“Ibu Irma harus menurunkan keahliannya pada seseorang yang kalian bisa percaya.” Marc berkata pada Sarah saat istrinya itu bercerita tentang rencananya pindah lokasi usaha.“Iya. Ibu Irma sudah mengajari salah satu asisten dapur. Kebetulan anak itu memang lulusan sekolah tata boga.”Kepala Marc mengangguk. Sambil membaca laporan Adrian tentang beberapa gedung yang bisa dipakai Sarah untuk usahanya, lelaki itu tak hentinya mengelus punggung sang istri.Sarah bergerak tak teratur. Ia berkali-kali dengan resah berganti posisi duduk.“Ada apa?”“Emm .... “ Ragu-ragu, Sarah menjawab.Marc memberi perhatian. “Katakan ada apa? Jangan kamu pendam sendiri masalahmu.”“Umm ... ini.” Sarah menatap perutnya.“Perutmu kencang lagi? Sakit?”Sarah menggeleng saat Marc mengelus seluruh perutnya dengan wajah khawatir.“Lalu, kenapa?”“Jangan khawatir. Ini hanya .... “ Sarah berhenti sejenak karena tatapan mata Marc yang terlihat mulai tak sabar.“Ayolah, Sarah. Aku suamimu, wajib tau apa yang terjadi
“Sarah?”Marc mengamati sekeliling kamar mencari istrinya. Sarah juga tidak ada di ranjang. Marc membuka kamar mandi.“Sarah?” Marc kembali memanggil istrinya.Lelaki itu masuk dan mendapati Sarah sedang berendam di bathtub dengan mata terpejam. Ia menjulurkan tangannya ke air yang ternyata sudah tidak hangat lagi.“Sarah, bangun.” Marc menekan tombol untuk mengeringkan bathtub.Sarah membuka matanya. Ia menatap Marc sekilas lalu menundukkan pandangan.Marc membantu istrinya turun dari bathtub. Sarah membiarkan Marc mengeringkan tubuh dan menggunakan piyama.“Aku siapkan susu hangat. Sebentar.” Marc meninggalkan Sarah.Tak lama kemudian, Marc kembali dengan baki di tangan. Dahi Sarah berkerut. aMarc membawa sendiri baki tersebut tanpa menyuruh pelayan.“Minumlah.” Segelas susu hangat disodorkan Marc ke depan istrinya.“Terima kasih.” Sarah membalas singkat.Marc mengamati istrinya yang minum susu hingga habis. Ia lalu membantu Sarah mengeringkan rambut, sementara Sarah menggunakan ski
Frank datang hanya untuk mengecek keadaan Sarah. Saat melihat putra dan menantunya baik-baik saja, lelaki itu segera berpamitan untuk bekerja.Sarah dan Marc mengamati mobil Frank yang menjauh. Kemudian, mereka mendekati mobil yang akan mereka gunakan. Supir membukakan pintu untuk Marc dan Sarah.“Kenapa Papa bilang kita marahan?” Sarah bertanya pada Marc saat mereka dalam perjalanan.“Papa berpikir begitu. Semalam Papa ke sini dan memarahiku.”“Oh, maaf. Pasti karena aku mengadu. Soalnya saat aku menangis, Papa menelepon jadi aku tidak bisa bohong.”Marc mengusak kepala istrinya. “Memang tidak boleh bohong.”Sarah tidak menjawab. Keningnya berkerut dengan tubuh tegak menahan nyeri. Marc segera menekan bagian bawah perut Sarah.“Dia lapar.” Sarah berkata sambil mengatur napas.“Lapar? Kita baru saja sarapan.”“Mungkin sarapan tadi dia masih tidur.” Sarah terkekeh lalu membuka tampat makan yang disiapkan chef untuknya.Kotak itu berisi buah-buahan. Marc mengambil alih kotak tersebut la
Marc melirik ke arah jendela. Ia lalu berdiri dan menutup jendela dengan tirai gulung. Setelahnya ia mengetik pesan untuk Sarah.Terdengar embusan napas kasar saat kini Marc menggeser kursi dan duduk di samping Irwan. Lelaki itu memijat keningnya hingga bagian tersebut memerah.“Ceritakan padaku bagaimana perbincanganmu dengan Ibu Irma.”“Pedulimu hanya sebatas ingin tau bahwa ibuku akan tetap tinggal di kota ini dan membantu bisnis istrimu, bukan?” Irwan mendelik pada Marc.“Sudah kukarakan bahwa aku tidak tau tentang hal ini. Tetapi, jika memang ini menyangkut istriku, aku harus menyiapkan diri.”Mungkin karena selama ini tidak memiliki teman curhat, Irwan akhirnya berterus-terang. Mulai dari kehidupan mereka yang sederhana hingga akhirnya ia harus berpisah pada ibunya karena mendapat pekerjaan di kota yang berbeda.“Demi mendapat gaji yang cukup besar, aku memang meninggalkan ibuku sendiri di kota kecil itu. Tetapi, aku berjanji pada diri sendiri, suatu saat akan membelikan ibu seb
Sarah mengerti setelah mendengar penjelasan Marc. Selama ini, keluarga Carrington tidak pernah menyembunyikan status pernikahan Marc. Namun begitu, para relasi bisnis mempertanyakan mengapa pernikahan itu seperti disembunyikan dari publik.Selain itu, terkadang Marc perlu mengajak Sarah pada acara-acara bisnis. Marc mengaku tak enak hati jika Sarah menjadi bahan pembicaraan karena mereka menikah diam-diam.Selanjutnya, Marc juga meminta Sarah untuk memilih event organizer yang akan mengatur pesta pernikahan mereka. Sarah menggeleng tak mengerti.“Aku belum pernah membuat pesta dan berkordinasi dengan event organizer.”“Hmm ... bagaimana jika kita minta bantuan Mama saja?”Sarah tersenyum dan mengangguk. Lucy memiliki pertemanan yanng luas. Mertuanya itu juga paham dengan pesta dan segala keperluannya.“Ok. Nanti aku hubungi Mama.”Mobil Marc berhenti di depan lobi rumah sakit. Lelaki itu turun lebih dulu, lalu meraih tangan istrinya saat Sarah akan keluar.Keduanya langsung menuju rua
“Ini beberapa gambar yang dikirim Om Adrian untuk toko kuenya, Bu.” Sarah memperlihatkan layar ponselnya pada Ibu Irma.Ada beberapa gambar yang menarik. Terutama sekali gambar dengan dapur yang besar.Ibu Irma mengangguk lalu mengembalikan ponsel kepada Sarah. “Ibu terserah kamu saja, Sarah.”Sarah mengamati lagi layar ponsel. “Aku juga belum memutuskan yang mana, Bu. Marc ingin survey langsung dulu.”Tidak ada jawaban dari Ibu Irma. Sarah melirik wanita setengah baya yang tampak termenung itu. Sepertinya Ibu Irma pun tidak terlalu antusias dengan pembicaraan tentang toko kue baru mereka.“Bu?” Sarah menyentuh lengan Ibu Irma.“Eh, iya?” Sedikit kaget, Ibu Irma menyahut.“Lagi mikirin apa, sih? Aku perhatikan Ibu tidak mendengar aku bicara, lho.”Tetap tidak ada jawaban dari Ibu Irma selain embusan napas panjang. Kali ini, kening Ibu Irma berkerut dengan jari memainkan cincin ruby.“Bu, cerita dong sama Sarah.” Sarah memohon pada Ibu Irma.Sedikit senyum terukir di wajah Ibu Irma. Ke
Sial. Marc menggeram dalam hati. Padahal ia ingin segera pulang ke rumah dan bermesraan dengan istrinya.Sarah tersenyum tipis pada Marc lalu mengangguk pelan. Wanita hamil itu menarik pelan tangan suaminya yang tampak berat melangkah untuk duduk di sofa.Saat mereka duduk, ibu Irma permisi ke dapur untuk membuat minuman. Marc kembali mendesah dalam hati dan bergumam bahwa perbincangan ini mungkin akan menjadi sangat lama dengan adanya bermacam suguhan.“Tadinya kami mau pergi agar kamu dan Ibu Irma bisa bebas berbicara.” Marc berkata pada Irwan.“Wah, aku yang jadi tidak enak. Apartemen ini adalah milik Sarah, masa kalian yang keluar.” Irwan menggeleng dan tersenyum berbarengan.Ibu Irma datang dengan baki di tangan. Sarah membantu meletakkan cangkir teh dan kue wortel ke atas meja.“Aku perkirakan kalian sudah mendapat kata sepakat,” tebak Marc sambil memandang Ibu Irma dan Irwan bergantian.Irwan mengangguk lalu menoleh menatap Ibunya.“Syukurlah, setelah aku bicara dengan Marc dan
Pagi itu Sarah dan Marc bangun kesiangan. Padahal mereka ada janji dengan Lucy.Namun begitu, tidak ada pelayan yang berani membangunkan pasangan suami istri tersebut. Lucy yang sudah datang akhirnya menunggu di ruang keluarga sambil membaca majalah.“Mama?” Marc memanggil dengan suara parau.Saat terbangun karena Sarah ingin ke kamar mandi, Marc ikut terjaga. Refleks, ia membuka ponsel dan membaca pesan dari Lucy bahwa Mamanya itu sudah datang.Lucy menoleh menatap putranya yang masih mengenakan piyama dan rambut acak-acakan. Wanita yang masih tampak cantik di usia senja itu berdiri dan tersenyum penuh arti.“Maaf, Mama membangunkanmu.”“Mmm ... tak apa.” Marc menguap lebar. “Aku dan Sarah akan siap satu jam lagi. Mama tidak apa-apa menunggu kami?"“Tak apa, Mama tunggu saja. Mama bisa berjalan-jalan sebentar di taman. Sudah lama Mama tidak ke rumahmu ini.”Marc mengangguk. Ia kembali ke kamar dan membangunkan Sarah yang tertidur setelah buang air kecil.“Sarah.” Marc mengguncang pel
Tiga tahun berlalu dengan cepat. Keluarga Carrington sedang berlibur di sebuah perkemahan mewah. Mereka juga mengajak keluarga Ibu Irma.Irwan dan Vania telah menikah dan memiliki satu orang anak perempuan yang dinamai Nirvana."Kenapa Kak Arzan jagain Vana terus?" Vivi memberengut kesal saat ia minta Arzan menemaninya main tetapi anak lelaki itu sedang sibuk menjaga adiknya."Vana masih kecil, Vivi. Sini, kita main sama-sama." Arzan menepuk sisinya yang kosong. Namun, Vivi malah melengos dan memilih bergelayut manja di kaki Papanya."Aku panggil Irwan dulu biar ia menjaga Vana." Vania yang sedang memasak dapur merasa tak enak hati mendengar pembicaraan Arzan dan Vivi."Sudah, biarkan saja. Gak papa, kok." Sarah yang sedang hamil besar menenangkan Vania."Aku gak enak, Sarah. Sepertinya Vivi cemburu karena Arzan menjaga Vana terus.""Lihat itu." Sarah mengendik pada Vivi yang kini asyik bermain bersama Marc. "Dia kesal cuma sebentar, kok."Vania tersenyum simpul dan mengangguk. Apalagi
Ulang tahun pertama Vivi sangat meriah. Meski anak perempuan itu belum memiliki banyak teman, tetapi tamu-tamu undangan mulai dari balita hingga kakek nenek banyak yang hadir.Marc menyulap taman belakang menjadi taman bermain yang nyaman dengan tenda dan AC portable di mana-mana. Berbagai makanan sehat tersebar di penjuru taman.Sebagian tamu adalah teman-teman Arzan yang membawa adik-adik mereka. Vivi jadi memiliki teman sebaya."Sepertinya, prediksi Arzan tepat. Akhir-akhir ini mereka jadi dekat, bukan?" Sarah melirik pada Irwan dan Vania yang tampak asyik berbincang dengan ibu Irma.Tanpa melihat objek pembicaraan mereka, Marc mengangguk. Lelaki itu melingkari tangan di pinggang sang istri dan membawanya ke meja makan."Masih lapar?" Sarah mengamati suaminya yang mengambil makanan cukup banyak."Apa kamu tidak lihat? Aku tadi lari-larian mengikuti Vivi?" Marc memotong steak ayam lalu menyuapi dirinya. "Lagipula, steak ini lezat sekali."Bahkan Sarah akhirnya ikut makan karena Mrac
Sesuai rencana, berita tentang Marc dan Vania menghilang. Tentu saja itu tidak lepas dari tim yang dibuat Adrian untuk menghapus semua postingan tersebut.“Sayang.” Marc menyapa istrinya yang sedang menyusui Vivi.“Ya?”“Jam berapa Arzan datang?”“Vania bilang, mereka sudah dalam perjalanan.”“Hmm ... aku ada rapat. Sengaja kubuat online. Tapi kalau Arzan datang dan aku belum selesai, minta ia ke ruang kerjaku saja, ya.”“Oke. Selamat rapat.”Marc mengangguk. Lalu, membungkuk sedikit untuk mencium pipi istri dan putrinya. Setelah itu, ia keluar dari ruang bayi.Setelah Marc keluar, seorang pelayan masuk membawa paket untuk Sarah.“Tolong dibuka,” pinta Sarah pada pelayan yang langsung mengangguk.Sarah tau isi paket itu adalah buku-buku Vania yang ia pesan secara online. Pelayan memberikan buku -buku yang masih berplastik itu pada Sarah lalu keluar.Vivi melepas puncak dada Mamanya karena tertarik dengan buku yang dipegang Sarah. Ia merebut buku tersebut lalu ikut membolak-balik halam
“Maafkan aku. Aku mengaku salah.” Khanza menunduk dalam-dalam.Adrian dan pengacara mendatangi kantor penerbit buku Vania. Mereka memberikan data bahwa Khanza membuat berita kebohongan agar publik tertarik pada cerita Vania dan membeli buku terbarunya.Direktur penerbitan menggeleng samar melihat data-data tersebut. Ia tidak menyangka Khanza berbuat seperti itu.“Aku melakukannya untuk Vania.” Khanza berkilah, membela diri.“Aku yakin Vania pun tak setuju kamu membantu dengan cara ini.” Adrian mengecam.“Vania sedang tidak fokus. Banyak pikiran. Jadi, aku pikir, aku perlu membantunya sedikit.”Direktur menggeleng. Ia juga tampak tidak setuju. Apalagi sampai ada pengacara yang menuntut mereka.“Masalahnya, Nona.” Pengacara menatap wajah Khanza dengan pandangan tajam. “Yang anda cemarkan adalah keluarga Carrington, terutama Tuan Marc.”“Lelaki yang selama ini terkenal dingin dan tidak bersosialisasi dengan media.” Adrian menambahkan.Direktur menengahi. Mereka akan membuat pengumuman pe
Pagi di bumi perkemahan cukup cerah setelah semalaman hujan. Pengelola bahkan tidak mengizinkan peserta kemping untuk melakukan trekking.“Terus kita ngapain, Om?” Arzan mengguncang-guncang tangan Irwan.“Masih ada pilihan untuk memancing. Kamu mau?”“Om bisa memancing?”“Bisa, dong.”“Mauuu.” Arzan menjerit senang.Vania menatap kebersamaan Irwan dan Arzan. Seandainya Bryan masih hidup, mungkin yang berdiri di depannya sekarang ada sosok Bryan dan Arzan. Vania menggeleng membuyarkan lamunannya.Telah lima tahun berlalu, tetapi rasanya masih sama. Kehilangan dan kedukaan itu masih sangat jelas di mata Vania.“Ibu, ayo ikut memancing,” ajak Arzan.Vania tau, Arzan pasti disuruh Irwan. Ia sebenarnya tidak tau apa-apa tentang memancing, tetapi demi menemani Arzan, Vania mengangguk.Perahu disiapkan pengelola perkemahan. Vania melihat Irwan berbincang dengan penjaga Arzan. Seperti setiap kegiatan Arzan, harus dilaporkan pada keluarga Carrington.Akhirnya mereka bertiga di atas perahu. Mer
Irwan menunggu. Vania mungkin sedang mengumpulkan kekuatan untuk memceritakan kisah kelamnya pada seseorang. Apalagi ia adalah orang baru yang pertama kali ditemui."Aku dan Bryan, ayah Arzan menikah tanpa restu. Kami lari dari keluarga karena memilih mempertahankan cinta."Vania mengembuskan napas kasar. Ia menyandarkan punggung pada dinding. Jari-jari tangannya saling bertautan."Di perkemahan seperti ini lah kami berbulan madu. Tiga bulan kemudian, aku hamil. Kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, beberapa bulan berikutnya, Bryan didiagnosis menderita kanker usus."Isakan Vania membuat Irwan memeluk erat Arzan. Ia tak ingin Arzan terbangun. Vania lalu sadar untuk segera menguasai diri.Sembari mengatur napas, Vania mengusap air matanya. Kini ia duduk sambil memeluk kaki-kakinya yang ditekuk.Dalam keadaan hamil, Vania merawat Bryan. Bryan cukup tegar dan berusaha menjalani pengobatan didampingi Vania.Pilihan itu datang saat Vania melahirkan. Kondisi Bryan bertambah lemah. Keuanga
Alrzan langsung bersembunyi di balik tubuh Vania. Wanita itu menyorotkan lampu senter pada lelaki yang berdiri di kegelapan. Arzan mengintip lalu bersorak.“Om Irwan.” Arzan langsung berlari menghampiri dan memeluk Irwan. “Lampu kabin kami mati, Om.”Irwan mengusap kepala Arzan. “Iya, kabin Om juga. Tadinya Om mau mencari bantuan tapi mendengar teriakan. Kebetulan sekali kita ada di sini, ya."“Aku bersama Ibu Vania. Cuma berdua.” Arzan menunjuk Vania yang terpaku di tempat melihat kedekatan putranya dengan lelaki yang dipanggil Om Irwan tersebut.Irwan mengangguk. Setelah berada pada jarak cukup dekat, Irwan menjulurkan tangan. Vania menyambutnya dan tersenyum penuh kelegaan.“Irwan. Aku putra Ibu Irma.”Sejenak setelah balas menyebut namanya, Vania mengamati Irwan. Rasanya ia pernah bertemu dengan lelaki ini. Tetapi, ia tidak ingat meskipun ia sering berada di kafe.“Kita memang belum pernah bertemu sebelum ini.” Irwan menjawab pengamatan Vania pada dirinya. “Oh, mungkin sekali. Saa
“Jadi Khanza, editor Vania yang menjadi otak gosip antara kamu dan Vania?” Sarah mengangkat alisnya. Tak menyangka bahwa ternyata orang terdekat Vania lah yang membuat kebohongan tersebut.“Iya. Itu dilakukan untuk mendongkrak penjualan buku Vania. Kamu ingat? Gosip itu beredar tak lama novel baru Vania terbit di pasaran.”Sarah mengangguk mengerti. “Vania tau?”“Itu sedang diselidiki Om Adrian.”“Perasaanku mengatakan Vania tidak ada sangkut pautnya dengan ini semua.”Pernyataan Sarah dikuatkan oleh dugaan bahwa Vania tidak mungkin mempertaruhkan nama baiknya. Jika ia memang terlibat dan keluarga Carrington tau, ia pasti tidak akan bertemu lagi dengan Arzan. Bahkan Sarah sendiri pun akan melarangnya.Marc mengangguk setuju. Ia berharap hari ini juga sudah mendapat kabar dari orang-orang Adrian yang bekerja untuk mengusut kasus pencemaran nama baik ini.“Jika Arzan sudah pulang, kemungkinan ia menemukan berita tersebut akan besar. Aku tidak ingin itu terjadi.”“Aku tau.” Sarah mencebi
Dua hari kemudian, Vania menjemput Arzan. Selama akhir minggu, ia akhirnya memperoleh izin membawa Arzan hanya berdua saja. Vania menjemput Arzan di rumah keluarga Carrington.Sarah menyambut Vania sambil menggandeng Arzan. Ia menyerahkan tangan Arzan pada Vania dan hanya berpesan untuk bersenang-senang.“Ingat pesan Mama ya, Sayang.” Sarah mengelus kepala Arzan sebelum putra angkatnya itu masuk ke dalam mobil.Arzan mengangguk lalu memeluk Sarah erat-erat. Ia juga mencium pipi Sarah dan berkata akan menurut pada pesan sang Mama. Vania memperhatikan inetraksi tersebut dengan rasa haru.Selalu saja ada rasa iri di hati Vania. Tapi, ia merasa itu hal yang wajar. Ia bertanya dalam hati kapan Arzan akan sehangat itu pada dirinya.Dalam perjalanan, Arzan lebih banyak mengamati jalanan. Sesekali ia menengok ke belakang. Sebuah mobil van mengikuti kendaraan Vania.“Ada mobil penjagamu, ya?” Vania tersenyum pada Arzan.Anak lelaki itu hanya mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan ibu kandu