Mouza tetap menangis, dia tidak sadar melewati rumah Pamannya. Kebetulan Paman Mouza sedang bersantai di teras dan melihat Mouza melintas sambil menangis.
"kenapa Mouza" batin Paman Mouza. Dia memperhatikan seksama. Ada pemuda yang dikenalnya dengan kenakalannya sedang mengikuti keponakannya. Tanpa babibu, Paman Mouza berlari ke arah Rendi dan langsung mendaratkan bogem mentah ke wajah Rendi.Rendi yang tidak siap saat di serang terjungkal ke aspal. Ada darah segar menetes dari sudut bibir Rendi.
"kimak!" umpat Rendi marah.Mouza terkejut bukan main. Dia sempat terdiam tidak tau mau berbuat apa. Lidahnya kelu saat melihat Rendi adu jotos dengan Pamannya.
"Rendi! sudah!" Mouza berteriak menghentikan Rendi, tapi kepalang emosi karena diserang duluan. Rendi tetap melawan pukulan Paman Mouza, hingga memancing perhatian warga. Warga berdatangan, kini Rendi bak buruan yang siap di tangkap massa.
Mouza makin panik " Udah, Paman! Rendi nggak salah!"
Mouza mencoba melerai. Tapi suaranya seperti tertelan oleh ramainya suara orang disana. Ada yang memaki dan ada yang ikut memukuli Rendi. Kini Rendi sudah menjadi bulan-bulanan massa. Jumlah lawan yang tak seimbang membuat Rendi tersungkur jatuh dan pingsan. Mouza yang melihat Rendi tak bergerak menangis histeris.
"Cukup!" Mouza menjerit sekuat tenaganya.
Mereka semua terkejut. Lalu melepaskan Rendi yang sudah tak sadarkan diri.Mouza terduduk lemas melihat Rendi kini tak bergerak. Dia tak menyangka sikap kekanak-kanakannya menangis di jalan membuahkan hasil seperti ini.
"Rendi! maafkan aku!" Mouza menggoyang-goyangkan tubuh Rendi. Namun, tak ada respon sama sekali.
"Tolong! siapa saja tolong aku! bawa dia ke rumah sakit" seru Mouza memohon. Tangisnya kini pecah. Dia memeluk tubuh Rendi yang sudah bersibah darah.
"Rendi! tolong bangun! Ren, jangan tinggalkan aku!" Mouza terus menggoyang-goyangkan bahu Rendi, tapi hasilnya nihil.
Dengan menggunakan Mobil warga setempat, Rendi di bawa ke rumah sakit. Tidak butuh waktu lama, mereka sampai di rumah sakit, para perawat langsung membawa tubuh Rendi ku ruangan UGD. Mouza sangat cemas. Dia mondar-mandir di depan ruangan itu. Hatinya terus menyalahkan kelakuannya sendiri.
Tiba-tiba pintu ruangan terbuka, seseorang dengan seragam putih memanggil keluarga korban. Mouza bingung harus gimana. Bagaimana cara memberi tahu keluarga Rendi.
"Cepat ya, Bu! pasien harus segera dilakukan tindakan, agar segera tertolong" ucap wanita yang mengenakan jas putih itu.Mouza menggigiti kukunya sendiri akibat bingung. Jika dia pulang siapa yang akan menjaga Rendi disini. Lagi pula Mouza tak tau alamat rumah Rendi. Tiba-tiba dia teringat Rini. Rini pernah bercerita kalau rumahnya dan rumah Rendi satu gang.
Dia menelepon Rini dan menceritakan yang terjadi sambil terus menangis terngungu.
Rini bersedia dan sambungan telepon mati. Kini Rini berada di depan gerbang rumah juragan di kampungnya. Pagar yang menjulang tinggi, menutupi bangunan yang ada di dalam.Rini mencoba mengetuk pagar, namun tak ada tanda-tanda orang keluar dari dalam rumah. Dia mencoba berulang kali, hingga sebuah mobil pazero sport mendadak membunyikan klaskson di belakangnya.
Ternyata kedua orang tua Rendi.Rini menghadang mobil itu dan mengetuk jendela mobil. Pak Dame yang merasa kurang kenal dengan Rini bingung. 'mau apa anak ini' batinnya. Bu Fatma yang memperhatikan wajah Rini di landa kepanikan meminta izin pada suaminya untuk turun. Pak Dame mengizinkannya.
Bu Fatma menghampiri gadis itu, lalu bertanya dengan ramah. "Kenapa dek,ada perlu apa?"
"Itu Bu, Rendi..., " ucap Rini panik. Bu Fatma masih terlihat tenang. Dia memang sudah biasa mendengar anaknya berulah."Rendi? Rendi kenapa, nak?" tanya Bu Fatma masih dengan nada yang sama.
"Itu, Bu, Rendi di Rumah sakit, operasi" kata Rini terbata-bata karena panik.
"Rumah sakit?" Bu Fatma terkejut. "Bang! Bang, putar balik Bang! kita ke rumah Sakit" titah Bu Fatma pada suaminya yang masih di dalam mobil. Pak Dame hanya menurut memutar balik mobilnya mengarah ke rumah sakit. Rini diajak ikut serta oleh Bu Fatma.
Bu Fatma sudah berada di rumah sakit sekarang, setelah menanyai resepsionis mereka menuju ke tempat Rendi di Rawat. Dokter belum menangani Rendi karena tidak ada pihak keluarga yang bertanggung jawab. Mouza masih menangis sejak tadi. Wajahnya nampak kusut dan matanya membengkak.
Baju yang dikenakan Mouza masih berlumur darah karena memeluk Rendi tadi. Tak henti-hentinya Mouza merapalkan doa dalam hati agar Rendi bisa selamat. Dia tidak tau bagaimana jadinya jika nanti Rendi kenapa-napa. Mouza menggeleng cepat, "tidak! tidak! nggak boleh, Rendi, kau nggak boleh ninggalkan aku." Air mata Mouza tak bisa berhenti mengalir.
Pintu tiba-tiba terbuka, Mouza terkejut melihat wanita yang kelihatan sudah tua dan seorang lelaki yang berperawakan mirip dengan Rendi. Mouza bisa menebak itu orang tua Rendi. Sejenak dia beradu pandang dengan Bu Fatma lalu menunduk dalam. Mouza beringsut mundur membiarkan Bu fatma menemani Rendi.
Tangis Bu Fatma pecah memeluk Rendi, berulang kali Bu Fatma jatuh pingsan akibat shock. Rendi sudah dibawa ke ruang operasi untuk mendapat tindakan lebih lanjut. Bu Fatma kini berada di ruang perawatan karena tekanan darahnya yang rendah dan pingsan berulang kali.
Hancur hati Bu Fatma melihat anak satu-satunya terkulai tak berdaya. Lagi dan lagi, tempat yang paling nyaman untuknya berkeluh kesah adalah Tuhan. Dia, Bu fatma kembali mengemis kemurahan hati Tuhan, meminta kesembuhan atas anaknya. Air mata itu terus saja mengalir.Rasa hancur seketika menghantam hatinya.
Berbeda dengan Bu Fatma yang menenangkan hati dengan berdoa, Pak Dame justru terlihat marah sejak tadi. Pak Dame merasa harus membalas atas perlakuan yang terjadi pada anaknya. Mengapa mereka main hakim sendiri. Bukankah mereka bisa meminta apa saja padanya jika anaknya memang salah. Giginya terdengar gemurutuk menahan emosinya.
Mouza memperhatikan Ayah Rendi yang sejak tadi berjalan mondar-mandir dan terus mengumpati penyebab anaknya terbaring di dalam sana. Mouza gemetar ketakutan. Bagaimana jika Ayah Rendi mengetahui dialah penyebab Rendi dipukuli massa, dan orang yang pertama menyerang adalah Pamannya.
Ingin Rasanya Mouza beranjak dari tempat itu dan pergi, sanking takutnya melihat Ayah Mouza. Pemilik sinar mata tajam dan tatapan yang membunuh membuat suhu di sekelilingnya terasa membeku. Walaupun sudah berusia 58 tahun namun sisa-sisa ketampanan dan kharismatik Ayah Rendi masih terlukis jelas.
Namun diurungkannya niat hatinya beranjak dari sana, dia tetap ingin tau perkembangan keadaan Rendi. Mouza pikir ini akan seperti FTV di televisi yang sering ia tonton, korban hanya luka di kepala lalu bonyok. Bukan seperti saat ini, Rendi sudah berada di dalam kurang lebih dua jam. Mouza terus mengutuki kebodohannya hari ini.
Rini sudah pamit pulang lebih dulu, tinggallah Mouza yang berdiri memilin baju seragam SPBUnya karena gugup dan panik. Bahkan mereka, Ayah Rendi dan Mouza tak saling menyapa. Mereka sibuk dengan kekalutan masing-masing.
Denting suara pintu mengagetkan mereka berdua. Sama-sama menunggu orang yang di sayangi di depan ruangan menyeramkan itu. Saat dokter menyembul dari dalam mereka serempak berlari mendekati dokter.
"Bagaimana ...," mereka berdua serempak bertanya. Mouza menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Dia terlalu antusias hingga melupakan Ayah Rendi yang lebih berhak menanyakan hal itu. Dia memilih mundur dan mendengar percakapan Ayah Rendi dan Dokter perempuan itu.
Senyum dokter itu mengembang, dia berkata Rendi akan baik-baik saja. Mouza tersenyum haru, rasa khawatirnya kini telah menguap. Rendi hanya menunggu waktu siuman. Menurut dokter tadi mungkin satu atau dua jam, atau bahkan lebih cepat.
Mouza tetap setia menunggu, dia mengabari Ibunya terlebih dulu bahwa dia tidak pulang. Ibu Mouza sudah mengenali Rendi sejak beberapa minggu belakangan. Sejak tugas antar jemput itu berlangsung.
Di ruangan ini kini mereka bertiga menjaga Rendi yang belum sadarkan diri. Ayah dan Ibu Rendi duduk bersisian di samping ranjang tempat Rendi dibaringkan. Mouza berdiri di sudut ruangan.
Air mata Bu Fatma seolah tak pernah Kering. Dia tetap menangisi anaknya itu dalam diam.
Mata Mouza tak berpaling dari tubuh Rendi yang belum juga bergerak. Dia tak sadar isakannya terdengar lebih kencang. Rasa penyesalan itu menggerogoti hatinya. "Kalo nggak betingkah bodoh tadi aku nggak bakal gini kau, Ren!" Mouza berbisik lirih dan tak terdengar orang tua Rendi. Hanya suara isakannya yang makin lama makin kencang.
Bu Fatma tersadar ada teman Rendi yang sejak tadi bersama mereka tapi tak dihiraukan. Mereka juga belum mengucap terima kasih pada gadis itu. Bu Fatma melambaikan tangannya, memanggil gadis itu untuk mendekat kepadanya. Mouza berjalan mendekat ragu-ragu. Pak Dame memberikan kursi tempat duduknya pada Mouza dan pergi entah kemana.
Dua perempuan yang paling dicintai Rendi kini duduk bersisian. Hati dan pikiran mereka sama. Sama-sama mengkhawatirkan Rendi.
"Nak! Siapa namamu?" tanya Bu Fatma pertama kali dalam kesunyian.
"Mouza, Bu!" jawab Mouza sopan. Dia tertunduk tak berani menatap mata sendu Ibu Rendi. Ada rasa bersalah kian besar saat melihat wajah kacau itu.
"Nama yang indah," puji Bu Fatma. "Saya Fatma, Ibunya Rendi," mengulurkan tangan dan di sambut cepat oleh Mouza.
Bu Fatma memperhatikan baju Mouza yang kotor akibat bercak darah. Baju seragam yang Bu Fatma tau itu adalah seragam pihak SPBU.
"Kau kerja di galon, Nak? apa kejadiannya di depan galon?" Pertanyaan Ibu Rendi membuatnya gugup. Apa yang harus Mouza katakan, jika dia berkata jujur pasti dia akan dipenjarakan orang tua Rendi. Sekalipun Mouza tidak ikut mencelakai Rendi, tapi gara-gara ulahnya yang memancing perhatian Pamannya yang membuat Rendi begini.
Mouza tertunduk dalam dan menggeleng. "Ng-nggak, Bu!"
Mouza menekuk wajahnya semakin dalam. Persis seperti wajah yang sedang ditagih hutang pas bulan tua. Mungkin memilih diam adalah pilihan terbaik kali ini. Jika orang tua Rendi kelak harus tau, maka Mouza telah siap menanggung konsekuensinya.Bu Fatma yang sebenarnya penasaran dengan siapa gadis di sampingnya dan apa hubungannya dengan Rendi? Kenapa dia begitu mengkhawatirkan Rendi? Bu Fatma ingin menyerbu gadis itu dengan berbagai pertanyaan lainnya, namun ia mengurungkan niatnya untuk mencecar gadis itu. Takutnya gadis itu malah takut padanya dan pergi.Bu Fatma memutuskan meraih tubuh kurus Mouza, membawanya dalam pelukan hangatnya. Terlihat gadis berwajah tirus itu cukup lelah. Bahkan lingkar hitam membulat melingkari mata Mouza."Terima kasih telah menolong anakku," bisik Bu Fatma lembut.Entah harus mengangguk atau bagaimana, leher Mouza mendadak kaku. Dia diam tak bergerak dalam pelukan Bu Fatma."Tidurlah kalo cap
Kekacauan Pikiran Mouza membuat mulut dan otaknya tidak terkonek dengan Baik. Wajah Mouza persis seperti udang rebus karena menahan malu. Sesekali dia melirik ke arah Rendi yang masih tetap senyum-senyum sendiri menahan sesuatu yang menggelitik hatinya. Kalau tidak dilarang Bu Fatma, mungkin dia masih terus menertawakan jawaban Mouza.Mereka menyantap makanan di depan mereka dalam diam.Tak ada yang berani membahas tentang Mouza lagi. Mereka takut Mouza menangis kembali. Itu adalah hal paling menyebalkan. Selain susah di bujuk, juga suaranya begitu keras. Jika Mouza menangis lebih lama mungkin mereka bertiga harus mengunjungi dokter THT selanjutnya.Jam yang menggantung di dinding menunjukkan pukul 11 malam. Pak Dame memutuskan untuk pulang ke rumah dan membiarkan dua wanita itu menjaga Rendi. Sebelum pamit Pak Dame berjanji datang besok pagi dan mengantar Mouza pulang ke rumah.Beberapa hari Rendi dirawat di rumah sakit, Mouza tetap datang berk
"Nggak mau tau, carik!" tukas si pelanggan."Kami hanya punya nilai uang paling kecil lima ratus rupiah, Bang! bolehkah untuk kotak amal saja?" Mouza masih sabar menanggapi pelanggannya itu dan menunjukkan kotak amal yang berada di dekat dispenser minyak."Alah! akal-akalan kau aja itu, pande kali kau, kau kira aku nggak tau akal busukmu, itu untuk kalian 'kan? sehari ini udah berapa kali dua ratus yang kalian ambil dari pelanggan?" cecar Si Pelanggan dengan nada naik dua oktaf.Mouza mengelus dada, berharap pundi-pundi kesabarannya masih bersisa banyak. "Betulan Bang! kami memang tidak punya uang pecahan sekecil itu, kalo nggak ini aja Abang ambil" Mouza merogoh kantong celananya dan memberikan uang pecahan seribu kepada pelanggan itu. Jika dia mengambil uang dari hasil penjualan, Mouza takut terjadi minus diperhitungan. Pak tarigan bisa mengintrogasinya sampai besok.Sepertinya pelanggan yang sebenarnya masih sangat muda dan tida
[Sok tau, kek anak dukun] dibubuhi emoticon mencebik.[loh gak tau aja aku kan anak dukun, mau aku pelet] emoticon lidah menjulur.[Pelet? emg ayam dikasih pelet]Begitulah mereka berbalas pesan hingga waktu menunjukkan pukul 2 dini hari. Mouza tertidur tanpa sadar.Pagi hari menyapa, cahaya nakal masuk menyelinap ke kamar Mouza tanpa permisi. Suara di luar sudah riuh. Namun Mouza enggan membuka matanya. Kebiasaan saat dia masuk shift sore."Za! mama berangkat yah, kalau mau pergi jangan lupa gembok pintu, letakkan kunci ditempat biasa" teriakan Ibu Mouza dari depan."Em" Mouza mengerang lalu menukar posisi lalu terlelap kembali.Ibu Mouza tetap bekerja sebagai cuci gosok ke rumah-rumah tetangga jika keadaannya membaik. Ibu Mouza punya penyakit asam lambung yang kalau kambuh kadang sampai sesak bernafas. Pernah suatu ketika kumat sampai wajahnya membiru. Dulu Mouza mengira Ibunya punya masalah pada paru-paru, t
Tak ada yang menjamin hati seseorang. Siapa yang bisa menebak jalan pikiran orang lain. Mouza masih sangat gugup. Pikiran jeleknya meracuni fungsi otaknya."Ayo dong, sayang! ambil yang kamu mau" titah Bu Fatma. suara lembut Bu Fatma kini terdengar bagai suara penyihir yang siap mengubahnya menjadi apapun. Menjadi tikus got yang tidak berguna atau jadi kutil gajah mungkin.Mouza tak bergeming, dia takut dan rasa takutnya membuat dia menahan nafas."Nggak ada yang kamu suka, ya? ayo bilang Ibu, kau suka makanan apa? biar Ibu masak lagi" ujar Bu Fatma masih dengan wajah yang penuh senyum."Bu-bukan begitu Bu, Ta-tapi .."Gerrrkk!Cacing Mouza sepertinya tidak bisa di ajak kompromi. Mungkin mereka sedang melakukan demo dan penyampaian orasi, menuntut hak mereka yang sedari pagi belum dipenuhi."Hehe, maaf!" Mouza tersenyum malu. Dasar cacing nggak punya ahlak, bisa-bisanya memperlakukan tuannya seperti itu. Diusir
Rendi mengantar Mouza pulang dan menunggunya bersiap-siap untuk bekerja. Waktu masih cukup banyak, mengingat laju motor Rendi yang hanya memakan waktu 15 menit untuk sampai ke tempat kerja. Mouza sudah dengan seragam merah dari SPBU. Memutuskan duduk sebentar di teras rumahnya sebelum berangkat kerja. Mereka enggan membuka suara hingga akhirnya Rendi memutuskan untuk bicara "Za, kau 'kan udah tau aku gimana, lalu urusan perjanjian kita juga udah selesai." Rendi sengaja menjeda ucapannya. "Em, kenapa rupanya?" Mouza tidak paham tujuan bicara Rendi. Rendi menghela nafas berat. "Aku nggak tau harus mulai dari mana, tapi aku merasa aku membutuhkanmu lebih dari ini?" Rendi menatap jauh kedepan. "Maksudmu?" Mouza semakin tak mengerti. "Aku memang bukan orang baik, Za! duniaku gelap, aku nakal, aku berandalan, tapi aku menemukan cahaya hidupku saat mengenalmu." Rendi memutar posisi duduknya dan kini menghad
Manusia pemilik mata itu, ternyata menyimpan bukti itu hingga detik ini. Dia siap menghancurkan Rendi kapan pun ia mau. Entah di mana Miska sekarang, masih hidup atau mati, Rendi tak pernah perduli. *** Mouza berdiri menyapa pelanggan yang sedang mengisi BBM hari ini. Dia sedang bertugas di Pom jalur 1 khusus mobil pribadi. Sapa, salam, senyum harus diterapkan maksimal. Biasanya pengisi kotak pengaduan dan pelanggan yang gila hormat selalu berasa selalu harus di layani dengan maksimal ada di jalur ini. Tidak semua, tapi lumyan banyak yang begitu. "Selamat siang! premium/solar?" Sapaan Mouza pada pelanggan yang ingin mengisi BBM di jalur itu. Kamu bisa bayangkan pada tahun berapa tahun saat itu. Di Spbu tempat mouza bekerja hanya menyediakan dua jenis bahan bakar kala itu, Premium dan Solar saja. Sebagian dari pelanggan ada yang memang baik. Tak jarang membagi makanan yang mereka bawa. Lebih sering buah-buahan, k
Disaat hati mulai menjatuhkan pilihan, saat itulah hati harus memperjuangkan rasa. Rendi dengan rasa hati yang pertama kali dia alami sepanjang hidupnya. Rasa yang tidak punya alasan khusus mengapa ia nyaman. Bahkan untuk penolakan Mouza lebih dari sekedar dekat tak membuat hatinya menjadi patah. Hanya melihat senyum itu saja sudah membuat dunia Rendi damai. Hari ini Rendi tidak bisa pulang cepat untuk menjemput Mouza. Dia sudah mengirimkan pesan sejak tadi. Hal yang selalu dia lakukan setiap saat yaitu tak pernah telat untuk memberi kabar, sekedar menyapanya dan memastikan Mouza baik-baik saja. Disinilah Rendi hari ini. Mengantri dengan puluhan atau mungkin ratusan pelamar lainnya. Perusahaan ini termasuk perusahaan besar yang memiliki cabang hampir di seluruh pulau Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Perekrutan karyawan besar-besaran, karena mereka baru saja membangun pabrik baru. Mereka butuh banyak sekali karyawan. Mengisi kekoson
Lelaki itu terduduk lemah menyadari segalanya menyerangnya dari setiap sudut. Mouza yang menyadari lelaki yang menjadi kekasihnya itu kini tengah diambang kehancuran. Tidak mengejutkan jika lelaki itu memiliki musuh dari berbagai sisi. Masa kelam Rendi memang telah membekas dan berubah menjadi boomerang yang siap menghancurkan hidupnya. Tak ada kata terlambat untuk berbuat baik, tetapi segala jejak akan tetap membekas hingga kapanpun. Tak banyak orang yang siap dengan perubahanmu, bagi sebagian kau akan tetap buruk seperti masa lalumu. Tak perduli seberapa keras kau berusaha untuk menjadi orang baik. Usaha yang dirintis Ayah Rendi benar-benar hancur ditangan orang-orang kepercayaan ayahnya sendiri, bahkan ayah Rendi harus berulang kali mendapat perawatan intensif karena drop mendapat kabar buruk itu. Sia-sia segala pengorbanannya. Rendi memutuskan pergi dari kota itu, berharap nasib baik menghampirinya. Namun nyatanya dimana pun dia berada dosanya tetap menghantui dirinya. Bertahu
Mouza berjingkat-jingkat meraih lobang ventilasi yang berada di atas pintu. Namun, karena tinggi badan Mouza yang cukup mini, hanya satu meter lima puluh lebih beberapa sentimeter saja. Usahanya sia-sia.Sebagai pekerja baru, meski diberi wewenang oleh Rendi untuk mengawasi gerak-gerik Sri, Mouza tak boleh sembrono. Dia juga harus tetap bermain cantik supaya mangsa masuk ke dalam perangkap lebih mudah.Di sudut ruangan toko, terdapat kursi bulat tempat meletakkan manekin atau patung yang dikenakan longdress agar tidak terjuntai ke lantai dan berdebu.Mouza benar-benar menaruh rasa curiga yang besar terhadap Sri.Dia angkat kursi tersebut lalu berencana berdiri di atasnya, tapi, sebelum benar-benar berhas
Pagi ini Rendi memutuskan terjun ke dunia yang telah digeluti Ayahnya sejak 30 tahun silam. Tempat ini adalah tempat yang membawa kehidupan dan martabat Pak Dame melesat tinggi, dari seorang kondektur menjadi seorang yang berkecukupan, bahkan memiliki kelas yang cukup bergengsi di kalangannya, terutama di tempat mereka tinggal. Ini kali pertama ia menginjakkan kaki di tempat ini untuk menggantikan Ayahnya, sebelumnya Rendi juga pernah bahkan sering berkunjung tapi bukan untuk membantu atau sekedar mempelajari kegiatan Ayahnya, tetapi hanya untuk meminta uang. Dari depan tampak tempat ini adalah toko pakaian, di atas pintu ruko terdapat spanduk label dari toko 'Dafa Collection' begitu tulisan besar itu terpampang besar. Toko ini juga merangkap sebagai kantor utama setelah ruang kerja yang ada di rumah kediaman mereka.&
Mouza gegas menghampiri Rendi ke rumah, dia takut Rendi dalam masalah. Kebetulan hari ini Mona sedang berada di sekolah, jadi tidak bisa menemani Mouza. Dengan sedikit negosiasi dengan ibunya, akhirnya Mouza bisa melangkah ke rumah Rendi. "Kau ngapain nyuruh aku kemari?" Pertanyaan Mouza membuat Rendi mulai bingung mau jawab dari mana. Tentu saja dia malu mengakui ketololannya di depan gadis pujaannya itu. Melihat Rendi bengong, Mouza nyelonong masuk ke dalam rumah dan membiarkan Rendi mematung sendiri di tempat itu. "Ya, ampun, beserak kali ini, Ren!" teriak Mouza kencang. Suara melengking Mouza berhasil mengembalikan nyaw
Aaggrrhh!" lolongan suara Pak Dame. HPnya terjatuh dari tangannya, sedang sebelah lagi memegangi dadanya yang terasa sesak.Bu Fatma berlari menghampiri suaminya yang terjatuh dari tempat duduknya. Dengan panik Bu Fatma meraih tubuh lelaki yang sudah tampak memucat."Kau kenapa, Bang?"Nafas Pak Dame nampak tersengal, menahan sakit di area dada sebelah kanannya. Entah apa yang sudah terjadi pada Pak Dame, Bu Fatma belum tahu, dia hanya ingin membawa Pak Dame selekasnya ke rumah sakit."Tolong! siapa saja tolong aku!" jerit Bu Fatma setengah terisak.Rumah kediaman Bu Fatma yang tertutup rapat oleh pagar tinggi, menyulitkan orang di s
Mona pun akhirnya kesal, dia memutuskan mengangkat telepon tersebut.[halo!]Suara yang sangat familiar di telinga Mona.[Bang Ganteng?]Jawab Mona Reflek.[hehe, iya ini aku]Mouza yang sejak tadi menjauh mendadak mendekat, saat Mona menyebut nama Abang Ganteng. Panggilan itu Mona sematkan hanya untuk Rendi."Rendi?" tanya Mouza, antusias. Mona mengangguk seraya memberikan telepon genggam itu ke tangan Mouza. Dengan tangan gemetar Mouza meraih benda pipih miliknya itu.
Rendi mengabaikan masalah tentang orang tuanya dulu. Urusan perut kini yang paling pertama dipenuhi agar otaknya kembali bekerja dengan baik. Dia mengobrak-abrik lemari di dapur, tampaknya tak satupun bahan makanan tersisa di sana. Benar-benar orang tuanya sudah pergi dari rumah mungkin sejak seminggu. Dari penampakan rumah yang berdebu, bisa diperkirakan begitu.Kini dia beralih ke kulkas, disana terdapat beberapa potong roti tawar dan selai coklat yang hampir tandas. Perut yang sudah tak sabar untuk diisi membuat Rendi mengabaikan tentang rasanya. Sejenak setelah selesai bersantap ria sendirian, Rendi tersadar akan kesendiriannya. 'begini jika aku akhirnya ditinggal Mama sama Ayah sendiri' batin Rendi.Kembali dilanjutkannya misi pencarian orang tuanya. Dia menuju bagasi mobil, siapa tau dia menemukan petunjuk disana. Tak lama supi
Tak sia-sia usaha Rendi mengundang orang lain ke ruangan ini. Berbekal menahan sedikit lebih lama nafasnya untuk mengelabui dua wanita bodoh itu, dan si Ucok yang tidak lulus SD, akhirnya mereka mengajak kenalan mereka yang mengerti tentang perurat nadian.Saat lelaki yang mereka panggil Anto itu masuk, Rendi membiarkan dia memeriksa semua bagian tubuhnya.Nampak segala memar dan beberapa sayatan cambukan di tubuh Rendi. Anto merupakan salah satu mantri yang bertugas di puskesmas dekat dengan rumah Rendi itu, terkejut dan menatap ke tiga manusia yang berdiri kaku di belakangnya."Dia kami temukan pingsan, jadi kami bawa kemari." Tanpa ditanya, Ucok menjelaskan sendiri. Hal itu mengundang curiga di hati mantri itu.Dengan gerakan tiba-tiba, Rendi menggenggam erat tangan Anto, lelaki yang masih mengenakan seragam putih itu menatap Rendi dengan bingung. Wajah Rendi terlihat memelas meminta pertolongan Anto. Anto ragu-ragu menafsirkan sorot mata Ren
Rendi tak percaya dengan penglihatannya sendiri. Bagaimana bisa Miska mengenal Ucok? 'Tunggu, tunggu ... Miska bukannya terlihat sedang hamil saat mencari keberadaan Mouza? lalu, kenapa sekarang tampak sangat langsing?'Rendi merasa otaknya sudah kacau. Di belakangnya ada Wiwik si gadis genit. Mereka melambai-lambai ke arah Rendi, tersenyum binal dan menggoda Rendi dengan erotis."Hai, Abang ganteng, apa kabar?" ucap Wiwik sambil mencubit genit dagu Rendi.Rendi memalingkan wajahnya, menghindari sentuhan liar dari Wiwik."Kok malu-malu kau, Bang? bukannya biasanya kau langsung nerkam? hahaha!" Wiwik tampak seperti iblis betina yang sedang menggoda.Rendi beralih menatap wanita yang sama persis dengan wajah milik Miska."Kau?" tanya Rendi, ragu."Hahaha! tampaknya otak kau masih berfungsi dengan baik, yah! aku Miska."Seringainya bagaikan singa kelaparan."Tapi ...."