Tinna memang ditempatkan di rumah sakit jiwa di mana Marsha di rawat. Tetapi, ia tidak diperbolehkan mendekat.Sehari-hari, Tinna bekerja membersihkan ruangan dan lorong-lorong rumah sakit dengan pengawasan ketat. Boro-boro kabur, menjenguk putrinya saja ia tidak bisa.Hingga suatu hari, melalui kaca jendela, Tinna melihat Marsha yang sedang duduk di ruang berkumpul sambil menonton televisi.Tinna menatap putrinya yang duduk sambil mengusap perut yang terlihat diganjal bantal. Matanya berair melihat keadaan Marsha.“Marc!” Tiba-tiba, Marsha menjerit histeris sambil menunjuk-nunjuk televisi.“Marsha, ada apa?” Seorang perawat datang menghampiri.Marsha mengguncang lengan perawat lalu menunjuk layar televisi kembali.“Itu suamiku. Itu suamiku.” Marsha berteriak kesenangan.Berita di televisi memang sedang menayangkan pernikahan megah pewaris satu-satunya keluarga Carrington. Mata Marsha kemudian membulat.“Apa suamiku menikah lagi dengan wanita itu? Hiks, hiks. Dia berselingkuh?” Marsha
Marc duduk tegak mendengar ucapan Sarah. Ia merasa wajahnya panas hingga menjalar ke telinga. Bodoh sekali rasanya.“Mmmm ... tentu aku tidak keberatan. Apa kamu juga ingin nama panggilan sayang dariku?” Setelah menetralkan debaran jantungnya, Marc bertanya pada Sarah.“Terserah kamu.”Akh. Marc teringat peringatan Larry pada kata ini. Hati-hati. Harus bisa menebak apa keinginan wanita yang mengucapkan kata terserah.Bagi pasangan lain, terutama yang sudah berpengalaman, mungkin tidak masalah. Tetapi, bagi Marc yang baru memulai hubungan romantis, ini suatu pelajaran berat.“Babe. Aku panggil kamu itu saja.” Marc mengangguk puas dengan pilihan katanya.Namun, Sarah menggeleng. “Sepertinya aku tidak pantas dipanggil Babe. Jangan itu, deh.”“Oh, gak suka, ya. Mmm ... sweety, bagaimana?”Sarah kembali menggeleng. “Kaya lebay banget panggilan itu.”“Honey?”“Kamu punya manager yang namanya Hani. Nanti malah dia yang nengok kalau kamu panggil aku dengan nama itu di kantor.” Sarah mencebik.
Sepertinya Lucy masih berharap bisa kembali pada Frank. Marc hanya tersenyum tipis.“Aku tidak tau jawaban atas pertanyaan Mama.”“Memang hanya Frank dan Tuhan yang tau.”Keduanya lalu terdiam. Akhirnya Marc bertanya tentang jadwal sang Mama.“Mama mau ke mana lagi, sekarang?” Marc bertanya.“Ada penyaluran dana di yayasan yatim piatu.”“Mama masih aktif di yayasan itu?”Kepala Lucy memgangguk. Cuma itu saru-satunya hiburan Lucy saat ini. Bermain dengan anak-anak di yayasan.“Mama juga jadi dekat dengan sukarelawan di yayasan dan kadang membantu pekerjaan di sana.”“Bagus kalau Mama punya kegiatan sosial sekarang.”Saat mereka berbincang, Sarah masuk ke ruang keluarga. Ia baru saja selesai bekerja online.“Mama.” Dengan santun, Sarah menyapa mertuanya.“Hai, Sarah.” Lucy bangkit dari kursinya dan mencium pipi Sarah.“Mama sudah makan?”“Sudah.”“Yaa ... aku mau makan. Mama ikut, ya.”Mendengar penawaran Sarah, tentu saja Lucy mengangguk penuh suka cita. Baru kali ini Sarah mengajaknya
Baru saja berpikir untuk reschedule meeting, Kyra meneleponnya.“Ya?” Marc membalas singkat.“Bos, pagi ini meeting penting. Seperti sudah saya laporkan manager operasional telah terlambat satu hari dari timeline kita.”Marc mengembuskan napas berat. Ia hanya membalas singkat lalu menutup teleponnya, kemudian masuk ke dalam mobil.Suasana hatinya bertambah tak baik saat perjalanannya terhalang kemacetan. Berkali-kali, Marc mendengus kasar membuat supirnya jadi merasa bertanggung jawab.“Apa saya boleh mengambil jalan lain yang lebih cepat, Tuan?” Supir menawarkan.“Silahkan.”Supir segera memutar balik arah. Jujur, Marc belum pernah melewati jalan yang kini dilalui. Tetapi saat ini ia hanya bisa percaya pada supir kepercayaannya.“Berapa lama lagi, Pak?” tanya Marc sambil mengamati jalanan sempit di depan mereka.“Paling lama tiga puluh menit, Tuan.”Melalui siaran radio, mereka akhirnya tau bahwa ada kecelakaan di ruas jalan utama. Kemacetan tidak terhindari apalagi banyak kendaraan
Dengan cepat, Marc menjelaskan bahwa meetingnya berlangsung cepat hingga ia bisa menyusul istrinya. Dari wajah Marc, Sarah sebenarnya dapat menyimpulkan bahwa rapat itu berjalan tidak lancar.“Apa kamu tadi tidak dikerubuti wartawan yang sedang hadir untuk acara donasi?” Sarah bertanya pada Marc.“Pintu yayasan hanya satu. Aku menunggu mereka fokus pada saat donasi diberikan dan langsung menyelinap masuk.”Lucy mengangguk mengerti. “Itu sebabnya kami menunggu di sini.”“Mama masih belum nyaman di antara wartawan, ya? Bukankah nama Mama ada sebagai donatur paling besar?”“Iya. Para wartawan itu masih saja mencari-cari celah untuk bertanya masalah pribadi. Mama jadi malas, jadi Mama minta teman saja yang mewakilkan pemberian donasi tersebut.”Sambil menunggu acara selesai, Sarah mengajak Marc berjalan-jalan. Mereka mengamati anak-anak di yayasan dan berbincang dengan pengurus yang merawat anak-anak.“Marc, bagaimana jika kita mengadopsi beberapa anak dari yayasan ini?” bisik Sarah.Spon
“Apa? Kalian mau adopsi Arzan?” Lucy membelalakkan matanya.“Memang kenapa, Ma?” Sarah tak menduga respon Lucy pada permintaannya.Lucy mengembuskan napas panjang sebelum menjawab. Setelah acara donasi yayasan selesai, Lucy ikut Marc dan Sarah pulang ke rumah putranya tersebut. Saat makan malam, Sarah mengungkapkan keinginan mereka untuk mengadopsi anak dari yayasan yang sering Lucy danai tersebut.“Kalian tidak tau asal-usul Arzan. Itu sangat riskan.”“Memangnya, bagaimana ceritanya Arzan bisa ada di yayasan tersebut, Ma?” Marc ikut penasaran.“Arzan diletakkan di depan pintu yayasan. Malam itu hujan deras, tetapi suara tangisnya mampu menyaingi suara hujan hingga penjaga yayasan menemukan anak tersebut.”“Yayasan tidak punya CCTV?”Kepala Lucy menggeleng menjawab pertanyaan putranya. Sembilan tahun yang lalu, yayasan itu belum berkembang seperti saat ini. Mereka belum merasa perlu memiliki CCTV.“Tidak ada tanda pengenal sama sekali?”“Tidak. Bahkan yang memberi nama Arzan pun teman
“Sepertinya bayi kalian perempuan.” Dokter berkata sambil mengamati layar monitor yang dihubungkan dengan alat USG.“Benarkah?” Lucy yang ikut dalam pemeriksaan kandungan Sarah terdengar senang. “Pasti akan cantik seperti Mamanya.”Sarah terkekeh dan mengucapkan terima kasih. Frank menepuk bahu Marc dan tersenyum bangga.Marc membalas senyum tersebut. Seperti selalu ia katakan bahwa dirinya tak masalah dengan jenis kelamin bayinya, namun melihat Sarah dan Lucy tampak senang membuatnya ikut merasa bahagia.Setelah pemeriksaan selesai. Lucy dan Frank keluar dari ruang pemeriksaan agar Marc dan Sarah dapat berkonsultasi dengan dokter. Keduanya duduk bersisian di ruang menunggu.“Tumben, Irma tidak ikut?” Lucy membuka pembicaraan.“Irma sedang sibuk pindahan toko kue.”Lucy mengangguk mengerti. “Aku juga dengar dari Sarah, renovasi toko kuenya telah selesai.”“Iya. Sekarang sedang proses memindahkan barang-barang ke toko.”“Aku senang semuanya berjalan lancar.”Kini, Frank yang mengangguk
Sarah dan Marc tersentak kaget mendengar penuturan Frank. Apalagi saat Frank berkata ia memiliki teman yang salah mengadopsi anak karena ternyata keturunan penjahat.“Memang anaknya jadi jahat juga? Bukannya kalau kita rawat dengan kasih sayang, anak itu akan memiliki hati yang baik?” Sarah memberikan pendapatnya.Menurut cerita, teman Frank tidak sadar anak angkat mereka memiliki kleptomania. Gangguan mental yang penderitanya sulit mengendalikan keinginan untuk memiliki suatu benda tanpa izin baru diketahui setelah guru sekolah mengamati prilaku si anak.Saat kamarnya diperiksa, terbukti banyak barang-barang milik sekolah yang ia ambil. Setelah diusut ternyata anak tersebut memiliki orang tua yang dihukum mati karrna kasus korupsi.“Saat diadopsi memangnya teman Papa tidak tau latar belakang anak tersebut?”Kepala Frank menggeleng. “Sama seperti Arzan, anak itu juga diletakkan di depan pintu sebuah rumah lalu penghuninya menyerahkan ke yayasan yatim piatu.”“Kasihan. Nasib anak itu s
Sesuai rencana, berita tentang Marc dan Vania menghilang. Tentu saja itu tidak lepas dari tim yang dibuat Adrian untuk menghapus semua postingan tersebut.“Sayang.” Marc menyapa istrinya yang sedang menyusui Vivi.“Ya?”“Jam berapa Arzan datang?”“Vania bilang, mereka sudah dalam perjalanan.”“Hmm ... aku ada rapat. Sengaja kubuat online. Tapi kalau Arzan datang dan aku belum selesai, minta ia ke ruang kerjaku saja, ya.”“Oke. Selamat rapat.”Marc mengangguk. Lalu, membungkuk sedikit untuk mencium pipi istri dan putrinya. Setelah itu, ia keluar dari ruang bayi.Setelah Marc keluar, seorang pelayan masuk membawa paket untuk Sarah.“Tolong dibuka,” pinta Sarah pada pelayan yang langsung mengangguk.Sarah tau isi paket itu adalah buku-buku Vania yang ia pesan secara online. Pelayan memberikan buku -buku yang masih berplastik itu pada Sarah lalu keluar.Vivi melepas puncak dada Mamanya karena tertarik dengan buku yang dipegang Sarah. Ia merebut buku tersebut lalu ikut membolak-balik halam
“Maafkan aku. Aku mengaku salah.” Khanza menunduk dalam-dalam.Adrian dan pengacara mendatangi kantor penerbit buku Vania. Mereka memberikan data bahwa Khanza membuat berita kebohongan agar publik tertarik pada cerita Vania dan membeli buku terbarunya.Direktur penerbitan menggeleng samar melihat data-data tersebut. Ia tidak menyangka Khanza berbuat seperti itu.“Aku melakukannya untuk Vania.” Khanza berkilah, membela diri.“Aku yakin Vania pun tak setuju kamu membantu dengan cara ini.” Adrian mengecam.“Vania sedang tidak fokus. Banyak pikiran. Jadi, aku pikir, aku perlu membantunya sedikit.”Direktur menggeleng. Ia juga tampak tidak setuju. Apalagi sampai ada pengacara yang menuntut mereka.“Masalahnya, Nona.” Pengacara menatap wajah Khanza dengan pandangan tajam. “Yang anda cemarkan adalah keluarga Carrington, terutama Tuan Marc.”“Lelaki yang selama ini terkenal dingin dan tidak bersosialisasi dengan media.” Adrian menambahkan.Direktur menengahi. Mereka akan membuat pengumuman pe
Pagi di bumi perkemahan cukup cerah setelah semalaman hujan. Pengelola bahkan tidak mengizinkan peserta kemping untuk melakukan trekking.“Terus kita ngapain, Om?” Arzan mengguncang-guncang tangan Irwan.“Masih ada pilihan untuk memancing. Kamu mau?”“Om bisa memancing?”“Bisa, dong.”“Mauuu.” Arzan menjerit senang.Vania menatap kebersamaan Irwan dan Arzan. Seandainya Bryan masih hidup, mungkin yang berdiri di depannya sekarang ada sosok Bryan dan Arzan. Vania menggeleng membuyarkan lamunannya.Telah lima tahun berlalu, tetapi rasanya masih sama. Kehilangan dan kedukaan itu masih sangat jelas di mata Vania.“Ibu, ayo ikut memancing,” ajak Arzan.Vania tau, Arzan pasti disuruh Irwan. Ia sebenarnya tidak tau apa-apa tentang memancing, tetapi demi menemani Arzan, Vania mengangguk.Perahu disiapkan pengelola perkemahan. Vania melihat Irwan berbincang dengan penjaga Arzan. Seperti setiap kegiatan Arzan, harus dilaporkan pada keluarga Carrington.Akhirnya mereka bertiga di atas perahu. Mer
Irwan menunggu. Vania mungkin sedang mengumpulkan kekuatan untuk memceritakan kisah kelamnya pada seseorang. Apalagi ia adalah orang baru yang pertama kali ditemui."Aku dan Bryan, ayah Arzan menikah tanpa restu. Kami lari dari keluarga karena memilih mempertahankan cinta."Vania mengembuskan napas kasar. Ia menyandarkan punggung pada dinding. Jari-jari tangannya saling bertautan."Di perkemahan seperti ini lah kami berbulan madu. Tiga bulan kemudian, aku hamil. Kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, beberapa bulan berikutnya, Bryan didiagnosis menderita kanker usus."Isakan Vania membuat Irwan memeluk erat Arzan. Ia tak ingin Arzan terbangun. Vania lalu sadar untuk segera menguasai diri.Sembari mengatur napas, Vania mengusap air matanya. Kini ia duduk sambil memeluk kaki-kakinya yang ditekuk.Dalam keadaan hamil, Vania merawat Bryan. Bryan cukup tegar dan berusaha menjalani pengobatan didampingi Vania.Pilihan itu datang saat Vania melahirkan. Kondisi Bryan bertambah lemah. Keuanga
Alrzan langsung bersembunyi di balik tubuh Vania. Wanita itu menyorotkan lampu senter pada lelaki yang berdiri di kegelapan. Arzan mengintip lalu bersorak.“Om Irwan.” Arzan langsung berlari menghampiri dan memeluk Irwan. “Lampu kabin kami mati, Om.”Irwan mengusap kepala Arzan. “Iya, kabin Om juga. Tadinya Om mau mencari bantuan tapi mendengar teriakan. Kebetulan sekali kita ada di sini, ya."“Aku bersama Ibu Vania. Cuma berdua.” Arzan menunjuk Vania yang terpaku di tempat melihat kedekatan putranya dengan lelaki yang dipanggil Om Irwan tersebut.Irwan mengangguk. Setelah berada pada jarak cukup dekat, Irwan menjulurkan tangan. Vania menyambutnya dan tersenyum penuh kelegaan.“Irwan. Aku putra Ibu Irma.”Sejenak setelah balas menyebut namanya, Vania mengamati Irwan. Rasanya ia pernah bertemu dengan lelaki ini. Tetapi, ia tidak ingat meskipun ia sering berada di kafe.“Kita memang belum pernah bertemu sebelum ini.” Irwan menjawab pengamatan Vania pada dirinya. “Oh, mungkin sekali. Saa
“Jadi Khanza, editor Vania yang menjadi otak gosip antara kamu dan Vania?” Sarah mengangkat alisnya. Tak menyangka bahwa ternyata orang terdekat Vania lah yang membuat kebohongan tersebut.“Iya. Itu dilakukan untuk mendongkrak penjualan buku Vania. Kamu ingat? Gosip itu beredar tak lama novel baru Vania terbit di pasaran.”Sarah mengangguk mengerti. “Vania tau?”“Itu sedang diselidiki Om Adrian.”“Perasaanku mengatakan Vania tidak ada sangkut pautnya dengan ini semua.”Pernyataan Sarah dikuatkan oleh dugaan bahwa Vania tidak mungkin mempertaruhkan nama baiknya. Jika ia memang terlibat dan keluarga Carrington tau, ia pasti tidak akan bertemu lagi dengan Arzan. Bahkan Sarah sendiri pun akan melarangnya.Marc mengangguk setuju. Ia berharap hari ini juga sudah mendapat kabar dari orang-orang Adrian yang bekerja untuk mengusut kasus pencemaran nama baik ini.“Jika Arzan sudah pulang, kemungkinan ia menemukan berita tersebut akan besar. Aku tidak ingin itu terjadi.”“Aku tau.” Sarah mencebi
Dua hari kemudian, Vania menjemput Arzan. Selama akhir minggu, ia akhirnya memperoleh izin membawa Arzan hanya berdua saja. Vania menjemput Arzan di rumah keluarga Carrington.Sarah menyambut Vania sambil menggandeng Arzan. Ia menyerahkan tangan Arzan pada Vania dan hanya berpesan untuk bersenang-senang.“Ingat pesan Mama ya, Sayang.” Sarah mengelus kepala Arzan sebelum putra angkatnya itu masuk ke dalam mobil.Arzan mengangguk lalu memeluk Sarah erat-erat. Ia juga mencium pipi Sarah dan berkata akan menurut pada pesan sang Mama. Vania memperhatikan inetraksi tersebut dengan rasa haru.Selalu saja ada rasa iri di hati Vania. Tapi, ia merasa itu hal yang wajar. Ia bertanya dalam hati kapan Arzan akan sehangat itu pada dirinya.Dalam perjalanan, Arzan lebih banyak mengamati jalanan. Sesekali ia menengok ke belakang. Sebuah mobil van mengikuti kendaraan Vania.“Ada mobil penjagamu, ya?” Vania tersenyum pada Arzan.Anak lelaki itu hanya mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan ibu kandu
"Mana? Aku mau lihat." Sarah mencondongkan tubuhnya ke arah ponsel Marc.Pasangan suami istri itu sama-sama memperhatikan layar kecil ponsel Marc. Dengan kesal, Marc menyerahkan ponselnya pada sang istri. Ia malas membaca lanjutan berita tersebut."Pasti sebentar lagi Papa atau Mama akan menelepon dan marah-marah padaku." Marc kemudian bersungut. "Tadi saat kamu bilang tidak bisa ikut, aku sudah memiliki perasaan tak enak.""Nanti kalau Mama atau Papa menelepon, biar aku saja yang bicara pada mereka." Sarah menenangkan suaminya.Namun kali ini Marc tidak dapat mentoleransi berita tersebut. Portal gosip itu mengatakan ia mengadakan pertemuan rahasia dengan Vania untuk membahas putra mereka."Kamu jangan mencegahku lagi. Aku akan meminta pengacara menuntut pasal pencemaran nama baik."Tidak ada balasan dari Sarah. Ia sedang sibuk mengamati berita tersebut."Memangnya kamu sempat ngobrol berduaan dengan Vania, ya?""Tadinya aku sudah cerita ia minta maaf atas beredarnya gosip dan mengaku
Vania merasa bertambah senang karena setelah beberapa kali bertemu, akhirnya Arzan mulai banyak terbuka padanya. Meski anak itu masih kaku jika bersentuhan, Vania tetap memberikan perhatian melalui kontak fisik seperti mengelus, mengusap, memeluk dan mencium putranya.“Ok, nanti jangan lupa tanyakan pada Mama dan Papa kapan kita bisa kemping berdua, ya.” Vania berkata dengan penuh harap pada Arzan.Arzan mengangguk. Pada pertemuan itu, Arzan juga menunjukkan hasil tulisannya. Dengan bersemangat, Vania membaca dan mengangguk-angguk.“Sepertinya kamu memang berbakat.”“Apa aku bisa menjual buku dan mendapatkan uang seperti Ibu?”Kekehan kecil terdengar dari hidung Vania. “Tentu saja bisa. Tetapi, masih banyak yang mesti kamu pelajari karena menulis bukan hanya tentang menceritakan apa yang ada di kepalamu.”Vania berpesan bahwa Arzan harus banyak belajar tentang teori kepenulisan. Menurutnya, cerita Arzan menarik namun dari segi alur masih perlu diperbaiki. Arzan tampak serius melihat b