Marc menatap mata Sarah. Mata jernih itu balas menatapnya. Hanya saja ia menatap mata itu dengan penuh tanda tanya.“Aku juga mencintaimu.” Sarah berkata pelan namun sangat jelas terdengar di telinga Marc.Mereka berpandangan cukup lama. Hingga akhirnya Marc memiringkan wajah dan mencium bibir Sarah. Ciuman itu semakin liar apalagi saat Sarah membalasnya.Sarah melepaskan pagutan itu lebih dulu. Ia sadar sedang berada di tempat umum, meski sepertinya tidak ada yang perduli.“Ternyata benar, saat jatuh cinta, kita bisa merasakan kupu-kupu menari di perut.” Marc menempelkan keningnya di dahi Sarah.Sarah hanya terkekeh lalu menggapit lengan suaminya dan kembali berjalan. Baik Sarah maupun Marc berharap gairah yang timbul mereda. Sambil mendesah Marc melingkari lengannya di pinggang Sarah.Sepanjang perjalanan, Marc dan Sarah sering tersenyum. Pernyataan Sarah membuat keduanya merasa beruntung dapat menemukan cinta setelah menikah.“Sebenarnya, aku tidak percaya kamu baru pertama kali me
“Ibu Irma harus menurunkan keahliannya pada seseorang yang kalian bisa percaya.” Marc berkata pada Sarah saat istrinya itu bercerita tentang rencananya pindah lokasi usaha.“Iya. Ibu Irma sudah mengajari salah satu asisten dapur. Kebetulan anak itu memang lulusan sekolah tata boga.”Kepala Marc mengangguk. Sambil membaca laporan Adrian tentang beberapa gedung yang bisa dipakai Sarah untuk usahanya, lelaki itu tak hentinya mengelus punggung sang istri.Sarah bergerak tak teratur. Ia berkali-kali dengan resah berganti posisi duduk.“Ada apa?”“Emm .... “ Ragu-ragu, Sarah menjawab.Marc memberi perhatian. “Katakan ada apa? Jangan kamu pendam sendiri masalahmu.”“Umm ... ini.” Sarah menatap perutnya.“Perutmu kencang lagi? Sakit?”Sarah menggeleng saat Marc mengelus seluruh perutnya dengan wajah khawatir.“Lalu, kenapa?”“Jangan khawatir. Ini hanya .... “ Sarah berhenti sejenak karena tatapan mata Marc yang terlihat mulai tak sabar.“Ayolah, Sarah. Aku suamimu, wajib tau apa yang terjadi
“Sarah?”Marc mengamati sekeliling kamar mencari istrinya. Sarah juga tidak ada di ranjang. Marc membuka kamar mandi.“Sarah?” Marc kembali memanggil istrinya.Lelaki itu masuk dan mendapati Sarah sedang berendam di bathtub dengan mata terpejam. Ia menjulurkan tangannya ke air yang ternyata sudah tidak hangat lagi.“Sarah, bangun.” Marc menekan tombol untuk mengeringkan bathtub.Sarah membuka matanya. Ia menatap Marc sekilas lalu menundukkan pandangan.Marc membantu istrinya turun dari bathtub. Sarah membiarkan Marc mengeringkan tubuh dan menggunakan piyama.“Aku siapkan susu hangat. Sebentar.” Marc meninggalkan Sarah.Tak lama kemudian, Marc kembali dengan baki di tangan. Dahi Sarah berkerut. aMarc membawa sendiri baki tersebut tanpa menyuruh pelayan.“Minumlah.” Segelas susu hangat disodorkan Marc ke depan istrinya.“Terima kasih.” Sarah membalas singkat.Marc mengamati istrinya yang minum susu hingga habis. Ia lalu membantu Sarah mengeringkan rambut, sementara Sarah menggunakan ski
Frank datang hanya untuk mengecek keadaan Sarah. Saat melihat putra dan menantunya baik-baik saja, lelaki itu segera berpamitan untuk bekerja.Sarah dan Marc mengamati mobil Frank yang menjauh. Kemudian, mereka mendekati mobil yang akan mereka gunakan. Supir membukakan pintu untuk Marc dan Sarah.“Kenapa Papa bilang kita marahan?” Sarah bertanya pada Marc saat mereka dalam perjalanan.“Papa berpikir begitu. Semalam Papa ke sini dan memarahiku.”“Oh, maaf. Pasti karena aku mengadu. Soalnya saat aku menangis, Papa menelepon jadi aku tidak bisa bohong.”Marc mengusak kepala istrinya. “Memang tidak boleh bohong.”Sarah tidak menjawab. Keningnya berkerut dengan tubuh tegak menahan nyeri. Marc segera menekan bagian bawah perut Sarah.“Dia lapar.” Sarah berkata sambil mengatur napas.“Lapar? Kita baru saja sarapan.”“Mungkin sarapan tadi dia masih tidur.” Sarah terkekeh lalu membuka tampat makan yang disiapkan chef untuknya.Kotak itu berisi buah-buahan. Marc mengambil alih kotak tersebut la
Marc melirik ke arah jendela. Ia lalu berdiri dan menutup jendela dengan tirai gulung. Setelahnya ia mengetik pesan untuk Sarah.Terdengar embusan napas kasar saat kini Marc menggeser kursi dan duduk di samping Irwan. Lelaki itu memijat keningnya hingga bagian tersebut memerah.“Ceritakan padaku bagaimana perbincanganmu dengan Ibu Irma.”“Pedulimu hanya sebatas ingin tau bahwa ibuku akan tetap tinggal di kota ini dan membantu bisnis istrimu, bukan?” Irwan mendelik pada Marc.“Sudah kukarakan bahwa aku tidak tau tentang hal ini. Tetapi, jika memang ini menyangkut istriku, aku harus menyiapkan diri.”Mungkin karena selama ini tidak memiliki teman curhat, Irwan akhirnya berterus-terang. Mulai dari kehidupan mereka yang sederhana hingga akhirnya ia harus berpisah pada ibunya karena mendapat pekerjaan di kota yang berbeda.“Demi mendapat gaji yang cukup besar, aku memang meninggalkan ibuku sendiri di kota kecil itu. Tetapi, aku berjanji pada diri sendiri, suatu saat akan membelikan ibu seb
Sarah mengerti setelah mendengar penjelasan Marc. Selama ini, keluarga Carrington tidak pernah menyembunyikan status pernikahan Marc. Namun begitu, para relasi bisnis mempertanyakan mengapa pernikahan itu seperti disembunyikan dari publik.Selain itu, terkadang Marc perlu mengajak Sarah pada acara-acara bisnis. Marc mengaku tak enak hati jika Sarah menjadi bahan pembicaraan karena mereka menikah diam-diam.Selanjutnya, Marc juga meminta Sarah untuk memilih event organizer yang akan mengatur pesta pernikahan mereka. Sarah menggeleng tak mengerti.“Aku belum pernah membuat pesta dan berkordinasi dengan event organizer.”“Hmm ... bagaimana jika kita minta bantuan Mama saja?”Sarah tersenyum dan mengangguk. Lucy memiliki pertemanan yanng luas. Mertuanya itu juga paham dengan pesta dan segala keperluannya.“Ok. Nanti aku hubungi Mama.”Mobil Marc berhenti di depan lobi rumah sakit. Lelaki itu turun lebih dulu, lalu meraih tangan istrinya saat Sarah akan keluar.Keduanya langsung menuju rua
“Ini beberapa gambar yang dikirim Om Adrian untuk toko kuenya, Bu.” Sarah memperlihatkan layar ponselnya pada Ibu Irma.Ada beberapa gambar yang menarik. Terutama sekali gambar dengan dapur yang besar.Ibu Irma mengangguk lalu mengembalikan ponsel kepada Sarah. “Ibu terserah kamu saja, Sarah.”Sarah mengamati lagi layar ponsel. “Aku juga belum memutuskan yang mana, Bu. Marc ingin survey langsung dulu.”Tidak ada jawaban dari Ibu Irma. Sarah melirik wanita setengah baya yang tampak termenung itu. Sepertinya Ibu Irma pun tidak terlalu antusias dengan pembicaraan tentang toko kue baru mereka.“Bu?” Sarah menyentuh lengan Ibu Irma.“Eh, iya?” Sedikit kaget, Ibu Irma menyahut.“Lagi mikirin apa, sih? Aku perhatikan Ibu tidak mendengar aku bicara, lho.”Tetap tidak ada jawaban dari Ibu Irma selain embusan napas panjang. Kali ini, kening Ibu Irma berkerut dengan jari memainkan cincin ruby.“Bu, cerita dong sama Sarah.” Sarah memohon pada Ibu Irma.Sedikit senyum terukir di wajah Ibu Irma. Ke
Sial. Marc menggeram dalam hati. Padahal ia ingin segera pulang ke rumah dan bermesraan dengan istrinya.Sarah tersenyum tipis pada Marc lalu mengangguk pelan. Wanita hamil itu menarik pelan tangan suaminya yang tampak berat melangkah untuk duduk di sofa.Saat mereka duduk, ibu Irma permisi ke dapur untuk membuat minuman. Marc kembali mendesah dalam hati dan bergumam bahwa perbincangan ini mungkin akan menjadi sangat lama dengan adanya bermacam suguhan.“Tadinya kami mau pergi agar kamu dan Ibu Irma bisa bebas berbicara.” Marc berkata pada Irwan.“Wah, aku yang jadi tidak enak. Apartemen ini adalah milik Sarah, masa kalian yang keluar.” Irwan menggeleng dan tersenyum berbarengan.Ibu Irma datang dengan baki di tangan. Sarah membantu meletakkan cangkir teh dan kue wortel ke atas meja.“Aku perkirakan kalian sudah mendapat kata sepakat,” tebak Marc sambil memandang Ibu Irma dan Irwan bergantian.Irwan mengangguk lalu menoleh menatap Ibunya.“Syukurlah, setelah aku bicara dengan Marc dan
Alrzan langsung bersembunyi di balik tubuh Vania. Wanita itu menyorotkan lampu senter pada lelaki yang berdiri di kegelapan. Arzan mengintip lalu bersorak.“Om Irwan.” Arzan langsung berlari menghampiri dan memeluk Irwan. “Lampu kabin kami mati, Om.”Irwan mengusap kepala Arzan. “Iya, kabin Om juga. Tadinya Om mau mencari bantuan tapi mendengar teriakan. Kebetulan sekali kita ada di sini, ya."“Aku bersama Ibu Vania. Cuma berdua.” Arzan menunjuk Vania yang terpaku di tempat melihat kedekatan putranya dengan lelaki yang dipanggil Om Irwan tersebut.Irwan mengangguk. Setelah berada pada jarak cukup dekat, Irwan menjulurkan tangan. Vania menyambutnya dan tersenyum penuh kelegaan.“Irwan. Aku putra Ibu Irma.”Sejenak setelah balas menyebut namanya, Vania mengamati Irwan. Rasanya ia pernah bertemu dengan lelaki ini. Tetapi, ia tidak ingat meskipun ia sering berada di kafe.“Kita memang belum pernah bertemu sebelum ini.” Irwan menjawab pengamatan Vania pada dirinya. “Oh, mungkin sekali. Saa
“Jadi Khanza, editor Vania yang menjadi otak gosip antara kamu dan Vania?” Sarah mengangkat alisnya. Tak menyangka bahwa ternyata orang terdekat Vania lah yang membuat kebohongan tersebut.“Iya. Itu dilakukan untuk mendongkrak penjualan buku Vania. Kamu ingat? Gosip itu beredar tak lama novel baru Vania terbit di pasaran.”Sarah mengangguk mengerti. “Vania tau?”“Itu sedang diselidiki Om Adrian.”“Perasaanku mengatakan Vania tidak ada sangkut pautnya dengan ini semua.”Pernyataan Sarah dikuatkan oleh dugaan bahwa Vania tidak mungkin mempertaruhkan nama baiknya. Jika ia memang terlibat dan keluarga Carrington tau, ia pasti tidak akan bertemu lagi dengan Arzan. Bahkan Sarah sendiri pun akan melarangnya.Marc mengangguk setuju. Ia berharap hari ini juga sudah mendapat kabar dari orang-orang Adrian yang bekerja untuk mengusut kasus pencemaran nama baik ini.“Jika Arzan sudah pulang, kemungkinan ia menemukan berita tersebut akan besar. Aku tidak ingin itu terjadi.”“Aku tau.” Sarah mencebi
Dua hari kemudian, Vania menjemput Arzan. Selama akhir minggu, ia akhirnya memperoleh izin membawa Arzan hanya berdua saja. Vania menjemput Arzan di rumah keluarga Carrington.Sarah menyambut Vania sambil menggandeng Arzan. Ia menyerahkan tangan Arzan pada Vania dan hanya berpesan untuk bersenang-senang.“Ingat pesan Mama ya, Sayang.” Sarah mengelus kepala Arzan sebelum putra angkatnya itu masuk ke dalam mobil.Arzan mengangguk lalu memeluk Sarah erat-erat. Ia juga mencium pipi Sarah dan berkata akan menurut pada pesan sang Mama. Vania memperhatikan inetraksi tersebut dengan rasa haru.Selalu saja ada rasa iri di hati Vania. Tapi, ia merasa itu hal yang wajar. Ia bertanya dalam hati kapan Arzan akan sehangat itu pada dirinya.Dalam perjalanan, Arzan lebih banyak mengamati jalanan. Sesekali ia menengok ke belakang. Sebuah mobil van mengikuti kendaraan Vania.“Ada mobil penjagamu, ya?” Vania tersenyum pada Arzan.Anak lelaki itu hanya mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan ibu kandu
"Mana? Aku mau lihat." Sarah mencondongkan tubuhnya ke arah ponsel Marc.Pasangan suami istri itu sama-sama memperhatikan layar kecil ponsel Marc. Dengan kesal, Marc menyerahkan ponselnya pada sang istri. Ia malas membaca lanjutan berita tersebut."Pasti sebentar lagi Papa atau Mama akan menelepon dan marah-marah padaku." Marc kemudian bersungut. "Tadi saat kamu bilang tidak bisa ikut, aku sudah memiliki perasaan tak enak.""Nanti kalau Mama atau Papa menelepon, biar aku saja yang bicara pada mereka." Sarah menenangkan suaminya.Namun kali ini Marc tidak dapat mentoleransi berita tersebut. Portal gosip itu mengatakan ia mengadakan pertemuan rahasia dengan Vania untuk membahas putra mereka."Kamu jangan mencegahku lagi. Aku akan meminta pengacara menuntut pasal pencemaran nama baik."Tidak ada balasan dari Sarah. Ia sedang sibuk mengamati berita tersebut."Memangnya kamu sempat ngobrol berduaan dengan Vania, ya?""Tadinya aku sudah cerita ia minta maaf atas beredarnya gosip dan mengaku
Vania merasa bertambah senang karena setelah beberapa kali bertemu, akhirnya Arzan mulai banyak terbuka padanya. Meski anak itu masih kaku jika bersentuhan, Vania tetap memberikan perhatian melalui kontak fisik seperti mengelus, mengusap, memeluk dan mencium putranya.“Ok, nanti jangan lupa tanyakan pada Mama dan Papa kapan kita bisa kemping berdua, ya.” Vania berkata dengan penuh harap pada Arzan.Arzan mengangguk. Pada pertemuan itu, Arzan juga menunjukkan hasil tulisannya. Dengan bersemangat, Vania membaca dan mengangguk-angguk.“Sepertinya kamu memang berbakat.”“Apa aku bisa menjual buku dan mendapatkan uang seperti Ibu?”Kekehan kecil terdengar dari hidung Vania. “Tentu saja bisa. Tetapi, masih banyak yang mesti kamu pelajari karena menulis bukan hanya tentang menceritakan apa yang ada di kepalamu.”Vania berpesan bahwa Arzan harus banyak belajar tentang teori kepenulisan. Menurutnya, cerita Arzan menarik namun dari segi alur masih perlu diperbaiki. Arzan tampak serius melihat b
“Semua gagal.” Irwan berkata datar saat Marc bertanya tentang kencannya.Pagi ini, kantor Irwan kedatangan Marc. Lelaki itu mendapat laporan bahwa Irwan telah beberapa kali melakukan kencan buta dengan bantuan aplikasi jodoh.“Memang berapa kali sih kamu berkencan?”“Tiga kali.”“Artinya aplikasi itu tidak bagus. Mungkin kamu bisa coba cara konvesional saja.”“Maksudmu, amati sekeliling, jika ada yang menarik langsung ajak kencan?”“Iya seperti itu.”Dengan cepat, kepala Irwan menggeleng. Menurutnya kehidupannya sekarang hanya kantor dan rumah. Sementara ia tidak ingin berkencan dengan teman atau pegawai kantor.Marc menawarkan bantuan. Ia berkata Larry mungkin memiliki teman wanita yang juga sedang mencari jodoh. Mereka sama-sama tau, Larry memiliki pergaulan yang luas.Pasrah, Irwan mengangguk. Mereka melanjutkan membahas pekerjaan. Hingga akhirnya diskusi itu selesai.“Sepertinya hari ini kamu dan timmu harus lembut.” Marc berkata seraya bersiap akn pergi.“Iya. Aku juga berpikiran
“Jadi, kamu tidak berfoto sama Vania?” Sarah mengulangi pernyataan Marc yang menyangkal ia berada satu frane bersama Arzan dan Vania.“Tidak.” Marc menggeleng tegas. “Aku lebih dulu yang berfoto berdua dengan Arzan. Setelah itu Vania dan Arzan.”Tetapi, Marc berkata saat itu memang banyak kamera yang mengarah pada mereka. Marc tidak menaruh curiga karena mereka sedang berada di sekolah.“Jadi, kamu jangan berprasangka buruk padaku.”“Siapa yang berprasangka buruk?”“Aku takut kamu cemburu.”Sarah mencebik. “Tidak. Lagipula kalau kamu mau sama Vania, ya silahkan saja.”Marc terperanjat mendengar pernyataan istrinya. “Kok gitu?”“Yaa ... kamu suka nggak sama Vania?”“Enggak lah. Pertanyaanmu aneh sekali, Sayang.”“Ya, sudah. Kalau begitu, aku tidak curiga, cemburu, kesal atau marah padamu.”Marc mengembuskan napas lega. Meski ia jadi merasa aneh karena Sarah seperti cuek saja. Rasanya ia lebih suka Sarah cemburu.Bukankah cemburu tanda cinta? Tanda bahwa seorang istri tidak ingin suamin
Berita peluncuran buku Vania diiringi pemberitaan yang cukup menghebohkan. Beredar gosip bahwa Marc adalah ayah kandung dari anak Vania. Berita mengguncang itu dilengkapi foto Arzan saat kemping di mana anak itu berdiri di antara Marc dan Vania.Mereka tampak seperti keluarga kecil yang bahagia.“Kenapa kamu tidak ikut berfoto, Sarah?” Frank terlihat protes pada menantunya.“Saat akan foto, Vivi rewel, Pa. Jadi aku membawa Vivi ke suster dulu.” Sarah mengembuskan napas berat mendapat berita tersebut. Ia juga tidak tau ternyata Marc berfoto bertiga dengan Arzan dan Vania.“Mama akan marahi suster. Sudah tau Vivi sakit, kenapa ia tidak siaga di dekatmu.” Lucy dengan kesal juga ikut protes.“Aku yang suruh suster menunggu di luar, Ma. Itu kan area khusus pengantar anak-anak yang kemping.”“Lalu, kenapa Vania ikut-ikutan?” Lucy masih tidak terima.Sarah mengaku bahwa ia mengizinkan Vania ikut. Bahkan ia sendiri yang meminta izin pada sekolah agar ibu kandung Arzan itu bisa mengikuti upaca
“Wah sepertinya acara peluncuran buku Vania cukup besar, ya. Itu ada bannernya di depan mall.” Ibu Irma menunjuk promosi yang ia maksud.“Semua event di mall pasti akan diletakkan di depan, Bu. Agar banyak orang yang tertarik.” Irwan menanggapi.Siang ini, Irwan mengantar Ibu Irma ke mall. Vania mengundangnya dalam peluncuran novel terbaru di toko buku terbesar di kota mereka yang berada di lantai dasar mall tersebut.Setelah memarkir kendaraannya, Irwan berjalan di sisi sang Ibu. Tangan Irma memegang undangan dari Vania serta membaca lokasi acara. Seorang sekuriti menunjuk bagian tengah mall yang terlihat ramai.“Kamu yakin tidak mau ikut?” Irma bertanya pada putranya.“Aku kan bukan penggemar novel, Bu. Males, ah.”“Sayang, lho. Undangan ini harusnya untuk dua orang. Sarah juga diundang, tetapi kebetulan Vivi sedang sakit jadi Sarah batal datang.”“Vivi sakit? Sakit apa?”“Badannya anget karena mau tumbuh gigi. Kata Sarah, Vivi jadi rewel banget.”“Oh, kasihan.”Ibu Irma lalu masuk