Hari sudah menjelang malam ketika delapan bersaudara itu masih sibuk mengeksplor seisi rumah besar tersebut. Sementara Mama berada di dapur, menyiapkan makan malam untuk dirinya dan anak-anaknya dibantu oleh Dima.
Hanes dan Leo sedang berjalan-jalan di halaman depan. Gian dan Rafa bermain permainan tepok nyamuk di lantai satu. Sandya dan Wira bermain di taman belakang ditemani oleh Sagma.
Sagma sebenarnya tidak berniat bermain, ia hanya duduk di sebuah gazebo yang tak jauh dari tempat Sandya dan Wira bermain. Sementara dua bocah itu sibuk bermain di atas jembatan kecil yang membentang di atas sebuah kolam ikan yang cukup besar.
Selagi memperhatikan kedua adiknya bermain, Sagma memandang ke sekeliling taman. Mama selama ini tinggal sendirian namun kondisi taman tetap terawat dan rapi. Apakah Mama mengurusnya sendirian selama ini? Atau ia mempekerjakan seseorang untuk mengurus taman yang tidak bisa dibilang kecil itu?
Daripada tinggal di rumah, Sagma lebih merasa tinggal di sebuah istana tua. Semua perabotan dan interior di rumah besar itu bergaya tua dan jadul. Mirip seperti rumah para bangsawan yang sering muncul di pelajaran sejarah.
Taman belakang itu dipenuhi dengan berbagai macam bunga dan tumbuhan, membuat taman itu seakan-akan berasal dari dunia dongeng. Lampu taman yang menyala semakin terang seiring dengan semakin gelapnya langit pun menambah kesan magical namun juga mistis pada taman itu.
Selesai melihat-lihat sekitar, Sagma menyadari bahwa langit sudah mulai gelap, "Sandya! Wira!" Sagma membalikkan badannya ke arah kolam ikan, "Ayo baㅡ?!"
Sagma membeku di tempat. Sekujur tubuhnya mendadak terasa dingin. Tepat di belakang Sansya yang sedang berjongkok di tepi jembatan, ada sosok anak perempuan berdiri di situ. Ia mengenakan dress biru kelabu selutut dan pita merah di bagian belakang rambut hitam sepunggungnya. Tangan pucatnya terangkat ke arah punggung Sandya, hendak mendorong bocah yang sedang asik bermain itu.
Lidah Sagma kelu, ia tidak bisa berteriak maupun mengucapkan sepatah kata. Datang darimana anak itu? Kenapa ia mau mencelakai Sandya? Apakah dia anak Mama juga? Tapi bukankah Mama bilang ia tinggal sendiri selama ini?
"HEI!" Sagma berhasil berteriak sembari berlari menyusul ke jembatan, "Siapa kamu?!" Sagma menarik tangan pucat gadis itu dan langsung menghempaskannya saat tangan yang luar biasa dingin itu seakan menusuk kulitnya.
Tatapan Sagma yang semula terarah pada tangan dingin dan pucat itu perlahan terangkat menatap wajah si gadis misterius. Wajah gadis itu tidaklah cantik, melainkan sangat mengerikan hingga kedua kaki Sagma teras lemas. Gadis itu tidak memiliki bola mata, dahinya meneteskan darah, dan mulutnya yang robek tersenyum pada Sagma.
"K-kamu m-m-mau a-apa.." Suara Sagma bergetar, kepalanya pusing dan ia ingin sekali menutup matanya namun tidak bisaㅡseakan ada yang memaksanya terus membuka mata. Ia jelas tahu yang ada di hadapannya ini bukanlah manusia.
Hantu gadis itu memiringkan kepalanya dengan bunyi retakan yang memilukan, "Ah-ha-ha-ha."
Alih-alih menjawab pertanyaan Sagma, hantu gadis itu justru tertawa terpatah-patah dengan suara melengking yang memekakkan telinga. Suara tawanya semakin lama semakin kencang hingga Sagma merasa suara tawa itu mengelilingi dirinya dan membuatnya gila.
"Berhenti." Sagma menutup kedua telinganya.
"AH-HA-HA-HA!"
"BERHENTI!"
"Kak Sagma!"
Sagma tersentak, nafasnya menderu tidak karuan. Ia masih shock dan takut meski suara tawa itu sudah tidak terdengar lagi. Sosok hantu gadis di hadapannya sudah menghilang, digantikan oleh sosok Sandya dan Wira yang nampak khawatir dan bingung.
"Kak Sagma kenapa?" Tanya Wira khawatir.
"T-tadi ada yang m-mau d-dorong kamu, m-makanya kakak ke s-sini." Ucapan Sagma terbata-bata, ia masih berusaha mengumpulkan kesadarannya, "Dorong aku? Siapa?" Sandya mengernyit heran, "Gak ada siapa-siapa disini selain aku, Wira, sama kakak."
"H-hah??" Dahi Sagma berkerut bingung. Ia yakin sekali tadi ada hantu anak perempuan yang hendak mendorong Sandya. Berdiri di atas jembatan yang sama dengan mereka.
"Tadi Kak Sagma tiba-tiba lari kesini, kita kira mau ikutan main." Wira menjelaskan, "Terus tiba-tiba Kak Sagma diem, kayak ngeliatin sesuatu di belakang kita."
Sandya mengangguk setuju pada ucapan Wira, "Kak Sagma diem aja, kita panggilin gak nyahut. Terus kakak teriak-teriak sendiri sambil tutup telinga."
Tangan Sagma bergetar ketakutan, "K-kalian nggak liat ada anak perempuan tadi disini?" Sandya dan Wira bertatapan bingung, "Nggak ada siapa-siapa, kok." Sandya meyakinkan.
"Sebenernya Kak Sagma liat apa sih tadi?" Wira menimpali ucapan Sandya. Sagma diam sebentar lalu menggelengkan kepalanya, "E-enggak kok, kayaknya kakak salah liat. Ayo, nanti kita telat makan malem."
Sagma menggandeng tangan Sandya dan Wira dan membawa mereka menjauh dari area jembatan sesegera mungkin. Karena Sagma melihat hantu gadis itu lagi, melayang di atas kolam sembari menatap Sandya yang membelakanginya dengan tatapan yang sulit dijelaskan.
Satu hal yang pasti, Sandya harus diawasi sebaik mungkin agar tidak dicelakai hantu gadis tersebut.
###
Sementara itu di dapur, Mama dan Dima sudah selesai menyiapkan makan malam. Ibu dan anak itu membawa masakan yang baru matang itu ke ruang makan lalu menatanya dengan rapi di atas meja.
"Dima, panggil kakak dan adikmu buat makan malem ya." Ujar Mama sembari menyusun sendok dan garpu di meja makan sementara Dima di sampingnya menyusun piring untuk sembilan orang
"Iya, Ma." Dima membalas singkat lalu melepas celemek yang masih dikenakannya dan segera berlari kecil keluar dari ruang makan.
Selagi Dima berjalan menuju lantai dua, ia dapat mendengar suara beberapa orang berlarian di lantai atas sambil tertawa. Saudara-saudaranya itu pasti sedang bermain. Bisa-bisanya mereka bermain tanpa dirinya, pikir Dima.
Dima berdiri di ujung tangga lantai dua lalu berteriak lantang, "KAKAK! ADEK! AYO MAKAN MALEM! UDAHAN MAINNYA!"
"Iya, kak!" Dima mengernyit. Barusan yang menjawabnya suara anak perempuan, tapi kan anak Mama laki-laki semua? Apa mereka membawa anak tetangga bermain ke sini?
"Itu suara siaㅡ"
"Hei, Dima." Panggil Hanes dari lantai satu. Di belakang Hanes, ada saudara-saudaranya yang lain, "Kita udah dibawah semua, kamu manggil siapa?"
"Hah?" Dima bingung. Pasalnya, saat ia naik ke lantai dua tadi ia mendengar suara-suara langkah kakiㅡseperti bermain kejar-kejaranㅡdan juga suara tawa. Lalu, bukankah ada yang menjawabnya juga tadi?
Jadi, siapa itu tadi yang berlarian dan tertawa di lantai dua jika bukan saudara-saudaranya? Dan siapa pemilik suara anak perempuan itu?
"Udah, ayo turun." Ajak Hanesㅡtidak memerdulikan raut wajah bingung yang terpatri jelas di wajah adiknya. Dima sendiri tidak lagi memikirkan hal itu, mungkin saja ia salah dengar.
Selang beberapa menit kemudian, delapan bersaudara itu sudah duduk di meja makan bersama dengan Mama. Hidangan makan malam yang disajikan Mama sangat berbeda dan jauh lebih bervariasi dari apa yang biasa mereka makan di panti asuhan.
Maka dari itu, delapan bersaudara tersebut makan dengan lahap semua masakan yang dibuat Mama. Mama sendiri pun tidak mengomentari anak-anak angkatnya yang nampak lahap sekali menyantap masakannya.
"Enak?" Tanya Mama di sela-sela makan. Pertanyaan Mama dijawab anggukan serempak dari delapan anak laki-laki itu.
Mama tersenyum tipis lalu meletakkan sendoknya, pertanda bahwa ia sudah selesai makan, "Nanti habis kalian mandi, Mama mau kalian ketemu seseorang. Bukan seseorang, lebih tepatnya beberapa orang."
Delapan bersaudara itu saling menatap heran. Siapa yang dimaksud Mama? Apakah Mama memiliki anak angkat lagi selain mereka? Ataukah mereka akan dikenalkan ke keluarga besar Mama?
"Siapa, Ma?" Gian angkat bicara sambil menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya.
"Nanti kalian juga tahu." Mama menumpukan dagunya pada kedua tangannya, "Kalau kalian penasaran, lebih baik cepat habiskan makanan kalian lalu mandi."
Suasana kembali hening seraya delapan bersaudara itu kembali fokus menyantap makanan. Terkadang beberapa dari mereka ada juga yang sambil bercanda seperti Leo dan Wira.
Di tengah-tengah makan malam itu, ada dua orang yang sedari tadi diam saja. Sagma dan Rafa. Kalau Rafa memang pada dasarnya dia tidak banyak bicara terutama ketika makan, jadi mereka tidak terlalu heran jika Rafa diam saja selama makan.
Sementara Sagma itu tipe yang perhatian tapi cerewet. Karena adik-adiknya seringkali makan berantakan, jadi dialah yang mengurus adik-adiknya. Namun kali ini Sagma diam saja, bahkan makanan di piringnya hanya diaduk-aduk sambil dimakan sesekali.
Seenak apapun masakan Mama, Sagma tidak bisa makan karena terus-terusan teringat sosok mengerikan hantu anak perempuan itu tadi. Gelagat Sagma yang aneh itu tidak luput dari pandangan Mama.
"Sagma kenapa? Kok nggak dimakan?" Mama memiringkan kepalanya sembari menatap Sagma. Yang ditatap kelabakan, "O-oh g-gapapa kok, Ma. Tadi aku nambah, tapi ternyata udah kenyang."
Mama berdiri sembari membawa piringnya, "Ya sudah, kalau gitu Sagma bantu Mama cuci piring mau?"
"Iya, Ma. Aku bantu ya." Sagma menyusul Mama ke dapur sembari membawa piringnya dan piring adik-adiknya.
"Yang lain, kalau udah selesai makan langsung mandi ya!" Sahut Mama dari dapur.
"Iya, Ma!"
###
Sesuai perintah Mama, setelah makan malam delapan bersaudara itu langsung membersihkan tubuh mereka setelah bermain seharian di kamar mandi yang ada di kamar mereka masing-masingㅡjadi tidak perlu berebutan kamar mandi.
Sebelum mereka semua mandi, Mama memberitahu mereka untuk berkumpul di ruang keluarga begitu sudah selesai mandi. Maka sesuai perintah Mamaㅡsekali lagiㅡsetelah mandi dan memakai baju tidur, delapan bersaudara itu berkumpul di ruang keluarga dan menunggu Mama di sana sembari menonton televisi. Beberapa di antara mereka juga ada yang sibuk mondar mandir di ruang keluarga.
Tak lama setelah televisi selesai menayangkan sebuah serial drama, Mama datang dengan gaun tidurnya dan syal merah yang melingkar di kedua lengannya. Selagi menghampiri anak-anaknya, Mama yang membawa lilin menyalakan lentera minyak yang digantungkan di sisi ruang keluarga.
"Sudah ada semua?""Sudah, Ma." Hanes menjawab mewakili adik-adiknya.
Mama menyelipkan rambutnya ke belakang telinga, "Ayo ikut Mama. Jangan berisik." Mama berjalan duluan keluar dari ruang keluarga diikuti delapan bersaudara itu dengan Dima di barisan paling belakang karena ia mematikan televisi terlebih dahulu.
Mama membawa anak-anaknya ke sebuah ruangan di lantai satu yang letaknya agak jauh dari ruangan-ruangan lainnya. Ruangan itu tidak memiliki pintu maupun lampu, maka dari itu Mama kembali menggunakan lilin yang dibawanya untuk menyalakan beberapa lentera minyak yang digantung di tiap sisi tembok.
Ruangan itu memang tidak seterang ruangan lainnya yang tidak memiliki lampu, namun berkat cahaya-cahaya dari lentera itu mereka bisa melihat cukup jelas apa saja yang ada di ruangan itu.
Ruangan yang terbilang besar tersebut memiliki beberapa kursi antik dan kursi goyang yang ditata sedemikian rupa, sebuah meja kayu bundar di tengah ruangan, dan sebuah lemari kayu besar yang menempel ke dinding. Lemari kayu tersebut pada bagian pintunya memiliki kaca sehingga mereka bisa melihat apa yang ada di dalam lemari dengan jelas.
Boneka. Puluhan boneka porselen terjajar rapi pada setiap rak di lemari besar ituㅡyang mana membuat delapan bersaudara itu justru heran. Di ruangan itu tidak ada orang selain mereka, lalu kepada siapakah mereka akan diperkenalkan?
"Kak, kita mau ketemu siapa sih?" Bisik Wira bingung, "Nggak tau, liat aja nanti." Balas Hanes yang sama bingungnya.
"Nah," Mama meletakkan lilin di atas meja lalu berjalan membuka pintu lemariㅡmenampilkan puluhan boneka porselen yang nampak seram di mata delapan bersaudara itu, "Ini semua boneka buatanku sendiri." Ucap Mama sambil berjalan ke sisi lemari, "Ada yang masih baru, tapi ada juga yang sudah lama." Lanjutnya.
"Mama kerjanya bikin boneka?" Tanya Wira tiba-tiba. Mama tersenyum, "Betul. Aku membuatnya sesuai pesanan pelangganku."
Gian menatap bingung boneka-boneka di depannya, "Kalo yang ini? Nanti dijual juga?" Karena menurutnya agak tidak masuk akal memperkenalkan mereka pada benda mati seperti itu.
Mama menggeleng, "Nggak. Karena yang ini bukan cuma sekedar boneka." Mama tersenyum hingga kedua matanya menyipit.
"Nggak ada bedanya, tuh?" Leo menimpali, "Iya." Hanes menambahkan, "Jadi kita dikenalin ke boneka-boneka ini? Mereka kan benda mati, Ma." Tambahnya dengan nada yang tidak terdengar ramah.
Mama tersenyum, "Terserah apa katamu." Mama menyilangkan kedua tangannya, "Karena menurut saudaramu yang lain, boneka-boneka ini bukan cuma boneka biasa."
Mama melayangkan pandangannya pada Sagma yang menundukkan kepalanya dan Rafa yang terlihat biasa saja. Tentu Sagma dan Rafa tahu kalau merekalah yang dimaksud dalam ucapan Mama.
Sagma tadi melihat hantu anak perempuan di taman belakang yang hendak mendorong Sandya, sekarang ia melihat sosok hantu itu lagi tetapi dalam wujud salah satu boneka porselen milik Mama. Sama seperti Sagma, boneka anak laki-laki yang tadi Rafa lihat di kamarnya sekarang duduk manis di rak lemari di hadapannya.
"Kenapa mereka beda dari yang lain?" Dima bertanya, berusaha mencairkan suasana yang mendadak tegang.
"Kenapa, ya.." Gumam Mama sembari berjalan ke sisi lain lemari, "Menurut kalian, mereka lagi apa?" Mama melontarkan pertanyaan.
Delapan bersaudara itu menatap lekat-lekat jajaran boneka di lemari tersebut. Semakin diperhatikan boneka itu tetap tidak bergemingㅡyang mana membuat mereka bingung harus menjawab apa.
"Nggak ngapa-ngapain, Ma." Jawab Sandya pada akhirnya.
"Betul." Mama tersenyum, "Mereka memang nggak ngapa-ngapain, karena mereka sedang tidur."
Leo bergidik ngeri, lantas ia beringsut bersembunyi di balik tubuh Gian agar ia tidak usah melihat jajaran boneka seram tersebut. Tentu tingkah Leo tersebut tidak lepas dari pandangan Mama.
"Leonard takut?" Pertanyaan Mama membuat tujuh anak yang lainㅡkecuali Gianㅡmenoleh pada Leo yang bersembunyi di belakang Gian.
"H-hah? Ng-nggak kok, Ma! Aku cuma ngantuk aja, hehe. Takut nggak sopan kalo nguap di depan mereka." Leo menjawab asal, namun Mama justru membenarkan perkataannya.
"Benar, jangan takut pada mereka." Mama kembali mengambil lilin di atas meja, "Karena mereka adalah saudara kalian juga mulai sekarang." Mama tersenyum.
Delapan bersaudara itu menatap boneka-boneka tersebut dengan tatapan tidak percaya selagi Mama menutup dan mengunci lemari boneka itu, "Dan bertindaklah sebaik dan sesopan mungkin." Mama berjalan menuju pintu, "Saudara-saudara kalian ini gampang sekali marah."
Sagma meneguk ludahnya mendengar perkataan Mama. Bertindak sebaik dan sesopan mungkin, kata Mama. Namun Sagma sudah terlanjur bersikap tidak baik pada hantu perempuan yang ada di salah satu boneka itu.
"Oh, satu lagi." Mama memutarbalik tubuhnya menghadap kedelapan anaknya, "Kalau kamu tidak percaya pada mereka, mereka akan membuktikannya sendiri pada kalian."
Setelahnya Mama berjalan keluar ruangan diikuti kedelapan anaknya yang tidak akan pernah mau kembali ke ruangan tersebut maupun sekedar melewatinya.
###
Malam sudah semakin larut dan sebagian besar penghuni rumah sudah terlelap. Setelah melalui berbagai kejadian di luar nalar, Sagma, Rafa, dan Dima memutuskan untuk menceritakan hal tersebut pada saudara-saudaranya yang lain.
Tentu saja beberapa dari mereka ada yang bergidik ngeri mendengar cerita tiga saudara mereka, seperti Sandya, Wira, dan Leo. Namun ada juga yang bersikap acuh dan menganggap itu hanya kebetulan atau salah lihat seperti Hanes dan Gian.
Kini setelah sesi cerita malam itu selesai, delapan bersaudara itu terlelap di kamarnya masing-masing. Namun tidak dengan Leo yang ketakutan sehingga ia memutuskan untuk tidur di kamar Sagma.
"Kalau kamu tidak percaya pada mereka, mereka akan membuktikannya sendiri pada kalian."
Di sisi lain, ucapan Mama masih terngiang di kepala Hanesㅡmembuat anak laki-laki itu kerap terbangun dari tidurnya. Tidak, Hanes tidak takut, hanya saja ia merasa Mama seperti mengancamnya untuk percaya atau sesuatu yang buruk akan terjadi padanya.
"Ngeselin." Gumam Hanes sembari bangkit dari tidurnya. Ia tidak bisa tidur dan ia merasa aneh karenanya.
'Ambil minum kali, ya.' Batin Hanes, niatnya untuk mengambil minum ke bawah semakin kuat setelah melihat gelas kosong di atas nakas.
Hanesㅡsambil menguap lebar-lebarㅡturun ke lantai satu yang pencahayaannya hanya berasal dari lentera minyak di sepanjang lorong lantai satu. Memangnya Mama sehemat itu dengan listrik sampai masih memakai lentera minyak? Begitulah pikir Hanes.
Anak laki-laki itu berkali-kali mendecak sebal sebab penerangan yang remang-remang membuatnya kerap menabrak benda sepanjang lorong menuju dapur. Tanpa membutuhkan waktu lama, Hanes segera mengambil segelas air putih dan hendak kembali ke kamarnya.
"Ha-ha-ha!"
Langkah Hanes berhenti. Barusan ia mendengar suara tawa anak laki-laki, tapi bukankah adik-adiknya sudah tidur semua? Lagipula, untuk apa adik-adiknya bermain hingga tertawa seperti itu pada jam 3 dini hari?
"Adek? Kok masih bangun? Udah jam 3 pagi loh." Hanes berjalan mendekati sumber suara.
"Ini punyaku!"
"Aku yang nemu duluan!"
Dahi Hanes berkerut, ia hafal suara siapa itu. Sandya dan Wiraㅡyang paling sering berebut mainan dan juga yang paling jahil diantara delapan bersaudara yang lainnya.
"Sandya? Wira?" Hanes melangkahkan kakinya keluar lorong yang searah dengan dapur dan ruang makan, "Kalian dimana?"
"Ayo sini, sini!"
"Main sama kita, yuk!"
Bulu kuduk Hanes meremang, siapa yang Sandya dan Wira ajak bermain? Kenapa juga jam segini mereka belum tidur?
"Ha-ha-AAH!"
Mata Hanes melebar, kedua kakinya langsung berlari secepat kilat begitu ia mendengar Sandya berteriak di sela tawanya. Apa yang sebenarnya terjadi? Siapa yang membuat Sandya berteriak seperti itu?
"Sandya! Wira! Kalian dimana?!"
Hanes berlari tak menentu, namun entah kenapa kini ia berakhir di ruangan yang sangat dihindarinya. Ruangan boneka Mama. Tidak ada Sandya atau Wira di ruangan itu, hanya dirinya sendiri dan puluhan boneka yang menatapnya dengan tatapan nyalang.
"HA-HA-HA!"
"MUDAH DITIPU!"
Suara tawa yang melengking memenuhi indra pendengaran Hanes hingga ia menjatuhkan gelas yang dibawanya. Hanes jatuh terduduk bersamaan dengan pecahnya gelas yang dibawanya tadi.
PRANG!
Suara tawa tersebut berhenti tepat ketika gelas pecah, mata-mata palsu puluhan boneka itu mengarah ke pecahan gelas yang berserakan lalu mengarah kepada wajah pucat Hanes. Boneka-boneka itu tersenyum lebar pada Hanes dengan mata-mata mereka yang terbuka lebar.
"Saudaraku, saudaramu. Saudaramu, Saudaraku."
Detik selanjutnya, sebuah tangan putih pucat meraih bahu Hanes dan pandangannya menggelap.
ㅡㅡㅡ
Pagi itu Hanes tidak terlalu menikmati sarapannya. Pikirannya tidak jauh dari kejadian semalam yang membuatnya mau tidak mau percaya bahwa boneka-boneka di lemari Mama memang bukan boneka biasa."Semalam kamu pingsan di ruang boneka, aku menemukanmu jadi kubawa ke kamarmu."Ucapan Mama tadi pagi begitu ia bangun kembali terlintas di benaknya. Agak aneh baginya untuk bangun dan melihat sosok Mama duduk di kursi goyang yang ada di kamarnya. Ketika Hanes bertanya mengapa Mama ada disitu, Mama hanya menjawab, "Aku sedang menjagamu dari amarah mereka."Hanes yakin seratus persen bahwa mereka yang dimaksud Mama adalah boneka-boneka di lemari kemarin. Hanes tidak berminat menanyakan maupun mengetahui lebih lanjut mengenai boneka-boneka itu. Cukup sudah ia diganggu seperti itu kemarin, Hanes tidak mau melaluinya lagi."Nanti setelah pulang sekolah, kalian ikut Mama sebentar." Mam
"..." "Gita?" "Lari." "Lari? Kemana?" "Jauh dari sini, jangan kembali." "Kenapa?" "Mama jahat. Nanti kamu jadi seperti aku." "Mama jahat? Tapi Mama yangㅡ" "AKU BILANG LARI!" Remaja laki-laki itu tersentak, ia terbangun dan duduk di kasurnya dengan nafas yang te
Terletak di pinggir kota dan agak terpencil dari kawasan sekitarnya, berdiri sebuah gedung panti asuhan yang lumayan besar. Eksterior gedungnya nampak tua, dan apa yang ada di dalamnya tidak jauh berbeda. Selama bertahun-tahun berdiri, panti asuhan itu telah menampung dan merawat anak-anak dari berbagai daerah dengan karakteristik yang berbeda-beda. Delapan bersaudara ini termasuk salah satu dari sejumlah besar anak-anak yang tinggal di panti asuhan itu. Hanya karena julukan mereka delapan bersaudara, bukan berarti mereka terikat hubungan darah. Mereka terikat satu sama lain atas rasa senasib karena menjadi bagian yang dikucilkan dan tidak terlalu diperhatikan selama tinggal di panti. Delapan bersaudara ini saling memegang tangan satu sama lain. Begitu kuat ikatan mereka hingga mereka memutuskan bahwa bila ada yang ingin mengadopsi salah satu dari mereka, maka calon orangtua mereka harus mengadopsi tujuh saudaranya juga
Sesuai apa yang ditawarkan wanita itu, delapan bersaudara itu kini berada di rumah wanita tersebut. Sebuah rumah berdesain minimalis namun terkesan elegan yang terletak di sebuah perumahan di kota itu. Rumah tersebut tidaklah besar, tapi setidaknya cukup untuk menampung delapan bersaudara itu untuk sementara waktu. Masih pada malam yang sama di sebuah rumah minimalis di pusat kota, sebelum tujuh bersaudara itu tidurㅡminus Yeosang karena ia sudah beristirahat duluanㅡwanita itu meminta mereka duduk di ruang makan untuk membicarakan sesuatu. Dan hal yang dibicarakan itu ternyata mengenai adopsiㅡsesuatu yang sudah sangat dinantikan delapan bersaudara itu sejak lama. "Apa?" "M-maaf, gimana?" Wanita itu tersenyum lalu mengulangi apa yang barusan dikatakannya, "Aku mau mengadopsi kalian. Semua biaya sekolah kalian sampai kuliah nanti biar aku yang biayai, kalian cukup jadi anak-anak yang baik. Gimana?"
Pagi itu Hanes tidak terlalu menikmati sarapannya. Pikirannya tidak jauh dari kejadian semalam yang membuatnya mau tidak mau percaya bahwa boneka-boneka di lemari Mama memang bukan boneka biasa."Semalam kamu pingsan di ruang boneka, aku menemukanmu jadi kubawa ke kamarmu."Ucapan Mama tadi pagi begitu ia bangun kembali terlintas di benaknya. Agak aneh baginya untuk bangun dan melihat sosok Mama duduk di kursi goyang yang ada di kamarnya. Ketika Hanes bertanya mengapa Mama ada disitu, Mama hanya menjawab, "Aku sedang menjagamu dari amarah mereka."Hanes yakin seratus persen bahwa mereka yang dimaksud Mama adalah boneka-boneka di lemari kemarin. Hanes tidak berminat menanyakan maupun mengetahui lebih lanjut mengenai boneka-boneka itu. Cukup sudah ia diganggu seperti itu kemarin, Hanes tidak mau melaluinya lagi."Nanti setelah pulang sekolah, kalian ikut Mama sebentar." Mam
Hari sudah menjelang malam ketika delapan bersaudara itu masih sibuk mengeksplor seisi rumah besar tersebut. Sementara Mama berada di dapur, menyiapkan makan malam untuk dirinya dan anak-anaknya dibantu oleh Dima.Hanes dan Leo sedang berjalan-jalan di halaman depan. Gian dan Rafa bermain permainan tepok nyamuk di lantai satu. Sandya dan Wira bermain di taman belakang ditemani oleh Sagma.Sagma sebenarnya tidak berniat bermain, ia hanya duduk di sebuah gazebo yang tak jauh dari tempat Sandya dan Wira bermain. Sementara dua bocah itu sibuk bermain di atas jembatan kecil yang membentang di atas sebuah kolam ikan yang cukup besar.Selagi memperhatikan kedua adiknya bermain, Sagma memandang ke sekeliling taman. Mama selama ini tinggal sendirian namun kondisi taman tetap terawat dan rapi. Apakah Mama mengurusnya sendirian selama ini? Atau ia mempekerjakan seseorang untuk mengurus taman yang tidak bisa dibilang kecil it
Sesuai apa yang ditawarkan wanita itu, delapan bersaudara itu kini berada di rumah wanita tersebut. Sebuah rumah berdesain minimalis namun terkesan elegan yang terletak di sebuah perumahan di kota itu. Rumah tersebut tidaklah besar, tapi setidaknya cukup untuk menampung delapan bersaudara itu untuk sementara waktu. Masih pada malam yang sama di sebuah rumah minimalis di pusat kota, sebelum tujuh bersaudara itu tidurㅡminus Yeosang karena ia sudah beristirahat duluanㅡwanita itu meminta mereka duduk di ruang makan untuk membicarakan sesuatu. Dan hal yang dibicarakan itu ternyata mengenai adopsiㅡsesuatu yang sudah sangat dinantikan delapan bersaudara itu sejak lama. "Apa?" "M-maaf, gimana?" Wanita itu tersenyum lalu mengulangi apa yang barusan dikatakannya, "Aku mau mengadopsi kalian. Semua biaya sekolah kalian sampai kuliah nanti biar aku yang biayai, kalian cukup jadi anak-anak yang baik. Gimana?"
Terletak di pinggir kota dan agak terpencil dari kawasan sekitarnya, berdiri sebuah gedung panti asuhan yang lumayan besar. Eksterior gedungnya nampak tua, dan apa yang ada di dalamnya tidak jauh berbeda. Selama bertahun-tahun berdiri, panti asuhan itu telah menampung dan merawat anak-anak dari berbagai daerah dengan karakteristik yang berbeda-beda. Delapan bersaudara ini termasuk salah satu dari sejumlah besar anak-anak yang tinggal di panti asuhan itu. Hanya karena julukan mereka delapan bersaudara, bukan berarti mereka terikat hubungan darah. Mereka terikat satu sama lain atas rasa senasib karena menjadi bagian yang dikucilkan dan tidak terlalu diperhatikan selama tinggal di panti. Delapan bersaudara ini saling memegang tangan satu sama lain. Begitu kuat ikatan mereka hingga mereka memutuskan bahwa bila ada yang ingin mengadopsi salah satu dari mereka, maka calon orangtua mereka harus mengadopsi tujuh saudaranya juga
"..." "Gita?" "Lari." "Lari? Kemana?" "Jauh dari sini, jangan kembali." "Kenapa?" "Mama jahat. Nanti kamu jadi seperti aku." "Mama jahat? Tapi Mama yangㅡ" "AKU BILANG LARI!" Remaja laki-laki itu tersentak, ia terbangun dan duduk di kasurnya dengan nafas yang te