"..."
"Gita?"
"Lari."
"Lari? Kemana?"
"Jauh dari sini, jangan kembali."
"Kenapa?"
"Mama jahat. Nanti kamu jadi seperti aku."
"Mama jahat? Tapi Mama yangㅡ"
"AKU BILANG LARI!"
Remaja laki-laki itu tersentak, ia terbangun dan duduk di kasurnya dengan nafas yang terengah-engah. Mimpi itu lagi, batinnya.
Belum sempat lelaki itu mengumpulkan seluruh kesadarannya, kedua matanya menangkap kilatan benda putih di pojok ruangan.
Dengan paparan sinar bulan dari jendela, benda di pojok ruangan itu terlihat jelas olehnya.
Gita. Nama boneka yang tadi muncul di mimpinya. Boneka anak perempuan dengan rambut coklat dikepang dua, gaun biru pudar dan pita biru muda.
Krekk krekk
Remaja lelaki itu beringsut ketakutan di kasurnya. Kepala Gita yang semula menghadap pintu berputar menghadapnya. Kedua manik palsunya bergerak terpatah-patah menatap lelaki yang ketakutan di atas kasur.
Dan di tengah sunyinya malam hari, remaja lelaki itu mendengar suara bisikan seorang anak perempuan. Bisikan yang terasa nyata, seperti seseorang tengah berbisik tepat di sebelah telinganya.
"Lari, Sagma."
Lalu kedua mata palsu Gita mengeluarkan darah kental, seperti menangis.
Kepalanya kembali berputar menghadap pintu dan menghilang dalam sekali kedip.
Terletak di pinggir kota dan agak terpencil dari kawasan sekitarnya, berdiri sebuah gedung panti asuhan yang lumayan besar. Eksterior gedungnya nampak tua, dan apa yang ada di dalamnya tidak jauh berbeda. Selama bertahun-tahun berdiri, panti asuhan itu telah menampung dan merawat anak-anak dari berbagai daerah dengan karakteristik yang berbeda-beda. Delapan bersaudara ini termasuk salah satu dari sejumlah besar anak-anak yang tinggal di panti asuhan itu. Hanya karena julukan mereka delapan bersaudara, bukan berarti mereka terikat hubungan darah. Mereka terikat satu sama lain atas rasa senasib karena menjadi bagian yang dikucilkan dan tidak terlalu diperhatikan selama tinggal di panti. Delapan bersaudara ini saling memegang tangan satu sama lain. Begitu kuat ikatan mereka hingga mereka memutuskan bahwa bila ada yang ingin mengadopsi salah satu dari mereka, maka calon orangtua mereka harus mengadopsi tujuh saudaranya juga
Sesuai apa yang ditawarkan wanita itu, delapan bersaudara itu kini berada di rumah wanita tersebut. Sebuah rumah berdesain minimalis namun terkesan elegan yang terletak di sebuah perumahan di kota itu. Rumah tersebut tidaklah besar, tapi setidaknya cukup untuk menampung delapan bersaudara itu untuk sementara waktu. Masih pada malam yang sama di sebuah rumah minimalis di pusat kota, sebelum tujuh bersaudara itu tidurㅡminus Yeosang karena ia sudah beristirahat duluanㅡwanita itu meminta mereka duduk di ruang makan untuk membicarakan sesuatu. Dan hal yang dibicarakan itu ternyata mengenai adopsiㅡsesuatu yang sudah sangat dinantikan delapan bersaudara itu sejak lama. "Apa?" "M-maaf, gimana?" Wanita itu tersenyum lalu mengulangi apa yang barusan dikatakannya, "Aku mau mengadopsi kalian. Semua biaya sekolah kalian sampai kuliah nanti biar aku yang biayai, kalian cukup jadi anak-anak yang baik. Gimana?"
Hari sudah menjelang malam ketika delapan bersaudara itu masih sibuk mengeksplor seisi rumah besar tersebut. Sementara Mama berada di dapur, menyiapkan makan malam untuk dirinya dan anak-anaknya dibantu oleh Dima.Hanes dan Leo sedang berjalan-jalan di halaman depan. Gian dan Rafa bermain permainan tepok nyamuk di lantai satu. Sandya dan Wira bermain di taman belakang ditemani oleh Sagma.Sagma sebenarnya tidak berniat bermain, ia hanya duduk di sebuah gazebo yang tak jauh dari tempat Sandya dan Wira bermain. Sementara dua bocah itu sibuk bermain di atas jembatan kecil yang membentang di atas sebuah kolam ikan yang cukup besar.Selagi memperhatikan kedua adiknya bermain, Sagma memandang ke sekeliling taman. Mama selama ini tinggal sendirian namun kondisi taman tetap terawat dan rapi. Apakah Mama mengurusnya sendirian selama ini? Atau ia mempekerjakan seseorang untuk mengurus taman yang tidak bisa dibilang kecil it
Pagi itu Hanes tidak terlalu menikmati sarapannya. Pikirannya tidak jauh dari kejadian semalam yang membuatnya mau tidak mau percaya bahwa boneka-boneka di lemari Mama memang bukan boneka biasa."Semalam kamu pingsan di ruang boneka, aku menemukanmu jadi kubawa ke kamarmu."Ucapan Mama tadi pagi begitu ia bangun kembali terlintas di benaknya. Agak aneh baginya untuk bangun dan melihat sosok Mama duduk di kursi goyang yang ada di kamarnya. Ketika Hanes bertanya mengapa Mama ada disitu, Mama hanya menjawab, "Aku sedang menjagamu dari amarah mereka."Hanes yakin seratus persen bahwa mereka yang dimaksud Mama adalah boneka-boneka di lemari kemarin. Hanes tidak berminat menanyakan maupun mengetahui lebih lanjut mengenai boneka-boneka itu. Cukup sudah ia diganggu seperti itu kemarin, Hanes tidak mau melaluinya lagi."Nanti setelah pulang sekolah, kalian ikut Mama sebentar." Mam