Christy merasa sedikit lebih lega setelah berbicara dengan Zerlina. Dia berjanji pada dirinya sendiri untuk mencoba mengikuti saran dari Zerlina.
"Pa …. Papa, boleh aku masuk?" tanya Christy yang berada di depan kamar Raymond sambil mengetuk pelan pintunya.
"Masuk, Sayang."
"Pa, aku mau tidur di sini."
"Tumben minta tidur sama papa."
"Sudah lama gak tidur bareng papa lagi, boleh ya, ya?" rayu Christy pada Raymond.
"Tentu saja boleh, Sayang. Sini masuk dan tolong kamu tutup pintunya."
Dari lantai bawah sepasang telinga mendengarkan percakapan ayah dan anak. Tampak seringai dari sudut bibirnya.
'Jadi, kamu berusaha kabur lagi dari gue, Yang? Baiklah, coba kita lihat sampai sejauh apa usahamu untuk kabur.' Cibir Daffa pada usaha Christy.
"Pa, papa percaya banget ya sama, Om Daffa?" tanya Christy yang menghadap samping ke arah Raymond sambil memeluk boneka kesayangan yang dia bawa bersamanya.
"Kenapa, Sayang? Tentu saja papa percaya dengan sahabat papa itu. Hanya dia lah satu-satunya orang yang mendukung papa di saat berada di titik terendah dalam hidup papa. Om Daffa membantu papa merawatmu saat itu. Papa belum berani mempercayakan kamu pada orang lain dalam pengasuhan." Paparan seperti itu sebenarnya bukan lah untuk pertama kali dia dengar.
Daffa yang merasa berjasa selalu mengingatkan bahwa dengan bantuan dia lah, Raymond dapat mencapai cita-citanya sebagai dokter anak. Bahkan, Daffa lebih sering menginap di rumah Raymond daripada di rumahnya sendiri untuk menemani Christy.
Saat proses perceraian antara Raymond dengan mantan istrinya, diwarnai dengan perebutan hak asuh atas Christy. Sedangkan Raymond saat itu sedang menghadapi ujian akhir semester. Untuk itu, Raymond membutuhkan seseorang yang dapat dipercaya untuk menjaga Christy agar tidak dibawa pergi oleh mantan istrinya.
Hati Christy makin terluka dengan pengakuan dari Raymond. Bagaimana bisa seseorang yang merawat dari kecil, justru yang berusaha untuk merusaknya.
Apakah mungkin, Christy berani menceritakan segalanya ke Raymond? Kebimbangan kembali melanda hati Christy. Akhirnya, dia memutuskan untuk tidak mengungkapkan apa yang pernah terjadi pada dirinya.
"Loh, Bi, mana Daffa?" tanya Raymond saat pagi hari tidak menemukan Daffa di ruang makan.
Dalam hati, Christy bersyukur pagi ini tidak bertemu dengan sahabat papanya itu.
"Tadi pagi sudah pulang, Tuan," jawab Bi Minah asisten rumah tangga yang juga orang kedua yang dipercayai oleh Raymond dalam pengawasan dan pengasuhan Christy. Bi Minah segara ke dapur mengambil makanan untuk sarapan Raymond dan Christy.
Bi Minah adalah adik dari asisten rumah tangga yang bekerja di rumah orang tua Daffa. Jadi dia sangat dipercaya oleh Raymond. Mengingat hubungan kekerabatan dari mereka
"Orang itu, pulang gak kasih tahu!" dengus Raymond yang kesal karena Daffa pulang tanpa mengatakan apapun.
Pukul tujuh pagi, seperti biasa Christy menjalani pembelajaran homeschooling-nya. Mentor yang dipilih oleh Raymond ini sudah membantu Christy dalam memberikan materi-materi pendidikan dari saat Christy memutuskan untuk belajar di rumah.
Christy yang kehilangan ibunya sejak berusia sembilan tahun, merasa tertekan karena ucapan teman-teman dan juga ibu mereka. Dia sadar bahwa dibalik ucapan mereka mungkin benar murni memberikan dukungan untuk dirinya, tetapi banyak yang mengasihi dirinya.
Dia sama sekali tidak suka dengan tatapan mata yang ditujukan padanya. Seolah-olah dia seperti anak kucing terlantar di jalanan yang perlu belas kasihan orang.
Selama satu tahun belajar di sekolah setelah perceraian papa dan mamanya, membuat kondisi mentalnya semakin terpuruk. Akhirnya Raymond memutuskan memenuhi saran dari seorang psikolog yang menangani Christy untuk memberikan pendidikan akademis secara homeschooling. Christy tetap mendapatkan pendidikan informal dan juga kedamaian dalam dirinya.
Sementara itu di rumah Zerlina, terlihat Edo yang sedang duduk dan makan bersama tuan rumah.
"Wah, pasti masakan Asih mantap rasanya," goda Edo pada asisten rumah tangga harian yang membantu Zerlina.
"Tentu saja … Asih," gurau wanita muda itu menanggapi Edo sambil menyendok nasi goreng ikan teri ke dalam piring Edo.
"Sudah, Sih, jangan kamu ladeni ocehan Edo. Bisa habis nasi gorengnya," ucap Zerlina pada Asih. "O, iya hari ini kamu bisa pulang cepat dan nggak usah masak lagi. Saya mau ke kantor dan takut pulang malam hari ini, sayang kalau masakannya gak ada yang makan."
"Baik, Non."
Asih sudah bekerja bersama Zerlina sejak dia tinggal di perumahan ini. Ya, sekitar dua tahunan lah. Awal perkenalan mereka saat Asih sedang berusaha menghindar dari pukulan dan tendangan suaminya di pinggir jalan. Kebetulan Zerlina melihat aksi tak terpuji dari seorang laki-laki yang memukuli seorang wanita. Zerlina tidak tinggal diam, dia menegur dan memperingatkan tentang hukum KDRT pada suami Asih.
Asih merasa ancaman dari Zerlina adalah jalan keluar untuk penderitaannya selama ini. Dia memutuskan untuk meminta bantuan pendampingan hukum pada Zerlina. Gugatan Asih dikabulkan oleh hakim. Dia juga mendapatkan hak asuh dua anaknya. Asih bekerja dari pagi hingga sore hari saja, terkadang sampai malam, tapi sering juga pulang lebih cepat tergantung keinginan Zerlina.
"Do, ayo cepat kita ke ruang kerjaku," ajak Zerlina setelah selesai sarapan.
Ruang kerja Zerlina berada di lantai dua. Berhadapan dengan kamar tidur Zerlina.
"Asih itu betah juga kerja di sini," sindir Edo begitu masuk ke dalam ruangan yang terlihat elegan dengan wallpaper berwarna putih dan krem yang menghiasi dinding. Ada sofa panjang ada di sebelah kanan dan sofa kecil di sampingnya. Meja kayu yang cukup lebar di ujung tengah sedikit ke belakang ruangan. Sebuah kursi berwarna hitam yang terlihat nyaman untuk diduduki berada di depan meja itu. Di arah sebaliknya ada sebuah kursi kerja berwarna senada dengan warna di ruangan itu.
Ada satu lemari buku dan pajangan yang cukup besar berada di belakang kursi hitam. Ada rahasia dibalik lemari besar itu. Hanya Zerlina dan papanya yang tahu tentang hal itu. Karena mereka lah yang merancang desain lemari itu.
"Betah lah, siapa dulu, Bos-nya, gue gitu loh!" kelakar Zerlina. "Sudah, urusan nggak penting. Ayo kita bahas yang kemarin."
Zerlina mulai membeberkan rencana yang akan dia lakukan untuk membantu Christy. Edo tampak mendengarkan dengan baik dan mencatat apa yang dianggap penting.
Edo memakai komputer milik Zerlina untuk mulai mencari tahu latar belakang, pekerjaan, pendidikan, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan Daffa.
Zerlina membuka ponselnya dan mulai mencatat berkas-berkas yang akan diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaan yang sedang menunggu di kantor.
"Zerlin, ini gue udah tahu siapa Daffa, tapi gue nggak yakin kalau ini akurat. Gue pulang dulu aja ya. Komputer gue sepertinya lebih canggih daripada di sini, jadul!" sindir Edo sambil berdiri dan beranjak pulang.
"Ya, sudah, lo pulang aja. Gue juga sepertinya harus ke kantor."
"Lo, bawa mobil?" tanya Edo.
"Ya, iya lah, masa jalan kaki."
"Gue nebeng ya."
"Sorry, gak bisa. Gue masih satu jam-an buat persiapan berkas yang gue mau siapkan untuk kasus Christy."
Akhirnya Edo pulang dengan menggunakan ojek online yang dia pesan melalui ponselnya.
"E–eh, Do, tunggu sebentar. Gue ikut. Baru buka email, ternyata ada kasus baru dan gue harus diskusi dengan atasan gue." Ucap Zerlina sambil bergegas membereskan isi tasnya.
"Gue udah pesan ojek, Zerlina," gerutu Edo.
"Batalin aja, nanti Asih yang kasih ongkosnya. Ayo buruan, jadi nebeng nggak?"
"Iya, gue ikut lo."
Saat di Zerlina mengeluarkan mobil dari carport, tampak Christy sedang berjalan menuju ke arah rumahnya.
"Kakak mau pergi ya?" tanya Christy setelah sampai di samping pintu mobil Zerlina.
"Iya, Sayang. Kamu mau ketemu sama Kakak atau mau main sama Ven-Ven?" timpal Zerlina sambil membuka pintu mobil lalu keluar dari mobilnya.
"Ooo, iya, kenalkan itu teman Kakak. Do, ini Christy, adik angkat gue," papar Zerlina sambil melihat ke arah Edo.
Edo yang terkejut melihat kemiripan dari sosok gadis remaja di depannya dengan sahabat yang sudah lama menghilang tak tahu kabar beritanya. Reaksi Edo sama dengan Zerlina saat pertama kali bertemu dengan Christy, sehingga Zerlina memaklumi Edo dengan reaksi seperti itu.
"Hai!" panggil Zerlina sambil melambaikan tangan di depan muka Edo. "Udah bengongnya."
"Eh, iya kenapa bisa mirip banget," celetuk Edo spontan.
"Iya memang, gue juga kaget pertama kali lihat mukanya," bisik Zerlina pelan. "Kenalin, ini adik angkat gue, Christy. Christy, ini musuh, Kakak."
"Eh, jadi sekarang gue musuh lo!" pekik Edo.
Terdengar suara tawa Christy dan Zerlina secara bersamaan. Melihat raut muka Edo yang kelihatan sok imut itu.
"Hai, Gadis cantik. Nama kakak, Kak Edo ganteng tiada duanya, baik hati, dan tidak sombong," goda Edo pada Christy.
"Christy," kekeh Christy sambil menyambut uluran tangan Edo.
"Kamu punya saudara yang bernama …." Ucapan Edo terhenti karena Zerlina memanggilnya.
"Do …."
Zerlina menghentikan perkataan Edo, dia tidak ingin sahabatnya itu melanjutkan keingintahuannya. Lalu dia mengajak Edo untuk segera pergi sesuai rencana mereka."Chris, maaf Kakak pergi dulu ya, ada kerjaan di kantor," jelas Zerlina pada anak remaja yang sudah dianggap sebagai adiknya itu. Begitu pula pada Christy yang sudah merasa nyaman bersama Zerlina."Iya, Kak."Edo dan Zerlina naik ke mobil Zerlina. Edo diantar pulang sampai ke rumahnya. Kebetulan rumah laki-laki itu tak jauh dari kantor Zerlina. Edo segera ingin mencari tahu lebih detail tentang Daffa, sedangkan Zerlina bergegas menuju ke ruangan atasannya.Rencana Christy setelah selesai home schooling adalah bertemu dengan Zerlina. Sebenarnya, dia masih ada ganjalan hati yang ingin dibicarakan pada Zerlina, tetapi kepergian sosok wanita yang sudah dianggap sebagai kakak perempuannya itu membuat Christy mengurungkan niatnya. Dia tahu ada prioritas yang harus dilakukan oleh Zerlina.Christy kembali ke rumahnya sambil membawa Ve
Raymond berjalan menuju ke kamarnya sambil memeluk tubuh remaja yang masih lemah itu. Kamar Raymond dan Christy bersebelahan. Ada pintu sekat di antara kamar mereka, tetapi sejak Christy berumur 7 tahun, pintu itu dikunci karena istri Raymond tidak ingin tidur malamnya diganggu dengan segala rengekan dari putrinya. Jadi, Raymond mempersiapkan toilet training sejak Christy sudah mulai bisa berjalan agar tidak mengganggu tidur istrinya. Dia membiasakan putrinya untuk membuang air kecil setelah minum susu sebelum tidur di malam hari. Jika di tengah malam ada keinginan untuk buang air kecil lagi, Raymond melatih Christy untuk melakukannya di pispot. Pispot itu ditaruh di dalam kamar mandi yang ada di kamar miliki Christy. "Sudah, tidak apa-apa. Kamu aman sama papa. Mimpi buruk takut sama papa," canda Raymond sambil menepuk pundak dan menghibur Christy setelah sampai di dalam kamar. Christy tersenyum getir mendengar candaan papanya. Christy ingin menceritakan peristiwa yang baru saja d
'Apa-apan ini. Dasar gadis aneh. Meminta izin, tetapi juga mengancam. Lagi pula, kenapa aku gak boleh mengajak Daffa? Jangan-jangan gadis ini mau menggodaku? Tapi, dia bilang ada masalah penting. Masalah siapa yang harus aku tahu dan tidak melibatkan Daffa? Apa ada hubungannya dengan Christy?' ungkap Raymond dalam hati saat membaca pesan-pesan yang dikirimkan oleh Zerlina. "Maaf, Dok. Saya ingin memberitahukan jika pasien sudah tidak ada lagi. Tadi pasien terakhir," ucap seorang suster perawat yang membantu Raymond praktik. Raymond seorang dokter anak yang bekerja di rumah sakit milik kakaknya. Dia diberikan tanggung jawab untuk mengelola rumah sakit umum itu sejak semua keluarga kakaknya pindah ke luar negeri. Karena di sini terjadi permasalahan yang cukup besar dan membuat rumah sakit serta perusahaan milik kakaknya sedikit mengalami goncangan. Permasalahan yang terjadi pada keponakannya itu telah merusak nama baik keluarga kakaknya. Entah peristiwa apa yang dihadapi oleh kepon
Christy mulai meneteskan air matanya. Dengan perlahan dia mulai menceritakan peristiwa yang menimpa dirinya. Pelecehan pertama yang terjadi dan pelakunya adalah orang yang selama ini dekat, bahkan sudah dianggap sebagai keluarga oleh dia dan Raymond.Sembari menahan air mata, Christy menceritakan dari awal hingga akhir tentang perbuatan Daffa setelah pulang dari liburan ke Yogyakarta. Beberapa menit berlalu, tak terlihat mimik wajah Raymond yang berubah, tampak datar-datar saja, tak ada emosi yang terbaca di sana. Entah apa yang terlintas di benak Raymond. Serta apa yang dirasakan oleh ayah satu anak itu, setelah mendengarkan cerita Christy tentang sahabatnya.Walaupun tampak tak ada emosi di wajah Raymond, tapi tidak di dalam hatinya. Laki-laki itu sedang menahan emosi yang bergemuruh menyesakkan hati. Sakit hati berulam jantung yang dia rasakan atas kemalangan anak gadisnya. Dia tahu, tidak mungkin Christy mengatakan kebohongan tentang apa yang telah menimpanya. Akan tetapi, dia jug
Christy merasakan dirinya lebih tenang dan lega. Apa yang telah dia lakukan, menceritakan yang sudah terjadi di hidupnya. Termasuk kejadian menyakitkan beberapa waktu yang lalu kepada Raymond. Respon dari papanya, membuat dia merasa lebih dipercaya dan dihargai oleh seseorang yang selama ini diandalkannya. Walaupun Daffa adalah orang yang sudah diberikan kepercayaan yang besar oleh Raymond, tetapi itu tidak membuat papanya menutup telinga dengan apa yang telah dia ceritakan. "Sekali lagi, maafkan, Papa. Satu hal yang harus kamu camkan dalam hati dan pikiran kamu, bahwa papa sangat menyayangi kamu. Kamu adalah hidup papa. Maaf, jika selama ini Papa kurang perhatian sama kamu, Papa sungguh menyesali hal itu. Papa terlena dengan kebaikan manusia, sehingga kejadian buruk bisa menimpamu. Papa janji akan melakukan semua yang sudah papa katakan tadi. Papa tidak akan membiarkan dia bebas setelah mengetahui perbuatanya. Sekarang kamu istirahat lah. Papa masih ada yang mau dibicarakan dengan
"Baik, kalau begitu. Besok pagi kita pergi bersama ke kantor polisi untuk membuat laporan terlebih dahulu," jelas Zerlina setelah mendengar keputusan Raymond. Raut muka Raymond seakan terlukis apa yang baru saja dibacanya dari laptop milik Edo. Walaupun Zerlina belum sempat membacanya, tapi dia merasa yakin ada kenyataan yang tidak pernah diketahui oleh Raymond selama ini. "Besok Christy harus ikut atau tidak?" tanya Raymond. Jujur saja, Raymond gelisah memikirkan bagaimana penilaian orang pada anak gadisnya. Bukan bermaksud menutupi, tetapi lebih menjaga mental Christy. "Bisa hadir, bisa juga tidak. Terpenting saat memberikan keterangan harus jelas dan detail. Nanti kita bisa tanyakan langsung pada Christy, apakah dia siap memberikan keterangan atau mau diwakilkan," terang gadis itu sambil menatap wajah Raymond. Keesokkan pagi, di rumah Raymond. Terlihat Bi Minah sedang membuat sayur cap cay dan telur dadar untuk sarapan. "Bi, benar Christy gak pulang semalam?" Terdengar suara
"Anak Konglomerat Dilaporkan Atas Kasus Pelecehan" "Heboh! Sahabat Makan Anak Sahabat" "Inisial D Pelaku Pedofil, Korban C Adalah Anak Dr R" "Benarkah Tuan Muda D Pelaku Pedofil?" "Anak Dokter Jadi Korban Pedofilia." "Anak Rumahan Jadi Korban Pelecehan Orang Terdekat" "Bejat! Pelaku D Tega Melakukan Pelecehan Pada C Yang Notabene Adalah Anak Sahabatnya Sendiri." "Korban C Anak Dokter di RS Terkenal di Jakarta" "Pelaku D Sudah Kenal Dekat Dengan Keluarga C" "Pelaporan Pelecehan Atas C Telah di Terima Pihak Kepolisian" *** "Sialan! Apa yang sudah lo lakukan, Ray! Berengsek!," umpat Daffa yang baru membaca headline di beberapa sosial media dan berita di televisi. "Halo, iya Pa?" sapa Daffa saat ponselnya berdering. "Apa maksud berita yang beredar. Kamu masih belum kapok juga, HAH!" bentak papa Daffa–di seberang–Arman Sanjaya, konglomerat terkaya di kotanya. "Fitnah itu, Pa. Daffa sudah tidak pernah melakukan itu," kilah Daffa dengan perasaan takut. "Hari ini juga kamu pul
"Permisi!" ucap Zerlina sambil mengetuk pintu kayu yang ada di depannya. "Sher …. Sherly!" seru Zerlina lebih keras lagi sambil terus mengetuk pintu itu. Ketukan yang semakin lama semakin berubah gedoran karena si penghuni rumah tidak juga membukakan pintu. Zerlina merasakan tangannya mulai sakit, dia menghentikan untuk mengetuk pintu dan membuka tas selempang untuk mencari sesuatu di dalamnya. Sedangkan mulutnya masih terus memanggil Sherly. "Yes! Ketemu." Ternyata Zerlina mencari koin yang rencananya akan digunakan sebagai alat pengganti untuk mengetuk jendela kaca di sebelah pintu kayu. "Sherly!" teriak Zerlina sambil mengetuk jendela menggunakan koin itu. "Tidak mungkin dia tidak mendengar ketukan pintu ini," gumam Zerlina yang masih terus mencoba memanggil serta mengetuk pintu dan jendela. "Ada yang tidak beres ini." "Do, lo udah pasang CCTV yang gue suruh, kan?" tanya Zerlina pada seseorang di seberang telepon genggamnya dengan suara pelan. Walaupun dia yakin tidak ada
"Anak Konglomerat Dilaporkan Atas Kasus Pelecehan" "Heboh! Sahabat Makan Anak Sahabat" "Inisial D Pelaku Pedofil, Korban C Adalah Anak Dr R" "Benarkah Tuan Muda D Pelaku Pedofil?" "Anak Dokter Jadi Korban Pedofilia." "Anak Rumahan Jadi Korban Pelecehan Orang Terdekat" "Bejat! Pelaku D Tega Melakukan Pelecehan Pada C Yang Notabene Adalah Anak Sahabatnya Sendiri." "Korban C Anak Dokter di RS Terkenal di Jakarta" "Pelaku D Sudah Kenal Dekat Dengan Keluarga C" "Pelaporan Pelecehan Atas C Telah di Terima Pihak Kepolisian" *** "Sialan! Apa yang sudah lo lakukan, Ray! Berengsek!," umpat Daffa yang baru membaca headline di beberapa sosial media dan berita di televisi. "Halo, iya Pa?" sapa Daffa saat ponselnya berdering. "Apa maksud berita yang beredar. Kamu masih belum kapok juga, HAH!" bentak papa Daffa–di seberang–Arman Sanjaya, konglomerat terkaya di kotanya. "Fitnah itu, Pa. Daffa sudah tidak pernah melakukan itu," kilah Daffa dengan perasaan takut. "Hari ini juga kamu pul
"Baik, kalau begitu. Besok pagi kita pergi bersama ke kantor polisi untuk membuat laporan terlebih dahulu," jelas Zerlina setelah mendengar keputusan Raymond. Raut muka Raymond seakan terlukis apa yang baru saja dibacanya dari laptop milik Edo. Walaupun Zerlina belum sempat membacanya, tapi dia merasa yakin ada kenyataan yang tidak pernah diketahui oleh Raymond selama ini. "Besok Christy harus ikut atau tidak?" tanya Raymond. Jujur saja, Raymond gelisah memikirkan bagaimana penilaian orang pada anak gadisnya. Bukan bermaksud menutupi, tetapi lebih menjaga mental Christy. "Bisa hadir, bisa juga tidak. Terpenting saat memberikan keterangan harus jelas dan detail. Nanti kita bisa tanyakan langsung pada Christy, apakah dia siap memberikan keterangan atau mau diwakilkan," terang gadis itu sambil menatap wajah Raymond. Keesokkan pagi, di rumah Raymond. Terlihat Bi Minah sedang membuat sayur cap cay dan telur dadar untuk sarapan. "Bi, benar Christy gak pulang semalam?" Terdengar suara
Christy merasakan dirinya lebih tenang dan lega. Apa yang telah dia lakukan, menceritakan yang sudah terjadi di hidupnya. Termasuk kejadian menyakitkan beberapa waktu yang lalu kepada Raymond. Respon dari papanya, membuat dia merasa lebih dipercaya dan dihargai oleh seseorang yang selama ini diandalkannya. Walaupun Daffa adalah orang yang sudah diberikan kepercayaan yang besar oleh Raymond, tetapi itu tidak membuat papanya menutup telinga dengan apa yang telah dia ceritakan. "Sekali lagi, maafkan, Papa. Satu hal yang harus kamu camkan dalam hati dan pikiran kamu, bahwa papa sangat menyayangi kamu. Kamu adalah hidup papa. Maaf, jika selama ini Papa kurang perhatian sama kamu, Papa sungguh menyesali hal itu. Papa terlena dengan kebaikan manusia, sehingga kejadian buruk bisa menimpamu. Papa janji akan melakukan semua yang sudah papa katakan tadi. Papa tidak akan membiarkan dia bebas setelah mengetahui perbuatanya. Sekarang kamu istirahat lah. Papa masih ada yang mau dibicarakan dengan
Christy mulai meneteskan air matanya. Dengan perlahan dia mulai menceritakan peristiwa yang menimpa dirinya. Pelecehan pertama yang terjadi dan pelakunya adalah orang yang selama ini dekat, bahkan sudah dianggap sebagai keluarga oleh dia dan Raymond.Sembari menahan air mata, Christy menceritakan dari awal hingga akhir tentang perbuatan Daffa setelah pulang dari liburan ke Yogyakarta. Beberapa menit berlalu, tak terlihat mimik wajah Raymond yang berubah, tampak datar-datar saja, tak ada emosi yang terbaca di sana. Entah apa yang terlintas di benak Raymond. Serta apa yang dirasakan oleh ayah satu anak itu, setelah mendengarkan cerita Christy tentang sahabatnya.Walaupun tampak tak ada emosi di wajah Raymond, tapi tidak di dalam hatinya. Laki-laki itu sedang menahan emosi yang bergemuruh menyesakkan hati. Sakit hati berulam jantung yang dia rasakan atas kemalangan anak gadisnya. Dia tahu, tidak mungkin Christy mengatakan kebohongan tentang apa yang telah menimpanya. Akan tetapi, dia jug
'Apa-apan ini. Dasar gadis aneh. Meminta izin, tetapi juga mengancam. Lagi pula, kenapa aku gak boleh mengajak Daffa? Jangan-jangan gadis ini mau menggodaku? Tapi, dia bilang ada masalah penting. Masalah siapa yang harus aku tahu dan tidak melibatkan Daffa? Apa ada hubungannya dengan Christy?' ungkap Raymond dalam hati saat membaca pesan-pesan yang dikirimkan oleh Zerlina. "Maaf, Dok. Saya ingin memberitahukan jika pasien sudah tidak ada lagi. Tadi pasien terakhir," ucap seorang suster perawat yang membantu Raymond praktik. Raymond seorang dokter anak yang bekerja di rumah sakit milik kakaknya. Dia diberikan tanggung jawab untuk mengelola rumah sakit umum itu sejak semua keluarga kakaknya pindah ke luar negeri. Karena di sini terjadi permasalahan yang cukup besar dan membuat rumah sakit serta perusahaan milik kakaknya sedikit mengalami goncangan. Permasalahan yang terjadi pada keponakannya itu telah merusak nama baik keluarga kakaknya. Entah peristiwa apa yang dihadapi oleh kepon
Raymond berjalan menuju ke kamarnya sambil memeluk tubuh remaja yang masih lemah itu. Kamar Raymond dan Christy bersebelahan. Ada pintu sekat di antara kamar mereka, tetapi sejak Christy berumur 7 tahun, pintu itu dikunci karena istri Raymond tidak ingin tidur malamnya diganggu dengan segala rengekan dari putrinya. Jadi, Raymond mempersiapkan toilet training sejak Christy sudah mulai bisa berjalan agar tidak mengganggu tidur istrinya. Dia membiasakan putrinya untuk membuang air kecil setelah minum susu sebelum tidur di malam hari. Jika di tengah malam ada keinginan untuk buang air kecil lagi, Raymond melatih Christy untuk melakukannya di pispot. Pispot itu ditaruh di dalam kamar mandi yang ada di kamar miliki Christy. "Sudah, tidak apa-apa. Kamu aman sama papa. Mimpi buruk takut sama papa," canda Raymond sambil menepuk pundak dan menghibur Christy setelah sampai di dalam kamar. Christy tersenyum getir mendengar candaan papanya. Christy ingin menceritakan peristiwa yang baru saja d
Zerlina menghentikan perkataan Edo, dia tidak ingin sahabatnya itu melanjutkan keingintahuannya. Lalu dia mengajak Edo untuk segera pergi sesuai rencana mereka."Chris, maaf Kakak pergi dulu ya, ada kerjaan di kantor," jelas Zerlina pada anak remaja yang sudah dianggap sebagai adiknya itu. Begitu pula pada Christy yang sudah merasa nyaman bersama Zerlina."Iya, Kak."Edo dan Zerlina naik ke mobil Zerlina. Edo diantar pulang sampai ke rumahnya. Kebetulan rumah laki-laki itu tak jauh dari kantor Zerlina. Edo segera ingin mencari tahu lebih detail tentang Daffa, sedangkan Zerlina bergegas menuju ke ruangan atasannya.Rencana Christy setelah selesai home schooling adalah bertemu dengan Zerlina. Sebenarnya, dia masih ada ganjalan hati yang ingin dibicarakan pada Zerlina, tetapi kepergian sosok wanita yang sudah dianggap sebagai kakak perempuannya itu membuat Christy mengurungkan niatnya. Dia tahu ada prioritas yang harus dilakukan oleh Zerlina.Christy kembali ke rumahnya sambil membawa Ve
Christy merasa sedikit lebih lega setelah berbicara dengan Zerlina. Dia berjanji pada dirinya sendiri untuk mencoba mengikuti saran dari Zerlina."Pa …. Papa, boleh aku masuk?" tanya Christy yang berada di depan kamar Raymond sambil mengetuk pelan pintunya."Masuk, Sayang.""Pa, aku mau tidur di sini.""Tumben minta tidur sama papa.""Sudah lama gak tidur bareng papa lagi, boleh ya, ya?" rayu Christy pada Raymond."Tentu saja boleh, Sayang. Sini masuk dan tolong kamu tutup pintunya."Dari lantai bawah sepasang telinga mendengarkan percakapan ayah dan anak. Tampak seringai dari sudut bibirnya.'Jadi, kamu berusaha kabur lagi dari gue, Yang? Baiklah, coba kita lihat sampai sejauh apa usahamu untuk kabur.' Cibir Daffa pada usaha Christy."Pa, papa percaya banget ya sama, Om Daffa?" tanya Christy yang menghadap samping ke arah Raymond sambil memeluk boneka kesayangan yang dia bawa bersamanya."Kenapa, Sayang? Tentu saja papa percaya dengan sahabat papa itu. Hanya dia lah satu-satunya oran
Setelah mendapatkan taksi online, Christy segera menghubungi Raymond dan memberikan telepon genggamnya pada Zerlina.["Selamat malam, kenapa Christy tidak pulang bersama dengan Daffa, sahabat saya,"] tegur Raymond sebelum Zerlina mengatakan apapun.["Maaf, jika keputusan saya untuk turun dari mobil Pak Daffa membuat Anda marah. Saya mengambil keputusan itu demi keselamatan saya, termasuk Christy,"] jelas Zerlina.["Saya akan menjelaskan semuanya setelah saya sampai di rumah."]Sebelum menutup pembicaraan mereka, Zerlina meminta ijin agar Christy diperbolehkan untuk menginap di rumahnya malam ini.Raymond tidak memberikan ijin. Dia justru menyuruh Zerlina untuk langsung membawa pulang Christy."Gak boleh ya, Kak?" tanya Christy dengan berwajah muram.Zerlina hanya menganggukkan kepala dan menyerahkan telepon genggam Christy."Udah, kamu tenang aja. Kakak nanti ngomong lagi ke papa kamu." Zerlina mengamati Christy yang tampak sedang memendam permasalahan. "Kalau boleh kakak tahu, kamu t