Sesuai apa yang ditawarkan wanita itu, delapan bersaudara itu kini berada di rumah wanita tersebut. Sebuah rumah berdesain minimalis namun terkesan elegan yang terletak di sebuah perumahan di kota itu. Rumah tersebut tidaklah besar, tapi setidaknya cukup untuk menampung delapan bersaudara itu untuk sementara waktu.
Masih pada malam yang sama di sebuah rumah minimalis di pusat kota, sebelum tujuh bersaudara itu tidurㅡminus Yeosang karena ia sudah beristirahat duluanㅡwanita itu meminta mereka duduk di ruang makan untuk membicarakan sesuatu. Dan hal yang dibicarakan itu ternyata mengenai adopsiㅡsesuatu yang sudah sangat dinantikan delapan bersaudara itu sejak lama.
"Apa?"
"M-maaf, gimana?"
Wanita itu tersenyum lalu mengulangi apa yang barusan dikatakannya, "Aku mau mengadopsi kalian. Semua biaya sekolah kalian sampai kuliah nanti biar aku yang biayai, kalian cukup jadi anak-anak yang baik. Gimana?"
Meski ada secercah perasaan senang karena apa yang mereka nantikan kini akan terwujud, tujuh anak-anak itu masih merasa ragu dengan keputusan mendadak wanita itu. Lagipula, bukannya meremehkan, tapi apa wanita itu benar-benar sanggup membiayai uang pendidikan mereka?
Atau apakah itu hanya sebuah umpan agar delapan bersaudara itu masuk perangkap? Namun daripada mati di tangan sindikat gelap tempo hari, sepertinya lebih baik mati di tangan wanita misterius ini.
"Anda yakin? Biaya sekolah kamiㅡ"
"Kalau itu yang kamu khawatirkan, aku tidak akan berani menjanjikan pendidikan terjamin kalau pendapatanku nggak cukup." Wanita itu memotong ucapan Sandya.
"Aku hanya butuh teman, dan juga anak. Semua kenalanku sudah berkeluarga dan punya anak, aku juga ingin tahu bagaimana rasanya membesarkan anak." Wanita itu berbicara dengan memperhatikan kuku bercat hitamnya lalu menatap calon anak-anak angkatnya itu, "Aku tidak suka bila harus merawat bayi jadi aku terpikir untuk mengadopsi anak yang sudah besar saja, lalu aku bertemu dengan kalian."
Gian menaikkan sebelah alisnya, "Kenapa nggak nikah aja?"
"Aku tidak ada waktu untuk itu." Wanita itu menyilangkan tangannya, "Dan aku sudah bilang sebelumnya, aku tidak suka bila harus merawat bayi. Jangan tanya lagi kenapa." Ucapnya final.
Ketujuh saudara itu saling bertatapan, wanita yang duduk dengan gaya yang elegan di hadapan mereka memang sulit ditebak. Meski begitu, sorot wajahnya tak menunjukkan bahwa ia akan berniat jahat. Sepertinya wanita itu memang berniat baik. Yah, kalau dipikir-pikir delapan bersaudara itu tidak punya pilihan lain. Selagi ada yang dengan sukarela mau mengadopsi mereka berdelapan, mengapa tidak mereka terima saja?
Sagma menatap adik-adiknya sebentar sebelum kembali menatap calon ibu angkatnya, "Anda benar-benar tidak keberatan mengadopsi kami semua?' Wanita itu menggeleng, "Tidak sama sekali, justru aku suka kalau rumahku terasa ramai." Ia menunjukkan senyuman senang, seakan keberadaan delapan bersaudara itu akan mengisi ruang kosong di hatinya.
"Baiklah kalau begitu, kita akan jadi anak-anak angkat Anda." Sagma tersenyum, "Terimakasih." Pekikan bahagia terdengar usai Sagma menyatakan bahwa mereka setuju untuk diadopsi oleh wanita itu. Terutama Wira dan Leo, dua anak itulah yang paling menantikan seseorang untuk mengadopsi mereka.
"Akulah yang harusnya berterimakasih." Wanita itu bangkit lalu mengelus surai ketujuh anak itu satu persatu, "Sekarang beristirahatlah, aku akan mengurus proses pengadopsian kalian." Ia berjalan menuju pintu ruang makan. Ia hendak meninggalkan ruang makan ketika Wira angkat bicara.
"Eh? Malem ini juga? Nggak kemaleman memangnya?" Timpal Wira bingung. Masalahnya Wira yakin para sindikat itu masih ada disana, menunggu delapan bersaudara itu kembali ke panti. Hari itupun juga sudah terlalu larut bagi siapapun yang ingin mengurus perihal pengadopsian.
"Tenang saja." Wanita itu kembali ke ruang makan dan berhenti di belakang Wira seraya membelai rambutnya, "Lebih cepat lebih baik, bukan? Lagipula, aku bisa jamin besok proses pengadopsiannya sudah selesai."
"Istirahatlah, kalian pasti lelah hari ini." Wanita itu menepuk bahu Wooyoung seraya memperhatikan satu persatu calon anak-anak angkatnya meninggalkan ruang makan. Sebuah senyuman tipis terlukis pada wajah cantik wanita itu seraya sosok delapan bersaudara itu mulai menghilang dari pandangannya.
Senyumannya perlahan mengembang menjadi sebuah seringai yang licik saat kedua matanya jatuh pada salah satu dari tujuh anak itu, "Ketemu." Gumamnya lirih. Matanya menyorot tajam penuh ambisi kepada calon anak bungsunya, Rafa.
###
Keesokan harinya, delapan bersaudara itu kembali dikejutkan dengan sebuah berita tak terduga. Rupanya wanita itu benar-benar serius dengan jaminannya bahwa proses pengadopsian sudah beres pada hari itu juga. Dengan kata lain, mulai hari ini delapan bersaudara itu kini sudah resmi menjadi anak-anak angkat wanita itu.
Oh, tentu saja semuanya merasa senang walau tidak seheboh Wira dan Leo. Percayalah, dua anak itu sibuk pamer ke anak-anak panti lain hingga Sagma harus mengancam mereka untuk diam atau wanita itu akan membatalkan adopsinya.
Dima dan Wira dapat melihat bagaimana ekspresi kepala panti itu terlihat tidak percaya sekaligus merasa diremehkan saat wanita itu dengan mantap berkata bahwa dia mampu membiayai dan merawat hidup delapan anak lebih baik daripada panti asuhan itu. Tentu saja mereka merasa puas, setelah belasan tahun akhirnya mereka terbebas dari panti asuhan yang terlalu mengekang dan tidak memiliki belas kasihan sedikitpun.
"Ambil barang-barang kalian lalu masukkan ke dalam mobil. Setelah aku mengurus berkas kita akan langsung berangkat." Ucap wanita itu, nadanya kali ini lebih lembut daripada kemarin.
Tanpa banyak bicara, delapan bersaudara itu langsung ke kamar mereka masing-masing di gedung panti itu. Mereka mengemas barang-barang mereka dengan cukup cepat lalu segera masuk dan duduk manis di dalam mobil sembari menunggu ibu angkat mereka menyusul ke mobil.
"Sudah semua?" Wanita itu masuk ke dalam mobil dan mendudukkan dirinya di kursi pengemudi lalu menatap Hanes di sebelahnya dan ketujuh anak lainnya yang duduk di belakang, "Sudaaaah!" Seru Wira bersemangat, ia benar-benar tidak sabar untuk menjalani hari-harinya bersama ibu angkatnya. Yah, walaupun terkesan misterius, entah kenapa Wira merasa wanita itu benar-benar serius ingin merawatnya dan saudara-saudaranya.
"Oke, kita berangkat ya. Mungkin agak lama, jadi kalian boleh tidur kalau capek." Wanita itu menyalakan mesin mobil dan mulai menyetir mobil berkelasnya itu, "Agak lama? Kita nggak ke rumah yang kemaren?" Gian mengangkat sebelah alisnya. Kalau ia boleh jujur, Gian tidak terlalu merasakan euforia itu ketika mereka resmi diadopsi.
Tidak seperti Wira dan Leo, Gian justru lebih banyak diam. Ia memang bahagia ia akhirnya mendapat orangtua angkat, namun ia tidak bahagia dengan fakta bahwa orangtua angkatnya adalah wanita misterius itu.
Wanita itu menggeleng dan menatap Gian melalui kaca spion, "Nggak, itu cuma rumah sewaan karena aku ada urusan pekerjaan di daerah sini. Rumahku terletak agak jauh dari kota ini."
Gian hanya mengangguk pelan untuk menanggapi ibu angkatnya, tak berniat bertanya lebih. Seraya mobil bergerak meninggalkan area panti asuhan, Gian menatap sekali lagi gedung tua yang kini tak lagi menjadi rumahnya. Ia mendengus dengan sebuah senyuman sarkas di wajahnya.
Lucu pikirnya untuk mempercayakan hidupnya pada seorang wanita misterius. Gian akhirnya memilih untuk menyusul Leo ke alam mimpi, sementara saudara-saudaranya yang lain sibuk memerhatikan jalanan melalui kaca jendela mobil.
###
"Kita sudah sampai." Sebuah suara yang terdengar antusias berhasil membangunkan kedelapan bersaudara itu dari mimpi mereka. Selagi mengumpulkan nyawa setelah terbangun dari tidur mereka, delapan anak itu turun dari mobil dan mengambil barang-barang mereka.
Tepat ketika mereka membalikkan badan, delapan bersaudara itu melongo menatap tempat tinggal baru mereka untuk seterusnya. Awalnya mereka kira, rumah ibu angkat mereka hanya seperti tipikal rumah biasa seperti rumah sewaannya di kota, namun ternyata tempat tinggal mereka jauh lebih memukau dari yang mereka bayangkan.
Rumah besar dengan desain khas bangunan Belanda berdiri dengan kokoh di depan mereka. Meski rumah besar itu terlihat tua, delapan bersaudara itu lebih memerdulikan betapa besarnya rumah baru mereka. Dan fakta bahwa mereka tidak akan membagi rumah itu bersama puluhan anak panti lainnya menambah kesenangan mereka. Delapan bersaudara itu bahkan tidak bisa membayangkan jumlah kekayaan yang dimiliki ibu angkatnya. Pantas saja ia tidak ragu untuk mengadopsi delapan anak sekaligus.
Namun seharusnya mereka sudah bisa menebak, dari pakaiannya yang terlihat mahal dan harta yang lebih dari cukup untuk membiayai hidup delapan anak, wajar saja kalau rumah ibu angkat mereka terbilang mewah dan berkelas. Meski letaknya agak terpencil dari hiruk pikuk kota, namun suasana di sekitarnya tenang dan sejukㅡtidak seperti panti asuhan yang terkesan suram.
"Kalian senang?" Tanya wanita itu seraya berjalan di jalan setapak menuju pintu rumahnya diikuti anak-anak angkatnya, "Iya, kita nggak pernah kebayang bakal tinggal di rumah sebesar ini. Rasanya kayak mimpi." Sagma tersenyum pada wanita itu. Wanita yang kini berstatus sebagai ibu angkat membalas senyuman Sagma.
"Kalau begitu ayo masuk, jangan lupa bawa barang-barang kalian." Wanita itu berjalan lebih dulu menuju pintu dan menunggu delapan anak angkatnya itu berkumpul di depan pintu sebelum membukakan pintu rumah tua tersebut. Ia membiarkan anak-anaknya masuk terlebih dahulu ke dalam rumah dan menyusul setelah semuanya masuk.
"Wah.." Seraya delapan bersaudara itu melangkah masuk ke rumah baru mereka, setiap jengkal dari rumah besar dan tua itu tak pernah gagal membuat mereka takjub.
Pantas saja ibu angkat mereka tak segan mengadopsi delapan anak sekaligus, tinggal di rumah sebesar ini sendirian dengan begitu banyak ruangan tak terpakai pasti membuat ibu angkat mereka merasa sangat kesepian.
"Kalian suka?" Wanita itu memancarkan ekspresi bahagia saat melihat anak-anak angkatnya sibuk mondar mandir mengeksplor seisi rumah, "Sukaa! Wira sih suka hehe.." Wira tersenyum lebar hingga deretan giginya terlihat, "Aku juga suka!" Leo menimpali ucapan Wira.
"Aku juga!"
"Dima juga suka!"
"Sandya jugaa!"
Wanita itu tertawa tanpa suara menanggapi kelima bersaudara yang seumuran itu. Ia lalu mengarahkan pandangannya pada Hanes yang nampak malu karena sikap adik-adiknya, "Maaf, mereka emang suka begitu, Tan...te?" Hanes terdengar tidak yakin di akhir kalimatnya. Ia bingung harus memanggil walinya ini dengan sebutan apa.
"Ah, iya.." Wanita itu seakan teringat akan sesuatu, "Mulai sekarang kalian bisa panggil aku 'Mama'."
Delapan bersaudara itu diam sebentar dan saling memandang, rupanya memanggil seseorang yang mengadopsi mereka dengan panggilan Mama cukup sulit untuk beberapa dari mereka. Yah, tiga dari delapan bersaudara itu dulu punya orangtua juga sebelum berakhir di panti asuhan.
"Tidak apa-apa, kalian pasti belum terbiasa." Wanita ituㅡatau yang kini dipanggil dengan Mamaㅡmengusak surai Hanes, "Sekarang ikut aku, biar kukasih tau kamar kalian dimana."
###
"Ini kamarmu."
Rafa mengernyitkan dahinya saat Mama membukakan pintu ruangan terakhir di lantai dua. Letak ruangan tersebut agak terpencil dari kamar kakak-kakaknya namun masih bisa terlihat, bukan yang terpencil sepenuhnya. Tidak seperti kamar-kamar ketujuh kakaknya, entah kenapa bagi Rafa kamarnya terlihat lebih tua dan lebih menyeramkan.
Kamar barunya didominasi oleh kayu pada langit-langitnya. Penerangan kamarnya berasal dari satu lampu gantung dan perapian yang terletak beberapa meter dari ranjangnya. Kamarnya juga memiliki satu meja belajar tua dan kursi goyang yang membelakangi ranjangnya.
Anak yang paling muda itu melayangkan pandangannya ke seluruh penjuru kamar. Memang sih, yang namanya rumah tua pasti kamar-kamarnya akan terkesan tua juga. Namun Rafa tidak menyangka kamarnya memiliki hawa yang sangat tidak enak.
Rafa bahkan tidak yakin apakah dia akan bisa tidur dengan hawa tidak enak yang menyelimutinya. Rafa memang tidak terlihat takut, ia terbiasa menyembunyikan ekspresinya sejak kecil. Namun hanya karena ia selalu berwajah datar, bukan berarti ia tidak takut.
Selagi Mama membuka gorden agar cahaya matahari masuk, Rafa meletakkan barang-barangnya sambil mencari apa yang membuat hawa di kamarnya terasa begitu lembap dan sesak. Padahal kamar kakak-kakaknya tidak ada yang seperti ini.
Rafa menarik kursi yang terletak di depan ranjangnya dan hendak mendudukkan dirinya disitu tepat ketika ia melihat sebuah boneka duduk di kursi itu. Rafa memutar kursi tersebut untuk melihat lebih jelas boneka yang menarik perhatiannya.
Boneka tersebut boneka laki-laki berbahan porselen. Boneka itu mengenakan kemeja putih bergaya jadul dan celana panjang hijau yang sewarna dengan kedua mata besarnya. Rambutnya berwarna pirang muda, persis seperti warna rambut salah satu saudaranya.
Untuk beberapa saat Rafa yakin boneka itulah yang menimbulkan hawa tidak enak di kamarnya. Lagipula, untuk apa Mama menyimpan boneka menyeramkan seperti ini? Atau jangan-jangan ini boneka milik Mama?
"Mama." Rafa mengalihkan pandangannya dari boneka yang nampak seram itu, "Ini punya Mama?" Rafa menunjuk kursi yang ia putar menghadap Mama, "Kamu nunjuk apa? Kursi?" Mama mengerutkan dahinya.
Rafa ikut mengerutkan dahinya, "Hah?" Rafa melayangkan pandangan pada kursi di sebelahnya. Kosong. Padahal Rafa yakin tadi ia melihat boneka laki-laki itu duduk disitu, seakan menunggu untuk ditemukan olehnya.
Bohong kalau Rafa tidak terperanjat, tetapi ia berusaha untuk tetap tenang. Mungkin saja ia salah lihat akibat terlalu banyak menduga yang tidak-tidak soal kamarnya, "Iya, Ma. Kursinya maksudku, soalnya keliatan baru gak kayak barang-barang lainnya."
"Ohh." Mama tersenyum tipis dan memutar badannya menghadap Rafa, "Itu udah lama, mungkin keliatan baru karena dulu sering aku bersihin buat dipake."
"Dipake siapa?" Dahi Rafa berkerut heran, "Nanti kamu juga tahu siapa." Mama tersenyum aneh lalu beranjak ke pintu kamar, "Istirahatlah, kamu dan kakak-kakakmu pasti capek."
Begitu Mama menghilang dari balik pintu coklat kemerahan itu, Rafa memandang ke sekitar kamarnya lalu mendengus kesal. Manik kembarnya terkunci pada sesuatu yang menarik perhatiannya. Sorot mata Rafa dipenuhi kekesalan yang terlukis jelas
"Aku tahu kamu disitu." Rafa menatap lurus ke arah cermin besar yang tergantung pada dinding beberapa meter di depan meja belajarnya.
Ia menautkan alisnya kesal, "Maumu apa? Jangan ganggu aku atau kakak-kakakku." Rafa mengantongi kedua tangannya, "Kita gak akan ganggu kamu, jadi kamu jangan ganggu kita."
Usai mengucapkan kata-kata tersebut, Rafa langsung keluar dari kamarnya tanpa memerdulikan apapun lagi termasuk barang bawaannya yang belum ia bereskan. Ia tidak suka dengan hawa lembap dan sesak di kamar barunya itu.
Terlebih lagi, ia tidak suka berada di ruangan yang sama dengan boneka laki-laki yang kini duduk di atas ranjangnyaㅡdan tersenyum.
ㅡㅡㅡ
Hari sudah menjelang malam ketika delapan bersaudara itu masih sibuk mengeksplor seisi rumah besar tersebut. Sementara Mama berada di dapur, menyiapkan makan malam untuk dirinya dan anak-anaknya dibantu oleh Dima.Hanes dan Leo sedang berjalan-jalan di halaman depan. Gian dan Rafa bermain permainan tepok nyamuk di lantai satu. Sandya dan Wira bermain di taman belakang ditemani oleh Sagma.Sagma sebenarnya tidak berniat bermain, ia hanya duduk di sebuah gazebo yang tak jauh dari tempat Sandya dan Wira bermain. Sementara dua bocah itu sibuk bermain di atas jembatan kecil yang membentang di atas sebuah kolam ikan yang cukup besar.Selagi memperhatikan kedua adiknya bermain, Sagma memandang ke sekeliling taman. Mama selama ini tinggal sendirian namun kondisi taman tetap terawat dan rapi. Apakah Mama mengurusnya sendirian selama ini? Atau ia mempekerjakan seseorang untuk mengurus taman yang tidak bisa dibilang kecil it
Pagi itu Hanes tidak terlalu menikmati sarapannya. Pikirannya tidak jauh dari kejadian semalam yang membuatnya mau tidak mau percaya bahwa boneka-boneka di lemari Mama memang bukan boneka biasa."Semalam kamu pingsan di ruang boneka, aku menemukanmu jadi kubawa ke kamarmu."Ucapan Mama tadi pagi begitu ia bangun kembali terlintas di benaknya. Agak aneh baginya untuk bangun dan melihat sosok Mama duduk di kursi goyang yang ada di kamarnya. Ketika Hanes bertanya mengapa Mama ada disitu, Mama hanya menjawab, "Aku sedang menjagamu dari amarah mereka."Hanes yakin seratus persen bahwa mereka yang dimaksud Mama adalah boneka-boneka di lemari kemarin. Hanes tidak berminat menanyakan maupun mengetahui lebih lanjut mengenai boneka-boneka itu. Cukup sudah ia diganggu seperti itu kemarin, Hanes tidak mau melaluinya lagi."Nanti setelah pulang sekolah, kalian ikut Mama sebentar." Mam
"..." "Gita?" "Lari." "Lari? Kemana?" "Jauh dari sini, jangan kembali." "Kenapa?" "Mama jahat. Nanti kamu jadi seperti aku." "Mama jahat? Tapi Mama yangㅡ" "AKU BILANG LARI!" Remaja laki-laki itu tersentak, ia terbangun dan duduk di kasurnya dengan nafas yang te
Terletak di pinggir kota dan agak terpencil dari kawasan sekitarnya, berdiri sebuah gedung panti asuhan yang lumayan besar. Eksterior gedungnya nampak tua, dan apa yang ada di dalamnya tidak jauh berbeda. Selama bertahun-tahun berdiri, panti asuhan itu telah menampung dan merawat anak-anak dari berbagai daerah dengan karakteristik yang berbeda-beda. Delapan bersaudara ini termasuk salah satu dari sejumlah besar anak-anak yang tinggal di panti asuhan itu. Hanya karena julukan mereka delapan bersaudara, bukan berarti mereka terikat hubungan darah. Mereka terikat satu sama lain atas rasa senasib karena menjadi bagian yang dikucilkan dan tidak terlalu diperhatikan selama tinggal di panti. Delapan bersaudara ini saling memegang tangan satu sama lain. Begitu kuat ikatan mereka hingga mereka memutuskan bahwa bila ada yang ingin mengadopsi salah satu dari mereka, maka calon orangtua mereka harus mengadopsi tujuh saudaranya juga