Rendi mengantar Mouza pulang dan menunggunya bersiap-siap untuk bekerja. Waktu masih cukup banyak, mengingat laju motor Rendi yang hanya memakan waktu 15 menit untuk sampai ke tempat kerja.
Mouza sudah dengan seragam merah dari SPBU. Memutuskan duduk sebentar di teras rumahnya sebelum berangkat kerja. Mereka enggan membuka suara hingga akhirnya Rendi memutuskan untuk bicara
"Za, kau 'kan udah tau aku gimana, lalu urusan perjanjian kita juga udah selesai." Rendi sengaja menjeda ucapannya.
"Em, kenapa rupanya?" Mouza tidak paham tujuan bicara Rendi.
Rendi menghela nafas berat. "Aku nggak tau harus mulai dari mana, tapi aku merasa aku membutuhkanmu lebih dari ini?" Rendi menatap jauh kedepan.
"Maksudmu?" Mouza semakin tak mengerti.
"Aku memang bukan orang baik, Za! duniaku gelap, aku nakal, aku berandalan, tapi aku menemukan cahaya hidupku saat mengenalmu." Rendi memutar posisi duduknya dan kini menghad
Manusia pemilik mata itu, ternyata menyimpan bukti itu hingga detik ini. Dia siap menghancurkan Rendi kapan pun ia mau. Entah di mana Miska sekarang, masih hidup atau mati, Rendi tak pernah perduli. *** Mouza berdiri menyapa pelanggan yang sedang mengisi BBM hari ini. Dia sedang bertugas di Pom jalur 1 khusus mobil pribadi. Sapa, salam, senyum harus diterapkan maksimal. Biasanya pengisi kotak pengaduan dan pelanggan yang gila hormat selalu berasa selalu harus di layani dengan maksimal ada di jalur ini. Tidak semua, tapi lumyan banyak yang begitu. "Selamat siang! premium/solar?" Sapaan Mouza pada pelanggan yang ingin mengisi BBM di jalur itu. Kamu bisa bayangkan pada tahun berapa tahun saat itu. Di Spbu tempat mouza bekerja hanya menyediakan dua jenis bahan bakar kala itu, Premium dan Solar saja. Sebagian dari pelanggan ada yang memang baik. Tak jarang membagi makanan yang mereka bawa. Lebih sering buah-buahan, k
Disaat hati mulai menjatuhkan pilihan, saat itulah hati harus memperjuangkan rasa. Rendi dengan rasa hati yang pertama kali dia alami sepanjang hidupnya. Rasa yang tidak punya alasan khusus mengapa ia nyaman. Bahkan untuk penolakan Mouza lebih dari sekedar dekat tak membuat hatinya menjadi patah. Hanya melihat senyum itu saja sudah membuat dunia Rendi damai. Hari ini Rendi tidak bisa pulang cepat untuk menjemput Mouza. Dia sudah mengirimkan pesan sejak tadi. Hal yang selalu dia lakukan setiap saat yaitu tak pernah telat untuk memberi kabar, sekedar menyapanya dan memastikan Mouza baik-baik saja. Disinilah Rendi hari ini. Mengantri dengan puluhan atau mungkin ratusan pelamar lainnya. Perusahaan ini termasuk perusahaan besar yang memiliki cabang hampir di seluruh pulau Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Perekrutan karyawan besar-besaran, karena mereka baru saja membangun pabrik baru. Mereka butuh banyak sekali karyawan. Mengisi kekoson
Rendi semakin mempercepat langkahnya. Dia ingin memperjelas siapa yang sedang mengobrol dengan Mouza. Terus terang saja, Rendi khawatir Mouza menyukai pria lain, secara hubungan mereka belum jadi apa-apa. Dia tak mau siapapun mendekati Mouza. Posesif? tentu saja, tidak ada satu pun manusia yang mau berbagi apalagi urusan hati.Alangkah terkejutnya dia melihat siapa yang sekarang bersama Mouza.Marko? yah Marko! Marko sedang mengobrol dengan Mouza. Bahkan dia masih memakai seragam yang tadi ia pakai di kantor."Kimak!" Rendi mengumpat."Apa yang diinginkan pria brengsek itu sekarang?" Gigi Rendi gemurutuk menahan amarahnya. " Benar-benar cari perkara anak ini" Rendi meremas tangannya dengan sangat kuat hingga buku tangannya terlihat memutih.Seketika tatapan Mouza mengarah ke tempat Rendi berdiri. Mouza tersenyum girang dan melambaikan tangan ke arah Rendi. "Ren! kenapa kau berdiri disitu, sini! " Mouza mengibas
Rendi melajukan sepeda motornya meninggalkan kediaman Mouza. Pikirannya berputar-putar sekitar rencana busuk Marko. Dia benar-benar tak menyangka akibat dari kenakalannya harus berimbas pada orang yang dia sayangi."Marko bajingan! arrggghhh! " Rendi mengerang frustasi.Ting!1 notifikasi pesan di layar HP Rendi.[Siapkan dirimu menempuh hari esok, karena semua akan kumulai besok] pesan itu dibubuhkan tiga emotikon mencebik seperti senyum merendahkan yang khas dari pengirim pesan, siapa lagi kalau bukan Marko.Rendi menggenggam ponselnya dengan sangat kuat. Entah kemana dia harus melepaskan kekesalannya. Ponselnya berdering kembali, tanpa melihat siapa yang memanggil Rendi mengangkat telepon itu begitu saja.[Apa lag...] ucapan Rendi menggantung saat mendengar suara wanita mengucap halo.[Kau kenapa?] Suara di seberang bingung tiba-tiba di bentak.[Maaf, aku kira tadi teman]
Kepanikan luar biasa yang dirasakan Rendi membuatnya hampir saja menyeruduk truk besar, beruntung dia tak sampai mengalami kecelakaan. Dia memacu lebih kencang sepeda motor ninjanya. Hingga waktu yang seharusnya memakan waktu 45 menit di pangkas hanya 20 menit dan hampir saja menjadi korban laka lantas.Sesampainya di lokasi tempat kerja Mouza, Rendi gegas menuju warung yang disebutkan Mouza. Dia masuk ke dalam warung yang tersusun meja dan kursi berjejer rapi. Namun, tak satu dari orang yang dicarinya berada disana."Kemana kau, Za! lirih Rendi frustasi.Dia berinisiatif bertanya pada pemilik warung. Pasti dia kenal Mouza, karena warung ini sangat dekat dengan Pom bensin." Wak, mau tanya, tadi Mouza kemari?" tanya Rendi sopan pada pemilik warung."Oh, Mouza tadi ada, tapi udah pergi," jawab pemilik warung sekenanya.Rendi semakin gusar. Dia tak bisa bayangkan apa yang terjadi pada Mouza jika Marko benar-
Mereka saling terdiam, sibuk dalam pikiran masing-masing. Malu, sungkan dan entah apa lagi yang mengganggu suasana hati sehingga mereka sangat canggung.Suasana makan malam riuh, ramai karena ulah Mona yang tak bisa diam. Sekejab dia bisa sangat akrab dengan Bu Fatma. Terlihat jelas sekali Bu Fatma yang begitu penyanyang sangat sabar menghadapi adik Mouza yang sangat banyak bicara. Sebenarnya Mouza juga anak yang ramai cuma tak seperti Mona yang gampang akrab dengan siapa saja.Mouza dan Rendi menikmati makan dalam diam. Mereka hanya ikut tertawa sesekali mendengar celoteh Mona. Saat tak sengaja mata mereka bersitatap, Mouza langsung menundukkan kepalanya. Dia begitu malu mengingat kejadian di atas motor barusan. Perasaan canggung tetap menyelimuti sampai waktunya mereka pulang.Di atas Motor mereka hanya diam dan menikmati terpaan angin malam membelai wajah. Rendi bingung harus dari mana memulai agar rasa canggung itu segera berakhir. Sungguh
Kita boleh merasa sangat kuat, tapi Tuhan punya caranya untuk menunjukkan kelemahan kita. Rendi harus berada di Jambi selama 7 hari. Selama itu juga hatinya penuh kecemasan. Hampir tiap menit dia menanyakan kabar Mouza, baik dari rekan kerjanya Rizal, Rini termasuk Pak Tarigan kalau Mouza tak segera membalas pesannya. Selama itu pula Marko mendekati Mouza dengan gencar. Dia akan membuat Mouza jatuh hati dan membuangnya sama seperti yang dilakukan Rendi pada Miska. Hari ini sengaja dia mampir ke tempat kerja Mouza. Seperti biasa menjadi pelanggan di Pom bensin itu. Marko mengatakan pada Mouza ingin berbicara sesuatu pada Mouza selesai kerja nanti, Mouza menyanggupinya. Waktu pulang pun tiba, gegas Mouza menuju tempat parkir dan ingin segera menemui Marko. Bukan tentang pertemuannya dengan Marko yang penting, tapi Mouza penasaran apa yang ingin disampaikan Marko kepadanya. Dari belakang Rini mengejar Mouza, Rendi telah berpesan p
Rini mengangkat bahunya acuh. Seketika warna ceria pada wajah Marko berubah gelap. "Rin, bukannya kau sahabatnya? Kok gitu sih kau?" Wajah Rendi begitu memelas. Rini hanya diam tak berniat menjelaskan sesuatu. Ada suatu hal yang dia ketahui tentang Miska, tapi dia merasa tidak perlu memberi tahu lelaki yang juga tak pernah memandangnya. Ada sakit hati yang terluka dalam karena Marko. Bukan tentang cinta yang tak bersambut, tetapi, bagaimana Marko tak pernah menghargai usahanya untuk mendekatinya. Miska bahkan rela tidak jajan beberapa bulan hanya untuk membelikan sepatu impian Marko, rela bekerja seharian di pasar hanya untuk mewujudkan impian Marko memiliki benda itu. Dia bertekad menghadiahkan sepatu itu pada hari ulang tahun Marko. Kala itu mereka masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Tepat di hari ulang tahun Marko yang ke 16 tahun, dari hasil jerih payahnya, Rini menghadiahkan sepatu yang memiliki nama bran
Lelaki itu terduduk lemah menyadari segalanya menyerangnya dari setiap sudut. Mouza yang menyadari lelaki yang menjadi kekasihnya itu kini tengah diambang kehancuran. Tidak mengejutkan jika lelaki itu memiliki musuh dari berbagai sisi. Masa kelam Rendi memang telah membekas dan berubah menjadi boomerang yang siap menghancurkan hidupnya. Tak ada kata terlambat untuk berbuat baik, tetapi segala jejak akan tetap membekas hingga kapanpun. Tak banyak orang yang siap dengan perubahanmu, bagi sebagian kau akan tetap buruk seperti masa lalumu. Tak perduli seberapa keras kau berusaha untuk menjadi orang baik. Usaha yang dirintis Ayah Rendi benar-benar hancur ditangan orang-orang kepercayaan ayahnya sendiri, bahkan ayah Rendi harus berulang kali mendapat perawatan intensif karena drop mendapat kabar buruk itu. Sia-sia segala pengorbanannya. Rendi memutuskan pergi dari kota itu, berharap nasib baik menghampirinya. Namun nyatanya dimana pun dia berada dosanya tetap menghantui dirinya. Bertahu
Mouza berjingkat-jingkat meraih lobang ventilasi yang berada di atas pintu. Namun, karena tinggi badan Mouza yang cukup mini, hanya satu meter lima puluh lebih beberapa sentimeter saja. Usahanya sia-sia.Sebagai pekerja baru, meski diberi wewenang oleh Rendi untuk mengawasi gerak-gerik Sri, Mouza tak boleh sembrono. Dia juga harus tetap bermain cantik supaya mangsa masuk ke dalam perangkap lebih mudah.Di sudut ruangan toko, terdapat kursi bulat tempat meletakkan manekin atau patung yang dikenakan longdress agar tidak terjuntai ke lantai dan berdebu.Mouza benar-benar menaruh rasa curiga yang besar terhadap Sri.Dia angkat kursi tersebut lalu berencana berdiri di atasnya, tapi, sebelum benar-benar berhas
Pagi ini Rendi memutuskan terjun ke dunia yang telah digeluti Ayahnya sejak 30 tahun silam. Tempat ini adalah tempat yang membawa kehidupan dan martabat Pak Dame melesat tinggi, dari seorang kondektur menjadi seorang yang berkecukupan, bahkan memiliki kelas yang cukup bergengsi di kalangannya, terutama di tempat mereka tinggal. Ini kali pertama ia menginjakkan kaki di tempat ini untuk menggantikan Ayahnya, sebelumnya Rendi juga pernah bahkan sering berkunjung tapi bukan untuk membantu atau sekedar mempelajari kegiatan Ayahnya, tetapi hanya untuk meminta uang. Dari depan tampak tempat ini adalah toko pakaian, di atas pintu ruko terdapat spanduk label dari toko 'Dafa Collection' begitu tulisan besar itu terpampang besar. Toko ini juga merangkap sebagai kantor utama setelah ruang kerja yang ada di rumah kediaman mereka.&
Mouza gegas menghampiri Rendi ke rumah, dia takut Rendi dalam masalah. Kebetulan hari ini Mona sedang berada di sekolah, jadi tidak bisa menemani Mouza. Dengan sedikit negosiasi dengan ibunya, akhirnya Mouza bisa melangkah ke rumah Rendi. "Kau ngapain nyuruh aku kemari?" Pertanyaan Mouza membuat Rendi mulai bingung mau jawab dari mana. Tentu saja dia malu mengakui ketololannya di depan gadis pujaannya itu. Melihat Rendi bengong, Mouza nyelonong masuk ke dalam rumah dan membiarkan Rendi mematung sendiri di tempat itu. "Ya, ampun, beserak kali ini, Ren!" teriak Mouza kencang. Suara melengking Mouza berhasil mengembalikan nyaw
Aaggrrhh!" lolongan suara Pak Dame. HPnya terjatuh dari tangannya, sedang sebelah lagi memegangi dadanya yang terasa sesak.Bu Fatma berlari menghampiri suaminya yang terjatuh dari tempat duduknya. Dengan panik Bu Fatma meraih tubuh lelaki yang sudah tampak memucat."Kau kenapa, Bang?"Nafas Pak Dame nampak tersengal, menahan sakit di area dada sebelah kanannya. Entah apa yang sudah terjadi pada Pak Dame, Bu Fatma belum tahu, dia hanya ingin membawa Pak Dame selekasnya ke rumah sakit."Tolong! siapa saja tolong aku!" jerit Bu Fatma setengah terisak.Rumah kediaman Bu Fatma yang tertutup rapat oleh pagar tinggi, menyulitkan orang di s
Mona pun akhirnya kesal, dia memutuskan mengangkat telepon tersebut.[halo!]Suara yang sangat familiar di telinga Mona.[Bang Ganteng?]Jawab Mona Reflek.[hehe, iya ini aku]Mouza yang sejak tadi menjauh mendadak mendekat, saat Mona menyebut nama Abang Ganteng. Panggilan itu Mona sematkan hanya untuk Rendi."Rendi?" tanya Mouza, antusias. Mona mengangguk seraya memberikan telepon genggam itu ke tangan Mouza. Dengan tangan gemetar Mouza meraih benda pipih miliknya itu.
Rendi mengabaikan masalah tentang orang tuanya dulu. Urusan perut kini yang paling pertama dipenuhi agar otaknya kembali bekerja dengan baik. Dia mengobrak-abrik lemari di dapur, tampaknya tak satupun bahan makanan tersisa di sana. Benar-benar orang tuanya sudah pergi dari rumah mungkin sejak seminggu. Dari penampakan rumah yang berdebu, bisa diperkirakan begitu.Kini dia beralih ke kulkas, disana terdapat beberapa potong roti tawar dan selai coklat yang hampir tandas. Perut yang sudah tak sabar untuk diisi membuat Rendi mengabaikan tentang rasanya. Sejenak setelah selesai bersantap ria sendirian, Rendi tersadar akan kesendiriannya. 'begini jika aku akhirnya ditinggal Mama sama Ayah sendiri' batin Rendi.Kembali dilanjutkannya misi pencarian orang tuanya. Dia menuju bagasi mobil, siapa tau dia menemukan petunjuk disana. Tak lama supi
Tak sia-sia usaha Rendi mengundang orang lain ke ruangan ini. Berbekal menahan sedikit lebih lama nafasnya untuk mengelabui dua wanita bodoh itu, dan si Ucok yang tidak lulus SD, akhirnya mereka mengajak kenalan mereka yang mengerti tentang perurat nadian.Saat lelaki yang mereka panggil Anto itu masuk, Rendi membiarkan dia memeriksa semua bagian tubuhnya.Nampak segala memar dan beberapa sayatan cambukan di tubuh Rendi. Anto merupakan salah satu mantri yang bertugas di puskesmas dekat dengan rumah Rendi itu, terkejut dan menatap ke tiga manusia yang berdiri kaku di belakangnya."Dia kami temukan pingsan, jadi kami bawa kemari." Tanpa ditanya, Ucok menjelaskan sendiri. Hal itu mengundang curiga di hati mantri itu.Dengan gerakan tiba-tiba, Rendi menggenggam erat tangan Anto, lelaki yang masih mengenakan seragam putih itu menatap Rendi dengan bingung. Wajah Rendi terlihat memelas meminta pertolongan Anto. Anto ragu-ragu menafsirkan sorot mata Ren
Rendi tak percaya dengan penglihatannya sendiri. Bagaimana bisa Miska mengenal Ucok? 'Tunggu, tunggu ... Miska bukannya terlihat sedang hamil saat mencari keberadaan Mouza? lalu, kenapa sekarang tampak sangat langsing?'Rendi merasa otaknya sudah kacau. Di belakangnya ada Wiwik si gadis genit. Mereka melambai-lambai ke arah Rendi, tersenyum binal dan menggoda Rendi dengan erotis."Hai, Abang ganteng, apa kabar?" ucap Wiwik sambil mencubit genit dagu Rendi.Rendi memalingkan wajahnya, menghindari sentuhan liar dari Wiwik."Kok malu-malu kau, Bang? bukannya biasanya kau langsung nerkam? hahaha!" Wiwik tampak seperti iblis betina yang sedang menggoda.Rendi beralih menatap wanita yang sama persis dengan wajah milik Miska."Kau?" tanya Rendi, ragu."Hahaha! tampaknya otak kau masih berfungsi dengan baik, yah! aku Miska."Seringainya bagaikan singa kelaparan."Tapi ...."