enjoy reading ...
Vela masih menatap kedatanganku dan Lois yang berdiri di ambang pintu rumah. Hingga pandangannya jatuh pada genggaman tanganku di pergelangan lengan tangan kanan Lois. Hampir saja aku akan menariknya lalu Lois meraih tangan kiriku agar terus melingkar di lengannya. Dia menggenggamnya sedikit erat dan memberi usapan lembut. "Ada apa kalian kemari?" "Silahturahmi lah, Vel. Gue juga pengen ketemu bapak ibu mertua gue," Lois menjawabnya dengan tenang. "Apa mereka ada?" imbuhnya. "Ada." "Boleh masuk?" Vela memundurkan sedikit badannya lalu aku dan Lois melangkah masuk ke dalam rumah yang memiliki banyak kenangan masa kecilku ini. Aku duduk di sofa empuk warna biru laut ini dengan wajah menunduk. "Ada perlu apa kalian kemari? Apa duit yang dikasih bokap udah habis?" Lois terkekeh lalu menghela nafas, "Dasar matre." Aku sedikit terkejut mendengar ucapan Lois untuk Vela. "Apa lo bilang, Lois? Gue matre?" Kepalanya mengangguk, "Masih mending Lilyah. Istri kesayangan gue ini ngga
"Lepasin aku, Lois!" Aku memberontak dari kungkungan tangan Lois yang mengurungku diantara tubuhnya dan dinding kontrakan kami. Tapi usahaku untuk menyingkirkan tubuhnya berakhir sia-sia karena Lois tidak beranjak dari posisinya. "Aku bingung banget ngadepin sikapmu yang berubah-ubah kayak gini, Ly. Bukannya bahagia setelah kubantu pelan-pelan menikam Vela, kamu malah mau main pergi sendirian." "Gimana kalau kamu ketakutan di luar sana waktu aku masih kerja? Aku nggak mungkin bisa jemput kamu sewaktu-waktu, Ly! Coba kamu mikir sampai situ! Nggak akan jadi masalah kalau autophobiamu itu udah sembuh." "Jadi, please. Ayo aku antar ke kosnya Nathasya. Biar waktu kerja aku bisa tenang. Nggak kepikiran kamu nanti gimana kalau takut sendirian." Bukannya senang diperhatikan Lois sedalam ini, aku justru merasa dia terlalu berlebihan! Hingga aku merasa muak tanpa sebab yang logis. "Nggak usah ngatur kehidupanku, Lois!" bentakku. "Gimana kalau kamu tiba-tiba pengen belok ke klub malam la
"Lilyah, tolong gantikan Gia ikut meeting. Hari ini para direksi mau evaluasi tentang kualitas produk kita yang banyak mendapat komplain." Itu adalah titah dari atasan yang bertanggung jawab atas posisiku sebagai staff customer service. Gia yang biasanya mewakili departemen customer service tidak bisa hadir karena sedang sakit. "Baik, Pak." "Bawa semua catatan keluhan customer yang sudah kamu tampung hari ini. Laporan keluhan per hari kemarin sudah ada di tangan sekretaris Pak Presdir dan jajarannya." Aku segera menyimpan data keluhan customer yang baru saja kulayani lalu mengambil dokumen catatan keluhan hari ini. Sungguh, jumlah keluhan dari customer yang menelfon tiap hari terus bertambah sejak kursi direktur utama berganti pimpinan. Lalu petugas pengawas produksi yang dipekerjakan tidak bisa melakukan pekerjaannya dengan benar hingga berdampak sebegini besarnya pada kualitas produk rokok. Alhasil, para buruh membuat lintingan batang rokok dengan kualitas yang tidak biasanya
"Gimana hasil rapat tadi, Ly?" tanya Ratna, teman sesama staff customer service. "Pak Presdir minta pengawas yang baru diganti sama yang lama." "Orangnya marah-marah nggak waktu tahu ada karyawan bikin masalah segini krusialnya sama produknya?" "Sumpah, dia santai banget, Rat. Gue heran, apa beliau tipikal orang yang nggak bisa marah ya?!" "Ya mana bisa marah, orang direktur utama yang baru ini anaknya beliau." "Oh ... " Kepalaku mengangguk lalu pikiranku kembali berkelana ke kejadian pagi tadi. Saat Lois tidak sengaja menabrak mobil sedannya. Sikap angkuhnya saat memberi Lois uang dengan cara yang merendahkan, justru terekam jelas di ingatanku. Bagaimana bisa, orang berpendidikan tinggi seperti itu memiliki tabiat yang buruk? Bukankah padi itu semakin berisi maka semakin menunduk? "Dulu sebelum anaknya Pak Presdir yang menjabat, nggak ada keluhan sampai bejibun kayak gini dari pelanggan, Ly." "Kok jadi merosot ya, Rat?" "Nah itu lah. Kenapa pimpinan lama yang bagus nggak di
Jika Lois memiliki hubungan spesial dengan mantan kekasihnya, bukankah itu wajar? Karena status kami sebagai suami istri hanyalah di atas kertas. Tidak lebih. Lalu mengapa aku merasa dada ini tercubit mengingat mereka dekat kembali? "Ah ... mungkin aku cuma nggak rela kehilangan Lois yang udah aku anggap kayak kakak sendiri," gumamku. Lalu aku mengembalikan ponsel Lois ke tempat semula sebelum dia kembali ke meja makan kami. Tapi sayang, nafsu makanku telah menghilang. Bertepatan dengan Lois yang baru datang dengan membawa segelas jeruk hangat yang baru, ponselnya kembali bergetar. Dia meletakkan gelas berisi jeruk hangat itu lalu meraih ponselnya. "Aku angkat telfon dulu ya, Ly." Kepalaku mengangguk lalu Lois berlalu keluar dari tempat makan ini untuk mengangkat telfon itu. Sespesial apakah percakapannya dengan Rily hingga memilih tidak mengangkatnya di hadapanku? "Kenapa aku jadi gini, sih?!" *** Tanggal pertunangan Vela dan Ishak semakin dekat. Rencana Lois akan menye
“Ly, apa benar tenda dan backdrop pertunangannya Vela ini dari kamu dan Lois?” Mama bertanya melalui sambungan telfon. Tadi beliau menelfon ketika aku masih bekerja namun tidak bisa mengangkatnya karena sedang sibuk. Dan sekarang, saat jam makan siang kantor, aku menelfon beliau. Kupikir ada apa Mama menelfon, ternyata beliau ingin bertanya tentang hal yang mencubit hatiku sangat dalam. “Ya, Ma,” ucapku singkat dan jelas. Di seberangku ada Ratna dan Gia yang sedang menyantap makan siang mereka. “Ly, ini terlalu bagus. Apa nggak mahal?” Mama kembali bertanya. Sebenarnya itu cukup mahal tetapi Lois sudah memutuskan untuk menyewa itu. Kemarin dia bilang memiliki alasan kuat mengapa menyewa tenda mahal itu. Alasannya, dia ingin menunjukkan pada semua orang jika aku memiliki kehidupan lebih baik saat ini setelah diusir dari rumah dan dipaksa memutuskan tali pertunanganku dengan Ishak. Meski kenyataannya, tenda dan backdrop itu dibiayai Lois. “Nggak apa-apa, Ma. Aku udah kerja lagi k
Setiap kali aku merasa kesal dan benci pada Lois karena dia kembali dekat mantan kekasihnya juga masih berstatus sebagai suamiku, maka aku akan bersikap acuh. Bahkan terang-terangan melakukan perang dingin! Seperti semalam, ketika dia menjemputku dari kos Nathasya, aku tidak berucap apapun dan langsung masuk ke dalam kamar kontrakan. Membiarkan Lois melakukan apa yang dia inginkan. Dan melupakan banyak kebaikannya yang kubayar dengan sikap dingin serta acuh. "Sarapan dulu, Ly," dia memasuki kamarku dengan membawa dua lapis roti simple sandwich dan secangkir teh hangat. Setiap hari, dia selalu membuatkan sarapan berupa olahan roti dan teh manis hangat untukku. "Nggak usah, makasih," tolakku halus. Lois segera meletakkan sepiring simple sandwich dan secangkir teh itu di atas meja riasku lalu dia menarik tubuhku agar berdiri dari duduk. Dan secepat kilat, dia menarikku agar duduk di atas pangkuannya dengan posisi menyamping. Lalu kedua tangannya melingkar erat di kedua pinggangku.
Beberapa mata karyawan yang masih berdiri di teras lobby karena menunggu jemputan ojek online pun menatapku heran karena dijemput mobil semewah ini. Memangnya siapalah aku ini? Hanya seorang staf customer service perusahaan sigaret besar ini. Tidak lebih. "S ... saya?" tanyaku tidak percaya dengan menunjuk diri sendiri. Mataku berkedip cepat dan membola karena merasa tidak mungkin. Karena seingatku, tadi belum menekan tombol ‘pesan’ pada aplikasi ojek online. Lagi pula mana mungkin aku memesan taksi semahal ini? Gajiku bisa habis tak bersisa sebelum habis bulan. "Iya, Mbak Lilyah. Anda yang saya maksud. Mari, silahkan masuk." Pintu mobil sedan itu terbuka lebar untukku. Dan Sopir berseragam biru gelap nan rapi itu berdiri di sebelah pintu dengan tangan mempersilahkan. "Tapi ... saya ... eh ... maksudnya, siapa yang nyuruh anda menjemput saya, Pak?" tanyaku dengan nada tergagap karena kebingungan. "Pak Lois yang menyuruh saya." "Lois?" tanyaku membeo. Kepala sopir itu mengang