Setelah hitung-hitungan berakhir dengan kasir, Mouza dan Rini berjalan ke belakang kantor. Disana ada teras menyerupai balkon yang menghadap ke pemukiman penduduk. Lokasi Pom bensin itu lebih tinggi dari pemukiman di sekitarnya. Ada beberapa kolam ikan dan pohon, serta gunung-gunung tinggi yang terlihat jelas dari sana, pemandangan itu mampu menghibur hati saat lelah seharian bekerja.
Mouza duduk menghadap ke arah bantaran rumah yang berjejer tak beraturan. Matanya memandang sayu. Sebenarnya dia tak mengerti kenapa dia harus merasa seperti ini. Toh selama ini dia hanya menjalani hukuman. Dia tak menyangka hatinya nyaman bersama Rendi.
"Za, kenapa kau?" tanya Rini membuka obrolan.
Mouza menarik nafas dan menghembuskan kasar, berharap perasaan aneh yang menggerogoti hatinya sedikit berkurang."Za, kenapa kau?" Rini mengulang pertanyaannya saat Mouza tak kunjung menjawab.
"Pening aku, Rin" lirih Mouza sendu.
"Cerita samaku, Za! kita kan kawan, manatau bisa kubantu" ujar Rini tulus.
"Nggak taulah, Rin, bentar lagi hukuman antar jemput dari Rendi berakhir, tapi ... " Mouza seperti bingung menjelaskan perasaannya.
"Tapi kenapa? 'kan baguslah, nggak berurusan lagi kau sama Si Rendi."
"Itu dia, Rin! entah kenapa kok aku malah sedih, aku terbiasa dengan segala perhatian Rendi, keusilan dan kekonyolannya." Mouza tertunduk lemah. Baru kali ini dia merasakan takut jauh dari orang yang sama sekali bukan siapa-siapanya. "Masih mau nggak dia nanti nyapa aku kalo hukumannya siap?" lirih Mouza melemah.
Rini menatap wajah Mouza penuh selidik, dia mencari jawaban dari kebimbangan Mouza disana.
"Jangan-jangan jatuh cinta kau, Za!" cecar Rini."Nggak taulah, Rin" Mouza menunduk.
Rini berjanji akan membantu Mouza nanti jika benar-benar di butuhkan. Rumah Rini dan Rendi satu gang. Rini berencana mencari tahu bagaimana perasaan Rendi ke Mouza temannya. Rendi tidak akan berbuat baik kalau tidak ada maunya. Rini cukup paham tentang Rendi.
Mouza tak mampu berharap banyak, dia sadar dia siapa. Sekalipun Rendi memang terkenal nakal, tapi banyak perempuan cantik mengagumi ketampanannya. Sinar matanya yang tajam dan pembawaannya gang cool, membuat daya tarik sendiri bagi para kaum hawa yang melihatnya.
Lagi pula Rendi anak orang kaya, akan berbanding terbalik dengan Mouza yang sedari SMP sudah yatim, Ibunya hanya tukang cuci gosok keliling dan sekarang malah sakit-sakitan. Semua itu membuat Mouza insecure. Hal yang ditakutkan Mouza saat menerima diperlakukan spesial oleh orang lain yang membuatnya nyaman dan akhirnya ditinggalkan.
Mouza berjalan ke arah parkiran, dia tak ingin membiarkan orang lain menunggunya terlalu lama.Dia tau Rendi sudah menunggunya disana. Rini sudah pamit pulang lebih dulu, mau mengantar Ibunya belanja, katanya.
Dia memperhatikan ada dua mahkluk berlain jenis sedang mengobrol mesra di parkiran. Dia memperjelas pandangannya, itu Rendi dan Wiwik kasir Pom bensin disini. Wiwik bergelayut manja di bahu Rendi dan dibiarkan oleh Rendi. Sepertinya juga Rendi menyukai perlakuan Wiwik.
"Apa orang dua itu saling kenal atau mereka pacaran?" Mouza menerka-nerka dalam hati. Mouza memutuskan memperhatikan dan memasang pendengaran lebih tajam. Dia berdiri di balik tembok pemisah jalan antara toilet dan parkiran.
"Ayoklah, Bang! biar aja Mouza pulang naik angkot, masa kau nggak Rindu samaku" Suara Wiwik yang merdu nan manja, mencabik-cabik hati Mouza.
"Aku masih ada urusan sama Mouza, lain kali ajalah" kini suara Rendi dengan nada penolakan namun memberi harapan.
Mouza memukul dinding tempatnya bersembunyi kesal. Wiwik masih terdengar berusaha merayu Rendi.Wiwik memiliki wajah yang cantik, penampilan yang mendukung, dan paling cantik di Pom bensin ini.
Hanya saja dia sedikit murahan, semua pengawas yang bertugas di Pom ini didekatinya, tak terkecuali Pak Tarigan yang sudah punya anak dan istri. Untung saja Pak Tarigan masih ingat istrinya di rumah, walau kadang yah, namanya juga buaya diumpan daging segar, pemirsah paham maksud emak othor? nggak paham? sudah lupakanlah!Mouza tak tahan melihat kemesraan kedua manusia berlain jenis itu. Dia melampiaskan kekesalannya dengan menendang pot bunga dan sialnya pot itu terguling ke arah Rendi dan Wiwik. Mereka reflek memandang ke arah Mouza. Rendi terlihat salah tingkah.
Mouza bingung harus berekspresi seperti apa. Jika dia marah, apa haknya? Bersikap biasa saja, dia tak pandai menyembunyikan suasana hatinya.Mouza memutuskan berjalan menuju jalan raya, berpura-pura tidak memperhatikan mereka berdua. Rendi mengeryit dahinya bingung melihat raut wajah datar Mouza.
"Za! Za!" yang dipanggil bergeming, seolah tak mendengar.
"Za!" ulang Rendi dengan suara keras. Rasanya tak ada alasan Mouza untuk menghindar. Mouza berusaha keras menyembunyikan raut wajah kesalnya, ia berjalan menghampiri dua insan yang berdempetan tanpa malu di tempat umum.
"Ayok!" ajak Rendi pada Mouza dan mengenakan helmnya.
Mouza hanya diam dan patuh, lalu naik ke atas motor. Wiwik mulai terlihat kesal. Dia memutar akal agar bisa jalan dengan sumber keuangannya, yaitu Rendi.
"Bang!" Wiwik mengapit tangan Rendi dengan manja. Mouza mencebik jijik melihat tingkah kasirnya itu. Rendi hanya menoleh lalu fokus menyalakan mesin motornya.
Seperti tidak dihiraukan, Wiwik mengeluarkan jurus lebih absurd. Dia melingkarkan tangannya di leher Rendi dan menempelkan pipinya di pipi Rendi.Mouza memutar bola matanya, dia jengah melihat tingkah Wiwik yang begitu centil.
"Bang! biarkan aja Mouza naik angkot," rengek Wiwik seperti anak kecil. "Kita jalan yuk! nanti aku kasih servis yang memuaskan" bisiknya pada Rendi sambil msnggigit kecil telinga Rendi.
Mouza yang menyaksikan hal tak lazim di depannya bergidik ngeri. Itu seperti drakula berjenis kelamin wanita sedang ingin menaklukan mangsanya dan ingin menghisap habis darah mangsanya. Berbeda dengan Rendi, dia terlihat biasa saja, seolah-olah itu hal biasa untuknya. Dia lupa ada mata yang ternodai di belakangnya.
"Bang!" Wiwik seperti tak bosan merengek meminta kepada Rendi.
Mouza benar-benar sudah sangat jengah melihatnya, dia turun dari motor dan berjalan menuju jalan Raya. Rendi yang tersadar Mouza telah pergi, mendorong tubuh Wiwik hingga terduduk di tanah. Beberapa orang yang menyaksikan hal itu tertawa. Wiwik malah menggesek-gesekkan kakinya di tanah, persis anak kecil yang tidak di ijinkan Ibunya naik odong-odong.
"Za! Mouza!" Rendi melajukan motornya. Sayangnya Mouza telah naik ke angkot. Rendi yang jiwa bruntalnya belum sembuh total, mengejar angkot yang ditumpangi Mouza. Rendi memepet angkot yang sedang berjalan persis kelakuan berandalan di jalanan. Menepuk-nepuk badan angkot agar berhenti.
Supir angkot melirik ke arah kaca spion dan melihat Rendi yang sedang mengejar angkotnya. Supir itu memutuskan berhenti dari pada berurusan dengan Rendi yang kejiwaannya kadang bisa menggila. Setelah angkot berhenti Rendi langsung naik lalu menarik tangan Mouza keluar.
Mouza mencoba memberontak, tapi Tenaganya kalah dengan Rendi. "Lepas!" kata Mouza menghempas-hempaskan tangannya agar terlepas. Namun Rendi semakin kuat mencekal tangannya. Orang-orang yang ada di dalam angkot hanya berani berbisik-bisik tanpa ada yang mampu melarang. Supir angkot hanya menggeleng kasian. "Apalah masalah perempuan itu sama Si Rendi," gumamnya.
Rendi memerintah Mouza untuk naik keatas motor. Mouza yang kepalang kesal, cemburu, dan memang keras kepala tak menghiraukan perkataan Rendi. Dia memilih berjalan kaki dan meninggalkan Rendi. Rendi semakin kesal, masalahnya Rendi tidak menyadari apa yang membuat Mouza merajuk. Rendi mengejar Mouza sambil mendorong motornya.
"Kau kenapa, Za?" tanya Rendi mempercepat langkahnya. Mouza hanya menoleh, lalu mempercepat lebih langkahnya hingga setengah berlari.
"Za!" panggil Rendi yang mulai ngos-ngosan akibat berjalan sambil mendorong motor. (kurang kerjaan banget yah si Rendi, motor sehat kok di dorong. Rendi! Rendi! Emak othor bingung liatnya, Tapi begitulah cinta, kadang membuat seseorang menjadi lemah dan bodoh, tapi terkadang menjadikannya sok bijak. Ouukeeh Fokus ke mereka)
Rendi yang tak sabar meninggalkan motornya dan berlari mengejar Mouza.
"Za! kau kenapa?" suara Rendi meninggi. Rendi mencengkeram bahu Rendi dan memutar paksa tubuh mungilnya. Ternyata Mouza sedang menangis. Entah apa alasan Mouza menangis, Kesal karena Rendi bermesraan dengan Wiwik atau karena waktunya yang semakin sedikit bersama Rendi? entahlah. Terkadang air mata juga menetes tanpa alasan.
"Kok, nangis kau, Za?" tanya Rendi panik. Mouza malah semakin mengencangkan tangisnya. Bingung dengan sikap Mouza, Rendi mulai di landa kecemasan. Dia bolak-balik mengitari tubuh Mouza, memeriksa apakah ada yang terluka. Rendi menggaruk kepalanya yang tidak gatal sama sekali.
"Ngapa kau, Za!" Rendi semakin cemas dibuatnya. Orang-orang yang lewat pun memandang mereka aneh.
"Za! jangan nangislah," bujuk Rendi yang juga ingin ikut menangis karena panik.
Mouza tetap menangis, dia tidak sadar melewati rumah Pamannya. Kebetulan Paman Mouza sedang bersantai di teras dan melihat Mouza melintas sambil menangis."kenapa Mouza" batin Paman Mouza. Dia memperhatikan seksama. Ada pemuda yang dikenalnya dengan kenakalannya sedang mengikuti keponakannya.Tanpa babibu, Paman Mouza berlari ke arah Rendi dan langsung mendaratkan bogem mentah ke wajah Rendi.Rendi yang tidak siap saat di serang terjungkal ke aspal. Ada darah segar menetes dari sudut bibir Rendi."kimak!" umpat Rendi marah.Mouza terkejut bukan main. Dia sempat terdiam tidak tau mau berbuat apa. Lidahnya kelu saat melihat Rendi adu jotos dengan Pamannya."Rendi! sudah!" Mouza berteriak menghentikan Rendi, tapi kepalang emosi karena diserang duluan. Rendi tetap melawan pukulan Paman Mouza, hingga memancing perhatian warga. Warga berdatangan, kini Rendi bak buruan yang siap di tangkap massa.Mouza mak
Mouza menekuk wajahnya semakin dalam. Persis seperti wajah yang sedang ditagih hutang pas bulan tua. Mungkin memilih diam adalah pilihan terbaik kali ini. Jika orang tua Rendi kelak harus tau, maka Mouza telah siap menanggung konsekuensinya.Bu Fatma yang sebenarnya penasaran dengan siapa gadis di sampingnya dan apa hubungannya dengan Rendi? Kenapa dia begitu mengkhawatirkan Rendi? Bu Fatma ingin menyerbu gadis itu dengan berbagai pertanyaan lainnya, namun ia mengurungkan niatnya untuk mencecar gadis itu. Takutnya gadis itu malah takut padanya dan pergi.Bu Fatma memutuskan meraih tubuh kurus Mouza, membawanya dalam pelukan hangatnya. Terlihat gadis berwajah tirus itu cukup lelah. Bahkan lingkar hitam membulat melingkari mata Mouza."Terima kasih telah menolong anakku," bisik Bu Fatma lembut.Entah harus mengangguk atau bagaimana, leher Mouza mendadak kaku. Dia diam tak bergerak dalam pelukan Bu Fatma."Tidurlah kalo cap
Kekacauan Pikiran Mouza membuat mulut dan otaknya tidak terkonek dengan Baik. Wajah Mouza persis seperti udang rebus karena menahan malu. Sesekali dia melirik ke arah Rendi yang masih tetap senyum-senyum sendiri menahan sesuatu yang menggelitik hatinya. Kalau tidak dilarang Bu Fatma, mungkin dia masih terus menertawakan jawaban Mouza.Mereka menyantap makanan di depan mereka dalam diam.Tak ada yang berani membahas tentang Mouza lagi. Mereka takut Mouza menangis kembali. Itu adalah hal paling menyebalkan. Selain susah di bujuk, juga suaranya begitu keras. Jika Mouza menangis lebih lama mungkin mereka bertiga harus mengunjungi dokter THT selanjutnya.Jam yang menggantung di dinding menunjukkan pukul 11 malam. Pak Dame memutuskan untuk pulang ke rumah dan membiarkan dua wanita itu menjaga Rendi. Sebelum pamit Pak Dame berjanji datang besok pagi dan mengantar Mouza pulang ke rumah.Beberapa hari Rendi dirawat di rumah sakit, Mouza tetap datang berk
"Nggak mau tau, carik!" tukas si pelanggan."Kami hanya punya nilai uang paling kecil lima ratus rupiah, Bang! bolehkah untuk kotak amal saja?" Mouza masih sabar menanggapi pelanggannya itu dan menunjukkan kotak amal yang berada di dekat dispenser minyak."Alah! akal-akalan kau aja itu, pande kali kau, kau kira aku nggak tau akal busukmu, itu untuk kalian 'kan? sehari ini udah berapa kali dua ratus yang kalian ambil dari pelanggan?" cecar Si Pelanggan dengan nada naik dua oktaf.Mouza mengelus dada, berharap pundi-pundi kesabarannya masih bersisa banyak. "Betulan Bang! kami memang tidak punya uang pecahan sekecil itu, kalo nggak ini aja Abang ambil" Mouza merogoh kantong celananya dan memberikan uang pecahan seribu kepada pelanggan itu. Jika dia mengambil uang dari hasil penjualan, Mouza takut terjadi minus diperhitungan. Pak tarigan bisa mengintrogasinya sampai besok.Sepertinya pelanggan yang sebenarnya masih sangat muda dan tida
[Sok tau, kek anak dukun] dibubuhi emoticon mencebik.[loh gak tau aja aku kan anak dukun, mau aku pelet] emoticon lidah menjulur.[Pelet? emg ayam dikasih pelet]Begitulah mereka berbalas pesan hingga waktu menunjukkan pukul 2 dini hari. Mouza tertidur tanpa sadar.Pagi hari menyapa, cahaya nakal masuk menyelinap ke kamar Mouza tanpa permisi. Suara di luar sudah riuh. Namun Mouza enggan membuka matanya. Kebiasaan saat dia masuk shift sore."Za! mama berangkat yah, kalau mau pergi jangan lupa gembok pintu, letakkan kunci ditempat biasa" teriakan Ibu Mouza dari depan."Em" Mouza mengerang lalu menukar posisi lalu terlelap kembali.Ibu Mouza tetap bekerja sebagai cuci gosok ke rumah-rumah tetangga jika keadaannya membaik. Ibu Mouza punya penyakit asam lambung yang kalau kambuh kadang sampai sesak bernafas. Pernah suatu ketika kumat sampai wajahnya membiru. Dulu Mouza mengira Ibunya punya masalah pada paru-paru, t
Tak ada yang menjamin hati seseorang. Siapa yang bisa menebak jalan pikiran orang lain. Mouza masih sangat gugup. Pikiran jeleknya meracuni fungsi otaknya."Ayo dong, sayang! ambil yang kamu mau" titah Bu Fatma. suara lembut Bu Fatma kini terdengar bagai suara penyihir yang siap mengubahnya menjadi apapun. Menjadi tikus got yang tidak berguna atau jadi kutil gajah mungkin.Mouza tak bergeming, dia takut dan rasa takutnya membuat dia menahan nafas."Nggak ada yang kamu suka, ya? ayo bilang Ibu, kau suka makanan apa? biar Ibu masak lagi" ujar Bu Fatma masih dengan wajah yang penuh senyum."Bu-bukan begitu Bu, Ta-tapi .."Gerrrkk!Cacing Mouza sepertinya tidak bisa di ajak kompromi. Mungkin mereka sedang melakukan demo dan penyampaian orasi, menuntut hak mereka yang sedari pagi belum dipenuhi."Hehe, maaf!" Mouza tersenyum malu. Dasar cacing nggak punya ahlak, bisa-bisanya memperlakukan tuannya seperti itu. Diusir
Rendi mengantar Mouza pulang dan menunggunya bersiap-siap untuk bekerja. Waktu masih cukup banyak, mengingat laju motor Rendi yang hanya memakan waktu 15 menit untuk sampai ke tempat kerja. Mouza sudah dengan seragam merah dari SPBU. Memutuskan duduk sebentar di teras rumahnya sebelum berangkat kerja. Mereka enggan membuka suara hingga akhirnya Rendi memutuskan untuk bicara "Za, kau 'kan udah tau aku gimana, lalu urusan perjanjian kita juga udah selesai." Rendi sengaja menjeda ucapannya. "Em, kenapa rupanya?" Mouza tidak paham tujuan bicara Rendi. Rendi menghela nafas berat. "Aku nggak tau harus mulai dari mana, tapi aku merasa aku membutuhkanmu lebih dari ini?" Rendi menatap jauh kedepan. "Maksudmu?" Mouza semakin tak mengerti. "Aku memang bukan orang baik, Za! duniaku gelap, aku nakal, aku berandalan, tapi aku menemukan cahaya hidupku saat mengenalmu." Rendi memutar posisi duduknya dan kini menghad
Manusia pemilik mata itu, ternyata menyimpan bukti itu hingga detik ini. Dia siap menghancurkan Rendi kapan pun ia mau. Entah di mana Miska sekarang, masih hidup atau mati, Rendi tak pernah perduli. *** Mouza berdiri menyapa pelanggan yang sedang mengisi BBM hari ini. Dia sedang bertugas di Pom jalur 1 khusus mobil pribadi. Sapa, salam, senyum harus diterapkan maksimal. Biasanya pengisi kotak pengaduan dan pelanggan yang gila hormat selalu berasa selalu harus di layani dengan maksimal ada di jalur ini. Tidak semua, tapi lumyan banyak yang begitu. "Selamat siang! premium/solar?" Sapaan Mouza pada pelanggan yang ingin mengisi BBM di jalur itu. Kamu bisa bayangkan pada tahun berapa tahun saat itu. Di Spbu tempat mouza bekerja hanya menyediakan dua jenis bahan bakar kala itu, Premium dan Solar saja. Sebagian dari pelanggan ada yang memang baik. Tak jarang membagi makanan yang mereka bawa. Lebih sering buah-buahan, k
Lelaki itu terduduk lemah menyadari segalanya menyerangnya dari setiap sudut. Mouza yang menyadari lelaki yang menjadi kekasihnya itu kini tengah diambang kehancuran. Tidak mengejutkan jika lelaki itu memiliki musuh dari berbagai sisi. Masa kelam Rendi memang telah membekas dan berubah menjadi boomerang yang siap menghancurkan hidupnya. Tak ada kata terlambat untuk berbuat baik, tetapi segala jejak akan tetap membekas hingga kapanpun. Tak banyak orang yang siap dengan perubahanmu, bagi sebagian kau akan tetap buruk seperti masa lalumu. Tak perduli seberapa keras kau berusaha untuk menjadi orang baik. Usaha yang dirintis Ayah Rendi benar-benar hancur ditangan orang-orang kepercayaan ayahnya sendiri, bahkan ayah Rendi harus berulang kali mendapat perawatan intensif karena drop mendapat kabar buruk itu. Sia-sia segala pengorbanannya. Rendi memutuskan pergi dari kota itu, berharap nasib baik menghampirinya. Namun nyatanya dimana pun dia berada dosanya tetap menghantui dirinya. Bertahu
Mouza berjingkat-jingkat meraih lobang ventilasi yang berada di atas pintu. Namun, karena tinggi badan Mouza yang cukup mini, hanya satu meter lima puluh lebih beberapa sentimeter saja. Usahanya sia-sia.Sebagai pekerja baru, meski diberi wewenang oleh Rendi untuk mengawasi gerak-gerik Sri, Mouza tak boleh sembrono. Dia juga harus tetap bermain cantik supaya mangsa masuk ke dalam perangkap lebih mudah.Di sudut ruangan toko, terdapat kursi bulat tempat meletakkan manekin atau patung yang dikenakan longdress agar tidak terjuntai ke lantai dan berdebu.Mouza benar-benar menaruh rasa curiga yang besar terhadap Sri.Dia angkat kursi tersebut lalu berencana berdiri di atasnya, tapi, sebelum benar-benar berhas
Pagi ini Rendi memutuskan terjun ke dunia yang telah digeluti Ayahnya sejak 30 tahun silam. Tempat ini adalah tempat yang membawa kehidupan dan martabat Pak Dame melesat tinggi, dari seorang kondektur menjadi seorang yang berkecukupan, bahkan memiliki kelas yang cukup bergengsi di kalangannya, terutama di tempat mereka tinggal. Ini kali pertama ia menginjakkan kaki di tempat ini untuk menggantikan Ayahnya, sebelumnya Rendi juga pernah bahkan sering berkunjung tapi bukan untuk membantu atau sekedar mempelajari kegiatan Ayahnya, tetapi hanya untuk meminta uang. Dari depan tampak tempat ini adalah toko pakaian, di atas pintu ruko terdapat spanduk label dari toko 'Dafa Collection' begitu tulisan besar itu terpampang besar. Toko ini juga merangkap sebagai kantor utama setelah ruang kerja yang ada di rumah kediaman mereka.&
Mouza gegas menghampiri Rendi ke rumah, dia takut Rendi dalam masalah. Kebetulan hari ini Mona sedang berada di sekolah, jadi tidak bisa menemani Mouza. Dengan sedikit negosiasi dengan ibunya, akhirnya Mouza bisa melangkah ke rumah Rendi. "Kau ngapain nyuruh aku kemari?" Pertanyaan Mouza membuat Rendi mulai bingung mau jawab dari mana. Tentu saja dia malu mengakui ketololannya di depan gadis pujaannya itu. Melihat Rendi bengong, Mouza nyelonong masuk ke dalam rumah dan membiarkan Rendi mematung sendiri di tempat itu. "Ya, ampun, beserak kali ini, Ren!" teriak Mouza kencang. Suara melengking Mouza berhasil mengembalikan nyaw
Aaggrrhh!" lolongan suara Pak Dame. HPnya terjatuh dari tangannya, sedang sebelah lagi memegangi dadanya yang terasa sesak.Bu Fatma berlari menghampiri suaminya yang terjatuh dari tempat duduknya. Dengan panik Bu Fatma meraih tubuh lelaki yang sudah tampak memucat."Kau kenapa, Bang?"Nafas Pak Dame nampak tersengal, menahan sakit di area dada sebelah kanannya. Entah apa yang sudah terjadi pada Pak Dame, Bu Fatma belum tahu, dia hanya ingin membawa Pak Dame selekasnya ke rumah sakit."Tolong! siapa saja tolong aku!" jerit Bu Fatma setengah terisak.Rumah kediaman Bu Fatma yang tertutup rapat oleh pagar tinggi, menyulitkan orang di s
Mona pun akhirnya kesal, dia memutuskan mengangkat telepon tersebut.[halo!]Suara yang sangat familiar di telinga Mona.[Bang Ganteng?]Jawab Mona Reflek.[hehe, iya ini aku]Mouza yang sejak tadi menjauh mendadak mendekat, saat Mona menyebut nama Abang Ganteng. Panggilan itu Mona sematkan hanya untuk Rendi."Rendi?" tanya Mouza, antusias. Mona mengangguk seraya memberikan telepon genggam itu ke tangan Mouza. Dengan tangan gemetar Mouza meraih benda pipih miliknya itu.
Rendi mengabaikan masalah tentang orang tuanya dulu. Urusan perut kini yang paling pertama dipenuhi agar otaknya kembali bekerja dengan baik. Dia mengobrak-abrik lemari di dapur, tampaknya tak satupun bahan makanan tersisa di sana. Benar-benar orang tuanya sudah pergi dari rumah mungkin sejak seminggu. Dari penampakan rumah yang berdebu, bisa diperkirakan begitu.Kini dia beralih ke kulkas, disana terdapat beberapa potong roti tawar dan selai coklat yang hampir tandas. Perut yang sudah tak sabar untuk diisi membuat Rendi mengabaikan tentang rasanya. Sejenak setelah selesai bersantap ria sendirian, Rendi tersadar akan kesendiriannya. 'begini jika aku akhirnya ditinggal Mama sama Ayah sendiri' batin Rendi.Kembali dilanjutkannya misi pencarian orang tuanya. Dia menuju bagasi mobil, siapa tau dia menemukan petunjuk disana. Tak lama supi
Tak sia-sia usaha Rendi mengundang orang lain ke ruangan ini. Berbekal menahan sedikit lebih lama nafasnya untuk mengelabui dua wanita bodoh itu, dan si Ucok yang tidak lulus SD, akhirnya mereka mengajak kenalan mereka yang mengerti tentang perurat nadian.Saat lelaki yang mereka panggil Anto itu masuk, Rendi membiarkan dia memeriksa semua bagian tubuhnya.Nampak segala memar dan beberapa sayatan cambukan di tubuh Rendi. Anto merupakan salah satu mantri yang bertugas di puskesmas dekat dengan rumah Rendi itu, terkejut dan menatap ke tiga manusia yang berdiri kaku di belakangnya."Dia kami temukan pingsan, jadi kami bawa kemari." Tanpa ditanya, Ucok menjelaskan sendiri. Hal itu mengundang curiga di hati mantri itu.Dengan gerakan tiba-tiba, Rendi menggenggam erat tangan Anto, lelaki yang masih mengenakan seragam putih itu menatap Rendi dengan bingung. Wajah Rendi terlihat memelas meminta pertolongan Anto. Anto ragu-ragu menafsirkan sorot mata Ren
Rendi tak percaya dengan penglihatannya sendiri. Bagaimana bisa Miska mengenal Ucok? 'Tunggu, tunggu ... Miska bukannya terlihat sedang hamil saat mencari keberadaan Mouza? lalu, kenapa sekarang tampak sangat langsing?'Rendi merasa otaknya sudah kacau. Di belakangnya ada Wiwik si gadis genit. Mereka melambai-lambai ke arah Rendi, tersenyum binal dan menggoda Rendi dengan erotis."Hai, Abang ganteng, apa kabar?" ucap Wiwik sambil mencubit genit dagu Rendi.Rendi memalingkan wajahnya, menghindari sentuhan liar dari Wiwik."Kok malu-malu kau, Bang? bukannya biasanya kau langsung nerkam? hahaha!" Wiwik tampak seperti iblis betina yang sedang menggoda.Rendi beralih menatap wanita yang sama persis dengan wajah milik Miska."Kau?" tanya Rendi, ragu."Hahaha! tampaknya otak kau masih berfungsi dengan baik, yah! aku Miska."Seringainya bagaikan singa kelaparan."Tapi ...."