Setelah mendapatkan taksi online, Christy segera menghubungi Raymond dan memberikan telepon genggamnya pada Zerlina.
["Selamat malam, kenapa Christy tidak pulang bersama dengan Daffa, sahabat saya,"] tegur Raymond sebelum Zerlina mengatakan apapun.
["Maaf, jika keputusan saya untuk turun dari mobil Pak Daffa membuat Anda marah. Saya mengambil keputusan itu demi keselamatan saya, termasuk Christy,"] jelas Zerlina.
["Saya akan menjelaskan semuanya setelah saya sampai di rumah."]
Sebelum menutup pembicaraan mereka, Zerlina meminta ijin agar Christy diperbolehkan untuk menginap di rumahnya malam ini.
Raymond tidak memberikan ijin. Dia justru menyuruh Zerlina untuk langsung membawa pulang Christy.
"Gak boleh ya, Kak?" tanya Christy dengan berwajah muram.
Zerlina hanya menganggukkan kepala dan menyerahkan telepon genggam Christy.
"Udah, kamu tenang aja. Kakak nanti ngomong lagi ke papa kamu." Zerlina mengamati Christy yang tampak sedang memendam permasalahan. "Kalau boleh kakak tahu, kamu takut ya, ketemu dengan teman papa kamu itu?"
"Em–gak kok, Kak. Aku biasa-biasa aja kok." Kebohongan Christy tampak jelas di mata Zerlina, tetapi dia tidak memaksa Christy untuk menceritakan saat ini.
Akhir perjalanan mereka diwarnai dengan keheningan. Masing-masing dari mereka sibuk dengan pikirannya sendiri.
'Gue yakin ada yang gak beres di antara Christy dengan Daffa, tapi apa ya? Keliatan banget perubahan ekspresi Christy tadi. Gimana caranya biar dia mau cerita?' gumam Zerlina dalam hati sambil sesekali mengamati Christy.
Sedangkan Christy berusaha untuk menenangkan pikiran dan hatinya. 'Kapan dia datang? Bukannya masih enam bulan lagi kata papa? Aku harus bagaimana? Papa, Christy takut.' Mata Christy mulai berkaca-kaca, dia menahan air matanya agar tidak turun saat ini.
"Kak, kita sudah sampai," ucap sopir dari taksi online.
"Baik. Pembayaran sudah melalui e-money, Pak. Terima kasih atas bantuannya." Ucap Zerlina sambil bergegas mengambil barang belanjaan mereka dan membantu Christy turun.
"Sama-sama, Kak," sahut sopir online itu.
Mobil yang tadi dikendarai oleh Daffa tampak sudah ada di halaman rumah Christy. Lampu di ruang tamu rumah itu juga tampak menyala. Samar-samar terlihat bayangan orang berada di sana.
Sebelum Christy menekan bel rumah, pintu rumah sudah terbuka. Terlihat pria berumur sekitar tiga puluh lima tahun membukakan pintu.
"Papa," sapa Christy sambil memeluk lengan Raymond. "Pa, Ini Kak Zerlina. Kak Zerlin, ini papa."
Zerlina masih tertegun sambil menatap wajah Raymond. 'Kenapa wajahnya mirip sekali.'
"Kak. Kak Zerlin," panggil Christy dengan suara yang lebih keras.
"Eh, iya," sahut Zerlina gugup.
"Raymond," sapa Raymond memperkenalkan diri.
"Anastasya," balas Zerlina.
"Bukannya Zerlina?" tanya Raymond.
"Em–iya Zerlina juga bisa." Zerlina masih berusaha untuk mengendalikan dirinya.
'Tenang Zerlin, banyak wajah yang mirip di muka bumi ini. Jadi, tenangkan dirimu. Fokus apa yang ada di depanmu,' ucap Zerlina dalam hati.
"Maaf sebelumnya, saya terpaksa memilih untuk turun dari mobil Pak Daffa karena saya mencium bau alkohol. Itu yang pertama dan yang kedua, saat tadi Pak Daffa mengemudikan mobilnya sempat oleng dan hampir menabrak mobil dari arah berlawanan." Penjelasan Zerlina diutarakan setelah mereka duduk bersama di ruang tamu.
"Eh! Gue gak mabuk ya!" seru Daffa yang mendengar penjelasan Zerlina.
"Saya tidak mengatakan bahwa Anda mabuk. Bukankah apa yang saya katakan itu benar? Anda jelas baru mengkonsumsi minuman beralkohol. Apakah perlu kita tes tingkat kadar alkohol Anda saat ini? Bukankah, tadi mobil yang Anda bawa hampir mengalami kecelakaan, apakah Anda menyangkalnya?"
"Sok tahu! Gue minum cuma sedikit dan gue nggak mabuk," geram Daffa.
"Sudah! Sudah. Saya tahu siapa sahabat seperti apa. Dia tidak mungkin membuat Christy celaka. Mau bagaimana juga, dia ikut merawat Christy dari kecil." Pembelaan Raymond pada Daffa membuat hati Christy makin berduka.
Christy menatap Raymond dengan kecewa dan sedih, tapi tidak mampu menyanggah kata-kata papanya. Mau bagaimana juga, apa yang dikatakan oleh papanya itu suatu kebenaran. Sayang, orang yang ikut andil atas kelahirannya itu tidak tahu apa yang telah diperbuat oleh seorang yang sudah dianggap keluarga itu.
Jika, Christy tampak kecewa, tapi tidak pada Daffa. Dia tersenyum tipis sambil melihat ke arah Christy lalu beralih ke Zerlina. Dalam hati dia bersorak gembira karena kebodohan sahabatnya itu. Entah apa yang akan dilakukan seorang ayah jika tahu anak gadisnya dalam bahaya ancaman.
Zerlina yang melihat senyum tipis Daffa mengerutkan keningnya. 'Aneh, kenapa dia tersenyum seperti itu? Christy, sebenarnya apa yang kamu sembunyikan dari papa kamu?' Pertanyaan yang hanya ada dalam benak Zerlina tak dapat diungkapkan saat itu.
"Baik, jika itu yang menjadi pendapat Anda tentang SAHABAT Anda," ujar Zerlina yang sengaja menekankan kata sahabat.
Daffa menyeringai menatap Zerlina, seakan-akan berkata, kasihan deh lo.
"Christy, kamu jadi minta diajarin soal matematika gak?" tanya Zerlina sambil mengedipkan mata.
"Jadi, Kak. Tolong ya, Kak. Pa, Om, aku sama Kak Zerlin ke atas dulu ya," pamit Christy.
"Kak, bisa gak, Kakak menginap di sini?" tanya Christy ragu-ragu setelah masuk ke dalam kamar.
"Maaf, kakak gak bisa. Sebenarnya ada apa? Kenapa tadi kamu mau menginap di rumah kakak, sekarang kamu mau kakak menginap di sini?"
"A–Aku takut, tapi aku gak berani untuk cerita, Kak."
"Sekarang begini saja, kamu jawab saja pertanyaan yang kakak ajukan. Jika kamu tidak nyaman untuk menjawab, nggak apa-apa. Nanti kakak ganti pertanyaannya. Bagaimana?"
"Baik, Kak. Aku coba."
Zerlina mulai bertanya pada Christy. Dengan sesekali menghela nafas dan terdengar ragu-ragu saat menjawab. Gadis remaja itu tidak ada niatan untuk berbohong,, tetapi dia berusaha untuk menguatkan diri dan melepas rasa tidak nyaman yang dia rasakan.
Perlahan, tapi pasti Zerlina terus mengorek informasi dari Christy. Tidak lupa selama pembicaraan mereka sudah direkam oleh Zerlina atas seijin Christy.
Hingga akhirnya, Christy mulai meneteskan air matanya sambil menceritakan kronologis kejadian yang menimpanya tanpa ada pertanyaan lagi.
Zerlina membiarkan gadis itu meluapkan emosi yang sudah lama terpendam. Cukup sulit bagi gadis itu menceritakan peristiwa apa yang telah terjadi pada dirinya.
"Kamu harus kuat dan lebih berani sekarang. Ini kakak kasih alat pertahanan jika sampai terjadi lagi. Simpan di tempat yang tidak terduga, tapi gampang dijangkau," ujar Zerlina sambil menyerahkan alat kejut listrik. "Kalau ini, kamu bisa taruh di mana saja." Sambil menyerahkan sebotol hand sanitizer yang berbentuk semprotan. Sekarang benda itu merupakan benda wajib dibawa kemanapun.
"Nanti malam, tidurlah dengan papamu. Jika kamu sudah siap, bicarakan hal itu pada papa," saran Zerlina.
"Sepertinya itu nggak mungkin, Kak. Kakak tadi dengar sendiri apa yang papa katanya tentang dia." Ucapan Christy benar adanya, Raymond sangat percaya pada Daffa.
Sebelum Zerlina beranjak pulang, dia memastikan tentang apa yang menjadi keinginan Christy untuk menyelesaikan persoalan yang tengah dihadapinya. Dia juga berjanji akan memberikan bantuan untuk itu.
Zerlina sadar jika dia tidak dapat melakukan apapun jika tidak ada permintaan dari Christy. Dia hanya bisa berjaga-jaga jangan sampai hal itu terjadi kembali dan berakibat lebih fatal seperti dirinya dulu.
Wanita muda itu, sangat berharap tidak ada penyesalan di kemudian hari pada Christy setelah melakukan keinginannya.
Zerlina berpamitan pada Christy, Raymond, dan Daffa karena malam semakin larut. Sebelum dia beranjak pulang, Zerlina telah meninggalkan alat penyadap di kamar Christy. Dia meletakkannya di dekat kasur Christy tanpa Christy sadari. Hanya untuk berjaga-jaga saja.
"Apa? Malam-malam begini gangguin gue." Terdengar suara Edo yang menggerutu dan sesekali menguap karena terbangun di tengah malam karena menerima telepon dari Zerlina.
Zerlina memutuskan untuk segera meminta bantuan pada Edo. Agar besok pagi bisa langsung diselesaikan.
"Sorry. Gue terdesak waktu dan keadaan," jelas Zerlina di atas kasur, bersiap untuk tidur. "Gue ada kasus baru, gue minta tolong lo pasang CCTV dan alat pelacak di mobil seseorang."
"Kasus apa?"
Zerlina menceritakan secara garis besar pada Edo. Serta beberapa rencana yang butuh pertolongan sahabat satu-satunya itu.
"Coba lo kirim foto orang itu. Nanti gue bantu cari tahu siapa lawan kita kali ini."
"Hati-hati dan jangan gegabah."
"Hai! Siapa ya yang seperti itu? Ngaca buruan sono!" sembur Edo.
Zerlina tertawa mendengar kemarahan Edo. Dia hanya bercanda, tapi juga serius pada kata-katanya.
"Maksud gue, hati-hati jangan sampai ketahuan kalau kamu lagi menyelidiki Daffa."
"Iya, gue tahu. Gue akan berhati-hati, percaya lah!"
Christy merasa sedikit lebih lega setelah berbicara dengan Zerlina. Dia berjanji pada dirinya sendiri untuk mencoba mengikuti saran dari Zerlina."Pa …. Papa, boleh aku masuk?" tanya Christy yang berada di depan kamar Raymond sambil mengetuk pelan pintunya."Masuk, Sayang.""Pa, aku mau tidur di sini.""Tumben minta tidur sama papa.""Sudah lama gak tidur bareng papa lagi, boleh ya, ya?" rayu Christy pada Raymond."Tentu saja boleh, Sayang. Sini masuk dan tolong kamu tutup pintunya."Dari lantai bawah sepasang telinga mendengarkan percakapan ayah dan anak. Tampak seringai dari sudut bibirnya.'Jadi, kamu berusaha kabur lagi dari gue, Yang? Baiklah, coba kita lihat sampai sejauh apa usahamu untuk kabur.' Cibir Daffa pada usaha Christy."Pa, papa percaya banget ya sama, Om Daffa?" tanya Christy yang menghadap samping ke arah Raymond sambil memeluk boneka kesayangan yang dia bawa bersamanya."Kenapa, Sayang? Tentu saja papa percaya dengan sahabat papa itu. Hanya dia lah satu-satunya oran
Zerlina menghentikan perkataan Edo, dia tidak ingin sahabatnya itu melanjutkan keingintahuannya. Lalu dia mengajak Edo untuk segera pergi sesuai rencana mereka."Chris, maaf Kakak pergi dulu ya, ada kerjaan di kantor," jelas Zerlina pada anak remaja yang sudah dianggap sebagai adiknya itu. Begitu pula pada Christy yang sudah merasa nyaman bersama Zerlina."Iya, Kak."Edo dan Zerlina naik ke mobil Zerlina. Edo diantar pulang sampai ke rumahnya. Kebetulan rumah laki-laki itu tak jauh dari kantor Zerlina. Edo segera ingin mencari tahu lebih detail tentang Daffa, sedangkan Zerlina bergegas menuju ke ruangan atasannya.Rencana Christy setelah selesai home schooling adalah bertemu dengan Zerlina. Sebenarnya, dia masih ada ganjalan hati yang ingin dibicarakan pada Zerlina, tetapi kepergian sosok wanita yang sudah dianggap sebagai kakak perempuannya itu membuat Christy mengurungkan niatnya. Dia tahu ada prioritas yang harus dilakukan oleh Zerlina.Christy kembali ke rumahnya sambil membawa Ve
Raymond berjalan menuju ke kamarnya sambil memeluk tubuh remaja yang masih lemah itu. Kamar Raymond dan Christy bersebelahan. Ada pintu sekat di antara kamar mereka, tetapi sejak Christy berumur 7 tahun, pintu itu dikunci karena istri Raymond tidak ingin tidur malamnya diganggu dengan segala rengekan dari putrinya. Jadi, Raymond mempersiapkan toilet training sejak Christy sudah mulai bisa berjalan agar tidak mengganggu tidur istrinya. Dia membiasakan putrinya untuk membuang air kecil setelah minum susu sebelum tidur di malam hari. Jika di tengah malam ada keinginan untuk buang air kecil lagi, Raymond melatih Christy untuk melakukannya di pispot. Pispot itu ditaruh di dalam kamar mandi yang ada di kamar miliki Christy. "Sudah, tidak apa-apa. Kamu aman sama papa. Mimpi buruk takut sama papa," canda Raymond sambil menepuk pundak dan menghibur Christy setelah sampai di dalam kamar. Christy tersenyum getir mendengar candaan papanya. Christy ingin menceritakan peristiwa yang baru saja d
'Apa-apan ini. Dasar gadis aneh. Meminta izin, tetapi juga mengancam. Lagi pula, kenapa aku gak boleh mengajak Daffa? Jangan-jangan gadis ini mau menggodaku? Tapi, dia bilang ada masalah penting. Masalah siapa yang harus aku tahu dan tidak melibatkan Daffa? Apa ada hubungannya dengan Christy?' ungkap Raymond dalam hati saat membaca pesan-pesan yang dikirimkan oleh Zerlina. "Maaf, Dok. Saya ingin memberitahukan jika pasien sudah tidak ada lagi. Tadi pasien terakhir," ucap seorang suster perawat yang membantu Raymond praktik. Raymond seorang dokter anak yang bekerja di rumah sakit milik kakaknya. Dia diberikan tanggung jawab untuk mengelola rumah sakit umum itu sejak semua keluarga kakaknya pindah ke luar negeri. Karena di sini terjadi permasalahan yang cukup besar dan membuat rumah sakit serta perusahaan milik kakaknya sedikit mengalami goncangan. Permasalahan yang terjadi pada keponakannya itu telah merusak nama baik keluarga kakaknya. Entah peristiwa apa yang dihadapi oleh kepon
Christy mulai meneteskan air matanya. Dengan perlahan dia mulai menceritakan peristiwa yang menimpa dirinya. Pelecehan pertama yang terjadi dan pelakunya adalah orang yang selama ini dekat, bahkan sudah dianggap sebagai keluarga oleh dia dan Raymond.Sembari menahan air mata, Christy menceritakan dari awal hingga akhir tentang perbuatan Daffa setelah pulang dari liburan ke Yogyakarta. Beberapa menit berlalu, tak terlihat mimik wajah Raymond yang berubah, tampak datar-datar saja, tak ada emosi yang terbaca di sana. Entah apa yang terlintas di benak Raymond. Serta apa yang dirasakan oleh ayah satu anak itu, setelah mendengarkan cerita Christy tentang sahabatnya.Walaupun tampak tak ada emosi di wajah Raymond, tapi tidak di dalam hatinya. Laki-laki itu sedang menahan emosi yang bergemuruh menyesakkan hati. Sakit hati berulam jantung yang dia rasakan atas kemalangan anak gadisnya. Dia tahu, tidak mungkin Christy mengatakan kebohongan tentang apa yang telah menimpanya. Akan tetapi, dia jug
Christy merasakan dirinya lebih tenang dan lega. Apa yang telah dia lakukan, menceritakan yang sudah terjadi di hidupnya. Termasuk kejadian menyakitkan beberapa waktu yang lalu kepada Raymond. Respon dari papanya, membuat dia merasa lebih dipercaya dan dihargai oleh seseorang yang selama ini diandalkannya. Walaupun Daffa adalah orang yang sudah diberikan kepercayaan yang besar oleh Raymond, tetapi itu tidak membuat papanya menutup telinga dengan apa yang telah dia ceritakan. "Sekali lagi, maafkan, Papa. Satu hal yang harus kamu camkan dalam hati dan pikiran kamu, bahwa papa sangat menyayangi kamu. Kamu adalah hidup papa. Maaf, jika selama ini Papa kurang perhatian sama kamu, Papa sungguh menyesali hal itu. Papa terlena dengan kebaikan manusia, sehingga kejadian buruk bisa menimpamu. Papa janji akan melakukan semua yang sudah papa katakan tadi. Papa tidak akan membiarkan dia bebas setelah mengetahui perbuatanya. Sekarang kamu istirahat lah. Papa masih ada yang mau dibicarakan dengan
"Baik, kalau begitu. Besok pagi kita pergi bersama ke kantor polisi untuk membuat laporan terlebih dahulu," jelas Zerlina setelah mendengar keputusan Raymond. Raut muka Raymond seakan terlukis apa yang baru saja dibacanya dari laptop milik Edo. Walaupun Zerlina belum sempat membacanya, tapi dia merasa yakin ada kenyataan yang tidak pernah diketahui oleh Raymond selama ini. "Besok Christy harus ikut atau tidak?" tanya Raymond. Jujur saja, Raymond gelisah memikirkan bagaimana penilaian orang pada anak gadisnya. Bukan bermaksud menutupi, tetapi lebih menjaga mental Christy. "Bisa hadir, bisa juga tidak. Terpenting saat memberikan keterangan harus jelas dan detail. Nanti kita bisa tanyakan langsung pada Christy, apakah dia siap memberikan keterangan atau mau diwakilkan," terang gadis itu sambil menatap wajah Raymond. Keesokkan pagi, di rumah Raymond. Terlihat Bi Minah sedang membuat sayur cap cay dan telur dadar untuk sarapan. "Bi, benar Christy gak pulang semalam?" Terdengar suara
"Anak Konglomerat Dilaporkan Atas Kasus Pelecehan" "Heboh! Sahabat Makan Anak Sahabat" "Inisial D Pelaku Pedofil, Korban C Adalah Anak Dr R" "Benarkah Tuan Muda D Pelaku Pedofil?" "Anak Dokter Jadi Korban Pedofilia." "Anak Rumahan Jadi Korban Pelecehan Orang Terdekat" "Bejat! Pelaku D Tega Melakukan Pelecehan Pada C Yang Notabene Adalah Anak Sahabatnya Sendiri." "Korban C Anak Dokter di RS Terkenal di Jakarta" "Pelaku D Sudah Kenal Dekat Dengan Keluarga C" "Pelaporan Pelecehan Atas C Telah di Terima Pihak Kepolisian" *** "Sialan! Apa yang sudah lo lakukan, Ray! Berengsek!," umpat Daffa yang baru membaca headline di beberapa sosial media dan berita di televisi. "Halo, iya Pa?" sapa Daffa saat ponselnya berdering. "Apa maksud berita yang beredar. Kamu masih belum kapok juga, HAH!" bentak papa Daffa–di seberang–Arman Sanjaya, konglomerat terkaya di kotanya. "Fitnah itu, Pa. Daffa sudah tidak pernah melakukan itu," kilah Daffa dengan perasaan takut. "Hari ini juga kamu pul
"Anak Konglomerat Dilaporkan Atas Kasus Pelecehan" "Heboh! Sahabat Makan Anak Sahabat" "Inisial D Pelaku Pedofil, Korban C Adalah Anak Dr R" "Benarkah Tuan Muda D Pelaku Pedofil?" "Anak Dokter Jadi Korban Pedofilia." "Anak Rumahan Jadi Korban Pelecehan Orang Terdekat" "Bejat! Pelaku D Tega Melakukan Pelecehan Pada C Yang Notabene Adalah Anak Sahabatnya Sendiri." "Korban C Anak Dokter di RS Terkenal di Jakarta" "Pelaku D Sudah Kenal Dekat Dengan Keluarga C" "Pelaporan Pelecehan Atas C Telah di Terima Pihak Kepolisian" *** "Sialan! Apa yang sudah lo lakukan, Ray! Berengsek!," umpat Daffa yang baru membaca headline di beberapa sosial media dan berita di televisi. "Halo, iya Pa?" sapa Daffa saat ponselnya berdering. "Apa maksud berita yang beredar. Kamu masih belum kapok juga, HAH!" bentak papa Daffa–di seberang–Arman Sanjaya, konglomerat terkaya di kotanya. "Fitnah itu, Pa. Daffa sudah tidak pernah melakukan itu," kilah Daffa dengan perasaan takut. "Hari ini juga kamu pul
"Baik, kalau begitu. Besok pagi kita pergi bersama ke kantor polisi untuk membuat laporan terlebih dahulu," jelas Zerlina setelah mendengar keputusan Raymond. Raut muka Raymond seakan terlukis apa yang baru saja dibacanya dari laptop milik Edo. Walaupun Zerlina belum sempat membacanya, tapi dia merasa yakin ada kenyataan yang tidak pernah diketahui oleh Raymond selama ini. "Besok Christy harus ikut atau tidak?" tanya Raymond. Jujur saja, Raymond gelisah memikirkan bagaimana penilaian orang pada anak gadisnya. Bukan bermaksud menutupi, tetapi lebih menjaga mental Christy. "Bisa hadir, bisa juga tidak. Terpenting saat memberikan keterangan harus jelas dan detail. Nanti kita bisa tanyakan langsung pada Christy, apakah dia siap memberikan keterangan atau mau diwakilkan," terang gadis itu sambil menatap wajah Raymond. Keesokkan pagi, di rumah Raymond. Terlihat Bi Minah sedang membuat sayur cap cay dan telur dadar untuk sarapan. "Bi, benar Christy gak pulang semalam?" Terdengar suara
Christy merasakan dirinya lebih tenang dan lega. Apa yang telah dia lakukan, menceritakan yang sudah terjadi di hidupnya. Termasuk kejadian menyakitkan beberapa waktu yang lalu kepada Raymond. Respon dari papanya, membuat dia merasa lebih dipercaya dan dihargai oleh seseorang yang selama ini diandalkannya. Walaupun Daffa adalah orang yang sudah diberikan kepercayaan yang besar oleh Raymond, tetapi itu tidak membuat papanya menutup telinga dengan apa yang telah dia ceritakan. "Sekali lagi, maafkan, Papa. Satu hal yang harus kamu camkan dalam hati dan pikiran kamu, bahwa papa sangat menyayangi kamu. Kamu adalah hidup papa. Maaf, jika selama ini Papa kurang perhatian sama kamu, Papa sungguh menyesali hal itu. Papa terlena dengan kebaikan manusia, sehingga kejadian buruk bisa menimpamu. Papa janji akan melakukan semua yang sudah papa katakan tadi. Papa tidak akan membiarkan dia bebas setelah mengetahui perbuatanya. Sekarang kamu istirahat lah. Papa masih ada yang mau dibicarakan dengan
Christy mulai meneteskan air matanya. Dengan perlahan dia mulai menceritakan peristiwa yang menimpa dirinya. Pelecehan pertama yang terjadi dan pelakunya adalah orang yang selama ini dekat, bahkan sudah dianggap sebagai keluarga oleh dia dan Raymond.Sembari menahan air mata, Christy menceritakan dari awal hingga akhir tentang perbuatan Daffa setelah pulang dari liburan ke Yogyakarta. Beberapa menit berlalu, tak terlihat mimik wajah Raymond yang berubah, tampak datar-datar saja, tak ada emosi yang terbaca di sana. Entah apa yang terlintas di benak Raymond. Serta apa yang dirasakan oleh ayah satu anak itu, setelah mendengarkan cerita Christy tentang sahabatnya.Walaupun tampak tak ada emosi di wajah Raymond, tapi tidak di dalam hatinya. Laki-laki itu sedang menahan emosi yang bergemuruh menyesakkan hati. Sakit hati berulam jantung yang dia rasakan atas kemalangan anak gadisnya. Dia tahu, tidak mungkin Christy mengatakan kebohongan tentang apa yang telah menimpanya. Akan tetapi, dia jug
'Apa-apan ini. Dasar gadis aneh. Meminta izin, tetapi juga mengancam. Lagi pula, kenapa aku gak boleh mengajak Daffa? Jangan-jangan gadis ini mau menggodaku? Tapi, dia bilang ada masalah penting. Masalah siapa yang harus aku tahu dan tidak melibatkan Daffa? Apa ada hubungannya dengan Christy?' ungkap Raymond dalam hati saat membaca pesan-pesan yang dikirimkan oleh Zerlina. "Maaf, Dok. Saya ingin memberitahukan jika pasien sudah tidak ada lagi. Tadi pasien terakhir," ucap seorang suster perawat yang membantu Raymond praktik. Raymond seorang dokter anak yang bekerja di rumah sakit milik kakaknya. Dia diberikan tanggung jawab untuk mengelola rumah sakit umum itu sejak semua keluarga kakaknya pindah ke luar negeri. Karena di sini terjadi permasalahan yang cukup besar dan membuat rumah sakit serta perusahaan milik kakaknya sedikit mengalami goncangan. Permasalahan yang terjadi pada keponakannya itu telah merusak nama baik keluarga kakaknya. Entah peristiwa apa yang dihadapi oleh kepon
Raymond berjalan menuju ke kamarnya sambil memeluk tubuh remaja yang masih lemah itu. Kamar Raymond dan Christy bersebelahan. Ada pintu sekat di antara kamar mereka, tetapi sejak Christy berumur 7 tahun, pintu itu dikunci karena istri Raymond tidak ingin tidur malamnya diganggu dengan segala rengekan dari putrinya. Jadi, Raymond mempersiapkan toilet training sejak Christy sudah mulai bisa berjalan agar tidak mengganggu tidur istrinya. Dia membiasakan putrinya untuk membuang air kecil setelah minum susu sebelum tidur di malam hari. Jika di tengah malam ada keinginan untuk buang air kecil lagi, Raymond melatih Christy untuk melakukannya di pispot. Pispot itu ditaruh di dalam kamar mandi yang ada di kamar miliki Christy. "Sudah, tidak apa-apa. Kamu aman sama papa. Mimpi buruk takut sama papa," canda Raymond sambil menepuk pundak dan menghibur Christy setelah sampai di dalam kamar. Christy tersenyum getir mendengar candaan papanya. Christy ingin menceritakan peristiwa yang baru saja d
Zerlina menghentikan perkataan Edo, dia tidak ingin sahabatnya itu melanjutkan keingintahuannya. Lalu dia mengajak Edo untuk segera pergi sesuai rencana mereka."Chris, maaf Kakak pergi dulu ya, ada kerjaan di kantor," jelas Zerlina pada anak remaja yang sudah dianggap sebagai adiknya itu. Begitu pula pada Christy yang sudah merasa nyaman bersama Zerlina."Iya, Kak."Edo dan Zerlina naik ke mobil Zerlina. Edo diantar pulang sampai ke rumahnya. Kebetulan rumah laki-laki itu tak jauh dari kantor Zerlina. Edo segera ingin mencari tahu lebih detail tentang Daffa, sedangkan Zerlina bergegas menuju ke ruangan atasannya.Rencana Christy setelah selesai home schooling adalah bertemu dengan Zerlina. Sebenarnya, dia masih ada ganjalan hati yang ingin dibicarakan pada Zerlina, tetapi kepergian sosok wanita yang sudah dianggap sebagai kakak perempuannya itu membuat Christy mengurungkan niatnya. Dia tahu ada prioritas yang harus dilakukan oleh Zerlina.Christy kembali ke rumahnya sambil membawa Ve
Christy merasa sedikit lebih lega setelah berbicara dengan Zerlina. Dia berjanji pada dirinya sendiri untuk mencoba mengikuti saran dari Zerlina."Pa …. Papa, boleh aku masuk?" tanya Christy yang berada di depan kamar Raymond sambil mengetuk pelan pintunya."Masuk, Sayang.""Pa, aku mau tidur di sini.""Tumben minta tidur sama papa.""Sudah lama gak tidur bareng papa lagi, boleh ya, ya?" rayu Christy pada Raymond."Tentu saja boleh, Sayang. Sini masuk dan tolong kamu tutup pintunya."Dari lantai bawah sepasang telinga mendengarkan percakapan ayah dan anak. Tampak seringai dari sudut bibirnya.'Jadi, kamu berusaha kabur lagi dari gue, Yang? Baiklah, coba kita lihat sampai sejauh apa usahamu untuk kabur.' Cibir Daffa pada usaha Christy."Pa, papa percaya banget ya sama, Om Daffa?" tanya Christy yang menghadap samping ke arah Raymond sambil memeluk boneka kesayangan yang dia bawa bersamanya."Kenapa, Sayang? Tentu saja papa percaya dengan sahabat papa itu. Hanya dia lah satu-satunya oran
Setelah mendapatkan taksi online, Christy segera menghubungi Raymond dan memberikan telepon genggamnya pada Zerlina.["Selamat malam, kenapa Christy tidak pulang bersama dengan Daffa, sahabat saya,"] tegur Raymond sebelum Zerlina mengatakan apapun.["Maaf, jika keputusan saya untuk turun dari mobil Pak Daffa membuat Anda marah. Saya mengambil keputusan itu demi keselamatan saya, termasuk Christy,"] jelas Zerlina.["Saya akan menjelaskan semuanya setelah saya sampai di rumah."]Sebelum menutup pembicaraan mereka, Zerlina meminta ijin agar Christy diperbolehkan untuk menginap di rumahnya malam ini.Raymond tidak memberikan ijin. Dia justru menyuruh Zerlina untuk langsung membawa pulang Christy."Gak boleh ya, Kak?" tanya Christy dengan berwajah muram.Zerlina hanya menganggukkan kepala dan menyerahkan telepon genggam Christy."Udah, kamu tenang aja. Kakak nanti ngomong lagi ke papa kamu." Zerlina mengamati Christy yang tampak sedang memendam permasalahan. "Kalau boleh kakak tahu, kamu t