Sarah mengamati suaminya yang telah berdandan rapi. Pagi ini ia dilarang pergi dan hanya boleh tinggal di rumah bersama Frank. Tetapi, Sarah merasa sang suami menyembunyikan sesuatu darinya.“Kenapa aku nggak boleh ikut meeting?” Sarah merengek pada Marc.“Meetingnya hanya sebentar, Sayang. Aku tidak ingin kamu lelah.” Dengan sabar, Marc menjawab dan mengusap sayang kepala Sarah.“Kamu pasti malu kalau aku ikut.” Sarah menebak.Marc mengerutkan keningnya. “Malu? Aku malu kenapa?”“Gara-gara kemarin kamu menggendongku di kantor dari ruang kerja sampai lobi. Kamu bilang citramu sebagai bos dingin sudah tercemar.”Marc meledakkan tawa. Lelaki itu berkata tidak memperdulikan omongan para karyawan yang mungkin mengejek di belakangnya. Apalagi ia melakukan itu semua karena rasa sayangnya pada Sarah.Kedua tangan Marc mengenggam tangan Sarah. Mereka saling bertatapan. Sarah merasakan perutnya bergejolak dan merasa malu saat memandang wajah tampan suaminya.“Jangan berpikiran macam-macam. Kam
Kentara sekali gestur tubuh Benny menegang. Ia terlihat berpikir untuk menjawab pertanyaan Adrian. Tak lama kemudian, kepala Benny mengangguk.“Memang Tinna meneleponku dan menceritakan kejadian hingga mereka sampai ditahan.”Marc mengangkat kedua alisnya tinggi-tinggi. “Apa yang Ibu Tinna ceritakan?”“Persis seperti yang kamu katakan.”“Apa yang Ibu Tinna inginkan?”Benny menatap pada Marc. Tatapan tajam lelaki muda itu membuatnya kembali mengalihkan pandangan.“Tinna hanya merasa kasihan pada Marsha dan ingin aku menjenguknya.”“Jadi, kamu belum menjenguk putrimu?"Benny mengembuskan napas berat dan menggeleng.Dengan tegas, Marc berkata bahwa ia tidak akan mengajukan proses pengurangan masa tahanan Marsha dengan dalih kasihan. Ia juga berkata bahwa keluarga Carrington dilindungi hukum dan akan melapor ke kepolisian jika Benny berani mengganggu keluarganya lagi.Setelah berkata demikian, Marc berdiri. Tanpa berpamitan, lelaki itu keluar dari restoran diikuti Adrian dan pengacara kel
Sarah dan Marc mengamati dokter yang sedang memeriksa Frank. Saat dokter bertanya beberaapa hal terkait kesehatannya, Frank selalu menjawab bahwa ia baik-baik saja. Hingga akhirnya dokter mengambil darah lelaki setengah baya itu untuk pemeriksaan lebih lanjut.Setelah dokter selesai, Sarah dan Marc menghampiri dokter. Mereka menunggu dokter menulis catatan tentang kesehatan Frank dan resep obat.“Bagaimana, dok?” tanya Marc.“Infeksi virus yang menyerang hidung, tenggorokan dan paru-paru atau biasa disebut influenza.” Dokter menjawab. “Nanti kita lihat hasil tes darah apa ada bakteri tipes atau tidak karena Tuan Frank menunjukkan gejala ke sana.”“Tidak perlu dirawat di rumah sakit, kan?”Dokter menggeleng sebagai jawaban atas pertanyaan Sarah. Untuk saat ini, dokter hanya menyarankan minum obat antibiotik, makan makanan bergizi dan istirahat penuh saja.Sarah dan Marc keluar mengantar dokter ke pintu keluar. Dokter berpamitan lalu menatap Sarah.“Sebaiknya Nyonya Sarah menjaga jarak
Tinna masuk ke ruang perawatan Marsha. Kali ini ia sudah mendapatkan kepercayaan hingga tidak perlu didampingi saat mengunjungi putrinya. Meskipun ia tetap mendapat jadwal tertentu saja untuk bisa masuk dan bicara pada Marsha.“Marsha.” Tinna memanggil putrinya yang termenung di depan jendela. “Ibu bawakan makanan. Ayo, makan dulu.”Tinna menuntun Marsha duduk. Karena telah berhari-hari, Tinna melakukan pendekatan, Marsha tidak lagi menolak keberadaan ibunya.Dengan telaten, Tinna mengajari Marsha makan. Wanita mengamati putrinya yang makan dengan tatapan kosong. Tangannya terjulur mengelus pipi Marsha.“Ayahmu akan datang menjemputmu. Kamu baik-baik sama dia, ya. Ibu akan menyusul segera.” Tinna berkata sangat pelan.Tinna merogoh sakunya. Ia memperlihatkan foto keluarga mereka. Dirinya, Benny dan Marsha saat mereka masih menjadi keluarga utuh.“Ini ayahmu. Namanya Benny.” Tinna menunjuk foto lelaki di depan Marsha.Tidak ada reaksi apa pun dari Marsha. Tatapan tetap kosong. Tinna ha
Marc tersenyum mendengar laporan Kyra tentang rapat tadi siang. Bahkan Kyra mengirim rekaman di ruang rapat tersebut.Dugaannya tepat, Sarah bisa memimpin dengan baik.Selama ini, Marc memang sengaja selalu ikut saat Sarah bekerja. Selain karena ingin menemani, ia juga penasaran dengan cara kerja Sarah.Melihat bagaimana Sarah dan Irwan dapat berkordinasi dengan pegawai lain membuat Marc memiliki ide untuk mengikutsertakan Sarah dalam perusahaan.Hanya saja niat itu belum sempat ia jalankan karena kesibukan dirinya dan juga Sarah.“Nyonya Sarah bahkan bisa menyindir manager keuangan saat berhitung tanpa kalkulator.”“Aku takjub. Nyonya Sarah keren sekali.”“Padahal baru kali ini Nyonya Sarah memimpin rapat.”Kyra bicara tanpa henti. Biasanya, Marc paling anti mendengar sekretarisnya cerita panjang lebar. Namun kali ini, ia menikmati cerita Kyra.“Aku rasa meeting selanjutnya biar saja Nyonya Sarah yang melanjutkan.”Di akhir cerita, Kyra memberi masukan. Marc hanya menjawab singkat de
“Bagaimana keadaan Papa hari ini?”Setelah memanjakan Sarah dan tiba di rumah, Marc langsung menjenguk Frank. Lelaki itu sedang memegang remote kontrol LCD dan menonton tayangan berita.“Bosan.” Frank mencebik dengan mata tetap pada layar LCD di depannya.Marc tersenyum penuh pengertian. Sejak ia masih kecil, Frank emmang pekerja keras dan selalu aktif. Keadaan yang membuatnya harus berbaring pasti menyiksa.“Maksudku, tubuh Papa bagaimana? Masih demam?”Kepala Frank menggeleng. “Setelah minum antibiotik sudah membaik.”“Bagus. Dokter bilang hasil tes darah Papa juga baik-baik saja. Jadi, sakit Papa murni hanya influenza.”“Sudah Papa bilang bahwa Papa baik-baik saja.”Marc mengangguk-angguk. Ia lalu mengamati jarum infus yang tertancap di pergelangan tangan Frank.“Tadi Mama menelepon dan aku menceritakan keadaan Papa. Mama bilang semoga Papa lekas sembuh.”“Terima kasih.” Frank tampak tak terlalu perduli.“Sarah juga bilang bahwa Ibu Irma besok akan mampir untuk menjenguk Papa. Ibu
Tinna yang sedang membawa baki untuk gelas-gelas yang telah digunakan menatap perawat yang menanyakan Marsha. Meski jantungnya berdebar kencang, Tinna berusaha tenang.“Tadi sedang makan.”“Di mana?” Perawat itu kembali bertanya sambil mengamati sekeliling.“Aku lihat Marsha di pojok ruangan.”Perawat tersebut protes karena Tinna tidak menjaga Marsha. Lalu, ia segera berjalan melewati kerumunan orang. Tinna menghitung dalam hati dan menebak dalam hitungan kelima, staff rumah sakit akan kelimpungan karena Marsha telah pergi.Tinna berpura-pura sibuk beberes. Meski begitu, sudut matanya mengamati perawat yang terlihat mulai panik mencari Marsha. Lalu, tiba-tiba tangannya ditarik seseorang. Mereka masuk ke salah satu ruangan. Orang tersebut melepaskan Tinna dan menatap tajam.“Di mana Marsha?”Tinna menggeleng. “Sudah kubilang tadi Marsha sedang makan. Ada apa? Kalian tidak menemukan putriku?”Ekspresi wajah Tinna dibuat panik. Ia mengulangi pertanyaannya dengan nada khawatir membuat per
Sungguh Marc tidak memiliki jawaban atas pertanyaan polisi. Tanpa pikir panjanng, ia menggeleng. Akhirnya polisi mengundurkan diri.Marc masuk ke dalam kamar. Sarah sedang bekerja di atas ranjang. Lelaki itu menghampiri istrinya dan mencium kening Sarah.“Kenapa masih bekerja? Mau aku pecat?”“Pecat saja.” Sarah terkekeh sambil tetap bekerja.Kepala Marc menggeleng. Ia berbaring di samping sang istri dan menatap langit-langit kamar.Sebenarnya, ia tidak ingin memikirkan Marsha, tetapi entah kenapa hatinya resah. Ia takut hilangnya Marsha berarti bahaya mengintai sang istri. Mana Sarah sedang hamil besar pula.Marc mengembuskan napas berat. Lelaki itu tak sadar, Sarah telah menutup laptop dan sedang memperhatikannya. Lelaki itu menoleh saat merasakan rambutnya dielus.“Ada masalah?” Sarah bertanya sambil bersandar pada punggung tempat tidur.Posisi tidur Marc berganti. Ia tidur miring menghadap Sarah dan menikmati belaian tangan istrinya.“Aku harus memberitahumu sesuatu. Jangan panik,
Tiga tahun berlalu dengan cepat. Keluarga Carrington sedang berlibur di sebuah perkemahan mewah. Mereka juga mengajak keluarga Ibu Irma.Irwan dan Vania telah menikah dan memiliki satu orang anak perempuan yang dinamai Nirvana."Kenapa Kak Arzan jagain Vana terus?" Vivi memberengut kesal saat ia minta Arzan menemaninya main tetapi anak lelaki itu sedang sibuk menjaga adiknya."Vana masih kecil, Vivi. Sini, kita main sama-sama." Arzan menepuk sisinya yang kosong. Namun, Vivi malah melengos dan memilih bergelayut manja di kaki Papanya."Aku panggil Irwan dulu biar ia menjaga Vana." Vania yang sedang memasak dapur merasa tak enak hati mendengar pembicaraan Arzan dan Vivi."Sudah, biarkan saja. Gak papa, kok." Sarah yang sedang hamil besar menenangkan Vania."Aku gak enak, Sarah. Sepertinya Vivi cemburu karena Arzan menjaga Vana terus.""Lihat itu." Sarah mengendik pada Vivi yang kini asyik bermain bersama Marc. "Dia kesal cuma sebentar, kok."Vania tersenyum simpul dan mengangguk. Apalagi
Ulang tahun pertama Vivi sangat meriah. Meski anak perempuan itu belum memiliki banyak teman, tetapi tamu-tamu undangan mulai dari balita hingga kakek nenek banyak yang hadir.Marc menyulap taman belakang menjadi taman bermain yang nyaman dengan tenda dan AC portable di mana-mana. Berbagai makanan sehat tersebar di penjuru taman.Sebagian tamu adalah teman-teman Arzan yang membawa adik-adik mereka. Vivi jadi memiliki teman sebaya."Sepertinya, prediksi Arzan tepat. Akhir-akhir ini mereka jadi dekat, bukan?" Sarah melirik pada Irwan dan Vania yang tampak asyik berbincang dengan ibu Irma.Tanpa melihat objek pembicaraan mereka, Marc mengangguk. Lelaki itu melingkari tangan di pinggang sang istri dan membawanya ke meja makan."Masih lapar?" Sarah mengamati suaminya yang mengambil makanan cukup banyak."Apa kamu tidak lihat? Aku tadi lari-larian mengikuti Vivi?" Marc memotong steak ayam lalu menyuapi dirinya. "Lagipula, steak ini lezat sekali."Bahkan Sarah akhirnya ikut makan karena Mrac
Sesuai rencana, berita tentang Marc dan Vania menghilang. Tentu saja itu tidak lepas dari tim yang dibuat Adrian untuk menghapus semua postingan tersebut.“Sayang.” Marc menyapa istrinya yang sedang menyusui Vivi.“Ya?”“Jam berapa Arzan datang?”“Vania bilang, mereka sudah dalam perjalanan.”“Hmm ... aku ada rapat. Sengaja kubuat online. Tapi kalau Arzan datang dan aku belum selesai, minta ia ke ruang kerjaku saja, ya.”“Oke. Selamat rapat.”Marc mengangguk. Lalu, membungkuk sedikit untuk mencium pipi istri dan putrinya. Setelah itu, ia keluar dari ruang bayi.Setelah Marc keluar, seorang pelayan masuk membawa paket untuk Sarah.“Tolong dibuka,” pinta Sarah pada pelayan yang langsung mengangguk.Sarah tau isi paket itu adalah buku-buku Vania yang ia pesan secara online. Pelayan memberikan buku -buku yang masih berplastik itu pada Sarah lalu keluar.Vivi melepas puncak dada Mamanya karena tertarik dengan buku yang dipegang Sarah. Ia merebut buku tersebut lalu ikut membolak-balik halam
“Maafkan aku. Aku mengaku salah.” Khanza menunduk dalam-dalam.Adrian dan pengacara mendatangi kantor penerbit buku Vania. Mereka memberikan data bahwa Khanza membuat berita kebohongan agar publik tertarik pada cerita Vania dan membeli buku terbarunya.Direktur penerbitan menggeleng samar melihat data-data tersebut. Ia tidak menyangka Khanza berbuat seperti itu.“Aku melakukannya untuk Vania.” Khanza berkilah, membela diri.“Aku yakin Vania pun tak setuju kamu membantu dengan cara ini.” Adrian mengecam.“Vania sedang tidak fokus. Banyak pikiran. Jadi, aku pikir, aku perlu membantunya sedikit.”Direktur menggeleng. Ia juga tampak tidak setuju. Apalagi sampai ada pengacara yang menuntut mereka.“Masalahnya, Nona.” Pengacara menatap wajah Khanza dengan pandangan tajam. “Yang anda cemarkan adalah keluarga Carrington, terutama Tuan Marc.”“Lelaki yang selama ini terkenal dingin dan tidak bersosialisasi dengan media.” Adrian menambahkan.Direktur menengahi. Mereka akan membuat pengumuman pe
Pagi di bumi perkemahan cukup cerah setelah semalaman hujan. Pengelola bahkan tidak mengizinkan peserta kemping untuk melakukan trekking.“Terus kita ngapain, Om?” Arzan mengguncang-guncang tangan Irwan.“Masih ada pilihan untuk memancing. Kamu mau?”“Om bisa memancing?”“Bisa, dong.”“Mauuu.” Arzan menjerit senang.Vania menatap kebersamaan Irwan dan Arzan. Seandainya Bryan masih hidup, mungkin yang berdiri di depannya sekarang ada sosok Bryan dan Arzan. Vania menggeleng membuyarkan lamunannya.Telah lima tahun berlalu, tetapi rasanya masih sama. Kehilangan dan kedukaan itu masih sangat jelas di mata Vania.“Ibu, ayo ikut memancing,” ajak Arzan.Vania tau, Arzan pasti disuruh Irwan. Ia sebenarnya tidak tau apa-apa tentang memancing, tetapi demi menemani Arzan, Vania mengangguk.Perahu disiapkan pengelola perkemahan. Vania melihat Irwan berbincang dengan penjaga Arzan. Seperti setiap kegiatan Arzan, harus dilaporkan pada keluarga Carrington.Akhirnya mereka bertiga di atas perahu. Mer
Irwan menunggu. Vania mungkin sedang mengumpulkan kekuatan untuk memceritakan kisah kelamnya pada seseorang. Apalagi ia adalah orang baru yang pertama kali ditemui."Aku dan Bryan, ayah Arzan menikah tanpa restu. Kami lari dari keluarga karena memilih mempertahankan cinta."Vania mengembuskan napas kasar. Ia menyandarkan punggung pada dinding. Jari-jari tangannya saling bertautan."Di perkemahan seperti ini lah kami berbulan madu. Tiga bulan kemudian, aku hamil. Kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, beberapa bulan berikutnya, Bryan didiagnosis menderita kanker usus."Isakan Vania membuat Irwan memeluk erat Arzan. Ia tak ingin Arzan terbangun. Vania lalu sadar untuk segera menguasai diri.Sembari mengatur napas, Vania mengusap air matanya. Kini ia duduk sambil memeluk kaki-kakinya yang ditekuk.Dalam keadaan hamil, Vania merawat Bryan. Bryan cukup tegar dan berusaha menjalani pengobatan didampingi Vania.Pilihan itu datang saat Vania melahirkan. Kondisi Bryan bertambah lemah. Keuanga
Alrzan langsung bersembunyi di balik tubuh Vania. Wanita itu menyorotkan lampu senter pada lelaki yang berdiri di kegelapan. Arzan mengintip lalu bersorak.“Om Irwan.” Arzan langsung berlari menghampiri dan memeluk Irwan. “Lampu kabin kami mati, Om.”Irwan mengusap kepala Arzan. “Iya, kabin Om juga. Tadinya Om mau mencari bantuan tapi mendengar teriakan. Kebetulan sekali kita ada di sini, ya."“Aku bersama Ibu Vania. Cuma berdua.” Arzan menunjuk Vania yang terpaku di tempat melihat kedekatan putranya dengan lelaki yang dipanggil Om Irwan tersebut.Irwan mengangguk. Setelah berada pada jarak cukup dekat, Irwan menjulurkan tangan. Vania menyambutnya dan tersenyum penuh kelegaan.“Irwan. Aku putra Ibu Irma.”Sejenak setelah balas menyebut namanya, Vania mengamati Irwan. Rasanya ia pernah bertemu dengan lelaki ini. Tetapi, ia tidak ingat meskipun ia sering berada di kafe.“Kita memang belum pernah bertemu sebelum ini.” Irwan menjawab pengamatan Vania pada dirinya. “Oh, mungkin sekali. Saa
“Jadi Khanza, editor Vania yang menjadi otak gosip antara kamu dan Vania?” Sarah mengangkat alisnya. Tak menyangka bahwa ternyata orang terdekat Vania lah yang membuat kebohongan tersebut.“Iya. Itu dilakukan untuk mendongkrak penjualan buku Vania. Kamu ingat? Gosip itu beredar tak lama novel baru Vania terbit di pasaran.”Sarah mengangguk mengerti. “Vania tau?”“Itu sedang diselidiki Om Adrian.”“Perasaanku mengatakan Vania tidak ada sangkut pautnya dengan ini semua.”Pernyataan Sarah dikuatkan oleh dugaan bahwa Vania tidak mungkin mempertaruhkan nama baiknya. Jika ia memang terlibat dan keluarga Carrington tau, ia pasti tidak akan bertemu lagi dengan Arzan. Bahkan Sarah sendiri pun akan melarangnya.Marc mengangguk setuju. Ia berharap hari ini juga sudah mendapat kabar dari orang-orang Adrian yang bekerja untuk mengusut kasus pencemaran nama baik ini.“Jika Arzan sudah pulang, kemungkinan ia menemukan berita tersebut akan besar. Aku tidak ingin itu terjadi.”“Aku tau.” Sarah mencebi
Dua hari kemudian, Vania menjemput Arzan. Selama akhir minggu, ia akhirnya memperoleh izin membawa Arzan hanya berdua saja. Vania menjemput Arzan di rumah keluarga Carrington.Sarah menyambut Vania sambil menggandeng Arzan. Ia menyerahkan tangan Arzan pada Vania dan hanya berpesan untuk bersenang-senang.“Ingat pesan Mama ya, Sayang.” Sarah mengelus kepala Arzan sebelum putra angkatnya itu masuk ke dalam mobil.Arzan mengangguk lalu memeluk Sarah erat-erat. Ia juga mencium pipi Sarah dan berkata akan menurut pada pesan sang Mama. Vania memperhatikan inetraksi tersebut dengan rasa haru.Selalu saja ada rasa iri di hati Vania. Tapi, ia merasa itu hal yang wajar. Ia bertanya dalam hati kapan Arzan akan sehangat itu pada dirinya.Dalam perjalanan, Arzan lebih banyak mengamati jalanan. Sesekali ia menengok ke belakang. Sebuah mobil van mengikuti kendaraan Vania.“Ada mobil penjagamu, ya?” Vania tersenyum pada Arzan.Anak lelaki itu hanya mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan ibu kandu