Rendi mengantar Mouza sampai ke depan pintu rumah, adik Mouza yang bernama Mona menatap heran kakaknya.
"Tumben ada cowok nganterin kakakku, ganteng pulak itu, agrrhh! paling tukang bengkel, mana ada cowok mau sama perempuan cerewet kelas kakap itu" Gumam Mona. Dia tetap berdiri mengawasi mereka di balik kaca jendela.
"Besok masuk pagi, kan? Minta nomor hapemu biar bisa kau ku telpon" titah Rendi.
"Nggak usah, besok aku berangkat sendiri" kata Mouza ketus.
"Naik apa kau paok, keretamu aja tinggal di galon"ejek Rendi sambil menonyor jidat Mouza.
"Bagus-bagus kau, kepala ini," pungkas Mouza kesal sambil mengurut jidatnya yang lebar itu.
"Pokoknya nggak mau aku titik! gak pake koma," tandas Mouza berlalu meninggalkan Rendi. Rendi menaikkan bahunya tanda tak peduli, yang terpenting baginya dia sudah tau alamat gadis cantik pekerja pom bensin itu.
Rendi tak perduli lagi teman nongkrongnya. Saat ini kembali kerumah lalu berkhayal, mengingat senyum manis Mouza adalah yang paling penting untuk hidupnya.
Di rumah Mouza, adiknya Mona si super kepo mencecar kakaknya dengan segudang pertanyaan. Siapa lelaki yang mengantarnya, kemana sepeda motornya dan kenapa bisa diantar lelaki tampan. Mouza tak menggubris satu pun pertanyaan adiknya. Dia memilih membersihkan diri lalu istirahat. Rasanya energi Mouza habis terkuras menghadapi laki-laki semena-mena dan keras kepala seperti Rendi. Meskipun Mona tetap menguntitnya, dia tidak terganggu, bahkan dia bisa langsung tidur pulas sesaat bertemu dengan bantal.
"Dasar kebo," umpat Mona kesal.
Pagi ini, sama seperti pagi sebelumnya, Mouza masih berada di shift pagi. Dia sengaja mempercepat jam alarmnya. Berhubung sepeda motor yang biasa menemani hari-harinya sedang menginap di Pom. Dia harus bangun lebih awal, karena menunggu angkot itu terkadang nasib-nasiban, kadang cepat kadang lama. Jam 5 pagi dia sudah berjalan kaki menyusuri gang rumahnya menuju jalan raya untuk menunggu angkot. Betapa terkejutnya dia saat melihat Rendi sudah menunggunya di depan gang.
"Pagi, nona cantik!" Sapa Rendi begitu melihat Mouza.
"Kau tidur disini?" tanya Mouza heran.
Rendi hanya membalas pertanyaan Mouza dengan senyum.
"Ayok, telat kau nanti, awas di gigit Si Tarigan kau nanti." Rendi menakut-nakuti Mouza dengan menirukan macan yang ingin mencabik mangsanya. Mouza menolak tegas, dia memilih naik angkot saja di banding naik motor Rendi yang suaranya bisa merusak gendang telinga.
"Kalau kau nggak naik, berarti hukumanmu nambah sebulan lagi, setiap kau menolak maka satu kali penolakan nambah satu bulan," kata Rendi mengancam. Tentu Mouza tak mau, sebulan saja rasanya lama apalagi nambah sebulan, bisa-bisa ikutan gila Si Mouza.
"Kok suka-suka kau aja buat aturan" ucap Mouza kesal.
"Lupa yah, kan korban dari kelalaianmu 'kan aku! jadi memang sudah kewajibmu menebus salahmu dengan caraku" terang Rendi santai.
Mouza menghentakkan kakinya kesal, bagaimana mungkin dia membuat aturan semaunya saja. Rendi tersenyum tidak acuh sambil menepuk belakang motornya mengisyaratkan Mouza untuk naik.Tidak butuh waktu lama untuk sampai di perusahaan bahan bakar kendaraan itu, suara sepeda motor Rendi dengan suara berisik membuat Pak Tarigan, Rizal dan Rini yang sudah sampai sejak tadi tersentak. Mereka menoleh ke sumber suara, benar saja, Rendi, dan yah, dia mengantar Mouza sesuai hukuman yang mereka tau. Menurut mereka itu bukan hukuman tapi keberuntungan.
Teman-teman satu timnya takjub melihat Mouza yang datang dalam keadaan baik-baik saja. Bagaimana bisa seorang Rendi, mempekerjakan dirinya jadi ojek gratis untuk seorang Mouza, gadis biasa, yang hanya bekerja sebagai operator di pom bensin. Sebagaimana rumor yang beredar, wanita manapun siap menemani hari Rendi, dengan embel-embel anak tunggal, calon pewaris harta kekayaan seorang juragan kaya di kampung ini.
Mereka berlari menghambur kepada Mouza. Mereka membolak-balikkan tubuh Mouza, memastikan tidak ada lecet atau sesuatu yang terluka di tubuh Mouza.
"Kau gak papa 'kan, za?" tanya Rini dengan antusias. Sedang Pak Tarigan dan Rizal mendengarkan dengan serius. Mouza terkikik geli melihat kelakuan temannya.
"Apanya kau, mau kau aku kek mana?" tanya Mouza sambil berjalan ke loker penyimpanan barang. Mereka, Rini, Rizal dan Pak Tarigan mengekor dari belakang."Kau nggak diapakannya 'kan? maksudku ... Kau.. nggak di ituinya?" tanya Rini ragu sambil memainkan jari telunjuknya,
"Ish! apanya kalian, nggaklah," tandas Mouza.
"Bukan, kek gitu, Za! masalahnya memang Si Rendi itu 'kan berandalan, kami cuma khawatir aja," jelas Rini. Rizal dan Pak Tarigan mengangguk setuju.
Mouza membingkai wajah teman perempuannya itu. "Aku nggak apa-apa, terima kasih kalian udah ngehawatirin aku" jawab Mouza tersenyum manis."Betul kau?" tanya Rini lagi memastikan, Mouza mengangguk semangat.
"Oih! syukurlah kalo gitu, udah mau mati kami semalam mikiri kau, iya 'kan Zal?"kata Pak Tarigan yang diangguki Rizal membenarkan.
Mouza hanya tersenyum, hatinya menghangat. Ternyata teman-temannya begitu peduli dengannya. "Tenang saja, semoga semua baik-baik aja" ucap Mouza yang diaminkan serempak oleh ketiga rekannya itu.Pekerjaan hari ini berjalan normal. Panas, lelah sudah biasa. Menurut Mouza apapun pekerjaannya, selama disyukuri dan dinikmati akan terasa nikmat saat gajian.(hahaha, Mak Author geleng kepala memikirkan prinsip Mouza)
Pom bensin ini tempat kerja paling dekat dengan rumahnya di banding harus kerja ke kota Medan yang belum tentu menjanjikan. Lagian dia sudah merasa nyaman dengan tim kerjanya.Gadis periang yang sebenarnya sedikit sengklek itu melirik jam yang melingkar di tangannya, waktu pergantian shift tinggal satu jam lagi. Dia melirik tempat Rendi kemarin menunggunya.
"Hufft! kosong, syukurlah," ucap Mouza dalam hati. Mouza berharap kali ini Rendi tidak datang.Hingga jam pulang, Mouza tetap tidak melihat batang hidung Rendi.Saat membereskan barang dan ingin pulang, ponsel Mouza berdering. Nomor tanpa nama memanggil. " Siapa pulak lagi ini?" gumam Mouza. Saat diangkat langsung di putuskan sepihak oleh penelepon.
"ish, banyak kali orang gila nelpon nomorku ini" kata Mouza mendumel sendiri.Dari kejauhan ada Rendi menatap Mouza bingung, bagaimana bisa feelingnya benar, Mouza dan perempuan yang hendak ditipunya malam itu adalah orang yang sama. Rendi jadi panik sendiri. Bagaimana kalau Mouza tau, bisa didepak dia sebelum berhasil merebut hati Mouza.
Rendi menggeleng keras. "Nggak, mana ada yang tau selain aku," kata rendi meyakinkan diri sendiri.Mouza sudah mengeluarkan sepeda motornya, saat Rendi tiba-tiba datang menghampirinya.
"Mau kemana kau? Mau coba kabur kau kan?" cecar Rendi. Mouza yang kaget menatap Rendi dengan malas. "Kukira nggak datang, udah nongol aja tiba-tiba macam hantu" lirihnya pelan namun masih jelas terdengar oleh Rendi."Ayok!" ajak Rendi yang sudah standby di atas motor Mouza.
"Loh, mana kereta kau? Kok naik keretaku, rugi bensin kau 'kan? udah kubilang, udahlah buat apa kau capek antar jemput aku" kata Mouza mengejek.
"Udah kuletak di warung samping gang rumahmu, biar bisa kita bawa kereta kau pulang, kasian kali dia ngangkrak disini, udah jelek, di pampang pulak disini pulaklah berhari-hari, dikira tukang botot nanti barang botot ini" kelakar Rendi yang dibalas cubitan pedas dari Mouza.
"Aduh! aduh! aduh! macam mama tiri cubitannya" ejek Rendi.
"Kepala otak kau itu, kau tau yah! biar jelek kek gini, hasil keringat sendiri ini," ucap Mouza sambil menepuk dadanya bangga.
Tapi menurut Rendi kata-kata itu lebih pedas dari cubitan Mouza tadi. Hatinya tertampar, tertendang, terjungkal, tercabik-cabik.Rendi seorang lelaki yang tidak kurang satu apapun, bahkan mengantongi ijasah sarjana ekonomi. Hanya untuk jajan di warung saja harus menengah menodong orang tuanya. Ada segumpal daging yang merasa tercubit di dalam sana. Mouza gadis mungil bertubuh ramping itu dengan perkasa menjadi tulang punggung untuk adik dan ibunya. Sementara dia? otak Rendi sibuk membandingkan ketidak bergunaannya dengan kemampuan Mouza.
"Kok bengong kau, kesurupan kau? tadi ketawa sekarang diam" ucap Mouza yang membuat Rendi terkejut.
"Ayoklah cepat, banyak kali bacotmu" pungkas Rendi.
"Paok anak ini, dia yang bengong, dia pulak yang ngegas," kata Mouza kesal.
Rendi hanya diam, dia membawa sepeda motor dengan kecepatan sedang. Pikirannya berputar-putar tentang ucapan Mouza. Entah sihir apa yang ada dalam diri Mouza, setiap perkataan Mouza seperti menghipnotis pikiran Rendi. Bahkan Rendi tidak pernah merasa menyusahkan kedua orang tuanya sebelum kata-kata Mouza barusan.
'Hasil keringat sendiri'
Hantaman kata-kata itu kembali membuat Rendi semakin tidak tertarik dengan kehidupan kelamnya. Dia mengantar Mouza hanya sampai depan gang, menyerahkan sepeda motor Mouza dan pergi pulang.
Tak semangat rasanya menggunakan uang kantong yang di beri orang tuanya.Mouza memperhatikan sikap Rendi yang aneh, dia merasa tidak mengucapkan kata-kata yang salah.
"Kurasa kejedot pintu kepala anak itu tadi" gumam Mouza sendiri. Mouza melajukan sepeda motornya menuju Rumah. Dia ingin segera sampai di rumah dan menonton dvd korea yang belum sempat dia putar karena sibuk bekerja.Matanya tertuju pada televisi tapi hati dan pikirannya mengarah ke Rendi. Otaknya sibuk menebak-nebak apa yang salah dengan Rendi.
Rendi mulai uring-uringan dengan dirinya sendiri. Dia merasa benar-benar bukan manusia berguna selama ini. Tak salah ucapan Mouza saat di telepon dulu, dia tak lebih baik dari seekor monyet. Dia malu mengakui dirinya sebagai laki-laki sekarang. Mouza yang wanita saja bekerja memenuhi keinginan dan kebutuhan keluarganya. Dia sejak lahir hingga berusia 24 tahun tetap bersandar pada penghasilan orang tua.Tiba-tiba timbul keinginan Rendi untuk bekerja. Meskipun dia tidak tau harus memulai dari mana. Dia membongkar lemari tempat menyimpan buku dan beberapa berkas penting dan mencari kertas yang berisi hasil nilai akhir saat dia kuliah dulu.Sejak lulus kuliah hingga dua tahun sejak itu, Rendi tak sekalipun melihat ijazah itu, dia tidak pernah tau dan tidak pernah ingin tau apa saja yang tertulis disana. Baginya lulus kuliah sesuai kemauan orang tuanya sudah cukup itupun hasil sogokan dan mengancam teman membuatkannya skiripsi.Kertas yang dicari pun keli
Setelah hitung-hitungan berakhir dengan kasir, Mouza dan Rini berjalan ke belakang kantor. Disana ada teras menyerupai balkon yang menghadap ke pemukiman penduduk. Lokasi Pom bensin itu lebih tinggi dari pemukiman di sekitarnya. Ada beberapa kolam ikan dan pohon, serta gunung-gunung tinggi yang terlihat jelas dari sana, pemandangan itu mampu menghibur hati saat lelah seharian bekerja.Mouza duduk menghadap ke arah bantaran rumah yang berjejer tak beraturan. Matanya memandang sayu. Sebenarnya dia tak mengerti kenapa dia harus merasa seperti ini. Toh selama ini dia hanya menjalani hukuman. Dia tak menyangka hatinya nyaman bersama Rendi."Za, kenapa kau?" tanya Rini membuka obrolan.Mouza menarik nafas dan menghembuskan kasar, berharap perasaan aneh yang menggerogoti hatinya sedikit berkurang."Za, kenapa kau?" Rini mengulang pertanyaannya saat Mouza tak kunjung menjawab."Pening aku, Rin" lirih Mouza sendu."Cerita
Mouza tetap menangis, dia tidak sadar melewati rumah Pamannya. Kebetulan Paman Mouza sedang bersantai di teras dan melihat Mouza melintas sambil menangis."kenapa Mouza" batin Paman Mouza. Dia memperhatikan seksama. Ada pemuda yang dikenalnya dengan kenakalannya sedang mengikuti keponakannya.Tanpa babibu, Paman Mouza berlari ke arah Rendi dan langsung mendaratkan bogem mentah ke wajah Rendi.Rendi yang tidak siap saat di serang terjungkal ke aspal. Ada darah segar menetes dari sudut bibir Rendi."kimak!" umpat Rendi marah.Mouza terkejut bukan main. Dia sempat terdiam tidak tau mau berbuat apa. Lidahnya kelu saat melihat Rendi adu jotos dengan Pamannya."Rendi! sudah!" Mouza berteriak menghentikan Rendi, tapi kepalang emosi karena diserang duluan. Rendi tetap melawan pukulan Paman Mouza, hingga memancing perhatian warga. Warga berdatangan, kini Rendi bak buruan yang siap di tangkap massa.Mouza mak
Mouza menekuk wajahnya semakin dalam. Persis seperti wajah yang sedang ditagih hutang pas bulan tua. Mungkin memilih diam adalah pilihan terbaik kali ini. Jika orang tua Rendi kelak harus tau, maka Mouza telah siap menanggung konsekuensinya.Bu Fatma yang sebenarnya penasaran dengan siapa gadis di sampingnya dan apa hubungannya dengan Rendi? Kenapa dia begitu mengkhawatirkan Rendi? Bu Fatma ingin menyerbu gadis itu dengan berbagai pertanyaan lainnya, namun ia mengurungkan niatnya untuk mencecar gadis itu. Takutnya gadis itu malah takut padanya dan pergi.Bu Fatma memutuskan meraih tubuh kurus Mouza, membawanya dalam pelukan hangatnya. Terlihat gadis berwajah tirus itu cukup lelah. Bahkan lingkar hitam membulat melingkari mata Mouza."Terima kasih telah menolong anakku," bisik Bu Fatma lembut.Entah harus mengangguk atau bagaimana, leher Mouza mendadak kaku. Dia diam tak bergerak dalam pelukan Bu Fatma."Tidurlah kalo cap
Kekacauan Pikiran Mouza membuat mulut dan otaknya tidak terkonek dengan Baik. Wajah Mouza persis seperti udang rebus karena menahan malu. Sesekali dia melirik ke arah Rendi yang masih tetap senyum-senyum sendiri menahan sesuatu yang menggelitik hatinya. Kalau tidak dilarang Bu Fatma, mungkin dia masih terus menertawakan jawaban Mouza.Mereka menyantap makanan di depan mereka dalam diam.Tak ada yang berani membahas tentang Mouza lagi. Mereka takut Mouza menangis kembali. Itu adalah hal paling menyebalkan. Selain susah di bujuk, juga suaranya begitu keras. Jika Mouza menangis lebih lama mungkin mereka bertiga harus mengunjungi dokter THT selanjutnya.Jam yang menggantung di dinding menunjukkan pukul 11 malam. Pak Dame memutuskan untuk pulang ke rumah dan membiarkan dua wanita itu menjaga Rendi. Sebelum pamit Pak Dame berjanji datang besok pagi dan mengantar Mouza pulang ke rumah.Beberapa hari Rendi dirawat di rumah sakit, Mouza tetap datang berk
"Nggak mau tau, carik!" tukas si pelanggan."Kami hanya punya nilai uang paling kecil lima ratus rupiah, Bang! bolehkah untuk kotak amal saja?" Mouza masih sabar menanggapi pelanggannya itu dan menunjukkan kotak amal yang berada di dekat dispenser minyak."Alah! akal-akalan kau aja itu, pande kali kau, kau kira aku nggak tau akal busukmu, itu untuk kalian 'kan? sehari ini udah berapa kali dua ratus yang kalian ambil dari pelanggan?" cecar Si Pelanggan dengan nada naik dua oktaf.Mouza mengelus dada, berharap pundi-pundi kesabarannya masih bersisa banyak. "Betulan Bang! kami memang tidak punya uang pecahan sekecil itu, kalo nggak ini aja Abang ambil" Mouza merogoh kantong celananya dan memberikan uang pecahan seribu kepada pelanggan itu. Jika dia mengambil uang dari hasil penjualan, Mouza takut terjadi minus diperhitungan. Pak tarigan bisa mengintrogasinya sampai besok.Sepertinya pelanggan yang sebenarnya masih sangat muda dan tida
[Sok tau, kek anak dukun] dibubuhi emoticon mencebik.[loh gak tau aja aku kan anak dukun, mau aku pelet] emoticon lidah menjulur.[Pelet? emg ayam dikasih pelet]Begitulah mereka berbalas pesan hingga waktu menunjukkan pukul 2 dini hari. Mouza tertidur tanpa sadar.Pagi hari menyapa, cahaya nakal masuk menyelinap ke kamar Mouza tanpa permisi. Suara di luar sudah riuh. Namun Mouza enggan membuka matanya. Kebiasaan saat dia masuk shift sore."Za! mama berangkat yah, kalau mau pergi jangan lupa gembok pintu, letakkan kunci ditempat biasa" teriakan Ibu Mouza dari depan."Em" Mouza mengerang lalu menukar posisi lalu terlelap kembali.Ibu Mouza tetap bekerja sebagai cuci gosok ke rumah-rumah tetangga jika keadaannya membaik. Ibu Mouza punya penyakit asam lambung yang kalau kambuh kadang sampai sesak bernafas. Pernah suatu ketika kumat sampai wajahnya membiru. Dulu Mouza mengira Ibunya punya masalah pada paru-paru, t
Tak ada yang menjamin hati seseorang. Siapa yang bisa menebak jalan pikiran orang lain. Mouza masih sangat gugup. Pikiran jeleknya meracuni fungsi otaknya."Ayo dong, sayang! ambil yang kamu mau" titah Bu Fatma. suara lembut Bu Fatma kini terdengar bagai suara penyihir yang siap mengubahnya menjadi apapun. Menjadi tikus got yang tidak berguna atau jadi kutil gajah mungkin.Mouza tak bergeming, dia takut dan rasa takutnya membuat dia menahan nafas."Nggak ada yang kamu suka, ya? ayo bilang Ibu, kau suka makanan apa? biar Ibu masak lagi" ujar Bu Fatma masih dengan wajah yang penuh senyum."Bu-bukan begitu Bu, Ta-tapi .."Gerrrkk!Cacing Mouza sepertinya tidak bisa di ajak kompromi. Mungkin mereka sedang melakukan demo dan penyampaian orasi, menuntut hak mereka yang sedari pagi belum dipenuhi."Hehe, maaf!" Mouza tersenyum malu. Dasar cacing nggak punya ahlak, bisa-bisanya memperlakukan tuannya seperti itu. Diusir
Lelaki itu terduduk lemah menyadari segalanya menyerangnya dari setiap sudut. Mouza yang menyadari lelaki yang menjadi kekasihnya itu kini tengah diambang kehancuran. Tidak mengejutkan jika lelaki itu memiliki musuh dari berbagai sisi. Masa kelam Rendi memang telah membekas dan berubah menjadi boomerang yang siap menghancurkan hidupnya. Tak ada kata terlambat untuk berbuat baik, tetapi segala jejak akan tetap membekas hingga kapanpun. Tak banyak orang yang siap dengan perubahanmu, bagi sebagian kau akan tetap buruk seperti masa lalumu. Tak perduli seberapa keras kau berusaha untuk menjadi orang baik. Usaha yang dirintis Ayah Rendi benar-benar hancur ditangan orang-orang kepercayaan ayahnya sendiri, bahkan ayah Rendi harus berulang kali mendapat perawatan intensif karena drop mendapat kabar buruk itu. Sia-sia segala pengorbanannya. Rendi memutuskan pergi dari kota itu, berharap nasib baik menghampirinya. Namun nyatanya dimana pun dia berada dosanya tetap menghantui dirinya. Bertahu
Mouza berjingkat-jingkat meraih lobang ventilasi yang berada di atas pintu. Namun, karena tinggi badan Mouza yang cukup mini, hanya satu meter lima puluh lebih beberapa sentimeter saja. Usahanya sia-sia.Sebagai pekerja baru, meski diberi wewenang oleh Rendi untuk mengawasi gerak-gerik Sri, Mouza tak boleh sembrono. Dia juga harus tetap bermain cantik supaya mangsa masuk ke dalam perangkap lebih mudah.Di sudut ruangan toko, terdapat kursi bulat tempat meletakkan manekin atau patung yang dikenakan longdress agar tidak terjuntai ke lantai dan berdebu.Mouza benar-benar menaruh rasa curiga yang besar terhadap Sri.Dia angkat kursi tersebut lalu berencana berdiri di atasnya, tapi, sebelum benar-benar berhas
Pagi ini Rendi memutuskan terjun ke dunia yang telah digeluti Ayahnya sejak 30 tahun silam. Tempat ini adalah tempat yang membawa kehidupan dan martabat Pak Dame melesat tinggi, dari seorang kondektur menjadi seorang yang berkecukupan, bahkan memiliki kelas yang cukup bergengsi di kalangannya, terutama di tempat mereka tinggal. Ini kali pertama ia menginjakkan kaki di tempat ini untuk menggantikan Ayahnya, sebelumnya Rendi juga pernah bahkan sering berkunjung tapi bukan untuk membantu atau sekedar mempelajari kegiatan Ayahnya, tetapi hanya untuk meminta uang. Dari depan tampak tempat ini adalah toko pakaian, di atas pintu ruko terdapat spanduk label dari toko 'Dafa Collection' begitu tulisan besar itu terpampang besar. Toko ini juga merangkap sebagai kantor utama setelah ruang kerja yang ada di rumah kediaman mereka.&
Mouza gegas menghampiri Rendi ke rumah, dia takut Rendi dalam masalah. Kebetulan hari ini Mona sedang berada di sekolah, jadi tidak bisa menemani Mouza. Dengan sedikit negosiasi dengan ibunya, akhirnya Mouza bisa melangkah ke rumah Rendi. "Kau ngapain nyuruh aku kemari?" Pertanyaan Mouza membuat Rendi mulai bingung mau jawab dari mana. Tentu saja dia malu mengakui ketololannya di depan gadis pujaannya itu. Melihat Rendi bengong, Mouza nyelonong masuk ke dalam rumah dan membiarkan Rendi mematung sendiri di tempat itu. "Ya, ampun, beserak kali ini, Ren!" teriak Mouza kencang. Suara melengking Mouza berhasil mengembalikan nyaw
Aaggrrhh!" lolongan suara Pak Dame. HPnya terjatuh dari tangannya, sedang sebelah lagi memegangi dadanya yang terasa sesak.Bu Fatma berlari menghampiri suaminya yang terjatuh dari tempat duduknya. Dengan panik Bu Fatma meraih tubuh lelaki yang sudah tampak memucat."Kau kenapa, Bang?"Nafas Pak Dame nampak tersengal, menahan sakit di area dada sebelah kanannya. Entah apa yang sudah terjadi pada Pak Dame, Bu Fatma belum tahu, dia hanya ingin membawa Pak Dame selekasnya ke rumah sakit."Tolong! siapa saja tolong aku!" jerit Bu Fatma setengah terisak.Rumah kediaman Bu Fatma yang tertutup rapat oleh pagar tinggi, menyulitkan orang di s
Mona pun akhirnya kesal, dia memutuskan mengangkat telepon tersebut.[halo!]Suara yang sangat familiar di telinga Mona.[Bang Ganteng?]Jawab Mona Reflek.[hehe, iya ini aku]Mouza yang sejak tadi menjauh mendadak mendekat, saat Mona menyebut nama Abang Ganteng. Panggilan itu Mona sematkan hanya untuk Rendi."Rendi?" tanya Mouza, antusias. Mona mengangguk seraya memberikan telepon genggam itu ke tangan Mouza. Dengan tangan gemetar Mouza meraih benda pipih miliknya itu.
Rendi mengabaikan masalah tentang orang tuanya dulu. Urusan perut kini yang paling pertama dipenuhi agar otaknya kembali bekerja dengan baik. Dia mengobrak-abrik lemari di dapur, tampaknya tak satupun bahan makanan tersisa di sana. Benar-benar orang tuanya sudah pergi dari rumah mungkin sejak seminggu. Dari penampakan rumah yang berdebu, bisa diperkirakan begitu.Kini dia beralih ke kulkas, disana terdapat beberapa potong roti tawar dan selai coklat yang hampir tandas. Perut yang sudah tak sabar untuk diisi membuat Rendi mengabaikan tentang rasanya. Sejenak setelah selesai bersantap ria sendirian, Rendi tersadar akan kesendiriannya. 'begini jika aku akhirnya ditinggal Mama sama Ayah sendiri' batin Rendi.Kembali dilanjutkannya misi pencarian orang tuanya. Dia menuju bagasi mobil, siapa tau dia menemukan petunjuk disana. Tak lama supi
Tak sia-sia usaha Rendi mengundang orang lain ke ruangan ini. Berbekal menahan sedikit lebih lama nafasnya untuk mengelabui dua wanita bodoh itu, dan si Ucok yang tidak lulus SD, akhirnya mereka mengajak kenalan mereka yang mengerti tentang perurat nadian.Saat lelaki yang mereka panggil Anto itu masuk, Rendi membiarkan dia memeriksa semua bagian tubuhnya.Nampak segala memar dan beberapa sayatan cambukan di tubuh Rendi. Anto merupakan salah satu mantri yang bertugas di puskesmas dekat dengan rumah Rendi itu, terkejut dan menatap ke tiga manusia yang berdiri kaku di belakangnya."Dia kami temukan pingsan, jadi kami bawa kemari." Tanpa ditanya, Ucok menjelaskan sendiri. Hal itu mengundang curiga di hati mantri itu.Dengan gerakan tiba-tiba, Rendi menggenggam erat tangan Anto, lelaki yang masih mengenakan seragam putih itu menatap Rendi dengan bingung. Wajah Rendi terlihat memelas meminta pertolongan Anto. Anto ragu-ragu menafsirkan sorot mata Ren
Rendi tak percaya dengan penglihatannya sendiri. Bagaimana bisa Miska mengenal Ucok? 'Tunggu, tunggu ... Miska bukannya terlihat sedang hamil saat mencari keberadaan Mouza? lalu, kenapa sekarang tampak sangat langsing?'Rendi merasa otaknya sudah kacau. Di belakangnya ada Wiwik si gadis genit. Mereka melambai-lambai ke arah Rendi, tersenyum binal dan menggoda Rendi dengan erotis."Hai, Abang ganteng, apa kabar?" ucap Wiwik sambil mencubit genit dagu Rendi.Rendi memalingkan wajahnya, menghindari sentuhan liar dari Wiwik."Kok malu-malu kau, Bang? bukannya biasanya kau langsung nerkam? hahaha!" Wiwik tampak seperti iblis betina yang sedang menggoda.Rendi beralih menatap wanita yang sama persis dengan wajah milik Miska."Kau?" tanya Rendi, ragu."Hahaha! tampaknya otak kau masih berfungsi dengan baik, yah! aku Miska."Seringainya bagaikan singa kelaparan."Tapi ...."