibu Irma adalah wanita yang selama ini membantunya.“Semoga Mama tida
“Katanya seorang dokter ahli gizi. Boleh Ibu berikan nomer ponsel Sarah padanya?”Marc keberatan. Ia tidak ingin Sarah menerima telepon dari orang tidak dikenal. Marc akhirnya memberikan nomer telepon kantornya dan email pribadinya.“Ibu mengerti. Oh ya, nanti sore Ibu jadi ikut menemani Sarah memeriksa bayi, ya.”“Ok.” Marc menjawab singkat lalu menutup ponselnya.Sampai di rumah, Marc segera masuk ke dalam kamar. Ruangan itu bahkan lebih dingin dari biasanya. Sepertinya Sarah mengatur suhu pendingin ruangan lebih dingin.Marc menghampiri ranjang dan berdiri di sisinya. Perlahan mengelus kepala sang istri yang masih tertidur.Lelaki itu menghitung jam tidur istrinya. Sepertinya sudah hampir dua jam Sarah tidur. Apa ia bangunkan saja?Sebelum membangunkan istrinya, Marc menelepon pelayan. Ia bertanya apa Sarah sudah minum vitamin? Saat pelayan berkata belum, Marc menggeleng dan menepuk perlahan pipi Sarah.“Sarah, bangun.”Sarah memicingkan mata. Ia mengguman tak jelas lalu terlihat b
Suami mana yang tidak kesal mendengar istrinya nyaman dengan lelaki lain. Rasanya Marc ingin sekali marah tapi sebisa mungkin ia tahan.Sarah juga bingung kenapa dari pertanyaan matematika, Marc bisa nyambung ke perbincangan tentang Irwan. Apalagi setelahnya ia yang sewot sendiri.Untung saja ada saat yang dinanti mereka. Sore ini pemeriksaan bayi. Saat yang mereka selalu nantikan.Marc dan Sarah berjalan bersisian menuju ruang konsultasi. Dari jauh mereka sudah melihat Lucy berdiri dan bicara dengan suster.“Mama.” Marc menyapa Lucy.Wanita itu menoleh dan langsung tersenyum memamerkan barisan gigi rata dan putihnya. Lucy memeluk dan mencium pipi Marc. Ia juga melakukan hal yang sama pada Sarah.“Apa kita langsung masuk? Kata Suster, dokternya sudah datang.” Lucy bertanya pada Marc dan Sarah.“Umm ... belum, Ma. Sarah diperiksa berat badan dan tekanan darahnya dulu oleh suster.”Sarah mengangguk. Ia tau Marc akan mencoba mengulur waktu karena Papa Frank dan Ibu Irma belum datang.Mer
“Pacar baru Frank cantik juga, ya.”Spontan, Marc menoleh ke samping menatap Mamanya yang sedang memandang mobil di samping mereka.“Emm ... Mereka hanya berteman, Ma. Kebetulan Ibu Irma adalah teman SMA Papa. Anak Ibu Irma juga merupakan bos Sarah.” Marc menjelaskan.“Oh ya? Wah kebetulan sekali.”Akhirnya Marc bercerita tentang kisah Sarah yang dibuang Ibu Tinna dan Marsha hingga bertemu dengan Ibu Irma. Tidak ada yang menyangka bahwa Irwan ternyata adalah anak satu-satunya Ibu Irma.“Suaminya Irma ke mana? Sudah bercerai juga?”Marc menggeleng. “Tidak. Suami Ibu Irma sudah meninggal. Ibu Irma sudah menjanda selama sepuluh tahun.”Kembali Lucy meminta maaf pada Sarah. Ia prihatin mendengar Sarah tidak mendapat pengobatan yang sesuai.Sarah hanya mengangguk pelan.“Oh ya, Ma. Barang-barang Mama yang dicuri Maxim sudah terkumpul semua. Pengacara akan mengembalikan besok.” Tiba-tiba, Marc teringat.“Mama harus wajib lapor ke kantor polisi besok. Kamu saja yang terima barang-barang itu.
Alrzan langsung bersembunyi di balik tubuh Vania. Wanita itu menyorotkan lampu senter pada lelaki yang berdiri di kegelapan. Arzan mengintip lalu bersorak.“Om Irwan.” Arzan langsung berlari menghampiri dan memeluk Irwan. “Lampu kabin kami mati, Om.”Irwan mengusap kepala Arzan. “Iya, kabin Om juga. Tadinya Om mau mencari bantuan tapi mendengar teriakan. Kebetulan sekali kita ada di sini, ya."“Aku bersama Ibu Vania. Cuma berdua.” Arzan menunjuk Vania yang terpaku di tempat melihat kedekatan putranya dengan lelaki yang dipanggil Om Irwan tersebut.Irwan mengangguk. Setelah berada pada jarak cukup dekat, Irwan menjulurkan tangan. Vania menyambutnya dan tersenyum penuh kelegaan.“Irwan. Aku putra Ibu Irma.”Sejenak setelah balas menyebut namanya, Vania mengamati Irwan. Rasanya ia pernah bertemu dengan lelaki ini. Tetapi, ia tidak ingat meskipun ia sering berada di kafe.“Kita memang belum pernah bertemu sebelum ini.” Irwan menjawab pengamatan Vania pada dirinya. “Oh, mungkin sekali. Saa
“Jadi Khanza, editor Vania yang menjadi otak gosip antara kamu dan Vania?” Sarah mengangkat alisnya. Tak menyangka bahwa ternyata orang terdekat Vania lah yang membuat kebohongan tersebut.“Iya. Itu dilakukan untuk mendongkrak penjualan buku Vania. Kamu ingat? Gosip itu beredar tak lama novel baru Vania terbit di pasaran.”Sarah mengangguk mengerti. “Vania tau?”“Itu sedang diselidiki Om Adrian.”“Perasaanku mengatakan Vania tidak ada sangkut pautnya dengan ini semua.”Pernyataan Sarah dikuatkan oleh dugaan bahwa Vania tidak mungkin mempertaruhkan nama baiknya. Jika ia memang terlibat dan keluarga Carrington tau, ia pasti tidak akan bertemu lagi dengan Arzan. Bahkan Sarah sendiri pun akan melarangnya.Marc mengangguk setuju. Ia berharap hari ini juga sudah mendapat kabar dari orang-orang Adrian yang bekerja untuk mengusut kasus pencemaran nama baik ini.“Jika Arzan sudah pulang, kemungkinan ia menemukan berita tersebut akan besar. Aku tidak ingin itu terjadi.”“Aku tau.” Sarah mencebi
Dua hari kemudian, Vania menjemput Arzan. Selama akhir minggu, ia akhirnya memperoleh izin membawa Arzan hanya berdua saja. Vania menjemput Arzan di rumah keluarga Carrington.Sarah menyambut Vania sambil menggandeng Arzan. Ia menyerahkan tangan Arzan pada Vania dan hanya berpesan untuk bersenang-senang.“Ingat pesan Mama ya, Sayang.” Sarah mengelus kepala Arzan sebelum putra angkatnya itu masuk ke dalam mobil.Arzan mengangguk lalu memeluk Sarah erat-erat. Ia juga mencium pipi Sarah dan berkata akan menurut pada pesan sang Mama. Vania memperhatikan inetraksi tersebut dengan rasa haru.Selalu saja ada rasa iri di hati Vania. Tapi, ia merasa itu hal yang wajar. Ia bertanya dalam hati kapan Arzan akan sehangat itu pada dirinya.Dalam perjalanan, Arzan lebih banyak mengamati jalanan. Sesekali ia menengok ke belakang. Sebuah mobil van mengikuti kendaraan Vania.“Ada mobil penjagamu, ya?” Vania tersenyum pada Arzan.Anak lelaki itu hanya mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan ibu kandu
"Mana? Aku mau lihat." Sarah mencondongkan tubuhnya ke arah ponsel Marc.Pasangan suami istri itu sama-sama memperhatikan layar kecil ponsel Marc. Dengan kesal, Marc menyerahkan ponselnya pada sang istri. Ia malas membaca lanjutan berita tersebut."Pasti sebentar lagi Papa atau Mama akan menelepon dan marah-marah padaku." Marc kemudian bersungut. "Tadi saat kamu bilang tidak bisa ikut, aku sudah memiliki perasaan tak enak.""Nanti kalau Mama atau Papa menelepon, biar aku saja yang bicara pada mereka." Sarah menenangkan suaminya.Namun kali ini Marc tidak dapat mentoleransi berita tersebut. Portal gosip itu mengatakan ia mengadakan pertemuan rahasia dengan Vania untuk membahas putra mereka."Kamu jangan mencegahku lagi. Aku akan meminta pengacara menuntut pasal pencemaran nama baik."Tidak ada balasan dari Sarah. Ia sedang sibuk mengamati berita tersebut."Memangnya kamu sempat ngobrol berduaan dengan Vania, ya?""Tadinya aku sudah cerita ia minta maaf atas beredarnya gosip dan mengaku
Vania merasa bertambah senang karena setelah beberapa kali bertemu, akhirnya Arzan mulai banyak terbuka padanya. Meski anak itu masih kaku jika bersentuhan, Vania tetap memberikan perhatian melalui kontak fisik seperti mengelus, mengusap, memeluk dan mencium putranya.“Ok, nanti jangan lupa tanyakan pada Mama dan Papa kapan kita bisa kemping berdua, ya.” Vania berkata dengan penuh harap pada Arzan.Arzan mengangguk. Pada pertemuan itu, Arzan juga menunjukkan hasil tulisannya. Dengan bersemangat, Vania membaca dan mengangguk-angguk.“Sepertinya kamu memang berbakat.”“Apa aku bisa menjual buku dan mendapatkan uang seperti Ibu?”Kekehan kecil terdengar dari hidung Vania. “Tentu saja bisa. Tetapi, masih banyak yang mesti kamu pelajari karena menulis bukan hanya tentang menceritakan apa yang ada di kepalamu.”Vania berpesan bahwa Arzan harus banyak belajar tentang teori kepenulisan. Menurutnya, cerita Arzan menarik namun dari segi alur masih perlu diperbaiki. Arzan tampak serius melihat b
“Semua gagal.” Irwan berkata datar saat Marc bertanya tentang kencannya.Pagi ini, kantor Irwan kedatangan Marc. Lelaki itu mendapat laporan bahwa Irwan telah beberapa kali melakukan kencan buta dengan bantuan aplikasi jodoh.“Memang berapa kali sih kamu berkencan?”“Tiga kali.”“Artinya aplikasi itu tidak bagus. Mungkin kamu bisa coba cara konvesional saja.”“Maksudmu, amati sekeliling, jika ada yang menarik langsung ajak kencan?”“Iya seperti itu.”Dengan cepat, kepala Irwan menggeleng. Menurutnya kehidupannya sekarang hanya kantor dan rumah. Sementara ia tidak ingin berkencan dengan teman atau pegawai kantor.Marc menawarkan bantuan. Ia berkata Larry mungkin memiliki teman wanita yang juga sedang mencari jodoh. Mereka sama-sama tau, Larry memiliki pergaulan yang luas.Pasrah, Irwan mengangguk. Mereka melanjutkan membahas pekerjaan. Hingga akhirnya diskusi itu selesai.“Sepertinya hari ini kamu dan timmu harus lembut.” Marc berkata seraya bersiap akn pergi.“Iya. Aku juga berpikiran
“Jadi, kamu tidak berfoto sama Vania?” Sarah mengulangi pernyataan Marc yang menyangkal ia berada satu frane bersama Arzan dan Vania.“Tidak.” Marc menggeleng tegas. “Aku lebih dulu yang berfoto berdua dengan Arzan. Setelah itu Vania dan Arzan.”Tetapi, Marc berkata saat itu memang banyak kamera yang mengarah pada mereka. Marc tidak menaruh curiga karena mereka sedang berada di sekolah.“Jadi, kamu jangan berprasangka buruk padaku.”“Siapa yang berprasangka buruk?”“Aku takut kamu cemburu.”Sarah mencebik. “Tidak. Lagipula kalau kamu mau sama Vania, ya silahkan saja.”Marc terperanjat mendengar pernyataan istrinya. “Kok gitu?”“Yaa ... kamu suka nggak sama Vania?”“Enggak lah. Pertanyaanmu aneh sekali, Sayang.”“Ya, sudah. Kalau begitu, aku tidak curiga, cemburu, kesal atau marah padamu.”Marc mengembuskan napas lega. Meski ia jadi merasa aneh karena Sarah seperti cuek saja. Rasanya ia lebih suka Sarah cemburu.Bukankah cemburu tanda cinta? Tanda bahwa seorang istri tidak ingin suamin
Berita peluncuran buku Vania diiringi pemberitaan yang cukup menghebohkan. Beredar gosip bahwa Marc adalah ayah kandung dari anak Vania. Berita mengguncang itu dilengkapi foto Arzan saat kemping di mana anak itu berdiri di antara Marc dan Vania.Mereka tampak seperti keluarga kecil yang bahagia.“Kenapa kamu tidak ikut berfoto, Sarah?” Frank terlihat protes pada menantunya.“Saat akan foto, Vivi rewel, Pa. Jadi aku membawa Vivi ke suster dulu.” Sarah mengembuskan napas berat mendapat berita tersebut. Ia juga tidak tau ternyata Marc berfoto bertiga dengan Arzan dan Vania.“Mama akan marahi suster. Sudah tau Vivi sakit, kenapa ia tidak siaga di dekatmu.” Lucy dengan kesal juga ikut protes.“Aku yang suruh suster menunggu di luar, Ma. Itu kan area khusus pengantar anak-anak yang kemping.”“Lalu, kenapa Vania ikut-ikutan?” Lucy masih tidak terima.Sarah mengaku bahwa ia mengizinkan Vania ikut. Bahkan ia sendiri yang meminta izin pada sekolah agar ibu kandung Arzan itu bisa mengikuti upaca
“Wah sepertinya acara peluncuran buku Vania cukup besar, ya. Itu ada bannernya di depan mall.” Ibu Irma menunjuk promosi yang ia maksud.“Semua event di mall pasti akan diletakkan di depan, Bu. Agar banyak orang yang tertarik.” Irwan menanggapi.Siang ini, Irwan mengantar Ibu Irma ke mall. Vania mengundangnya dalam peluncuran novel terbaru di toko buku terbesar di kota mereka yang berada di lantai dasar mall tersebut.Setelah memarkir kendaraannya, Irwan berjalan di sisi sang Ibu. Tangan Irma memegang undangan dari Vania serta membaca lokasi acara. Seorang sekuriti menunjuk bagian tengah mall yang terlihat ramai.“Kamu yakin tidak mau ikut?” Irma bertanya pada putranya.“Aku kan bukan penggemar novel, Bu. Males, ah.”“Sayang, lho. Undangan ini harusnya untuk dua orang. Sarah juga diundang, tetapi kebetulan Vivi sedang sakit jadi Sarah batal datang.”“Vivi sakit? Sakit apa?”“Badannya anget karena mau tumbuh gigi. Kata Sarah, Vivi jadi rewel banget.”“Oh, kasihan.”Ibu Irma lalu masuk