Pagi itu Sarah dan Marc bangun kesiangan. Padahal mereka ada janji dengan Lucy.Namun begitu, tidak ada pelayan yang berani membangunkan pasangan suami istri tersebut. Lucy yang sudah datang akhirnya menunggu di ruang keluarga sambil membaca majalah.“Mama?” Marc memanggil dengan suara parau.Saat terbangun karena Sarah ingin ke kamar mandi, Marc ikut terjaga. Refleks, ia membuka ponsel dan membaca pesan dari Lucy bahwa Mamanya itu sudah datang.Lucy menoleh menatap putranya yang masih mengenakan piyama dan rambut acak-acakan. Wanita yang masih tampak cantik di usia senja itu berdiri dan tersenyum penuh arti.“Maaf, Mama membangunkanmu.”“Mmm ... tak apa.” Marc menguap lebar. “Aku dan Sarah akan siap satu jam lagi. Mama tidak apa-apa menunggu kami?"“Tak apa, Mama tunggu saja. Mama bisa berjalan-jalan sebentar di taman. Sudah lama Mama tidak ke rumahmu ini.”Marc mengangguk. Ia kembali ke kamar dan membangunkan Sarah yang tertidur setelah buang air kecil.“Sarah.” Marc mengguncang pel
“Dhea.” Lucy menyapa seorang wanita berkacamata.Wanita itu tersenyum dan langsung menghampiri. Mereka berjabatan dan mencium pipi masing-masing di depan Sarah.“Bagaimana kabar kasusmu?” Dhea terlihat bertanya dengan nada prihatin.“Minggu depan baru ada keputusan dari hakim. Tetapi, pengacaraku yakin hakim akan memutuskan tidak bersalah dan aku bisa bebas dari wajib lapor.”Penjelasan Lucy membuat Dhea tersenyum senang. Ia lalu melirik Sarah yang berdiri di samping Lucy.“Ini .... ?”“ Iya. Ini Sarah, menantuku. Istri Marc yang kuceritakan di telepon kemarin.”Sarah menjulurkan tangan lebih dulu dengan santun. Mereka berjabatan. Dhea tampak ramah di mata Sarah.“Jadi ini pengantin wanitanya? Kita tidak akan menemukan kesulitan banyak.” Dhea berujar sambil mengedipkan satu matanya pada Lucy.“Hehe seperti kubilang padamu. Cantik, kan?” Lucy mengusap punggung Sarah perlahan.Sarah cukup kaget mendengar percakapan kedua wanita senior tersebut. Sepertinya Lucy sudah cukup banyak membica
Marc mengeluarkan biaya besar untuk pesta pernikahannya. Bahkan Frank dan Lucy mendukung penuh.Semula, Sarah tidak tau menahu tentang biaya tersebut. Namun akhirnya total pengeluaran pesta itu tercetus dari bibir Larry.“Apa? Pesta itu seharga ratusan milyar?” Sarah membelalakkan matanya.“Sstt.” Larry meletakkan jari telunjuk di bibir. “Jangan keras-keras, nanti aku dimarahi Marc.”“Jadi, Marc bilang padamu agar merahasiakan biaya pesta ini dariku?”Larry menggeleng. Hanya saja sepertinya Marc tau istrinya tidak suka bermewah-mewah.“Wajar saja, Sarah. Ini akan menjadi pesta pernikahan satu-satunya karena Marc merupakan anak tunggal.”Sarah terdiam. Memang benar. Tetapi ia hanya berpikir, sayang sekali uang sebanyak itu untuk pesta sehari semalam.Saat ini Larry sedang memberikan kartu ucapan terima kasih yang harus ditandatangani Sarah. Kartu tersebut akan dikirim bersama suvenir khusus yang akan didapat para tamu undangan.Tak main-main, suvenir berupa mini tablet dari brand apel
Para tamu bergantian menghampiri Sarah dan Marc. Mereka mengucapkan selamat untuk pernikahan dan kehamilan Sarah.Sarah yang tadinya tegang mulai bisa menyesuaikan diri. Itu semua karena selama pesta Marc selalu menggenggam tangan Sarah dan menemani istrinya bersosialisasi.Banyak relasi Marc yang tertarik dengan pekerjaan Sarah. Namun dengan tegas Marc berkata istrinya tidak akan bekerja lagi setelah melahirkan. Sarah hanya tersenyum santun mendengar penuturan suaminya.“Kita makan sekarang.” Marc berbisik pada Sarah.Sampai di meja VIP, Marc mendorong kursi untuk istrinya. Saat duduk, Sarah baru merasakan kakinya pegal.“Kenapa?”“Pegal. Apa aku boleh melepas heels ini?”Tanpa banyak bicara, Marc menunduk dan melepas sepatu berhak tinggi yang digunakan Sarah. Ia juga memijat kaki Sarah.“Sudah. Terima kasih, Marc.”“Kamu angkat saja kakimu ke pahaku.”“Oh, tidak perlu.” Sarah menolak anjuran sang suami.Marc mengangguk lalu menawarkan berbagai makanan untuk istrinya. Sarah merasa ta
Sarah tidak langsung menyetujui. Ia menoleh menatap Marc meminta persetujuan. Marc tersenyum pada Sarah lalu mengangguk pada teman-teman Lucy.“Silahkan. Tersedia banyak spot foto yaang menarik. Boleh upload di media sosial.”Pernyataan Marc membuat Sarah sedikit bingung. Biasanya Marc tidak terlalu suka kehidupan pribadinya diumbar di media sosial.Namun begitu, Sarah tidak langsung bertanya. Ia meladeni permintaan teman-teman Lucy untuk berfoto. Marc hanya berfoto bersama satu kali selebihnya ia hanya memperhatikan Sarah dan teman-teman Lucy.“Sarah tampak bahagia.”“Aku juga.”Tanpa menoleh, Marc tau siapa yang bicara padanya. Larry berdiri di samping memperhatikan Sarah yang berpose bersama wanita-wanita senior.“Barusan aku dengar Om Adrian bicara pada Om Frank, mengabari bahwa Tante Lucy bebas dari tuduhan bersekutu dalam percobaan pembunuhan Sarah.”“Iya. Mama sudah mengabariku.”“Syukurlah.”“Boleh aku tau sesuatu?”“Tumben minta izin. Biasanya langsung bertanya.” Marc mencebi
Tinna memang ditempatkan di rumah sakit jiwa di mana Marsha di rawat. Tetapi, ia tidak diperbolehkan mendekat.Sehari-hari, Tinna bekerja membersihkan ruangan dan lorong-lorong rumah sakit dengan pengawasan ketat. Boro-boro kabur, menjenguk putrinya saja ia tidak bisa.Hingga suatu hari, melalui kaca jendela, Tinna melihat Marsha yang sedang duduk di ruang berkumpul sambil menonton televisi.Tinna menatap putrinya yang duduk sambil mengusap perut yang terlihat diganjal bantal. Matanya berair melihat keadaan Marsha.“Marc!” Tiba-tiba, Marsha menjerit histeris sambil menunjuk-nunjuk televisi.“Marsha, ada apa?” Seorang perawat datang menghampiri.Marsha mengguncang lengan perawat lalu menunjuk layar televisi kembali.“Itu suamiku. Itu suamiku.” Marsha berteriak kesenangan.Berita di televisi memang sedang menayangkan pernikahan megah pewaris satu-satunya keluarga Carrington. Mata Marsha kemudian membulat.“Apa suamiku menikah lagi dengan wanita itu? Hiks, hiks. Dia berselingkuh?” Marsha
Marc duduk tegak mendengar ucapan Sarah. Ia merasa wajahnya panas hingga menjalar ke telinga. Bodoh sekali rasanya.“Mmmm ... tentu aku tidak keberatan. Apa kamu juga ingin nama panggilan sayang dariku?” Setelah menetralkan debaran jantungnya, Marc bertanya pada Sarah.“Terserah kamu.”Akh. Marc teringat peringatan Larry pada kata ini. Hati-hati. Harus bisa menebak apa keinginan wanita yang mengucapkan kata terserah.Bagi pasangan lain, terutama yang sudah berpengalaman, mungkin tidak masalah. Tetapi, bagi Marc yang baru memulai hubungan romantis, ini suatu pelajaran berat.“Babe. Aku panggil kamu itu saja.” Marc mengangguk puas dengan pilihan katanya.Namun, Sarah menggeleng. “Sepertinya aku tidak pantas dipanggil Babe. Jangan itu, deh.”“Oh, gak suka, ya. Mmm ... sweety, bagaimana?”Sarah kembali menggeleng. “Kaya lebay banget panggilan itu.”“Honey?”“Kamu punya manager yang namanya Hani. Nanti malah dia yang nengok kalau kamu panggil aku dengan nama itu di kantor.” Sarah mencebik.
Sepertinya Lucy masih berharap bisa kembali pada Frank. Marc hanya tersenyum tipis.“Aku tidak tau jawaban atas pertanyaan Mama.”“Memang hanya Frank dan Tuhan yang tau.”Keduanya lalu terdiam. Akhirnya Marc bertanya tentang jadwal sang Mama.“Mama mau ke mana lagi, sekarang?” Marc bertanya.“Ada penyaluran dana di yayasan yatim piatu.”“Mama masih aktif di yayasan itu?”Kepala Lucy memgangguk. Cuma itu saru-satunya hiburan Lucy saat ini. Bermain dengan anak-anak di yayasan.“Mama juga jadi dekat dengan sukarelawan di yayasan dan kadang membantu pekerjaan di sana.”“Bagus kalau Mama punya kegiatan sosial sekarang.”Saat mereka berbincang, Sarah masuk ke ruang keluarga. Ia baru saja selesai bekerja online.“Mama.” Dengan santun, Sarah menyapa mertuanya.“Hai, Sarah.” Lucy bangkit dari kursinya dan mencium pipi Sarah.“Mama sudah makan?”“Sudah.”“Yaa ... aku mau makan. Mama ikut, ya.”Mendengar penawaran Sarah, tentu saja Lucy mengangguk penuh suka cita. Baru kali ini Sarah mengajaknya
Irwan menunggu. Vania mungkin sedang mengumpulkan kekuatan untuk memceritakan kisah kelamnya pada seseorang. Apalagi ia adalah orang baru yang pertama kali ditemui."Aku dan Bryan, ayah Arzan menikah tanpa restu. Kami lari dari keluarga karena memilih mempertahankan cinta."Vania mengembuskan napas kasar. Ia menyandarkan punggung pada dinding. Jari-jari tangannya saling bertautan."Di perkemahan seperti ini lah kami berbulan madu. Tiga bulan kemudian, aku hamil. Kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, beberapa bulan berikutnya, Bryan didiagnosis menderita kanker usus."Isakan Vania membuat Irwan memeluk erat Arzan. Ia tak ingin Arzan terbangun. Vania lalu sadar untuk segera menguasai diri.Sembari mengatur napas, Vania mengusap air matanya. Kini ia duduk sambil memeluk kaki-kakinya yang ditekuk.Dalam keadaan hamil, Vania merawat Bryan. Bryan cukup tegar dan berusaha menjalani pengobatan didampingi Vania.Pilihan itu datang saat Vania melahirkan. Kondisi Bryan bertambah lemah. Keuanga
Alrzan langsung bersembunyi di balik tubuh Vania. Wanita itu menyorotkan lampu senter pada lelaki yang berdiri di kegelapan. Arzan mengintip lalu bersorak.“Om Irwan.” Arzan langsung berlari menghampiri dan memeluk Irwan. “Lampu kabin kami mati, Om.”Irwan mengusap kepala Arzan. “Iya, kabin Om juga. Tadinya Om mau mencari bantuan tapi mendengar teriakan. Kebetulan sekali kita ada di sini, ya."“Aku bersama Ibu Vania. Cuma berdua.” Arzan menunjuk Vania yang terpaku di tempat melihat kedekatan putranya dengan lelaki yang dipanggil Om Irwan tersebut.Irwan mengangguk. Setelah berada pada jarak cukup dekat, Irwan menjulurkan tangan. Vania menyambutnya dan tersenyum penuh kelegaan.“Irwan. Aku putra Ibu Irma.”Sejenak setelah balas menyebut namanya, Vania mengamati Irwan. Rasanya ia pernah bertemu dengan lelaki ini. Tetapi, ia tidak ingat meskipun ia sering berada di kafe.“Kita memang belum pernah bertemu sebelum ini.” Irwan menjawab pengamatan Vania pada dirinya. “Oh, mungkin sekali. Saa
“Jadi Khanza, editor Vania yang menjadi otak gosip antara kamu dan Vania?” Sarah mengangkat alisnya. Tak menyangka bahwa ternyata orang terdekat Vania lah yang membuat kebohongan tersebut.“Iya. Itu dilakukan untuk mendongkrak penjualan buku Vania. Kamu ingat? Gosip itu beredar tak lama novel baru Vania terbit di pasaran.”Sarah mengangguk mengerti. “Vania tau?”“Itu sedang diselidiki Om Adrian.”“Perasaanku mengatakan Vania tidak ada sangkut pautnya dengan ini semua.”Pernyataan Sarah dikuatkan oleh dugaan bahwa Vania tidak mungkin mempertaruhkan nama baiknya. Jika ia memang terlibat dan keluarga Carrington tau, ia pasti tidak akan bertemu lagi dengan Arzan. Bahkan Sarah sendiri pun akan melarangnya.Marc mengangguk setuju. Ia berharap hari ini juga sudah mendapat kabar dari orang-orang Adrian yang bekerja untuk mengusut kasus pencemaran nama baik ini.“Jika Arzan sudah pulang, kemungkinan ia menemukan berita tersebut akan besar. Aku tidak ingin itu terjadi.”“Aku tau.” Sarah mencebi
Dua hari kemudian, Vania menjemput Arzan. Selama akhir minggu, ia akhirnya memperoleh izin membawa Arzan hanya berdua saja. Vania menjemput Arzan di rumah keluarga Carrington.Sarah menyambut Vania sambil menggandeng Arzan. Ia menyerahkan tangan Arzan pada Vania dan hanya berpesan untuk bersenang-senang.“Ingat pesan Mama ya, Sayang.” Sarah mengelus kepala Arzan sebelum putra angkatnya itu masuk ke dalam mobil.Arzan mengangguk lalu memeluk Sarah erat-erat. Ia juga mencium pipi Sarah dan berkata akan menurut pada pesan sang Mama. Vania memperhatikan inetraksi tersebut dengan rasa haru.Selalu saja ada rasa iri di hati Vania. Tapi, ia merasa itu hal yang wajar. Ia bertanya dalam hati kapan Arzan akan sehangat itu pada dirinya.Dalam perjalanan, Arzan lebih banyak mengamati jalanan. Sesekali ia menengok ke belakang. Sebuah mobil van mengikuti kendaraan Vania.“Ada mobil penjagamu, ya?” Vania tersenyum pada Arzan.Anak lelaki itu hanya mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan ibu kandu
"Mana? Aku mau lihat." Sarah mencondongkan tubuhnya ke arah ponsel Marc.Pasangan suami istri itu sama-sama memperhatikan layar kecil ponsel Marc. Dengan kesal, Marc menyerahkan ponselnya pada sang istri. Ia malas membaca lanjutan berita tersebut."Pasti sebentar lagi Papa atau Mama akan menelepon dan marah-marah padaku." Marc kemudian bersungut. "Tadi saat kamu bilang tidak bisa ikut, aku sudah memiliki perasaan tak enak.""Nanti kalau Mama atau Papa menelepon, biar aku saja yang bicara pada mereka." Sarah menenangkan suaminya.Namun kali ini Marc tidak dapat mentoleransi berita tersebut. Portal gosip itu mengatakan ia mengadakan pertemuan rahasia dengan Vania untuk membahas putra mereka."Kamu jangan mencegahku lagi. Aku akan meminta pengacara menuntut pasal pencemaran nama baik."Tidak ada balasan dari Sarah. Ia sedang sibuk mengamati berita tersebut."Memangnya kamu sempat ngobrol berduaan dengan Vania, ya?""Tadinya aku sudah cerita ia minta maaf atas beredarnya gosip dan mengaku
Vania merasa bertambah senang karena setelah beberapa kali bertemu, akhirnya Arzan mulai banyak terbuka padanya. Meski anak itu masih kaku jika bersentuhan, Vania tetap memberikan perhatian melalui kontak fisik seperti mengelus, mengusap, memeluk dan mencium putranya.“Ok, nanti jangan lupa tanyakan pada Mama dan Papa kapan kita bisa kemping berdua, ya.” Vania berkata dengan penuh harap pada Arzan.Arzan mengangguk. Pada pertemuan itu, Arzan juga menunjukkan hasil tulisannya. Dengan bersemangat, Vania membaca dan mengangguk-angguk.“Sepertinya kamu memang berbakat.”“Apa aku bisa menjual buku dan mendapatkan uang seperti Ibu?”Kekehan kecil terdengar dari hidung Vania. “Tentu saja bisa. Tetapi, masih banyak yang mesti kamu pelajari karena menulis bukan hanya tentang menceritakan apa yang ada di kepalamu.”Vania berpesan bahwa Arzan harus banyak belajar tentang teori kepenulisan. Menurutnya, cerita Arzan menarik namun dari segi alur masih perlu diperbaiki. Arzan tampak serius melihat b
“Semua gagal.” Irwan berkata datar saat Marc bertanya tentang kencannya.Pagi ini, kantor Irwan kedatangan Marc. Lelaki itu mendapat laporan bahwa Irwan telah beberapa kali melakukan kencan buta dengan bantuan aplikasi jodoh.“Memang berapa kali sih kamu berkencan?”“Tiga kali.”“Artinya aplikasi itu tidak bagus. Mungkin kamu bisa coba cara konvesional saja.”“Maksudmu, amati sekeliling, jika ada yang menarik langsung ajak kencan?”“Iya seperti itu.”Dengan cepat, kepala Irwan menggeleng. Menurutnya kehidupannya sekarang hanya kantor dan rumah. Sementara ia tidak ingin berkencan dengan teman atau pegawai kantor.Marc menawarkan bantuan. Ia berkata Larry mungkin memiliki teman wanita yang juga sedang mencari jodoh. Mereka sama-sama tau, Larry memiliki pergaulan yang luas.Pasrah, Irwan mengangguk. Mereka melanjutkan membahas pekerjaan. Hingga akhirnya diskusi itu selesai.“Sepertinya hari ini kamu dan timmu harus lembut.” Marc berkata seraya bersiap akn pergi.“Iya. Aku juga berpikiran
“Jadi, kamu tidak berfoto sama Vania?” Sarah mengulangi pernyataan Marc yang menyangkal ia berada satu frane bersama Arzan dan Vania.“Tidak.” Marc menggeleng tegas. “Aku lebih dulu yang berfoto berdua dengan Arzan. Setelah itu Vania dan Arzan.”Tetapi, Marc berkata saat itu memang banyak kamera yang mengarah pada mereka. Marc tidak menaruh curiga karena mereka sedang berada di sekolah.“Jadi, kamu jangan berprasangka buruk padaku.”“Siapa yang berprasangka buruk?”“Aku takut kamu cemburu.”Sarah mencebik. “Tidak. Lagipula kalau kamu mau sama Vania, ya silahkan saja.”Marc terperanjat mendengar pernyataan istrinya. “Kok gitu?”“Yaa ... kamu suka nggak sama Vania?”“Enggak lah. Pertanyaanmu aneh sekali, Sayang.”“Ya, sudah. Kalau begitu, aku tidak curiga, cemburu, kesal atau marah padamu.”Marc mengembuskan napas lega. Meski ia jadi merasa aneh karena Sarah seperti cuek saja. Rasanya ia lebih suka Sarah cemburu.Bukankah cemburu tanda cinta? Tanda bahwa seorang istri tidak ingin suamin
Berita peluncuran buku Vania diiringi pemberitaan yang cukup menghebohkan. Beredar gosip bahwa Marc adalah ayah kandung dari anak Vania. Berita mengguncang itu dilengkapi foto Arzan saat kemping di mana anak itu berdiri di antara Marc dan Vania.Mereka tampak seperti keluarga kecil yang bahagia.“Kenapa kamu tidak ikut berfoto, Sarah?” Frank terlihat protes pada menantunya.“Saat akan foto, Vivi rewel, Pa. Jadi aku membawa Vivi ke suster dulu.” Sarah mengembuskan napas berat mendapat berita tersebut. Ia juga tidak tau ternyata Marc berfoto bertiga dengan Arzan dan Vania.“Mama akan marahi suster. Sudah tau Vivi sakit, kenapa ia tidak siaga di dekatmu.” Lucy dengan kesal juga ikut protes.“Aku yang suruh suster menunggu di luar, Ma. Itu kan area khusus pengantar anak-anak yang kemping.”“Lalu, kenapa Vania ikut-ikutan?” Lucy masih tidak terima.Sarah mengaku bahwa ia mengizinkan Vania ikut. Bahkan ia sendiri yang meminta izin pada sekolah agar ibu kandung Arzan itu bisa mengikuti upaca