Pisah Terindah #17Sabtu menjelang siang, kami sudah sampai di resort yang dimaksud Windi. Sesuai arahan Windi, kami pun langsungcheck in. Setelah mendapat informasi dari resepsionis, kami bermaksud hendak langsung menuju kamar yang akan kami tempati. Tak disangka, di saat bersamaan dari arah dalam Mbak Tania juga memasuki lobi. Aku pun menghampirinya, ternyata dia sudah sejak semalam berada di sini. Katanya, sekalian tadi pagi dia ada janji dengan calon client-nya. Ketika kami masih ngobrol datang Aliya, putri Mbak Tania. Dia bersama papanya, Mas Adit. Gadis kecil itu langsung berlari girang ke arah kami. "Halo, kakak cantik! Dari mana?" tanyaku ketika Aliya sudah mendekat. "Kakak!" sambut Shahna tak kalah girang. Mereka berpelukan melepas rindu seakan sudah lama sekali tidak bertemu. "Habis beli camilan," jawab Aliya begitu Shahna melonggarkan pelukan. Dia pun menunjukkan paper bag yang dipegang Mas Adit. "Baru sampai?" sapa Mas Adit berbasa-basi. "Iya, baru aja," balas Mas
Pisah Terindah #18 Selesai makan siang, kami sempat ngobrol-ngobrol ringan beberapa saat. Setelah itu kembali ke kamar. Shahna tengah tidur. Begitu juga dengan Mas Danar, dia ikut ketiduran padahal niatnya hanya mengeloni Shahna. Aku memilih untuk tidak tidur siang. Rasanya terlalu sayang jika di tempat mewah dengan suasana yang memanjakan mata ini akan dihabiskan untuk sekadar tidur siang. Apalagi aku juga tidak merasa lelah. Aku mencari tempat yang nyaman untuk duduk. Setelah itu, jbeberapa saat mengedarkan pandangan menikmati keindahan di sekeliling dan menghirup udara dalam-dalam. Aku pun membuka HP melihat kembali foto-foto yang dikirim oleh Windi. Benar kata Windi, foto kami bagus-bagus. Entah karena kamera HP Windi yang teramat canggih atau memang karena dia memahami teknik fotografi. Menurutku, foto-foto yang dihasilkan tak jauh beda seperti jepretan fotografer profesional yang sering kuakses di media sosial Instagram. Beberapa foto berlatarkan laut dan sebagian lagi me
Pisah Terindah #19 Awal minggu telah kembali datang. Artinya tiga hari ke depan Mas Danar tidak akan ada di rumah ini. Tak bisa dipungkiri seiring berjalannya waktu aku mulai terbiasa dengan keadaan seperti ini. Pada hari-hari di mana Mas Danar tidak di rumah, keseharianku terasa lebih santai. Jumlah cucian dan setrikaan sudah pasti berkurang. Begitu juga dengan kegiatan di dapur. Mas Danar termasuk orang yang agak ribet kalau masalah makan. Lauknya sebisa mungkin harus yang baru dimasak dan harus beberapa macam. Memang tidak harus makanan yang harganya mahal-mahal. Lauk pauk sederhana saja tidak masalah, cuma tetap saja aku harus memasak pagi dan sore. Beruntung Shahna tidak mewarisi hal itu. Aku dan Shahna cukup simple untuk urusan makanan. Yang penting sehat dan bergizi. Setelah mengantarkan Shahna sekolah, aku sering bingung mau melakukan apa. Pekerjaan rumah sudah beres sebelum Mengantarkan Shahna ke sekolah. Mau menunggu di sekolah juga membosankan. Di sekolah Shahna hanya
Pisah Terindah #20Sepertinya Mas Danar baru menyadari kalau ada kendaraan lain yang parkir di halaman rumah. Dia melayangkan pandangan ke arahku yang telah sedari tadi tak lepas pandangan darinya. Tatapan kami bertemu. Ada ekspresi yang menunjukkan kekagetan di wajah Mas Danar. Pelan-pelan bibirnya bergerak. Sepertinya tengah mengeja namaku. Aku balas menatapnya dengan tajam. Sementara pintu mobil terbuka semakin lebar. Lalu muncullah kepala seorang wanita dengan posisi menghadap ke Mas Danar. Wanita dalam balutan dress warna marun kembali berbalik badan ke arqh mobil. Sepertinya akan mengambil sesuatu. Di saat itulah aku sempat melihat wajahnya. Sepertinya dia juga tidak menyadari keberadaanku. Sebelum dia menyadari kalau aku tengah mengamatinya, aku buru-buru melanjutkan mengambil kue-kue di bagasi. Aku bergegas mengantarkannya ke teras dan meletakkan ke meja. "Dara pamit, ya, Bu." Aku meraih tangan ibu mertua sebelum dia mengulurkannya. Setelah menyalami aku kembali menuju mo
Pisah Terindah #21"Aku harap ibu tidak terlalu jauh ikut campur masalah kita. Jika pun ibu ikut campur, cukuplah menjadi penengah. Bukan untuk memperjelas kecondongannya," ujarku dengan melirik sekilas pada Mas Danar. "Emangnya ibu ikut campur bagaimana?" tanya Mas Danar dengan wajah bingung. "Nggak usah pura-pura nggak tahulah, Mas," sergahku "Aku benar-benar nggak tahu," jawab Mas Danar pelan. Aku mengembuskan napas dengan sedikit keras sebagai pelambiasan kekesalan yang bersarang di dalam dada. Perlu sekali harus ada pengelakan dari Mas Danar. Seolah-olah dia tidak tahu watak ibunya saja. "Mas, aku tahu bahkan sangat tahu malah kalau ibu nggak pernah benar-benar bisa menerima aku. Tapi nggak harus juga ibu ngerecokin sampai ke hal-hal yang seharusnya cuma antara aku dan kamu. Lagian, kamu juga bukan lagi anak kecil yang apa-apa harus ngadu sama ibu," ujarku setengah bersungut. Mas Danar seketika menoleh begitu mendengar kalimat terakhirku. Dia pasti tidak suka mendengar kat
Pisah Terindah #22Mudah diucapkan, tetapi tidak untuk dilakukan. Meskipun aku telah bertekad untuk terlihat baik-baik saja dan menampilkan kesan bahwa pernikahan kami tidak pernah dilanda prahara. Nyatanya, begitu sulit. Aku harus bertarung menaklukkan diriku sendiri. Aku harus mati-matian berjuang mengesampingkan perasaan yang sebenarnya. Hati yang telah retak bahkan patah berkeping-keping harus terlihat seakan masih utuh, mulus tiada cela. Entah mimpi apa yang menjambangiku hingga harus seperti ini yang kulalui. Mimpi? Oh, tidak! Andaikan ini hanya sebatas mimpi tentu takkan berarti apa-apa. Toh, ketika terbangun mimpi pun akan buyar. Sayangnya, ini adalah kenyataan yang benar-benar nyata. Tengah terjadi dan aku adalah salah satu pemeran utamanya. Dan hanya akan berakhir jika secara sadar diakhiri. Lagi-lagi wajah wanita bernama Lalisa itu menghinggapi otakku. Berputar-putar, menghentak-hentak di kepala. Menimbulkan kesakitan yang teramat sangat. Benar-benar menyiksa. Aku
Pisah Terindah #23"Mas Ada di mana?" Akhirnya telepon dariku diangkat juga setelah beberapa kali aku mengulang panggilan. "Di rumah sakit." Suara Mas Danar terdengar datar saja. "Di rumah sakit mana?" "Rumah sakit Kasih Bunda." "Okey." Aku menutup telepon tanpa kata basa-basi. Rumah Sakit Ibu dan Anak Kasih Bunda, di sinilah aku berdiri sekarang. Persis menghadap ke pintu utama. Sehabis mengantar Shahna aku sengaja ke sini. Beberapa hari yang lalu aku sempat melihat brosur digital rumah sakit tersebut di galeri ponsel Mas Danar. Feeling-ku mengatakan kalau di rumah sakit itulah istri kedua suamiku itu akan melaksanakan persalinannya. Tadi pagi aku menguatkan hati untuk menghampiri ke sini. Ternyata benar Mas Danar ada di sini. Harusnya hari ini, aku dan Mas Danar berada di aula sekolahnya Shahna untuk menyaksikan penampilan putri semata wayang kami. Namun, tentu saja hal itu tidak terlaksana karena Mas Danar lebih memilih memfokuskan waktu dan perhatiannya pada anaknya yang
Pisah Terindah #24Aku mengulas senyum walau tak terlalu lepas. Aku menatap wanita yang baru saja menjadi ibu itu dengan tatapan ramah. Tergambar jelas kekagetan di wajahnya yang mulus. Dia menatap aku dan Mas Danar bergantian. "Dara mau membesuk kamu dan bayi kita," sambung Mas Danar agak terputus-putus. Mas Danar berjalan ke arah di mana si bayi mungil itu tengah berada di samping ibunya. Aku mengikuti pergerakan Mas Danar. "Hmm ...lucu sekali. Perempuan?" tanyaku tanpa mengalihkan tatapan dari makhluk mungil itu. "Iya. Perempuan," jawab Mas Danar sementara wanita yang bernama Lalisa itu mengangguk pelan tatkala aku melirik padanya. "Pantasan cantik banget. Boleh aku gendong?" tanyaku sembari melihat pada Mas Danar dan istri barunya itu secara bergantian. Wanita yang terbaring di depanku itu melirik pada Mas Danar. Tatapannya penuh tanya. Tentu saja dia butuh pertimbangan dari suaminya. Kutahu pasti ada kekhawatiran di hatinya. Pasti terbesit di pikirannya kalau aku punya ni
Pisah Terindah #54 Menghubungi Windi, itulah yang terlintas di benakku dan seketika itu juga aku lakukan. [Win, nanti bisa ke rumah? Sore pulang kerja.] [Bisa, sih, kayaknya. Why?] [Jangan kayaknya, yang pasti-pasti aja. Aku butuh banget kehadiran kamu.] [Iya.] [Okey, makasih, ya. Aku tunggu.] [Ok.] Aku menghela napas panjang. Baiklah hadapi saja apa yang akan terjadi. Kutenggelamkan lagi pikiran dan konsentrasi pada pekerjaan-pekerjaan yang masih terasa asing bagiku. Kendati masih kaku, tetapi aku mulai menyukainya.*** Waktu untuk pulang sudah tiba. Aku kembali mengecek tumpukan berkas yang ada di samping laptop di meja yang kutempati. Setelah semua komplit, aku pun mematikan perangkat elektronik yang seharian ini kugunakan. "Sudah beres, Dara?" Aku menengakkan kepala begitu mendengar namaku disebut. Rupanya Pak Beni sudah berdiri di samping mejaku dengan sebuah ransel hitam yang sudah tersandang di pundaknya. "Udah, Pak." "Nggak usah terlalu formal, Dara. Kita di sin
Pisah Terindah #53"Kalau Shahna pengen bobo sama Papa bagaimana?" Aku tertegun, lidahku terasa kelu dan otakku seketika kehilangan memori yang berisi huruf-huruf. Aku dibuat tak mampu merangkai kata-kata. "Nanti bisa menginap di rumah Oma." Aku mengucapkan kalimat yang tiba-tiba saja mampir ke kepalaku. "Nggak mau di rumah Oma. Rumah Oma 'kan jauh. Maunya di sini, di rumah kita." Aku kembali terdiam. Sepertinya aku memang belum bisa untuk memberi pengertian yang sederhana namun bisa dimengerti dan dimaklumi oleh anak seusia Shahna. Sepertinya harus bertahap dan pelan-pelan. Aku pun memilih untuk tidak melanjutkan lagi obrolan kami. Aku tidak mau memberi harapan-harapan kosong pada Shahna. Aku tak ingin mengecewakannya lebih dalam lagi. Setiap anak pasti akan sangat kecewa atas pepisahan kedua orang tuanya, apa pun alasannya. Tak terkecuali dengan Shahna.Terkait bagaimana pertemuan antara Shahna dan Papanya untuk ke depannya, aku rasa lebih baik dibicarakan dulu dengan Mas Da
Pisah Terindah #52 Kurasa dugaan Mas Danar kalau ada kedekatan antara aku dan Mas Daniel pasti akan makin menguat setelah tadi dia melihat aku dan Mas Daniel di parkiran. Apa pun itu, harusnya tidak lagi kupedulikan karena kenyataannya kami bukan siapa-siapa lagi. Sama halnya seperti aku melihat keberadaan mereka berdua. Harusnya tak perlu ada rasa apa-apa lagi di hatiku. Jika Mas Danar dan Lalisa terang-terangan bersama adalah hal yang wajar. Mereka adalah pasangan suami istri yang sah. Masih adakah rasa cinta di hatiku pada Mas Danar? Sejujurnya, bagiku tidak mudah menghilangkan rasa yang dulu tumbuh dan bersemi di hati. Rasa yang tulus, rasa yang kujaga dengan sebaik-baiknya. Walaupun setahun belakangan kami lebih akrab dengan konflik, tetapi tidaklah serta merta menghapus kasih sayang yang selama ini ada. Meskipun begitu, telah habis waktu untukku tetap memelihara rasa itu. Keadaannya sudah berbeda sekarang. Jika dahulu memujanya akan berbuah pahala, tetapi tidak dengan sek
Pisah Terindah #51 Pak Bima mengulas senyum lalu dengan santai berkata, "Bu Dara jangan tegang begitu." Aku menarik napas pelan, mencoba untuk rileks. Namun rasanya tidak begitu berhasil. Gendang di rongga dadaku tetap bertalu-talu dengan riuh. Entah kabar apa yang akan kudengar beberapa saat lagi. Semoga saja bukanlah kabar yang tidak kuinginkan. "Dua hari yang lalu Naja mengabari saya kalau dia mau ikut suaminya ke Singapura dan akan menetap di sana. Dia mengajukan resign. Saya bermaksud menawarkan posisi yang selama ini diisi Naja pada Bu Dara." Syaraf-syaraf yang tadinya sempat tegang berlahan melentur kembali. Tak hanya kelegaan yang bersarang di dadaku tetapi juga bunga-bunga turut bermekaran. "Saya dengar dari Bu Tania, kalau Bu Dara pernah jadi asistennya." "Ini ... ini benaran, Pak? Serius?" Walau aku yakin aku tak salah dengar, tetap saja aku ingin memastikannya sekali lagi. "Ya, tentu saja. Malah sangat serius." Pak Bima kembali melebarkan senyumnya. Aku terdiam
Pisah Terindah #50Seorang wanita cantik datang menghampiri beberapa saat setelah aku memasuki kantor yang mengusung tema monokrom ini. Sambutan ramah langsung kudapat dari wanita tinggi semampai berpenampilan formal tersebut. "Selamat pagi dan selamat datang, Bu Dara. Perkenalkan saya Naja yang semalam menghubungi ibu." Senyum ramah terlukis di wajah dengan riasan minimalis itu di ujung kalimatnya. "Selamat pagi, juga." Aku pun mengulas senyum sebagai timbal balik atas sambutan hangat yang kuterima. "Ibu, mari ikut saya ke ruangan di sebelah sana!" Wanita yang memperkenalkan diri sebagai Naja itu mengarahkan tangannya ke ruangan yang berada paling ujung. Aku mengangguk lalu mengikuti langkahnya. "Jadi, begini Bu Dara saya butuh beberapa informasi untuk melengkapi bahan di persidangan nanti. Tentu saya sangat berharap informasi yang akurat dan detail dari ibu. Ibu tidak keberatan, kan?" Pertanyaan itu diluncurkan setelah beberapa saat di awal dimulai dengan basa-basi. "Tentu
Pisah Terindah #49 "Ibu? Ibu ada di sini?" Ibu tak langsung menanggapi Mas Danar. Dia mengalihkan pandangan padaku lalu kembali lagi menatap Mas Danar dan Lalisa yang nampak mencoba tersenyum ramah meskipun kesan kikuk masih dapat kubaca. "Kalian mau ngapain ke sini?" Nada bicara ibu terdengar agak ketus. Entah karena masih bawaan kesal padaku atau memang murni kesal pada anak dan mantunya itu. Atau jangan-jangan hanya perasaanku saja. "Kamu ngapain nyusul ke sini? Tunggu di mobil aja," ujar Mas Danar pada Lalisa. Pelan dia bicara tetapi masih terdengar jelas hingga ke telingaku. "Aku juga mau silaturahmi sama Mbak Dara. Masak nggak boleh. Mbak Dara 'kan dulu juga nengok aku waktu lahiran." Spontan jawaban Lalisa membuat ibu mengalihkan pandangan padaku seolah menuntut jawaban akurat. "Ibu mau bicara sama kamu, Danar. Sekalian antar ibu pulang!" Ibu melakukan pergerakkan bersiap untuk berdiri. "Aku mau ambil beberapa barang, Bu." "Untuk apa? Ini kan rumah kamu, emangnya ad
Pisah Terindah #48 Menjelang sore kami sampai di rumah dan sepertinya kami kedatangan tamu. Benar saja, setelah aku selesai memarkir mobil dengan sempurna sebuah mobil pun berhenti tepat di depan pintu gerbang yang masih terbuka. Tak butuh waktu lama, turun seseorang yang kedatangannya cukup membuatku deg-degan. Ibu Mas Danar, wanita dengan usia lebih dari setengah abad yang sebulan yang lalu masih berstatus ibu mertuaku adalah tamuku sore ini. Entah apa maksud dan tujuannya menjelang sore begini menyambangi kami. Shahna seketika menyambut kedatangan neneknya dengan hangat. Dia memang selalu begitu, sangat senang jika ada orang yang bertamu ke rumah. Mungkin karena kami jarang ada yang mengunjungi. Maklum saja , aku tidak punya banyak kerabat. "Ibu apa kabar?" tanyaku murni sebagai berbasa-basi. Karena sudah terlihat kalau keadaannya sehat wal afiat sehingga bisa sampai ke rumahku. Ibu menyambut uluran tanganku meskipun dengan wajah dingin. Dia tidak menjawab pertanyaan yang k
Pisah Terindah #47Bertepatan dengan aku menggeser arah kamera ponsel padaku, Mas Danar pun menoleh ke belakang kemudian terlihat menjauh. Sepertinya ponselnya ditaruh buru-buru. Posisi ponsel agak bergeser sehingga arahnya tertuju pada dinding. Aku hanya bisa melihat bidang dengan warna dominan kuning gading. Terdengar sedikit suara gaduh lalu diikuti dengan tangisan anak kecil. "Itu siapa yang nangis, Ma? Memangnya di tempat Papa ada adek bayi?" tanya Shahna. Aku segera mematikan sambungan telepon. Takut Shahna akan mendengarkan hal lain yang akan semakin mengundang rasa penasarannya. "Hmm ... mungkin papa lagi di suatu tempat yang ada anak-anaknya," jawabku tanpa pikir panjang. Aku berharap dengan jawaban itu Shahna tidak akan bertanya lebih jauh lagi. "Emang boleh di tempat kerja orang dewasa ada anak kecilnya? Emang nggak ganggu?" "Tapi ... tadi papa kayak ada di kamar, bukan di kantor," lanjut Shahna lagi menyampaikan penalarannya yang membuatku harus berpikir keras untuk
Pisah Terindah #46 Kuajak Shahna ke kamar. Belakangan dia memang lebih sering tidur berdua denganku. Aku mengambil beberapa buku cerita anak- anak untuk dipilih Shahna. Akan tetapi dia tidak menampakkan ketertarikan sama sekali.Tak ingin cepat menyerah, aku pun mengambil ponsel dan membuka aplikasi you tube. Aku mencari beberapa dongeng dalam format animasi lalu mengunduhnya. "Kalau nonton yang ini, gimana?" Aku mengarahkan layar ponsel pada Shahna. Gelengan kepala adalah respons yang diberikannya. Aku pun berpindah ke video berikutnya. Shahna hanya mematung lalu beberapa saat setelah itu menggeleng lagi. Aku mengembuskan napas berat. Tumben-tumbenan Shahna jadi rewel begini. Sebelum-sebelumnya dia bersikap biasa-biasa saja atas ketiadaan papanya dalam waktu yang panjang. Kalau pun dia mendadak ingin dikelonin papanya, jika dibilang papanya sedang kerja di kota lain, dia akan cepat paham. Entah kenapa kali ini tidak begitu.Apa ini bentuk dari sensitivitasnya terhadap keadaan. K