Pertanyaan itu berputar-putar di kepalanya.
Entah imajinasi apa yang membuat pikirannya menyamakan gadis operator SPBU dengan gadis yang di teleponnya kemarin. Dia merasa ada keterkaitan atau pikirannya yang memang terlalu melanglang buana. Dia teringat kepanikan gadis operator SPBU itu, bibir mungilnya yang terus meminta maaf, rambut panjangnya yang lurus, dan wangi parfum sederhana yang masih menempel diingatannya. Bagaimana mungkin dalam satu waktu Rendi menggilai dua wanita sekaligus. Rendi menyugar rambutnya. Dia tak pernah mengagumi seseorang segila ini. Disini Rendi sekarang, terdampar di bentangan kasur yang empuk, sudah lama sekali dia tak menghuni rumah di jam segini. Biasanya, dia sudah keluar dari rumah sejak siang, bahkan terkadang pulang ke rumah hanya berganti pakaian saja. Ponselnya sejak tadi berdering, siapa lagi yang sibuk meneleponnya selain Ucok. Dia hanya menatap layar ponselnya sesekali dan mengabaikannya. Dunia gelapnya kini tidak memiliki daya tarik di hatinya. Makian gadis di telepon dan wajah gadis penjual minyak kini bertahtah dengan megah di hati dan pikirannya. Perut Rendi yang kini menuntut agar segera diisi, membawa kaki rendi melangkah ke dapur yang hanya sesekali di kunjunginya. Dia mengubrak-abrik lemari tempat penyimpanan makanan, namun nihil,tidak ada satu makanan tersimpan disana. "Mak! O, Mak!" Rendi berteriak mencari keberadaan wanita penghuni tetap rumah ini.Dia mencari ke kamar, ruang keluarga, semua kosong.
"Kemananya Mamak ini," dia bergumam sendiri.
Terdengar suara dua manusia bercengkrama di teras belakang rumah. Dia lekas menuju kesana.
"Disininya rupanya Mamak? dipanggilin dari tadi bukannya nyahut" Rendi mendumel bak anak kecil. Mamanya Rendi, Ibu Fatma merasa terkejut melihat Rendi berada di rumah jam segini. Dia berdiri menghampiri Rendi, lalu menempelkan tangannya di kening Rendi.
"Nggak panas,"gumam Bu Fatma.
"Apanya Mamak ini, ah! aku lapar Mak, kenapa gak ada makanan"
Wanita paruh baya itu tersenyum, sudah lama anaknya ini tidak meminta dia memasakkan sesuatu. Ibu Fatma sadar, Rendi menjadi anak nakal karena didikan yang salah dari dia dan suaminya. Fatma terlalu memanjakannya. Anak satu-satunya dan penantian yang panjang seperti alasan tak terbantahkan untuk menuruti apa saja kemauan Rendi. Kini didikannya membuahkan hasil yang sangat miris, Rendi menjadi sangat nakal dan tak jarang terjerat kasus kriminal. Ayahnya selalu membelanya hingga kini. Ayah Rendi takkan segan-segan mengeluarkan uang banyak hanya untuk membebaskan Rendi dari jeratan hukumFatma sudah meminta suaminya agar membiarkan Rendi menjalani hukumannya jika salah, biar ada efek jera, begitu niat hatinya. Suaminya, yang akrab di panggil Pak Dame tidak setuju. Anakku cuma satu, aku hidup untuk anakku, selama aku hidup, akan ku perjuangkan. Begitu selalu jawaban suaminya. Masalahnya, manusia tidak bisa abadi hidup di dunia ini, sama dengan Bu Fatma dan Pak Dame. Jika waktunya telah tiba, maka mereka akan kembali menghadap Sang Ilahi. Lalu, bagaimana anaknya tanpa mereka?Bu Fatma hanya bisa mengadu dan meminta belas kasih kepada Sang Maha Pembolak-balik hati, agar menunjukkan jalan yang benar untuk putra semata wayangnya. "Mak!" Rendi membuyarkan lamunan Ibunya."Oih, anak ini, bikin kaget aja," kata Fatma sambil mengusap dadanya.
"Lapar loh, Mak! Mamak malah melamun." Bibir Rendi menyerucut, dia memang sangat manja apalagi terhadap Ibunya.
Bu fatma berjalan menuju dapur, Rendi mengekor seperti anak kecil.
"Mak! Mamak pernah gak jatuh cinta?" tanya Rendi sembari menjatuhkan bokongnya di kursi.
Bu fatma memutar badan dan menatap anaknya lamat-lamat.
"Pernah" jawab Bu fatma sambil tersenyum."Gimana rasanya? maksudku, kek mana perasaan Mama?" Rendi bertanya lagi dengan antusias. Dia menggeser kursi tempat dia duduk ke dekat Ibunya.
Bu Fatma hanya tersenyum melihat tingkah lucu anaknya.
"Mak! jawablah Mak! Malah senyum-senyum." Rendi nampak tak sabaran menanti jawaban Ibunya.
Bu Fatma malah menoel hidung mancung anaknya.
"Lagi jatuh cinta rupanya kau?""Kan, Mamak ini, ditanya malah balek nanyak." Rendi mencebik.
Bu Fatma membawa sepiring nasi goreng menuju meja makan, pikirannya kembali menerawang awal mula dia bertemu Pak Dame suaminya. Pak Dame yang persis seperti putranya itu, hanya saja Pak Dame tidak senakal anaknya.
Dame hanyalah seorang kondektur metro mini di Ibu Kota Jakarta, sedangkan Fatma mahasiswi calon sarjana ekonomi kala itu. Berawal dari tas Fatma yang di ambil paksa oleh preman di terminal, dengan sigap Dame menolong Fatma dan berujung pada perkenalan.Benih-benih cinta tumbuh tanpa mampu dicegah, Fatma jatuh cinta pada pemuda tampan berwajah tegas itu, cintanya juga tidak mulus berjalan hingga ke pelaminan. Ada Ayah Fatma yang melarang keras hubungan mereka.
'Masa anakku calon sarjana ekonomi disandingkan dengan kau yang hanya kondektur metromini, mau di kasih makan apa anakku? Asap mobil?' itu kata hinaan yang membangkitkan semangat Dame, walaupun tidak sarjana, tapi dia bisa memberi makan Fatma kelak dengan layak. Segala usaha dia lakoni, berjualan pakaian di Tanah Abang, berbisnis buah dari kampungnya Berastagi dan banyak hal yang dilakukan tanpa lelah. Fatma yang jago dalam ilmu ekonomi, membantu Dame hingga usaha mereka berkembang pesat.Lamaran Dame pun tak mampu di tolak Ayah Fatma, kegigihannya yang membuat tembok kokoh di hati Ayah Fatma runtuh. Dame memboyong Fatma pulang ke kampungnya di Medan, disinilah mereka kembali memulai usaha, bahkan usaha mereka merambah ke pakain bekas impor di Sambu atau yang lebih sering masyarakat Medan menyebutnya Pajak Sambu.Usaha Fatma dan Dame berkembang dengan cepat, namun, ada hal yang membuat kebahagiaan mereka tak sempurna, hingga delapan tahun penantian. Segala upaya dilakukan hingga jalan pasrah menjadi pilihan terakhir. Tuhan begitu mencintai kegigihan hati Fatma yang tak lelah mengemis pada Sang Pemberi hidup, akhirnya di usia Fatma yang ke 30 tahun hadirlah Rendi di tengah-tengah mereka.
Dame berjanji, akan membahagiakan, menjaga titipan Tuhan itu, tapi yang berujung salah didik. Rendi sudah lulus sarjana sejak dua tahun lalu, tapi , dia tetap bergantung pada Ayah dan Ibunya. Tak satu pekerjaan pun yang dia coba. Rendi meninggalkan Ibunya yang berkelana dalam lamunan, rasanya dia tidak menemukan jawaban yang sama dengan yang dia rasakan. Dia teringat temannya Ucok, walaupun tidak yakin kalau Ucok bisa memecahkan masalah hatinya. Tak lama setelah pesan untuk Ucok terkirim, sahabat nakalnya itu sudah sampai di depan pintu rumah Rendi. Ucok sudah hapal seluk beluk rumah ini, dia nyelonong masuk tanpa permisi dan langsung menuju kamar Rendi. Rendi yang tengah asik membayangkan wajah cantik gadis penjual minyak, terkejut hingga tersentak saat Ucok tiba-tiba duduk disampingnya."Ahh, Bab*nya anak ini, tekejot kali aku." Rendi mengusap dadanya.
"Apanya kau? Mulai gak jelas anak ini kutengok." Ucok mengeryitkan dahinya bingung.
"Kaunya datang gak ngucap salam, main nyosor aja," kata Rendi kesal.
"Omaak! salam, kerasukan jin mana kau pake salam, kejedot pala kau iya, makanya kek kurang waras kutengok kau." Ucok menempelkan tangannya di jidat Rendi sambil menggeleng.
"Rusak anak ini bah," kata Ucok bergumam.
"Bapak kau rusak, enak kali ngomong, itu minum, manatau butuh minum kau," Rendi memonyongkan mulutnya, menunjuk ke arah nakas tempat air putih berada.
"Air putih?" Ucok mengangkat teko bening dan menatap heran ke arah Rendi. Ucok semakin tak mengerti dengan sahabatnya itu. Biasanya sekalipun di larang, Rendi tetap menyembunyikan sebotol atau dua botol minuman keras di kamarnya. Kali ini berbeda, rasanya wajah gadis itu sudah cukup membuatnya mabuk kepayang. "Serius kau Boi, kenapanya kau? Kek gak asik kali kutengok kau belakangan ini, kenak marah Bapakmu kau?" Ucok menatap Rendi dengan wajah serius. Masalahnya lebih berbahaya jika Ayah Rendi tidak memihak mereka lagi, bisa-bisa jika terjerat kasus mereka akan membusuk dalam penjara. Rendi menghela nafas, dia bingung mau memulai dari mana. Dia juga tak yakin manusia di depannya itu mampu memberi solusi yang waras. Tapi, dia tidak punya sahabat lain."Cok! pernahnya kau jatuh cinta?"
Bruubb! Ucok menyemburkan air yang berada di mulutnya reflek. Dia tak menyangka Rendi lelaki yang tidak punya rasa empaty itu menanyakan cinta.
Segera Ucok menyeka air yang menempel di bibirnya yang kehitaman."Apa Boi? jatuh cinta? gak salah makan kau 'kan?" Ucok menghampiri Rendi.
"Serius dulu, Cok!" ujar Rendi lagi. Ucok mulai menangkap sesuatu yang tidak beres dengan temannya. "Kau suka sama cewek, Boi?" kali ini Ucok duduk menghadap Rendi. Dia ingin memastikan sesuatu hal buruk merusak kejiwaan temannya itu, maksudnya hal yang mengubah Rendi menjadi manusia baik, Itu adalah hal buruk untuk Ucok.Rendi hanya mengangguk lemah.
"Jadi, itu yang buat kau nggak datang nongki sama kita, Boi?" cecar Ucok. Rendi hanya diam. Dia tau Ucok kecewa, tapi bagaimana, sebenarnya dia juga ingin menjadi pemuda biasa yang lebih baik untuk orang tuanya. Tapi, dunia miras lebih mengasikkan untuk saat itu, tapi, untuk saat ini, senyuman gadis penjual minyak adalah candu baru untuknya.Ucok pergi tanpa permisi, mungkin ada kecewa di hatinya, Rendi mengabaikan mereka karena perempuan. Rendi mengingkari thema persahabatan mereka 'miras yes!, sahabat yes! , perempuan no!'
Itu bagai motto hidup mereka selama ini. Jika pun ada perempuan, itu hanya sekedar pelengkap dari minuman mereka.Rendi tak peduli, yang ada di otaknya kini adalah bagaimana cara berkenalan dengan gadis itu, bagaimana cara memulai menyapanya dan memandang wajah gadis itu lebih dekat.Sesuai dengan rencana di otaknya, pagi ini dia berencana pergi ke SPBU yang disebut galon di daerahnya tinggal, mengisi bahan bakar dan tentu tujuannya melihat gadis pujaannya.Saat dia ingin mengantri, ternyata gadis pujaannya tidak berada disana. Matanya celingukan mencari-cari keberadaan Mouza. Bukan Rendi namanya kalau dia tidak mendapatkan apa yang dia mau.Dihampirinya gadis yang sedang bertugas disana."Mana perempuan semalam yang ngisi minyakku disini?" kata Rendi dengan gaya khas preman.Gadis itu bingung, perempuan mana maksud Rendi. Dia mendongakkan kepalanya kearah temannya, meminta penjelasan.Temannya pun menggeleng, mereka tidak tau siapa yang dimaksud."Nggak tau aku siapa maksud Abang, kami baru roker shift Bang, coba abang tanya petugas Pom 3," gadis itu menunjuk teman di seberang sana.Rendi memacu kuda besinya, dia menerobos jalur khusus mobil pribadi. Siapa yang berani melarangnya
Rendi mengantar Mouza sampai ke depan pintu rumah, adik Mouza yang bernama Mona menatap heran kakaknya."Tumben ada cowok nganterin kakakku, ganteng pulak itu, agrrhh! paling tukang bengkel, mana ada cowok mau sama perempuan cerewet kelas kakap itu" Gumam Mona. Dia tetap berdiri mengawasi mereka di balik kaca jendela."Besok masuk pagi, kan? Minta nomor hapemu biar bisa kau ku telpon" titah Rendi."Nggak usah, besok aku berangkat sendiri" kata Mouza ketus."Naik apa kau paok, keretamu aja tinggal di galon"ejek Rendi sambil menonyor jidat Mouza."Bagus-bagus kau, kepala ini," pungkas Mouza kesal sambil mengurut jidatnya yang lebar itu."Pokoknya nggak mau aku titik! gak pake koma," tandas Mouza berlalu meninggalkan Rendi. Rendi menaikkan bahunya tanda tak peduli, yang terpenting baginya dia sudah tau alamat gadis cantik pekerja pom bensin itu.Rendi tak perduli lagi teman nongkrongnya. Saat ini kemba
Rendi mulai uring-uringan dengan dirinya sendiri. Dia merasa benar-benar bukan manusia berguna selama ini. Tak salah ucapan Mouza saat di telepon dulu, dia tak lebih baik dari seekor monyet. Dia malu mengakui dirinya sebagai laki-laki sekarang. Mouza yang wanita saja bekerja memenuhi keinginan dan kebutuhan keluarganya. Dia sejak lahir hingga berusia 24 tahun tetap bersandar pada penghasilan orang tua.Tiba-tiba timbul keinginan Rendi untuk bekerja. Meskipun dia tidak tau harus memulai dari mana. Dia membongkar lemari tempat menyimpan buku dan beberapa berkas penting dan mencari kertas yang berisi hasil nilai akhir saat dia kuliah dulu.Sejak lulus kuliah hingga dua tahun sejak itu, Rendi tak sekalipun melihat ijazah itu, dia tidak pernah tau dan tidak pernah ingin tau apa saja yang tertulis disana. Baginya lulus kuliah sesuai kemauan orang tuanya sudah cukup itupun hasil sogokan dan mengancam teman membuatkannya skiripsi.Kertas yang dicari pun keli
Setelah hitung-hitungan berakhir dengan kasir, Mouza dan Rini berjalan ke belakang kantor. Disana ada teras menyerupai balkon yang menghadap ke pemukiman penduduk. Lokasi Pom bensin itu lebih tinggi dari pemukiman di sekitarnya. Ada beberapa kolam ikan dan pohon, serta gunung-gunung tinggi yang terlihat jelas dari sana, pemandangan itu mampu menghibur hati saat lelah seharian bekerja.Mouza duduk menghadap ke arah bantaran rumah yang berjejer tak beraturan. Matanya memandang sayu. Sebenarnya dia tak mengerti kenapa dia harus merasa seperti ini. Toh selama ini dia hanya menjalani hukuman. Dia tak menyangka hatinya nyaman bersama Rendi."Za, kenapa kau?" tanya Rini membuka obrolan.Mouza menarik nafas dan menghembuskan kasar, berharap perasaan aneh yang menggerogoti hatinya sedikit berkurang."Za, kenapa kau?" Rini mengulang pertanyaannya saat Mouza tak kunjung menjawab."Pening aku, Rin" lirih Mouza sendu."Cerita
Mouza tetap menangis, dia tidak sadar melewati rumah Pamannya. Kebetulan Paman Mouza sedang bersantai di teras dan melihat Mouza melintas sambil menangis."kenapa Mouza" batin Paman Mouza. Dia memperhatikan seksama. Ada pemuda yang dikenalnya dengan kenakalannya sedang mengikuti keponakannya.Tanpa babibu, Paman Mouza berlari ke arah Rendi dan langsung mendaratkan bogem mentah ke wajah Rendi.Rendi yang tidak siap saat di serang terjungkal ke aspal. Ada darah segar menetes dari sudut bibir Rendi."kimak!" umpat Rendi marah.Mouza terkejut bukan main. Dia sempat terdiam tidak tau mau berbuat apa. Lidahnya kelu saat melihat Rendi adu jotos dengan Pamannya."Rendi! sudah!" Mouza berteriak menghentikan Rendi, tapi kepalang emosi karena diserang duluan. Rendi tetap melawan pukulan Paman Mouza, hingga memancing perhatian warga. Warga berdatangan, kini Rendi bak buruan yang siap di tangkap massa.Mouza mak
Mouza menekuk wajahnya semakin dalam. Persis seperti wajah yang sedang ditagih hutang pas bulan tua. Mungkin memilih diam adalah pilihan terbaik kali ini. Jika orang tua Rendi kelak harus tau, maka Mouza telah siap menanggung konsekuensinya.Bu Fatma yang sebenarnya penasaran dengan siapa gadis di sampingnya dan apa hubungannya dengan Rendi? Kenapa dia begitu mengkhawatirkan Rendi? Bu Fatma ingin menyerbu gadis itu dengan berbagai pertanyaan lainnya, namun ia mengurungkan niatnya untuk mencecar gadis itu. Takutnya gadis itu malah takut padanya dan pergi.Bu Fatma memutuskan meraih tubuh kurus Mouza, membawanya dalam pelukan hangatnya. Terlihat gadis berwajah tirus itu cukup lelah. Bahkan lingkar hitam membulat melingkari mata Mouza."Terima kasih telah menolong anakku," bisik Bu Fatma lembut.Entah harus mengangguk atau bagaimana, leher Mouza mendadak kaku. Dia diam tak bergerak dalam pelukan Bu Fatma."Tidurlah kalo cap
Kekacauan Pikiran Mouza membuat mulut dan otaknya tidak terkonek dengan Baik. Wajah Mouza persis seperti udang rebus karena menahan malu. Sesekali dia melirik ke arah Rendi yang masih tetap senyum-senyum sendiri menahan sesuatu yang menggelitik hatinya. Kalau tidak dilarang Bu Fatma, mungkin dia masih terus menertawakan jawaban Mouza.Mereka menyantap makanan di depan mereka dalam diam.Tak ada yang berani membahas tentang Mouza lagi. Mereka takut Mouza menangis kembali. Itu adalah hal paling menyebalkan. Selain susah di bujuk, juga suaranya begitu keras. Jika Mouza menangis lebih lama mungkin mereka bertiga harus mengunjungi dokter THT selanjutnya.Jam yang menggantung di dinding menunjukkan pukul 11 malam. Pak Dame memutuskan untuk pulang ke rumah dan membiarkan dua wanita itu menjaga Rendi. Sebelum pamit Pak Dame berjanji datang besok pagi dan mengantar Mouza pulang ke rumah.Beberapa hari Rendi dirawat di rumah sakit, Mouza tetap datang berk
"Nggak mau tau, carik!" tukas si pelanggan."Kami hanya punya nilai uang paling kecil lima ratus rupiah, Bang! bolehkah untuk kotak amal saja?" Mouza masih sabar menanggapi pelanggannya itu dan menunjukkan kotak amal yang berada di dekat dispenser minyak."Alah! akal-akalan kau aja itu, pande kali kau, kau kira aku nggak tau akal busukmu, itu untuk kalian 'kan? sehari ini udah berapa kali dua ratus yang kalian ambil dari pelanggan?" cecar Si Pelanggan dengan nada naik dua oktaf.Mouza mengelus dada, berharap pundi-pundi kesabarannya masih bersisa banyak. "Betulan Bang! kami memang tidak punya uang pecahan sekecil itu, kalo nggak ini aja Abang ambil" Mouza merogoh kantong celananya dan memberikan uang pecahan seribu kepada pelanggan itu. Jika dia mengambil uang dari hasil penjualan, Mouza takut terjadi minus diperhitungan. Pak tarigan bisa mengintrogasinya sampai besok.Sepertinya pelanggan yang sebenarnya masih sangat muda dan tida
Lelaki itu terduduk lemah menyadari segalanya menyerangnya dari setiap sudut. Mouza yang menyadari lelaki yang menjadi kekasihnya itu kini tengah diambang kehancuran. Tidak mengejutkan jika lelaki itu memiliki musuh dari berbagai sisi. Masa kelam Rendi memang telah membekas dan berubah menjadi boomerang yang siap menghancurkan hidupnya. Tak ada kata terlambat untuk berbuat baik, tetapi segala jejak akan tetap membekas hingga kapanpun. Tak banyak orang yang siap dengan perubahanmu, bagi sebagian kau akan tetap buruk seperti masa lalumu. Tak perduli seberapa keras kau berusaha untuk menjadi orang baik. Usaha yang dirintis Ayah Rendi benar-benar hancur ditangan orang-orang kepercayaan ayahnya sendiri, bahkan ayah Rendi harus berulang kali mendapat perawatan intensif karena drop mendapat kabar buruk itu. Sia-sia segala pengorbanannya. Rendi memutuskan pergi dari kota itu, berharap nasib baik menghampirinya. Namun nyatanya dimana pun dia berada dosanya tetap menghantui dirinya. Bertahu
Mouza berjingkat-jingkat meraih lobang ventilasi yang berada di atas pintu. Namun, karena tinggi badan Mouza yang cukup mini, hanya satu meter lima puluh lebih beberapa sentimeter saja. Usahanya sia-sia.Sebagai pekerja baru, meski diberi wewenang oleh Rendi untuk mengawasi gerak-gerik Sri, Mouza tak boleh sembrono. Dia juga harus tetap bermain cantik supaya mangsa masuk ke dalam perangkap lebih mudah.Di sudut ruangan toko, terdapat kursi bulat tempat meletakkan manekin atau patung yang dikenakan longdress agar tidak terjuntai ke lantai dan berdebu.Mouza benar-benar menaruh rasa curiga yang besar terhadap Sri.Dia angkat kursi tersebut lalu berencana berdiri di atasnya, tapi, sebelum benar-benar berhas
Pagi ini Rendi memutuskan terjun ke dunia yang telah digeluti Ayahnya sejak 30 tahun silam. Tempat ini adalah tempat yang membawa kehidupan dan martabat Pak Dame melesat tinggi, dari seorang kondektur menjadi seorang yang berkecukupan, bahkan memiliki kelas yang cukup bergengsi di kalangannya, terutama di tempat mereka tinggal. Ini kali pertama ia menginjakkan kaki di tempat ini untuk menggantikan Ayahnya, sebelumnya Rendi juga pernah bahkan sering berkunjung tapi bukan untuk membantu atau sekedar mempelajari kegiatan Ayahnya, tetapi hanya untuk meminta uang. Dari depan tampak tempat ini adalah toko pakaian, di atas pintu ruko terdapat spanduk label dari toko 'Dafa Collection' begitu tulisan besar itu terpampang besar. Toko ini juga merangkap sebagai kantor utama setelah ruang kerja yang ada di rumah kediaman mereka.&
Mouza gegas menghampiri Rendi ke rumah, dia takut Rendi dalam masalah. Kebetulan hari ini Mona sedang berada di sekolah, jadi tidak bisa menemani Mouza. Dengan sedikit negosiasi dengan ibunya, akhirnya Mouza bisa melangkah ke rumah Rendi. "Kau ngapain nyuruh aku kemari?" Pertanyaan Mouza membuat Rendi mulai bingung mau jawab dari mana. Tentu saja dia malu mengakui ketololannya di depan gadis pujaannya itu. Melihat Rendi bengong, Mouza nyelonong masuk ke dalam rumah dan membiarkan Rendi mematung sendiri di tempat itu. "Ya, ampun, beserak kali ini, Ren!" teriak Mouza kencang. Suara melengking Mouza berhasil mengembalikan nyaw
Aaggrrhh!" lolongan suara Pak Dame. HPnya terjatuh dari tangannya, sedang sebelah lagi memegangi dadanya yang terasa sesak.Bu Fatma berlari menghampiri suaminya yang terjatuh dari tempat duduknya. Dengan panik Bu Fatma meraih tubuh lelaki yang sudah tampak memucat."Kau kenapa, Bang?"Nafas Pak Dame nampak tersengal, menahan sakit di area dada sebelah kanannya. Entah apa yang sudah terjadi pada Pak Dame, Bu Fatma belum tahu, dia hanya ingin membawa Pak Dame selekasnya ke rumah sakit."Tolong! siapa saja tolong aku!" jerit Bu Fatma setengah terisak.Rumah kediaman Bu Fatma yang tertutup rapat oleh pagar tinggi, menyulitkan orang di s
Mona pun akhirnya kesal, dia memutuskan mengangkat telepon tersebut.[halo!]Suara yang sangat familiar di telinga Mona.[Bang Ganteng?]Jawab Mona Reflek.[hehe, iya ini aku]Mouza yang sejak tadi menjauh mendadak mendekat, saat Mona menyebut nama Abang Ganteng. Panggilan itu Mona sematkan hanya untuk Rendi."Rendi?" tanya Mouza, antusias. Mona mengangguk seraya memberikan telepon genggam itu ke tangan Mouza. Dengan tangan gemetar Mouza meraih benda pipih miliknya itu.
Rendi mengabaikan masalah tentang orang tuanya dulu. Urusan perut kini yang paling pertama dipenuhi agar otaknya kembali bekerja dengan baik. Dia mengobrak-abrik lemari di dapur, tampaknya tak satupun bahan makanan tersisa di sana. Benar-benar orang tuanya sudah pergi dari rumah mungkin sejak seminggu. Dari penampakan rumah yang berdebu, bisa diperkirakan begitu.Kini dia beralih ke kulkas, disana terdapat beberapa potong roti tawar dan selai coklat yang hampir tandas. Perut yang sudah tak sabar untuk diisi membuat Rendi mengabaikan tentang rasanya. Sejenak setelah selesai bersantap ria sendirian, Rendi tersadar akan kesendiriannya. 'begini jika aku akhirnya ditinggal Mama sama Ayah sendiri' batin Rendi.Kembali dilanjutkannya misi pencarian orang tuanya. Dia menuju bagasi mobil, siapa tau dia menemukan petunjuk disana. Tak lama supi
Tak sia-sia usaha Rendi mengundang orang lain ke ruangan ini. Berbekal menahan sedikit lebih lama nafasnya untuk mengelabui dua wanita bodoh itu, dan si Ucok yang tidak lulus SD, akhirnya mereka mengajak kenalan mereka yang mengerti tentang perurat nadian.Saat lelaki yang mereka panggil Anto itu masuk, Rendi membiarkan dia memeriksa semua bagian tubuhnya.Nampak segala memar dan beberapa sayatan cambukan di tubuh Rendi. Anto merupakan salah satu mantri yang bertugas di puskesmas dekat dengan rumah Rendi itu, terkejut dan menatap ke tiga manusia yang berdiri kaku di belakangnya."Dia kami temukan pingsan, jadi kami bawa kemari." Tanpa ditanya, Ucok menjelaskan sendiri. Hal itu mengundang curiga di hati mantri itu.Dengan gerakan tiba-tiba, Rendi menggenggam erat tangan Anto, lelaki yang masih mengenakan seragam putih itu menatap Rendi dengan bingung. Wajah Rendi terlihat memelas meminta pertolongan Anto. Anto ragu-ragu menafsirkan sorot mata Ren
Rendi tak percaya dengan penglihatannya sendiri. Bagaimana bisa Miska mengenal Ucok? 'Tunggu, tunggu ... Miska bukannya terlihat sedang hamil saat mencari keberadaan Mouza? lalu, kenapa sekarang tampak sangat langsing?'Rendi merasa otaknya sudah kacau. Di belakangnya ada Wiwik si gadis genit. Mereka melambai-lambai ke arah Rendi, tersenyum binal dan menggoda Rendi dengan erotis."Hai, Abang ganteng, apa kabar?" ucap Wiwik sambil mencubit genit dagu Rendi.Rendi memalingkan wajahnya, menghindari sentuhan liar dari Wiwik."Kok malu-malu kau, Bang? bukannya biasanya kau langsung nerkam? hahaha!" Wiwik tampak seperti iblis betina yang sedang menggoda.Rendi beralih menatap wanita yang sama persis dengan wajah milik Miska."Kau?" tanya Rendi, ragu."Hahaha! tampaknya otak kau masih berfungsi dengan baik, yah! aku Miska."Seringainya bagaikan singa kelaparan."Tapi ...."