“Dhea.” Lucy menyapa seorang wanita berkacamata.Wanita itu tersenyum dan langsung menghampiri. Mereka berjabatan dan mencium pipi masing-masing di depan Sarah.“Bagaimana kabar kasusmu?” Dhea terlihat bertanya dengan nada prihatin.“Minggu depan baru ada keputusan dari hakim. Tetapi, pengacaraku yakin hakim akan memutuskan tidak bersalah dan aku bisa bebas dari wajib lapor.”Penjelasan Lucy membuat Dhea tersenyum senang. Ia lalu melirik Sarah yang berdiri di samping Lucy.“Ini .... ?”“ Iya. Ini Sarah, menantuku. Istri Marc yang kuceritakan di telepon kemarin.”Sarah menjulurkan tangan lebih dulu dengan santun. Mereka berjabatan. Dhea tampak ramah di mata Sarah.“Jadi ini pengantin wanitanya? Kita tidak akan menemukan kesulitan banyak.” Dhea berujar sambil mengedipkan satu matanya pada Lucy.“Hehe seperti kubilang padamu. Cantik, kan?” Lucy mengusap punggung Sarah perlahan.Sarah cukup kaget mendengar percakapan kedua wanita senior tersebut. Sepertinya Lucy sudah cukup banyak membica
Marc mengeluarkan biaya besar untuk pesta pernikahannya. Bahkan Frank dan Lucy mendukung penuh.Semula, Sarah tidak tau menahu tentang biaya tersebut. Namun akhirnya total pengeluaran pesta itu tercetus dari bibir Larry.“Apa? Pesta itu seharga ratusan milyar?” Sarah membelalakkan matanya.“Sstt.” Larry meletakkan jari telunjuk di bibir. “Jangan keras-keras, nanti aku dimarahi Marc.”“Jadi, Marc bilang padamu agar merahasiakan biaya pesta ini dariku?”Larry menggeleng. Hanya saja sepertinya Marc tau istrinya tidak suka bermewah-mewah.“Wajar saja, Sarah. Ini akan menjadi pesta pernikahan satu-satunya karena Marc merupakan anak tunggal.”Sarah terdiam. Memang benar. Tetapi ia hanya berpikir, sayang sekali uang sebanyak itu untuk pesta sehari semalam.Saat ini Larry sedang memberikan kartu ucapan terima kasih yang harus ditandatangani Sarah. Kartu tersebut akan dikirim bersama suvenir khusus yang akan didapat para tamu undangan.Tak main-main, suvenir berupa mini tablet dari brand apel
Para tamu bergantian menghampiri Sarah dan Marc. Mereka mengucapkan selamat untuk pernikahan dan kehamilan Sarah.Sarah yang tadinya tegang mulai bisa menyesuaikan diri. Itu semua karena selama pesta Marc selalu menggenggam tangan Sarah dan menemani istrinya bersosialisasi.Banyak relasi Marc yang tertarik dengan pekerjaan Sarah. Namun dengan tegas Marc berkata istrinya tidak akan bekerja lagi setelah melahirkan. Sarah hanya tersenyum santun mendengar penuturan suaminya.“Kita makan sekarang.” Marc berbisik pada Sarah.Sampai di meja VIP, Marc mendorong kursi untuk istrinya. Saat duduk, Sarah baru merasakan kakinya pegal.“Kenapa?”“Pegal. Apa aku boleh melepas heels ini?”Tanpa banyak bicara, Marc menunduk dan melepas sepatu berhak tinggi yang digunakan Sarah. Ia juga memijat kaki Sarah.“Sudah. Terima kasih, Marc.”“Kamu angkat saja kakimu ke pahaku.”“Oh, tidak perlu.” Sarah menolak anjuran sang suami.Marc mengangguk lalu menawarkan berbagai makanan untuk istrinya. Sarah merasa ta
Sarah tidak langsung menyetujui. Ia menoleh menatap Marc meminta persetujuan. Marc tersenyum pada Sarah lalu mengangguk pada teman-teman Lucy.“Silahkan. Tersedia banyak spot foto yaang menarik. Boleh upload di media sosial.”Pernyataan Marc membuat Sarah sedikit bingung. Biasanya Marc tidak terlalu suka kehidupan pribadinya diumbar di media sosial.Namun begitu, Sarah tidak langsung bertanya. Ia meladeni permintaan teman-teman Lucy untuk berfoto. Marc hanya berfoto bersama satu kali selebihnya ia hanya memperhatikan Sarah dan teman-teman Lucy.“Sarah tampak bahagia.”“Aku juga.”Tanpa menoleh, Marc tau siapa yang bicara padanya. Larry berdiri di samping memperhatikan Sarah yang berpose bersama wanita-wanita senior.“Barusan aku dengar Om Adrian bicara pada Om Frank, mengabari bahwa Tante Lucy bebas dari tuduhan bersekutu dalam percobaan pembunuhan Sarah.”“Iya. Mama sudah mengabariku.”“Syukurlah.”“Boleh aku tau sesuatu?”“Tumben minta izin. Biasanya langsung bertanya.” Marc mencebi
Tinna memang ditempatkan di rumah sakit jiwa di mana Marsha di rawat. Tetapi, ia tidak diperbolehkan mendekat.Sehari-hari, Tinna bekerja membersihkan ruangan dan lorong-lorong rumah sakit dengan pengawasan ketat. Boro-boro kabur, menjenguk putrinya saja ia tidak bisa.Hingga suatu hari, melalui kaca jendela, Tinna melihat Marsha yang sedang duduk di ruang berkumpul sambil menonton televisi.Tinna menatap putrinya yang duduk sambil mengusap perut yang terlihat diganjal bantal. Matanya berair melihat keadaan Marsha.“Marc!” Tiba-tiba, Marsha menjerit histeris sambil menunjuk-nunjuk televisi.“Marsha, ada apa?” Seorang perawat datang menghampiri.Marsha mengguncang lengan perawat lalu menunjuk layar televisi kembali.“Itu suamiku. Itu suamiku.” Marsha berteriak kesenangan.Berita di televisi memang sedang menayangkan pernikahan megah pewaris satu-satunya keluarga Carrington. Mata Marsha kemudian membulat.“Apa suamiku menikah lagi dengan wanita itu? Hiks, hiks. Dia berselingkuh?” Marsha
Marc duduk tegak mendengar ucapan Sarah. Ia merasa wajahnya panas hingga menjalar ke telinga. Bodoh sekali rasanya.“Mmmm ... tentu aku tidak keberatan. Apa kamu juga ingin nama panggilan sayang dariku?” Setelah menetralkan debaran jantungnya, Marc bertanya pada Sarah.“Terserah kamu.”Akh. Marc teringat peringatan Larry pada kata ini. Hati-hati. Harus bisa menebak apa keinginan wanita yang mengucapkan kata terserah.Bagi pasangan lain, terutama yang sudah berpengalaman, mungkin tidak masalah. Tetapi, bagi Marc yang baru memulai hubungan romantis, ini suatu pelajaran berat.“Babe. Aku panggil kamu itu saja.” Marc mengangguk puas dengan pilihan katanya.Namun, Sarah menggeleng. “Sepertinya aku tidak pantas dipanggil Babe. Jangan itu, deh.”“Oh, gak suka, ya. Mmm ... sweety, bagaimana?”Sarah kembali menggeleng. “Kaya lebay banget panggilan itu.”“Honey?”“Kamu punya manager yang namanya Hani. Nanti malah dia yang nengok kalau kamu panggil aku dengan nama itu di kantor.” Sarah mencebik.
Sepertinya Lucy masih berharap bisa kembali pada Frank. Marc hanya tersenyum tipis.“Aku tidak tau jawaban atas pertanyaan Mama.”“Memang hanya Frank dan Tuhan yang tau.”Keduanya lalu terdiam. Akhirnya Marc bertanya tentang jadwal sang Mama.“Mama mau ke mana lagi, sekarang?” Marc bertanya.“Ada penyaluran dana di yayasan yatim piatu.”“Mama masih aktif di yayasan itu?”Kepala Lucy memgangguk. Cuma itu saru-satunya hiburan Lucy saat ini. Bermain dengan anak-anak di yayasan.“Mama juga jadi dekat dengan sukarelawan di yayasan dan kadang membantu pekerjaan di sana.”“Bagus kalau Mama punya kegiatan sosial sekarang.”Saat mereka berbincang, Sarah masuk ke ruang keluarga. Ia baru saja selesai bekerja online.“Mama.” Dengan santun, Sarah menyapa mertuanya.“Hai, Sarah.” Lucy bangkit dari kursinya dan mencium pipi Sarah.“Mama sudah makan?”“Sudah.”“Yaa ... aku mau makan. Mama ikut, ya.”Mendengar penawaran Sarah, tentu saja Lucy mengangguk penuh suka cita. Baru kali ini Sarah mengajaknya
Baru saja berpikir untuk reschedule meeting, Kyra meneleponnya.“Ya?” Marc membalas singkat.“Bos, pagi ini meeting penting. Seperti sudah saya laporkan manager operasional telah terlambat satu hari dari timeline kita.”Marc mengembuskan napas berat. Ia hanya membalas singkat lalu menutup teleponnya, kemudian masuk ke dalam mobil.Suasana hatinya bertambah tak baik saat perjalanannya terhalang kemacetan. Berkali-kali, Marc mendengus kasar membuat supirnya jadi merasa bertanggung jawab.“Apa saya boleh mengambil jalan lain yang lebih cepat, Tuan?” Supir menawarkan.“Silahkan.”Supir segera memutar balik arah. Jujur, Marc belum pernah melewati jalan yang kini dilalui. Tetapi saat ini ia hanya bisa percaya pada supir kepercayaannya.“Berapa lama lagi, Pak?” tanya Marc sambil mengamati jalanan sempit di depan mereka.“Paling lama tiga puluh menit, Tuan.”Melalui siaran radio, mereka akhirnya tau bahwa ada kecelakaan di ruas jalan utama. Kemacetan tidak terhindari apalagi banyak kendaraan
Tiga tahun berlalu dengan cepat. Keluarga Carrington sedang berlibur di sebuah perkemahan mewah. Mereka juga mengajak keluarga Ibu Irma.Irwan dan Vania telah menikah dan memiliki satu orang anak perempuan yang dinamai Nirvana."Kenapa Kak Arzan jagain Vana terus?" Vivi memberengut kesal saat ia minta Arzan menemaninya main tetapi anak lelaki itu sedang sibuk menjaga adiknya."Vana masih kecil, Vivi. Sini, kita main sama-sama." Arzan menepuk sisinya yang kosong. Namun, Vivi malah melengos dan memilih bergelayut manja di kaki Papanya."Aku panggil Irwan dulu biar ia menjaga Vana." Vania yang sedang memasak dapur merasa tak enak hati mendengar pembicaraan Arzan dan Vivi."Sudah, biarkan saja. Gak papa, kok." Sarah yang sedang hamil besar menenangkan Vania."Aku gak enak, Sarah. Sepertinya Vivi cemburu karena Arzan menjaga Vana terus.""Lihat itu." Sarah mengendik pada Vivi yang kini asyik bermain bersama Marc. "Dia kesal cuma sebentar, kok."Vania tersenyum simpul dan mengangguk. Apalagi
Ulang tahun pertama Vivi sangat meriah. Meski anak perempuan itu belum memiliki banyak teman, tetapi tamu-tamu undangan mulai dari balita hingga kakek nenek banyak yang hadir.Marc menyulap taman belakang menjadi taman bermain yang nyaman dengan tenda dan AC portable di mana-mana. Berbagai makanan sehat tersebar di penjuru taman.Sebagian tamu adalah teman-teman Arzan yang membawa adik-adik mereka. Vivi jadi memiliki teman sebaya."Sepertinya, prediksi Arzan tepat. Akhir-akhir ini mereka jadi dekat, bukan?" Sarah melirik pada Irwan dan Vania yang tampak asyik berbincang dengan ibu Irma.Tanpa melihat objek pembicaraan mereka, Marc mengangguk. Lelaki itu melingkari tangan di pinggang sang istri dan membawanya ke meja makan."Masih lapar?" Sarah mengamati suaminya yang mengambil makanan cukup banyak."Apa kamu tidak lihat? Aku tadi lari-larian mengikuti Vivi?" Marc memotong steak ayam lalu menyuapi dirinya. "Lagipula, steak ini lezat sekali."Bahkan Sarah akhirnya ikut makan karena Mrac
Sesuai rencana, berita tentang Marc dan Vania menghilang. Tentu saja itu tidak lepas dari tim yang dibuat Adrian untuk menghapus semua postingan tersebut.“Sayang.” Marc menyapa istrinya yang sedang menyusui Vivi.“Ya?”“Jam berapa Arzan datang?”“Vania bilang, mereka sudah dalam perjalanan.”“Hmm ... aku ada rapat. Sengaja kubuat online. Tapi kalau Arzan datang dan aku belum selesai, minta ia ke ruang kerjaku saja, ya.”“Oke. Selamat rapat.”Marc mengangguk. Lalu, membungkuk sedikit untuk mencium pipi istri dan putrinya. Setelah itu, ia keluar dari ruang bayi.Setelah Marc keluar, seorang pelayan masuk membawa paket untuk Sarah.“Tolong dibuka,” pinta Sarah pada pelayan yang langsung mengangguk.Sarah tau isi paket itu adalah buku-buku Vania yang ia pesan secara online. Pelayan memberikan buku -buku yang masih berplastik itu pada Sarah lalu keluar.Vivi melepas puncak dada Mamanya karena tertarik dengan buku yang dipegang Sarah. Ia merebut buku tersebut lalu ikut membolak-balik halam
“Maafkan aku. Aku mengaku salah.” Khanza menunduk dalam-dalam.Adrian dan pengacara mendatangi kantor penerbit buku Vania. Mereka memberikan data bahwa Khanza membuat berita kebohongan agar publik tertarik pada cerita Vania dan membeli buku terbarunya.Direktur penerbitan menggeleng samar melihat data-data tersebut. Ia tidak menyangka Khanza berbuat seperti itu.“Aku melakukannya untuk Vania.” Khanza berkilah, membela diri.“Aku yakin Vania pun tak setuju kamu membantu dengan cara ini.” Adrian mengecam.“Vania sedang tidak fokus. Banyak pikiran. Jadi, aku pikir, aku perlu membantunya sedikit.”Direktur menggeleng. Ia juga tampak tidak setuju. Apalagi sampai ada pengacara yang menuntut mereka.“Masalahnya, Nona.” Pengacara menatap wajah Khanza dengan pandangan tajam. “Yang anda cemarkan adalah keluarga Carrington, terutama Tuan Marc.”“Lelaki yang selama ini terkenal dingin dan tidak bersosialisasi dengan media.” Adrian menambahkan.Direktur menengahi. Mereka akan membuat pengumuman pe
Pagi di bumi perkemahan cukup cerah setelah semalaman hujan. Pengelola bahkan tidak mengizinkan peserta kemping untuk melakukan trekking.“Terus kita ngapain, Om?” Arzan mengguncang-guncang tangan Irwan.“Masih ada pilihan untuk memancing. Kamu mau?”“Om bisa memancing?”“Bisa, dong.”“Mauuu.” Arzan menjerit senang.Vania menatap kebersamaan Irwan dan Arzan. Seandainya Bryan masih hidup, mungkin yang berdiri di depannya sekarang ada sosok Bryan dan Arzan. Vania menggeleng membuyarkan lamunannya.Telah lima tahun berlalu, tetapi rasanya masih sama. Kehilangan dan kedukaan itu masih sangat jelas di mata Vania.“Ibu, ayo ikut memancing,” ajak Arzan.Vania tau, Arzan pasti disuruh Irwan. Ia sebenarnya tidak tau apa-apa tentang memancing, tetapi demi menemani Arzan, Vania mengangguk.Perahu disiapkan pengelola perkemahan. Vania melihat Irwan berbincang dengan penjaga Arzan. Seperti setiap kegiatan Arzan, harus dilaporkan pada keluarga Carrington.Akhirnya mereka bertiga di atas perahu. Mer
Irwan menunggu. Vania mungkin sedang mengumpulkan kekuatan untuk memceritakan kisah kelamnya pada seseorang. Apalagi ia adalah orang baru yang pertama kali ditemui."Aku dan Bryan, ayah Arzan menikah tanpa restu. Kami lari dari keluarga karena memilih mempertahankan cinta."Vania mengembuskan napas kasar. Ia menyandarkan punggung pada dinding. Jari-jari tangannya saling bertautan."Di perkemahan seperti ini lah kami berbulan madu. Tiga bulan kemudian, aku hamil. Kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, beberapa bulan berikutnya, Bryan didiagnosis menderita kanker usus."Isakan Vania membuat Irwan memeluk erat Arzan. Ia tak ingin Arzan terbangun. Vania lalu sadar untuk segera menguasai diri.Sembari mengatur napas, Vania mengusap air matanya. Kini ia duduk sambil memeluk kaki-kakinya yang ditekuk.Dalam keadaan hamil, Vania merawat Bryan. Bryan cukup tegar dan berusaha menjalani pengobatan didampingi Vania.Pilihan itu datang saat Vania melahirkan. Kondisi Bryan bertambah lemah. Keuanga
Alrzan langsung bersembunyi di balik tubuh Vania. Wanita itu menyorotkan lampu senter pada lelaki yang berdiri di kegelapan. Arzan mengintip lalu bersorak.“Om Irwan.” Arzan langsung berlari menghampiri dan memeluk Irwan. “Lampu kabin kami mati, Om.”Irwan mengusap kepala Arzan. “Iya, kabin Om juga. Tadinya Om mau mencari bantuan tapi mendengar teriakan. Kebetulan sekali kita ada di sini, ya."“Aku bersama Ibu Vania. Cuma berdua.” Arzan menunjuk Vania yang terpaku di tempat melihat kedekatan putranya dengan lelaki yang dipanggil Om Irwan tersebut.Irwan mengangguk. Setelah berada pada jarak cukup dekat, Irwan menjulurkan tangan. Vania menyambutnya dan tersenyum penuh kelegaan.“Irwan. Aku putra Ibu Irma.”Sejenak setelah balas menyebut namanya, Vania mengamati Irwan. Rasanya ia pernah bertemu dengan lelaki ini. Tetapi, ia tidak ingat meskipun ia sering berada di kafe.“Kita memang belum pernah bertemu sebelum ini.” Irwan menjawab pengamatan Vania pada dirinya. “Oh, mungkin sekali. Saa
“Jadi Khanza, editor Vania yang menjadi otak gosip antara kamu dan Vania?” Sarah mengangkat alisnya. Tak menyangka bahwa ternyata orang terdekat Vania lah yang membuat kebohongan tersebut.“Iya. Itu dilakukan untuk mendongkrak penjualan buku Vania. Kamu ingat? Gosip itu beredar tak lama novel baru Vania terbit di pasaran.”Sarah mengangguk mengerti. “Vania tau?”“Itu sedang diselidiki Om Adrian.”“Perasaanku mengatakan Vania tidak ada sangkut pautnya dengan ini semua.”Pernyataan Sarah dikuatkan oleh dugaan bahwa Vania tidak mungkin mempertaruhkan nama baiknya. Jika ia memang terlibat dan keluarga Carrington tau, ia pasti tidak akan bertemu lagi dengan Arzan. Bahkan Sarah sendiri pun akan melarangnya.Marc mengangguk setuju. Ia berharap hari ini juga sudah mendapat kabar dari orang-orang Adrian yang bekerja untuk mengusut kasus pencemaran nama baik ini.“Jika Arzan sudah pulang, kemungkinan ia menemukan berita tersebut akan besar. Aku tidak ingin itu terjadi.”“Aku tau.” Sarah mencebi
Dua hari kemudian, Vania menjemput Arzan. Selama akhir minggu, ia akhirnya memperoleh izin membawa Arzan hanya berdua saja. Vania menjemput Arzan di rumah keluarga Carrington.Sarah menyambut Vania sambil menggandeng Arzan. Ia menyerahkan tangan Arzan pada Vania dan hanya berpesan untuk bersenang-senang.“Ingat pesan Mama ya, Sayang.” Sarah mengelus kepala Arzan sebelum putra angkatnya itu masuk ke dalam mobil.Arzan mengangguk lalu memeluk Sarah erat-erat. Ia juga mencium pipi Sarah dan berkata akan menurut pada pesan sang Mama. Vania memperhatikan inetraksi tersebut dengan rasa haru.Selalu saja ada rasa iri di hati Vania. Tapi, ia merasa itu hal yang wajar. Ia bertanya dalam hati kapan Arzan akan sehangat itu pada dirinya.Dalam perjalanan, Arzan lebih banyak mengamati jalanan. Sesekali ia menengok ke belakang. Sebuah mobil van mengikuti kendaraan Vania.“Ada mobil penjagamu, ya?” Vania tersenyum pada Arzan.Anak lelaki itu hanya mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan ibu kandu