Marc tersenyum mendengar laporan Kyra tentang rapat tadi siang. Bahkan Kyra mengirim rekaman di ruang rapat tersebut.Dugaannya tepat, Sarah bisa memimpin dengan baik.Selama ini, Marc memang sengaja selalu ikut saat Sarah bekerja. Selain karena ingin menemani, ia juga penasaran dengan cara kerja Sarah.Melihat bagaimana Sarah dan Irwan dapat berkordinasi dengan pegawai lain membuat Marc memiliki ide untuk mengikutsertakan Sarah dalam perusahaan.Hanya saja niat itu belum sempat ia jalankan karena kesibukan dirinya dan juga Sarah.“Nyonya Sarah bahkan bisa menyindir manager keuangan saat berhitung tanpa kalkulator.”“Aku takjub. Nyonya Sarah keren sekali.”“Padahal baru kali ini Nyonya Sarah memimpin rapat.”Kyra bicara tanpa henti. Biasanya, Marc paling anti mendengar sekretarisnya cerita panjang lebar. Namun kali ini, ia menikmati cerita Kyra.“Aku rasa meeting selanjutnya biar saja Nyonya Sarah yang melanjutkan.”Di akhir cerita, Kyra memberi masukan. Marc hanya menjawab singkat de
“Bagaimana keadaan Papa hari ini?”Setelah memanjakan Sarah dan tiba di rumah, Marc langsung menjenguk Frank. Lelaki itu sedang memegang remote kontrol LCD dan menonton tayangan berita.“Bosan.” Frank mencebik dengan mata tetap pada layar LCD di depannya.Marc tersenyum penuh pengertian. Sejak ia masih kecil, Frank emmang pekerja keras dan selalu aktif. Keadaan yang membuatnya harus berbaring pasti menyiksa.“Maksudku, tubuh Papa bagaimana? Masih demam?”Kepala Frank menggeleng. “Setelah minum antibiotik sudah membaik.”“Bagus. Dokter bilang hasil tes darah Papa juga baik-baik saja. Jadi, sakit Papa murni hanya influenza.”“Sudah Papa bilang bahwa Papa baik-baik saja.”Marc mengangguk-angguk. Ia lalu mengamati jarum infus yang tertancap di pergelangan tangan Frank.“Tadi Mama menelepon dan aku menceritakan keadaan Papa. Mama bilang semoga Papa lekas sembuh.”“Terima kasih.” Frank tampak tak terlalu perduli.“Sarah juga bilang bahwa Ibu Irma besok akan mampir untuk menjenguk Papa. Ibu
Tinna yang sedang membawa baki untuk gelas-gelas yang telah digunakan menatap perawat yang menanyakan Marsha. Meski jantungnya berdebar kencang, Tinna berusaha tenang.“Tadi sedang makan.”“Di mana?” Perawat itu kembali bertanya sambil mengamati sekeliling.“Aku lihat Marsha di pojok ruangan.”Perawat tersebut protes karena Tinna tidak menjaga Marsha. Lalu, ia segera berjalan melewati kerumunan orang. Tinna menghitung dalam hati dan menebak dalam hitungan kelima, staff rumah sakit akan kelimpungan karena Marsha telah pergi.Tinna berpura-pura sibuk beberes. Meski begitu, sudut matanya mengamati perawat yang terlihat mulai panik mencari Marsha. Lalu, tiba-tiba tangannya ditarik seseorang. Mereka masuk ke salah satu ruangan. Orang tersebut melepaskan Tinna dan menatap tajam.“Di mana Marsha?”Tinna menggeleng. “Sudah kubilang tadi Marsha sedang makan. Ada apa? Kalian tidak menemukan putriku?”Ekspresi wajah Tinna dibuat panik. Ia mengulangi pertanyaannya dengan nada khawatir membuat per
Sungguh Marc tidak memiliki jawaban atas pertanyaan polisi. Tanpa pikir panjanng, ia menggeleng. Akhirnya polisi mengundurkan diri.Marc masuk ke dalam kamar. Sarah sedang bekerja di atas ranjang. Lelaki itu menghampiri istrinya dan mencium kening Sarah.“Kenapa masih bekerja? Mau aku pecat?”“Pecat saja.” Sarah terkekeh sambil tetap bekerja.Kepala Marc menggeleng. Ia berbaring di samping sang istri dan menatap langit-langit kamar.Sebenarnya, ia tidak ingin memikirkan Marsha, tetapi entah kenapa hatinya resah. Ia takut hilangnya Marsha berarti bahaya mengintai sang istri. Mana Sarah sedang hamil besar pula.Marc mengembuskan napas berat. Lelaki itu tak sadar, Sarah telah menutup laptop dan sedang memperhatikannya. Lelaki itu menoleh saat merasakan rambutnya dielus.“Ada masalah?” Sarah bertanya sambil bersandar pada punggung tempat tidur.Posisi tidur Marc berganti. Ia tidur miring menghadap Sarah dan menikmati belaian tangan istrinya.“Aku harus memberitahumu sesuatu. Jangan panik,
Seharian itu Marsha tantrum. Ia melempar makanan yang dibawakan Widya. Tetapi, kemudian siang harinya, ia makan makanan yang berhamburan di lantai sambil menangis.“Akhirnya dia merasa lapar juga dan makan.” Widya berkata saat mengintip di lubang kunci pintu.“Iya, pasti begitu.” Hans dengan santai menjawab sambil membaca koran.“Tapi, kasihan. Ia makan seperti hewan kelaparan.” Widya mengembuskan napas berat lalu menghampiri suaminya.“Namanya juga tidak waras.”Mendengar ucapan sang suami, Widya hanya mengangguk pelan. Wanita setengah baya yang selalu mengenakan celemek itu melanjutkan membereskan makanan dan memasak.Hans mengamati istrinya. Bagaimana ia bisa tertarik lagi dengan wanita itu? Tidak pernah merawat tubuh dan wajah hingga selalu terlihat lusuh. Ia bertahan di rumah ini hanya karena tidak memiliki tempat lain.Lagipula, bersama Widya ia masih bisa makan tanpa susah-susah bekerja. Lelaki itu bangkit dan berjalan ke kamar Marsha. Ia mengintip dan melihat keadaan wanita mu
Lucy keluar dari rumah Marc tanpa pamit pada putranya. Hatinya pedih mengetahui kepulangannya menjadi sia-sia. Padahal dalam bayangannya, ia bisa merawat Frank yang sedang sakit saat Marc dan Sarah bekerja.Saking kalutnya, Lucy hanya minta supir berputar-putar tanpa tujuan. Wanita itu mencoba mengendalikan diri dan berpikir apa yang akan ia lakukan sekarang. Ponsel di tangannya bergetar.Satu notifikasi pesan masuk. Nomer tidak dikenal. Lucy ingin mengabaikan, namun pesan itu terbaca olehnya.Tinna meminta bertemu di rumah sakit jiwa. Karena tidak memiliki tujuan dan sangat ingin menyalurkan amarah, akhirnya Lucy bersedia bertemu dengan Tinna.Dalam perjalanan, Lucy menyusun strategi. Ia ingin menyelidiki tentang hilangnya Marsha. Berpura-pura baik pada Tinna mungkin akan ada gunanya.“Lucy.” Tinna menghampiri dan duduk di depan kursi Lucy.Lucy meneguk ludahnya sendiri saat melihat penampilan Tinna. Wanita yang biasanya bermake up tebal, memakai pakaian dan aksesoris keluaran brand
“BRAKK!”“Apa-apaan .... “Hans yang sedang menindih tubuh Marsha menoleh saat suara kencang di belakangnya terdengar. Polisi mendobrak kamar tersebut dan langsung menarik Hans menjauhi Marsha yang telentang tanpa busana.Salah satu polisi wanita menutupi tubuh Marsha dengan selimut tipis. Sementara Hans langsung diringkus dan dibawa ke kantor polisi. Setelah semua pergi, polisi wanita membantu Marsha berpakaian.“Keadaannya tidak baik. Lengannya diikat ke tiang ranjang dan pipinya lebam. Sepertinya Marsha juga mendapat penganiayaan dari Hans.” Polisi wanita mengabarkan melalui walkie talkie.Marsha hanya termangu saat ditanya apa ada yang sakit pada wajah dan tubuhnya. Ia menatap ke bawah tanpa bicara apa pun. Lalu, setelah itu menangis sambil menutupi wajah dengan kedua tangan.Dalam waktu dua jam, Marsha sudah dikembalikan di rumah sakit jiwa. Hasil visum menyatakan Marsha dirudapaksa dan mendapat pukul
“Kita sudah pernah membahas ini, Sayang. Pendapatku sama. Biar Papa saja yang memutuskan.”Sarah terdiam sejenak. Ia setuju dengan pendapat tersebut. Namun mengingat ia pernah memiliki pengalaman sang ayah yang salah menikahi wanita, rasanya ia jadi khawatir.”“Kadang aku bertanya-tanya, kenapa dulu Tuhan membiarkan ayah menikah dengan Ibu Tinna. Padahal ayah adalah lelaki yang baik hati.”Mendengar pernyataan Sarah, Marc mengembuskan napas panjang. Ternyata ini arah pembicaraan sang istri. Sarah pasti berpikir, ia tidak ingin Frank menikah lagi dengan wanita yang salah.“Tuhan itu memberikan pilihan, Sayang. Jangan salahkan siapa-siapa. Segala sesuatunya ada baik dan buruk.”Sarah menoleh ke belakang dengan senyum manis. “Ternyata kamu bijaksana sekali.”Marc terkekeh dan mengecup pipi Sarah. “Aku banyak belajar tentang cinta dan hidup setelah menikah denganmu.”“Jadi, bagimu aku adalah sebuah pelajaran.”“Bisa dibilang begitu.”“Kalau begitu, kamu harus siap dengan ujiannya. Setiap
Sesuai rencana, berita tentang Marc dan Vania menghilang. Tentu saja itu tidak lepas dari tim yang dibuat Adrian untuk menghapus semua postingan tersebut.“Sayang.” Marc menyapa istrinya yang sedang menyusui Vivi.“Ya?”“Jam berapa Arzan datang?”“Vania bilang, mereka sudah dalam perjalanan.”“Hmm ... aku ada rapat. Sengaja kubuat online. Tapi kalau Arzan datang dan aku belum selesai, minta ia ke ruang kerjaku saja, ya.”“Oke. Selamat rapat.”Marc mengangguk. Lalu, membungkuk sedikit untuk mencium pipi istri dan putrinya. Setelah itu, ia keluar dari ruang bayi.Setelah Marc keluar, seorang pelayan masuk membawa paket untuk Sarah.“Tolong dibuka,” pinta Sarah pada pelayan yang langsung mengangguk.Sarah tau isi paket itu adalah buku-buku Vania yang ia pesan secara online. Pelayan memberikan buku -buku yang masih berplastik itu pada Sarah lalu keluar.Vivi melepas puncak dada Mamanya karena tertarik dengan buku yang dipegang Sarah. Ia merebut buku tersebut lalu ikut membolak-balik halam
“Maafkan aku. Aku mengaku salah.” Khanza menunduk dalam-dalam.Adrian dan pengacara mendatangi kantor penerbit buku Vania. Mereka memberikan data bahwa Khanza membuat berita kebohongan agar publik tertarik pada cerita Vania dan membeli buku terbarunya.Direktur penerbitan menggeleng samar melihat data-data tersebut. Ia tidak menyangka Khanza berbuat seperti itu.“Aku melakukannya untuk Vania.” Khanza berkilah, membela diri.“Aku yakin Vania pun tak setuju kamu membantu dengan cara ini.” Adrian mengecam.“Vania sedang tidak fokus. Banyak pikiran. Jadi, aku pikir, aku perlu membantunya sedikit.”Direktur menggeleng. Ia juga tampak tidak setuju. Apalagi sampai ada pengacara yang menuntut mereka.“Masalahnya, Nona.” Pengacara menatap wajah Khanza dengan pandangan tajam. “Yang anda cemarkan adalah keluarga Carrington, terutama Tuan Marc.”“Lelaki yang selama ini terkenal dingin dan tidak bersosialisasi dengan media.” Adrian menambahkan.Direktur menengahi. Mereka akan membuat pengumuman pe
Pagi di bumi perkemahan cukup cerah setelah semalaman hujan. Pengelola bahkan tidak mengizinkan peserta kemping untuk melakukan trekking.“Terus kita ngapain, Om?” Arzan mengguncang-guncang tangan Irwan.“Masih ada pilihan untuk memancing. Kamu mau?”“Om bisa memancing?”“Bisa, dong.”“Mauuu.” Arzan menjerit senang.Vania menatap kebersamaan Irwan dan Arzan. Seandainya Bryan masih hidup, mungkin yang berdiri di depannya sekarang ada sosok Bryan dan Arzan. Vania menggeleng membuyarkan lamunannya.Telah lima tahun berlalu, tetapi rasanya masih sama. Kehilangan dan kedukaan itu masih sangat jelas di mata Vania.“Ibu, ayo ikut memancing,” ajak Arzan.Vania tau, Arzan pasti disuruh Irwan. Ia sebenarnya tidak tau apa-apa tentang memancing, tetapi demi menemani Arzan, Vania mengangguk.Perahu disiapkan pengelola perkemahan. Vania melihat Irwan berbincang dengan penjaga Arzan. Seperti setiap kegiatan Arzan, harus dilaporkan pada keluarga Carrington.Akhirnya mereka bertiga di atas perahu. Mer
Irwan menunggu. Vania mungkin sedang mengumpulkan kekuatan untuk memceritakan kisah kelamnya pada seseorang. Apalagi ia adalah orang baru yang pertama kali ditemui."Aku dan Bryan, ayah Arzan menikah tanpa restu. Kami lari dari keluarga karena memilih mempertahankan cinta."Vania mengembuskan napas kasar. Ia menyandarkan punggung pada dinding. Jari-jari tangannya saling bertautan."Di perkemahan seperti ini lah kami berbulan madu. Tiga bulan kemudian, aku hamil. Kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, beberapa bulan berikutnya, Bryan didiagnosis menderita kanker usus."Isakan Vania membuat Irwan memeluk erat Arzan. Ia tak ingin Arzan terbangun. Vania lalu sadar untuk segera menguasai diri.Sembari mengatur napas, Vania mengusap air matanya. Kini ia duduk sambil memeluk kaki-kakinya yang ditekuk.Dalam keadaan hamil, Vania merawat Bryan. Bryan cukup tegar dan berusaha menjalani pengobatan didampingi Vania.Pilihan itu datang saat Vania melahirkan. Kondisi Bryan bertambah lemah. Keuanga
Alrzan langsung bersembunyi di balik tubuh Vania. Wanita itu menyorotkan lampu senter pada lelaki yang berdiri di kegelapan. Arzan mengintip lalu bersorak.“Om Irwan.” Arzan langsung berlari menghampiri dan memeluk Irwan. “Lampu kabin kami mati, Om.”Irwan mengusap kepala Arzan. “Iya, kabin Om juga. Tadinya Om mau mencari bantuan tapi mendengar teriakan. Kebetulan sekali kita ada di sini, ya."“Aku bersama Ibu Vania. Cuma berdua.” Arzan menunjuk Vania yang terpaku di tempat melihat kedekatan putranya dengan lelaki yang dipanggil Om Irwan tersebut.Irwan mengangguk. Setelah berada pada jarak cukup dekat, Irwan menjulurkan tangan. Vania menyambutnya dan tersenyum penuh kelegaan.“Irwan. Aku putra Ibu Irma.”Sejenak setelah balas menyebut namanya, Vania mengamati Irwan. Rasanya ia pernah bertemu dengan lelaki ini. Tetapi, ia tidak ingat meskipun ia sering berada di kafe.“Kita memang belum pernah bertemu sebelum ini.” Irwan menjawab pengamatan Vania pada dirinya. “Oh, mungkin sekali. Saa
“Jadi Khanza, editor Vania yang menjadi otak gosip antara kamu dan Vania?” Sarah mengangkat alisnya. Tak menyangka bahwa ternyata orang terdekat Vania lah yang membuat kebohongan tersebut.“Iya. Itu dilakukan untuk mendongkrak penjualan buku Vania. Kamu ingat? Gosip itu beredar tak lama novel baru Vania terbit di pasaran.”Sarah mengangguk mengerti. “Vania tau?”“Itu sedang diselidiki Om Adrian.”“Perasaanku mengatakan Vania tidak ada sangkut pautnya dengan ini semua.”Pernyataan Sarah dikuatkan oleh dugaan bahwa Vania tidak mungkin mempertaruhkan nama baiknya. Jika ia memang terlibat dan keluarga Carrington tau, ia pasti tidak akan bertemu lagi dengan Arzan. Bahkan Sarah sendiri pun akan melarangnya.Marc mengangguk setuju. Ia berharap hari ini juga sudah mendapat kabar dari orang-orang Adrian yang bekerja untuk mengusut kasus pencemaran nama baik ini.“Jika Arzan sudah pulang, kemungkinan ia menemukan berita tersebut akan besar. Aku tidak ingin itu terjadi.”“Aku tau.” Sarah mencebi
Dua hari kemudian, Vania menjemput Arzan. Selama akhir minggu, ia akhirnya memperoleh izin membawa Arzan hanya berdua saja. Vania menjemput Arzan di rumah keluarga Carrington.Sarah menyambut Vania sambil menggandeng Arzan. Ia menyerahkan tangan Arzan pada Vania dan hanya berpesan untuk bersenang-senang.“Ingat pesan Mama ya, Sayang.” Sarah mengelus kepala Arzan sebelum putra angkatnya itu masuk ke dalam mobil.Arzan mengangguk lalu memeluk Sarah erat-erat. Ia juga mencium pipi Sarah dan berkata akan menurut pada pesan sang Mama. Vania memperhatikan inetraksi tersebut dengan rasa haru.Selalu saja ada rasa iri di hati Vania. Tapi, ia merasa itu hal yang wajar. Ia bertanya dalam hati kapan Arzan akan sehangat itu pada dirinya.Dalam perjalanan, Arzan lebih banyak mengamati jalanan. Sesekali ia menengok ke belakang. Sebuah mobil van mengikuti kendaraan Vania.“Ada mobil penjagamu, ya?” Vania tersenyum pada Arzan.Anak lelaki itu hanya mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan ibu kandu
"Mana? Aku mau lihat." Sarah mencondongkan tubuhnya ke arah ponsel Marc.Pasangan suami istri itu sama-sama memperhatikan layar kecil ponsel Marc. Dengan kesal, Marc menyerahkan ponselnya pada sang istri. Ia malas membaca lanjutan berita tersebut."Pasti sebentar lagi Papa atau Mama akan menelepon dan marah-marah padaku." Marc kemudian bersungut. "Tadi saat kamu bilang tidak bisa ikut, aku sudah memiliki perasaan tak enak.""Nanti kalau Mama atau Papa menelepon, biar aku saja yang bicara pada mereka." Sarah menenangkan suaminya.Namun kali ini Marc tidak dapat mentoleransi berita tersebut. Portal gosip itu mengatakan ia mengadakan pertemuan rahasia dengan Vania untuk membahas putra mereka."Kamu jangan mencegahku lagi. Aku akan meminta pengacara menuntut pasal pencemaran nama baik."Tidak ada balasan dari Sarah. Ia sedang sibuk mengamati berita tersebut."Memangnya kamu sempat ngobrol berduaan dengan Vania, ya?""Tadinya aku sudah cerita ia minta maaf atas beredarnya gosip dan mengaku
Vania merasa bertambah senang karena setelah beberapa kali bertemu, akhirnya Arzan mulai banyak terbuka padanya. Meski anak itu masih kaku jika bersentuhan, Vania tetap memberikan perhatian melalui kontak fisik seperti mengelus, mengusap, memeluk dan mencium putranya.“Ok, nanti jangan lupa tanyakan pada Mama dan Papa kapan kita bisa kemping berdua, ya.” Vania berkata dengan penuh harap pada Arzan.Arzan mengangguk. Pada pertemuan itu, Arzan juga menunjukkan hasil tulisannya. Dengan bersemangat, Vania membaca dan mengangguk-angguk.“Sepertinya kamu memang berbakat.”“Apa aku bisa menjual buku dan mendapatkan uang seperti Ibu?”Kekehan kecil terdengar dari hidung Vania. “Tentu saja bisa. Tetapi, masih banyak yang mesti kamu pelajari karena menulis bukan hanya tentang menceritakan apa yang ada di kepalamu.”Vania berpesan bahwa Arzan harus banyak belajar tentang teori kepenulisan. Menurutnya, cerita Arzan menarik namun dari segi alur masih perlu diperbaiki. Arzan tampak serius melihat b