Kentara sekali gestur tubuh Benny menegang. Ia terlihat berpikir untuk menjawab pertanyaan Adrian. Tak lama kemudian, kepala Benny mengangguk.“Memang Tinna meneleponku dan menceritakan kejadian hingga mereka sampai ditahan.”Marc mengangkat kedua alisnya tinggi-tinggi. “Apa yang Ibu Tinna ceritakan?”“Persis seperti yang kamu katakan.”“Apa yang Ibu Tinna inginkan?”Benny menatap pada Marc. Tatapan tajam lelaki muda itu membuatnya kembali mengalihkan pandangan.“Tinna hanya merasa kasihan pada Marsha dan ingin aku menjenguknya.”“Jadi, kamu belum menjenguk putrimu?"Benny mengembuskan napas berat dan menggeleng.Dengan tegas, Marc berkata bahwa ia tidak akan mengajukan proses pengurangan masa tahanan Marsha dengan dalih kasihan. Ia juga berkata bahwa keluarga Carrington dilindungi hukum dan akan melapor ke kepolisian jika Benny berani mengganggu keluarganya lagi.Setelah berkata demikian, Marc berdiri. Tanpa berpamitan, lelaki itu keluar dari restoran diikuti Adrian dan pengacara kel
Sarah dan Marc mengamati dokter yang sedang memeriksa Frank. Saat dokter bertanya beberaapa hal terkait kesehatannya, Frank selalu menjawab bahwa ia baik-baik saja. Hingga akhirnya dokter mengambil darah lelaki setengah baya itu untuk pemeriksaan lebih lanjut.Setelah dokter selesai, Sarah dan Marc menghampiri dokter. Mereka menunggu dokter menulis catatan tentang kesehatan Frank dan resep obat.“Bagaimana, dok?” tanya Marc.“Infeksi virus yang menyerang hidung, tenggorokan dan paru-paru atau biasa disebut influenza.” Dokter menjawab. “Nanti kita lihat hasil tes darah apa ada bakteri tipes atau tidak karena Tuan Frank menunjukkan gejala ke sana.”“Tidak perlu dirawat di rumah sakit, kan?”Dokter menggeleng sebagai jawaban atas pertanyaan Sarah. Untuk saat ini, dokter hanya menyarankan minum obat antibiotik, makan makanan bergizi dan istirahat penuh saja.Sarah dan Marc keluar mengantar dokter ke pintu keluar. Dokter berpamitan lalu menatap Sarah.“Sebaiknya Nyonya Sarah menjaga jarak
Tinna masuk ke ruang perawatan Marsha. Kali ini ia sudah mendapatkan kepercayaan hingga tidak perlu didampingi saat mengunjungi putrinya. Meskipun ia tetap mendapat jadwal tertentu saja untuk bisa masuk dan bicara pada Marsha.“Marsha.” Tinna memanggil putrinya yang termenung di depan jendela. “Ibu bawakan makanan. Ayo, makan dulu.”Tinna menuntun Marsha duduk. Karena telah berhari-hari, Tinna melakukan pendekatan, Marsha tidak lagi menolak keberadaan ibunya.Dengan telaten, Tinna mengajari Marsha makan. Wanita mengamati putrinya yang makan dengan tatapan kosong. Tangannya terjulur mengelus pipi Marsha.“Ayahmu akan datang menjemputmu. Kamu baik-baik sama dia, ya. Ibu akan menyusul segera.” Tinna berkata sangat pelan.Tinna merogoh sakunya. Ia memperlihatkan foto keluarga mereka. Dirinya, Benny dan Marsha saat mereka masih menjadi keluarga utuh.“Ini ayahmu. Namanya Benny.” Tinna menunjuk foto lelaki di depan Marsha.Tidak ada reaksi apa pun dari Marsha. Tatapan tetap kosong. Tinna ha
Marc tersenyum mendengar laporan Kyra tentang rapat tadi siang. Bahkan Kyra mengirim rekaman di ruang rapat tersebut.Dugaannya tepat, Sarah bisa memimpin dengan baik.Selama ini, Marc memang sengaja selalu ikut saat Sarah bekerja. Selain karena ingin menemani, ia juga penasaran dengan cara kerja Sarah.Melihat bagaimana Sarah dan Irwan dapat berkordinasi dengan pegawai lain membuat Marc memiliki ide untuk mengikutsertakan Sarah dalam perusahaan.Hanya saja niat itu belum sempat ia jalankan karena kesibukan dirinya dan juga Sarah.“Nyonya Sarah bahkan bisa menyindir manager keuangan saat berhitung tanpa kalkulator.”“Aku takjub. Nyonya Sarah keren sekali.”“Padahal baru kali ini Nyonya Sarah memimpin rapat.”Kyra bicara tanpa henti. Biasanya, Marc paling anti mendengar sekretarisnya cerita panjang lebar. Namun kali ini, ia menikmati cerita Kyra.“Aku rasa meeting selanjutnya biar saja Nyonya Sarah yang melanjutkan.”Di akhir cerita, Kyra memberi masukan. Marc hanya menjawab singkat de
“Bagaimana keadaan Papa hari ini?”Setelah memanjakan Sarah dan tiba di rumah, Marc langsung menjenguk Frank. Lelaki itu sedang memegang remote kontrol LCD dan menonton tayangan berita.“Bosan.” Frank mencebik dengan mata tetap pada layar LCD di depannya.Marc tersenyum penuh pengertian. Sejak ia masih kecil, Frank emmang pekerja keras dan selalu aktif. Keadaan yang membuatnya harus berbaring pasti menyiksa.“Maksudku, tubuh Papa bagaimana? Masih demam?”Kepala Frank menggeleng. “Setelah minum antibiotik sudah membaik.”“Bagus. Dokter bilang hasil tes darah Papa juga baik-baik saja. Jadi, sakit Papa murni hanya influenza.”“Sudah Papa bilang bahwa Papa baik-baik saja.”Marc mengangguk-angguk. Ia lalu mengamati jarum infus yang tertancap di pergelangan tangan Frank.“Tadi Mama menelepon dan aku menceritakan keadaan Papa. Mama bilang semoga Papa lekas sembuh.”“Terima kasih.” Frank tampak tak terlalu perduli.“Sarah juga bilang bahwa Ibu Irma besok akan mampir untuk menjenguk Papa. Ibu
Tinna yang sedang membawa baki untuk gelas-gelas yang telah digunakan menatap perawat yang menanyakan Marsha. Meski jantungnya berdebar kencang, Tinna berusaha tenang.“Tadi sedang makan.”“Di mana?” Perawat itu kembali bertanya sambil mengamati sekeliling.“Aku lihat Marsha di pojok ruangan.”Perawat tersebut protes karena Tinna tidak menjaga Marsha. Lalu, ia segera berjalan melewati kerumunan orang. Tinna menghitung dalam hati dan menebak dalam hitungan kelima, staff rumah sakit akan kelimpungan karena Marsha telah pergi.Tinna berpura-pura sibuk beberes. Meski begitu, sudut matanya mengamati perawat yang terlihat mulai panik mencari Marsha. Lalu, tiba-tiba tangannya ditarik seseorang. Mereka masuk ke salah satu ruangan. Orang tersebut melepaskan Tinna dan menatap tajam.“Di mana Marsha?”Tinna menggeleng. “Sudah kubilang tadi Marsha sedang makan. Ada apa? Kalian tidak menemukan putriku?”Ekspresi wajah Tinna dibuat panik. Ia mengulangi pertanyaannya dengan nada khawatir membuat per
Sungguh Marc tidak memiliki jawaban atas pertanyaan polisi. Tanpa pikir panjanng, ia menggeleng. Akhirnya polisi mengundurkan diri.Marc masuk ke dalam kamar. Sarah sedang bekerja di atas ranjang. Lelaki itu menghampiri istrinya dan mencium kening Sarah.“Kenapa masih bekerja? Mau aku pecat?”“Pecat saja.” Sarah terkekeh sambil tetap bekerja.Kepala Marc menggeleng. Ia berbaring di samping sang istri dan menatap langit-langit kamar.Sebenarnya, ia tidak ingin memikirkan Marsha, tetapi entah kenapa hatinya resah. Ia takut hilangnya Marsha berarti bahaya mengintai sang istri. Mana Sarah sedang hamil besar pula.Marc mengembuskan napas berat. Lelaki itu tak sadar, Sarah telah menutup laptop dan sedang memperhatikannya. Lelaki itu menoleh saat merasakan rambutnya dielus.“Ada masalah?” Sarah bertanya sambil bersandar pada punggung tempat tidur.Posisi tidur Marc berganti. Ia tidur miring menghadap Sarah dan menikmati belaian tangan istrinya.“Aku harus memberitahumu sesuatu. Jangan panik,
Seharian itu Marsha tantrum. Ia melempar makanan yang dibawakan Widya. Tetapi, kemudian siang harinya, ia makan makanan yang berhamburan di lantai sambil menangis.“Akhirnya dia merasa lapar juga dan makan.” Widya berkata saat mengintip di lubang kunci pintu.“Iya, pasti begitu.” Hans dengan santai menjawab sambil membaca koran.“Tapi, kasihan. Ia makan seperti hewan kelaparan.” Widya mengembuskan napas berat lalu menghampiri suaminya.“Namanya juga tidak waras.”Mendengar ucapan sang suami, Widya hanya mengangguk pelan. Wanita setengah baya yang selalu mengenakan celemek itu melanjutkan membereskan makanan dan memasak.Hans mengamati istrinya. Bagaimana ia bisa tertarik lagi dengan wanita itu? Tidak pernah merawat tubuh dan wajah hingga selalu terlihat lusuh. Ia bertahan di rumah ini hanya karena tidak memiliki tempat lain.Lagipula, bersama Widya ia masih bisa makan tanpa susah-susah bekerja. Lelaki itu bangkit dan berjalan ke kamar Marsha. Ia mengintip dan melihat keadaan wanita mu
Irwan menunggu. Vania mungkin sedang mengumpulkan kekuatan untuk memceritakan kisah kelamnya pada seseorang. Apalagi ia adalah orang baru yang pertama kali ditemui."Aku dan Bryan, ayah Arzan menikah tanpa restu. Kami lari dari keluarga karena memilih mempertahankan cinta."Vania mengembuskan napas kasar. Ia menyandarkan punggung pada dinding. Jari-jari tangannya saling bertautan."Di perkemahan seperti ini lah kami berbulan madu. Tiga bulan kemudian, aku hamil. Kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, beberapa bulan berikutnya, Bryan didiagnosis menderita kanker usus."Isakan Vania membuat Irwan memeluk erat Arzan. Ia tak ingin Arzan terbangun. Vania lalu sadar untuk segera menguasai diri.Sembari mengatur napas, Vania mengusap air matanya. Kini ia duduk sambil memeluk kaki-kakinya yang ditekuk.Dalam keadaan hamil, Vania merawat Bryan. Bryan cukup tegar dan berusaha menjalani pengobatan didampingi Vania.Pilihan itu datang saat Vania melahirkan. Kondisi Bryan bertambah lemah. Keuanga
Alrzan langsung bersembunyi di balik tubuh Vania. Wanita itu menyorotkan lampu senter pada lelaki yang berdiri di kegelapan. Arzan mengintip lalu bersorak.“Om Irwan.” Arzan langsung berlari menghampiri dan memeluk Irwan. “Lampu kabin kami mati, Om.”Irwan mengusap kepala Arzan. “Iya, kabin Om juga. Tadinya Om mau mencari bantuan tapi mendengar teriakan. Kebetulan sekali kita ada di sini, ya."“Aku bersama Ibu Vania. Cuma berdua.” Arzan menunjuk Vania yang terpaku di tempat melihat kedekatan putranya dengan lelaki yang dipanggil Om Irwan tersebut.Irwan mengangguk. Setelah berada pada jarak cukup dekat, Irwan menjulurkan tangan. Vania menyambutnya dan tersenyum penuh kelegaan.“Irwan. Aku putra Ibu Irma.”Sejenak setelah balas menyebut namanya, Vania mengamati Irwan. Rasanya ia pernah bertemu dengan lelaki ini. Tetapi, ia tidak ingat meskipun ia sering berada di kafe.“Kita memang belum pernah bertemu sebelum ini.” Irwan menjawab pengamatan Vania pada dirinya. “Oh, mungkin sekali. Saa
“Jadi Khanza, editor Vania yang menjadi otak gosip antara kamu dan Vania?” Sarah mengangkat alisnya. Tak menyangka bahwa ternyata orang terdekat Vania lah yang membuat kebohongan tersebut.“Iya. Itu dilakukan untuk mendongkrak penjualan buku Vania. Kamu ingat? Gosip itu beredar tak lama novel baru Vania terbit di pasaran.”Sarah mengangguk mengerti. “Vania tau?”“Itu sedang diselidiki Om Adrian.”“Perasaanku mengatakan Vania tidak ada sangkut pautnya dengan ini semua.”Pernyataan Sarah dikuatkan oleh dugaan bahwa Vania tidak mungkin mempertaruhkan nama baiknya. Jika ia memang terlibat dan keluarga Carrington tau, ia pasti tidak akan bertemu lagi dengan Arzan. Bahkan Sarah sendiri pun akan melarangnya.Marc mengangguk setuju. Ia berharap hari ini juga sudah mendapat kabar dari orang-orang Adrian yang bekerja untuk mengusut kasus pencemaran nama baik ini.“Jika Arzan sudah pulang, kemungkinan ia menemukan berita tersebut akan besar. Aku tidak ingin itu terjadi.”“Aku tau.” Sarah mencebi
Dua hari kemudian, Vania menjemput Arzan. Selama akhir minggu, ia akhirnya memperoleh izin membawa Arzan hanya berdua saja. Vania menjemput Arzan di rumah keluarga Carrington.Sarah menyambut Vania sambil menggandeng Arzan. Ia menyerahkan tangan Arzan pada Vania dan hanya berpesan untuk bersenang-senang.“Ingat pesan Mama ya, Sayang.” Sarah mengelus kepala Arzan sebelum putra angkatnya itu masuk ke dalam mobil.Arzan mengangguk lalu memeluk Sarah erat-erat. Ia juga mencium pipi Sarah dan berkata akan menurut pada pesan sang Mama. Vania memperhatikan inetraksi tersebut dengan rasa haru.Selalu saja ada rasa iri di hati Vania. Tapi, ia merasa itu hal yang wajar. Ia bertanya dalam hati kapan Arzan akan sehangat itu pada dirinya.Dalam perjalanan, Arzan lebih banyak mengamati jalanan. Sesekali ia menengok ke belakang. Sebuah mobil van mengikuti kendaraan Vania.“Ada mobil penjagamu, ya?” Vania tersenyum pada Arzan.Anak lelaki itu hanya mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan ibu kandu
"Mana? Aku mau lihat." Sarah mencondongkan tubuhnya ke arah ponsel Marc.Pasangan suami istri itu sama-sama memperhatikan layar kecil ponsel Marc. Dengan kesal, Marc menyerahkan ponselnya pada sang istri. Ia malas membaca lanjutan berita tersebut."Pasti sebentar lagi Papa atau Mama akan menelepon dan marah-marah padaku." Marc kemudian bersungut. "Tadi saat kamu bilang tidak bisa ikut, aku sudah memiliki perasaan tak enak.""Nanti kalau Mama atau Papa menelepon, biar aku saja yang bicara pada mereka." Sarah menenangkan suaminya.Namun kali ini Marc tidak dapat mentoleransi berita tersebut. Portal gosip itu mengatakan ia mengadakan pertemuan rahasia dengan Vania untuk membahas putra mereka."Kamu jangan mencegahku lagi. Aku akan meminta pengacara menuntut pasal pencemaran nama baik."Tidak ada balasan dari Sarah. Ia sedang sibuk mengamati berita tersebut."Memangnya kamu sempat ngobrol berduaan dengan Vania, ya?""Tadinya aku sudah cerita ia minta maaf atas beredarnya gosip dan mengaku
Vania merasa bertambah senang karena setelah beberapa kali bertemu, akhirnya Arzan mulai banyak terbuka padanya. Meski anak itu masih kaku jika bersentuhan, Vania tetap memberikan perhatian melalui kontak fisik seperti mengelus, mengusap, memeluk dan mencium putranya.“Ok, nanti jangan lupa tanyakan pada Mama dan Papa kapan kita bisa kemping berdua, ya.” Vania berkata dengan penuh harap pada Arzan.Arzan mengangguk. Pada pertemuan itu, Arzan juga menunjukkan hasil tulisannya. Dengan bersemangat, Vania membaca dan mengangguk-angguk.“Sepertinya kamu memang berbakat.”“Apa aku bisa menjual buku dan mendapatkan uang seperti Ibu?”Kekehan kecil terdengar dari hidung Vania. “Tentu saja bisa. Tetapi, masih banyak yang mesti kamu pelajari karena menulis bukan hanya tentang menceritakan apa yang ada di kepalamu.”Vania berpesan bahwa Arzan harus banyak belajar tentang teori kepenulisan. Menurutnya, cerita Arzan menarik namun dari segi alur masih perlu diperbaiki. Arzan tampak serius melihat b
“Semua gagal.” Irwan berkata datar saat Marc bertanya tentang kencannya.Pagi ini, kantor Irwan kedatangan Marc. Lelaki itu mendapat laporan bahwa Irwan telah beberapa kali melakukan kencan buta dengan bantuan aplikasi jodoh.“Memang berapa kali sih kamu berkencan?”“Tiga kali.”“Artinya aplikasi itu tidak bagus. Mungkin kamu bisa coba cara konvesional saja.”“Maksudmu, amati sekeliling, jika ada yang menarik langsung ajak kencan?”“Iya seperti itu.”Dengan cepat, kepala Irwan menggeleng. Menurutnya kehidupannya sekarang hanya kantor dan rumah. Sementara ia tidak ingin berkencan dengan teman atau pegawai kantor.Marc menawarkan bantuan. Ia berkata Larry mungkin memiliki teman wanita yang juga sedang mencari jodoh. Mereka sama-sama tau, Larry memiliki pergaulan yang luas.Pasrah, Irwan mengangguk. Mereka melanjutkan membahas pekerjaan. Hingga akhirnya diskusi itu selesai.“Sepertinya hari ini kamu dan timmu harus lembut.” Marc berkata seraya bersiap akn pergi.“Iya. Aku juga berpikiran
“Jadi, kamu tidak berfoto sama Vania?” Sarah mengulangi pernyataan Marc yang menyangkal ia berada satu frane bersama Arzan dan Vania.“Tidak.” Marc menggeleng tegas. “Aku lebih dulu yang berfoto berdua dengan Arzan. Setelah itu Vania dan Arzan.”Tetapi, Marc berkata saat itu memang banyak kamera yang mengarah pada mereka. Marc tidak menaruh curiga karena mereka sedang berada di sekolah.“Jadi, kamu jangan berprasangka buruk padaku.”“Siapa yang berprasangka buruk?”“Aku takut kamu cemburu.”Sarah mencebik. “Tidak. Lagipula kalau kamu mau sama Vania, ya silahkan saja.”Marc terperanjat mendengar pernyataan istrinya. “Kok gitu?”“Yaa ... kamu suka nggak sama Vania?”“Enggak lah. Pertanyaanmu aneh sekali, Sayang.”“Ya, sudah. Kalau begitu, aku tidak curiga, cemburu, kesal atau marah padamu.”Marc mengembuskan napas lega. Meski ia jadi merasa aneh karena Sarah seperti cuek saja. Rasanya ia lebih suka Sarah cemburu.Bukankah cemburu tanda cinta? Tanda bahwa seorang istri tidak ingin suamin
Berita peluncuran buku Vania diiringi pemberitaan yang cukup menghebohkan. Beredar gosip bahwa Marc adalah ayah kandung dari anak Vania. Berita mengguncang itu dilengkapi foto Arzan saat kemping di mana anak itu berdiri di antara Marc dan Vania.Mereka tampak seperti keluarga kecil yang bahagia.“Kenapa kamu tidak ikut berfoto, Sarah?” Frank terlihat protes pada menantunya.“Saat akan foto, Vivi rewel, Pa. Jadi aku membawa Vivi ke suster dulu.” Sarah mengembuskan napas berat mendapat berita tersebut. Ia juga tidak tau ternyata Marc berfoto bertiga dengan Arzan dan Vania.“Mama akan marahi suster. Sudah tau Vivi sakit, kenapa ia tidak siaga di dekatmu.” Lucy dengan kesal juga ikut protes.“Aku yang suruh suster menunggu di luar, Ma. Itu kan area khusus pengantar anak-anak yang kemping.”“Lalu, kenapa Vania ikut-ikutan?” Lucy masih tidak terima.Sarah mengaku bahwa ia mengizinkan Vania ikut. Bahkan ia sendiri yang meminta izin pada sekolah agar ibu kandung Arzan itu bisa mengikuti upaca