enjoy reading ...
"Lilyah, tolong gantikan Gia ikut meeting. Hari ini para direksi mau evaluasi tentang kualitas produk kita yang banyak mendapat komplain." Itu adalah titah dari atasan yang bertanggung jawab atas posisiku sebagai staff customer service. Gia yang biasanya mewakili departemen customer service tidak bisa hadir karena sedang sakit. "Baik, Pak." "Bawa semua catatan keluhan customer yang sudah kamu tampung hari ini. Laporan keluhan per hari kemarin sudah ada di tangan sekretaris Pak Presdir dan jajarannya." Aku segera menyimpan data keluhan customer yang baru saja kulayani lalu mengambil dokumen catatan keluhan hari ini. Sungguh, jumlah keluhan dari customer yang menelfon tiap hari terus bertambah sejak kursi direktur utama berganti pimpinan. Lalu petugas pengawas produksi yang dipekerjakan tidak bisa melakukan pekerjaannya dengan benar hingga berdampak sebegini besarnya pada kualitas produk rokok. Alhasil, para buruh membuat lintingan batang rokok dengan kualitas yang tidak biasanya
"Gimana hasil rapat tadi, Ly?" tanya Ratna, teman sesama staff customer service. "Pak Presdir minta pengawas yang baru diganti sama yang lama." "Orangnya marah-marah nggak waktu tahu ada karyawan bikin masalah segini krusialnya sama produknya?" "Sumpah, dia santai banget, Rat. Gue heran, apa beliau tipikal orang yang nggak bisa marah ya?!" "Ya mana bisa marah, orang direktur utama yang baru ini anaknya beliau." "Oh ... " Kepalaku mengangguk lalu pikiranku kembali berkelana ke kejadian pagi tadi. Saat Lois tidak sengaja menabrak mobil sedannya. Sikap angkuhnya saat memberi Lois uang dengan cara yang merendahkan, justru terekam jelas di ingatanku. Bagaimana bisa, orang berpendidikan tinggi seperti itu memiliki tabiat yang buruk? Bukankah padi itu semakin berisi maka semakin menunduk? "Dulu sebelum anaknya Pak Presdir yang menjabat, nggak ada keluhan sampai bejibun kayak gini dari pelanggan, Ly." "Kok jadi merosot ya, Rat?" "Nah itu lah. Kenapa pimpinan lama yang bagus nggak di
Jika Lois memiliki hubungan spesial dengan mantan kekasihnya, bukankah itu wajar? Karena status kami sebagai suami istri hanyalah di atas kertas. Tidak lebih. Lalu mengapa aku merasa dada ini tercubit mengingat mereka dekat kembali? "Ah ... mungkin aku cuma nggak rela kehilangan Lois yang udah aku anggap kayak kakak sendiri," gumamku. Lalu aku mengembalikan ponsel Lois ke tempat semula sebelum dia kembali ke meja makan kami. Tapi sayang, nafsu makanku telah menghilang. Bertepatan dengan Lois yang baru datang dengan membawa segelas jeruk hangat yang baru, ponselnya kembali bergetar. Dia meletakkan gelas berisi jeruk hangat itu lalu meraih ponselnya. "Aku angkat telfon dulu ya, Ly." Kepalaku mengangguk lalu Lois berlalu keluar dari tempat makan ini untuk mengangkat telfon itu. Sespesial apakah percakapannya dengan Rily hingga memilih tidak mengangkatnya di hadapanku? "Kenapa aku jadi gini, sih?!" *** Tanggal pertunangan Vela dan Ishak semakin dekat. Rencana Lois akan menye
“Ly, apa benar tenda dan backdrop pertunangannya Vela ini dari kamu dan Lois?” Mama bertanya melalui sambungan telfon. Tadi beliau menelfon ketika aku masih bekerja namun tidak bisa mengangkatnya karena sedang sibuk. Dan sekarang, saat jam makan siang kantor, aku menelfon beliau. Kupikir ada apa Mama menelfon, ternyata beliau ingin bertanya tentang hal yang mencubit hatiku sangat dalam. “Ya, Ma,” ucapku singkat dan jelas. Di seberangku ada Ratna dan Gia yang sedang menyantap makan siang mereka. “Ly, ini terlalu bagus. Apa nggak mahal?” Mama kembali bertanya. Sebenarnya itu cukup mahal tetapi Lois sudah memutuskan untuk menyewa itu. Kemarin dia bilang memiliki alasan kuat mengapa menyewa tenda mahal itu. Alasannya, dia ingin menunjukkan pada semua orang jika aku memiliki kehidupan lebih baik saat ini setelah diusir dari rumah dan dipaksa memutuskan tali pertunanganku dengan Ishak. Meski kenyataannya, tenda dan backdrop itu dibiayai Lois. “Nggak apa-apa, Ma. Aku udah kerja lagi k
Setiap kali aku merasa kesal dan benci pada Lois karena dia kembali dekat mantan kekasihnya juga masih berstatus sebagai suamiku, maka aku akan bersikap acuh. Bahkan terang-terangan melakukan perang dingin! Seperti semalam, ketika dia menjemputku dari kos Nathasya, aku tidak berucap apapun dan langsung masuk ke dalam kamar kontrakan. Membiarkan Lois melakukan apa yang dia inginkan. Dan melupakan banyak kebaikannya yang kubayar dengan sikap dingin serta acuh. "Sarapan dulu, Ly," dia memasuki kamarku dengan membawa dua lapis roti simple sandwich dan secangkir teh hangat. Setiap hari, dia selalu membuatkan sarapan berupa olahan roti dan teh manis hangat untukku. "Nggak usah, makasih," tolakku halus. Lois segera meletakkan sepiring simple sandwich dan secangkir teh itu di atas meja riasku lalu dia menarik tubuhku agar berdiri dari duduk. Dan secepat kilat, dia menarikku agar duduk di atas pangkuannya dengan posisi menyamping. Lalu kedua tangannya melingkar erat di kedua pinggangku.
Beberapa mata karyawan yang masih berdiri di teras lobby karena menunggu jemputan ojek online pun menatapku heran karena dijemput mobil semewah ini. Memangnya siapalah aku ini? Hanya seorang staf customer service perusahaan sigaret besar ini. Tidak lebih. "S ... saya?" tanyaku tidak percaya dengan menunjuk diri sendiri. Mataku berkedip cepat dan membola karena merasa tidak mungkin. Karena seingatku, tadi belum menekan tombol ‘pesan’ pada aplikasi ojek online. Lagi pula mana mungkin aku memesan taksi semahal ini? Gajiku bisa habis tak bersisa sebelum habis bulan. "Iya, Mbak Lilyah. Anda yang saya maksud. Mari, silahkan masuk." Pintu mobil sedan itu terbuka lebar untukku. Dan Sopir berseragam biru gelap nan rapi itu berdiri di sebelah pintu dengan tangan mempersilahkan. "Tapi ... saya ... eh ... maksudnya, siapa yang nyuruh anda menjemput saya, Pak?" tanyaku dengan nada tergagap karena kebingungan. "Pak Lois yang menyuruh saya." "Lois?" tanyaku membeo. Kepala sopir itu mengang
Pesan dari Mama : [Ly, makasih banyak karena kamu udah ngirim hadiah sebanyak ini untuk pertunangan Vela dan Ishak. Mama nggak bisa bilang apa-apa selain, teruslah berbahagia dengan jalanmu, Nak. Mama selalu mendoakan yang terbaik. Mama juga berpesan, dikemudian hari teruslah akur dengan adikmu, Vela. Meski dia bakal jadi istri mantan tunanganmu, tapi hubungan darah diantara kalian nggak bisa hilang.] Vela menjadi istri mantan tunangan yang masih kucintai itu? Lalu kami harus akur setelah apa yang dia lakukan padaku? Ya Tuhan, aku bukan orang paling alim di dunia hingga bisa merelakan perbuatan keji adikku itu. Dia menyewa orang untuk mengambil kehormatanku lalu memvideonya seolah-olah aku ini perempuan murahan lalu menyebarkannya. Dia sengaja mengirim video itu pada Papa dan keluarga Ishak agar rencana pernikahan kami batal. Luka itu, aku tidak bisa merelakannya begitu saja! "Maaf, Ma. Aku nggak bisa," gumamku lirih lalu mengunci layar ponsel tanpa membalas pesan Mama. Tenda,
Aku tiba-tiba menjelma layaknya dewi afrodit dalam seketip mata. Rambut tersanggul rapi dengan model feminim floral crown dan gaun malam indah berwarna pink salem panjang bertabur swarovski yang memiliki bentuk off shoulder untuk menunjukkan betapa indahnya tulang selangka milikku. Saat aku begitu takjub dengan penampilan yang disulap secantik ini secara dadakan di ruang tamu kontrakan, terlihat sosok Lois keluar dari ruang tengah dari pantulan cermin meja rias milik MUA yang sengaja diboyong kemari. Dia terlihat kesusahan mengaitkan kancing kemeja putih yang ada di pergelangan tangan. Tuksedo hitamnya kali ini terlihat begitu pas melekat di tubuhnya yang tinggi ideal. Tidak seperti saat memakai jas hitam waktu acara akad nikah main-main kami dulu. "Udah seles --- " ucapannya terhenti ketika kepalanya mendongak lalu menatapku dari pantulan cermin meja rias. Si lelaki gemulai bertangan dingin yang membuatku tampil secantik ini menoleh dengan senyum indah. "Cantik 'kan, Bos?" Kepal
POV RADEN MAS / LOIS Luis dan Lewis sudah sering bertandang ke rumah Romo dan Ibu sejak aku dan Lilyah pindah ke Jakarta. Entah sudah berapa bulan kami di Jakarta. Bahkan Romo dan Ibu khusus membuat acara welcome party untuk keduanya dengan mengundang keluarga Hartadi saja. Acara itu lumayan meriah tapi tidak ada Lilyah. Dia tidak mau datang karena takut pada Romo dan Ibu, ditambah keduanya juga tidak mengundang Lilyah. Meski aku memaksanya untuk datang namun tetap saja Lilyah tidak mau. Saudara-saudara begitu gemas melihat Luis dan Lewis saat bermain dengan keponakan yang lain. Pasalnya kedua anak kembarku itu benar-benar menggemaskan dan rupawan. “Yang, ayo ke rumah Romo dan Ibu. Ini akhir pekan lho.” Ajakku. Lilyah baru saja memasukkan bekal Luis dan Lewis ke dalam tas. “Kapan-kapan aja, Mas. Kalau aku udah diundang Romo dan Ibumu. Untuk saat ini biar kayak gini dulu. Aku cuma nggak mau mereka ilfil sama aku.” “Lagian, aku sama si kembar udah biasa sembunyi dari media tenta
POV RADEN MAS / LOIS "Den Mas, akta kelahiran Mas Luis dan Mas Lewis sudah jadi," ucap Pak Wawan, asisten pribadiku. Aku yang sedang duduk di kursi kebesaran CEO Hartadi Group lantas menerima map hijau berisi akta kelahiran baru kedua jagoanku. Gegas aku membuka map itu dan membaca kata demi kata yang tertulis di sana dengan seksama. Tidak ada yang berubah selain nama kedua putraku itu. Raden Mas Satria Luis Hartadi. Raden Mas Satria Lewis Hartadi. Dan nama Lilyah masih tertulis jelas sebagai ibu kandung keduanya. "Makasih, Pak Wawan. Nanti akan aku tunjukin ke Lilyah." Sudah satu minggu ini kami menempati rumah baru yang berada tidak jauh dari rumah Romo dan Ibu. Tentu saja Lilyah berusaha beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Begitu juga dengan Luis dan Lewis. Biasanya kami tinggal di tempat yang minim polusi dan masih bisa menikmati pepohon tinggi di Bandung, kini justru disuguhi dengan pemandangan gedung bertingkat dan hawa yang panas. Sejak kami pindah ke Jakarta,
POV RADEN MAS / LOIS "Kalau kamu nggak nyaman, kita bisa cari rumah yang sesuai seleramu aja, Yang. Nggak masalah kok meski nggak dekat sama rumah Romo dan Ibu."Aku tidak tega melihat Lilyah kembali hancur ketika terus-terusan ditolak keluarga Hartadi untuk sesuatu hal yang tidak ia lakukan. Ekspresinya kini terlihat meragu dan tidak nyaman sama sekali dengan tangan menepuk pantat Luis yang mulai terlelap. "Aku akan bilang Romo dan Ibu kalau kamu nggak suka tinggal di Jakarta. Alasannya logis kan?!"Lalu Lilyah melepas ASI dari mulut Luis perlahan sekali kemudian mengancingkan pengait baju di bagian dada sambil duduk. Aku pun sama, memberi guling kecil untuk dirangkul Lewis agar tidak merasa aku meninggalkannya lalu duduk menghadap Lilyah."Kita ngobrol di ruang tengah aja yuk, Mas?" Pintanya dan aku menuruti.Kututup pintu kamar perlahan sekali lalu menuju ruang tengah dengan merangkul pundak Lilyah. Rumah sudah sepi karena semua pelayan, bodyguard, dan asistenku sudah masuk ke da
POV RADEN MAS / LOIS Dengan jas hitam yang terasa pas melekat di tubuh, aku turun dari mobil MPV Premiun usai pintunya dibuka oleh asistenku, Pak Wawan. Di depan loby pabrik sigaret yang dulu kupimpin, pengawal yang biasa bersama Romo langsung mengamankan jalanku menuju aula. Tidak ada media satupun yang kuizinkan untuk meliput pengangkatanku sebagai CEO Hartadi Group yang baru. Aku tidak mau wajahku malang melintang di media manapun lalu dikaitkan dengan kerajaan bisnis keluarga Hartadi yang turun temurun ini. Nanti efeknya bisa ke keluarga kecilku. Begitu memasuki aula rapat pabrik yang sekarang berubah lebih modern, jajaran direksi sudah menungguku. Lalu seulas senyum kusuguhkan sambil menyalami tangan mereka satu demi satu. "Selamat Mas Lubis." "Semoga sukses." "Semoga Hartadi Group makin berjaya dengan anda sebagai pemimpinnya." Rasanya aku terlalu muda duduk di kursi ini mengingat kolega bisnis Romo sudah berumur semua. Romo saja yang terlalu cepat ingin mengundurkan d
POV RADEN MAS / LOIS "Nggak bisa apa, Romo?" tanyaku dengan menatap beliau lekat. "Lubis, Romo dan Ibumu terlahir dari keluarga yang menjaga etika, harga diri, sopan santun, juga tata krama yang tinggi. Coba kamu lihat orang-orang yang bermartabat tinggi di luar sana, sudikah mengangkat menantu yang pernah digauli lelaki lain lalu sempat menjadi perbincangan orang lain meski videonya udah nggak ada di dunia maya?" Aku hanya menatap Romo tanpa mengangguk atau menggeleng. "Lebih baik mereka menikahkan putranya sama yatim piatu yang benar-benar terjaga kehormatannya, Lubis. Karena kehormatan itu ... adalah harga tertinggi seorang perempuan yang nggak bisa dibeli dengan apapun kalau udah terlanjur dihancurkan laki-laki lain." "Tapi aku mencintai Lilyah dan mau menerima kekurangannya di masa lalu, Romo. Dia itu dijebak. Bukan seenak hati nyodorin kehormatannya demi lelaki lain," ucapku pelan namun tegas. Kepala Romo menggeleng, "Maaf, Romo dan Ibumu nggak bisa, Lubis. Maaf." Lalu aku
POV RADEN MAS / LOIS "Selamanya! Katakan sama Romo dan Ibumu, orang tua mana yang bisa menerima perempuan bekas lelaki lain?! Hati orang tua mana yang bisa merelakan putra kesayangannya menikah sama perempuan yang pernah digilir sama bajingan-bajingan?!" "Nggak ada, Lubis! Nggak ada orang tua yang bisa terima itu!" Romo berucap tegas meski tidak keras karena ada Luis dan Lewis. Jangan sampai mereka mendengar perdebatan yang menyangkutpautkan tentang Ibu mereka. Walau mereka belum memahaminya. "Tapi aku udah bersihin semua video Lilyah yang udah diunggah di dunia maya, Romo." "Tetap aja, Lubis! Tetap aja jatuhnya dia itu perempuan yang pernah ditiduri lelaki lain! Asal kamu tahu, Romo nggak masalah kamu nikah sama dia asal nggak ada masa lalu kelamnya yang kayak gitu! Tapi, takdir berkata lain. Dia tetap perempuan kotor!" "Meski Lilyah dijebak saudaranya sendiri?" tanyaku dengan tatapan mengiba. *** Pukul delapan malam, aku baru tiba di Bandung. Helikopter perusahaan turun di
POV RADEN MAS / LOIS "Kita harus bicara, Lubis!" Hanya itu yang Romo katakan lalu beliau berlalu bersama Ibu. Kemudian aku dan Mbak Syaila mengikuti keduanya dengan menggendong si kembar menuju ke dalam rumah megah kedua orang tuaku ini. Rumah yang bisa membuat siapapun tersesat jika tidak terbiasa berada di dalamnya. Lirikan sinis dari kakak pertamaku yang haus harta, Mbak Ayu, tidak kuhiraukan sama sekali ketika melihat kedatanganku. Dia pernah hampir mencelakai si kembar ketika masih berada di kandungan Lilyah. Dan tidak akan kubiarkan kedua kalinya dia menyentuh Luis dan Lewis walau hanya sekedar mengusap pipinya. Jujur, aku gugup dan merasa sangat bersalah pada Romo dan Ibu karena hubungan kami tidak kunjung membaik pasca aku lebih memilih Lilyah dan kehamilannya kala itu. "Mbak, kira-kira Romo sama Ibu mau ngomong apa?" Bisikku dengan menyamakan langkah dengannya. "Kalau aku tahu duluan itu namanya aku mau jadi dukun, Lubis." Sungguh candaan Mbak Syaila tidak membuat
POV RADEN MAS / LOIS Hari ini akan menjadi pertama kalinya aku kembali ke pabrik sigaret di Bandung yang setahun lalu kutinggalkan demi melindungi Lilyah dan kedua putra kembarku dari intervensi keluarga besarku. Dulu aku membangun pabrik ini dengan susah payah bahkan jatuh bangun untuk menunjukkan pada Romo, Ibu, dan keluarga besar Hartadi jika aku bisa sehebat Romo membawahi bisnis sigaret turun temurun keluargaku. Namun, demi kebahagiaan Lilyah dan ketenangannya merawat si kembar, aku memutuskan untuk meninggalkan semua fasilitas eksklusif premium yang keluargaku berikan. Pikirku, harta bisa kucari dari bisnis pribadiku, tanpa harus mengorbankan perasaan istri dan kedua buah hatiku yang tidak berdosa. "Kamu yakin nggak mau ikut?" tanyaku sambil menatap Lilyah lekat-lekat. Dia tengah mencukur jambang di rahangku dengan begitu telaten. Kepalanya kemudian menggeleng pelan dengan tetap mencukur rambut halus itu agar penampilanku tetap menarik. "Masih ada waktu lima belas meni
POV RADEN MAS / LOIS “Saya tinggal dulu, Pak Daniel.” Aku tidak menjawab pertanyaan Pak Daniel tentang si kembar dan memilih berlau dari taman bermain itu. Aku belum bisa mengakui si kembar dan Lilyah pada dunia secepat ini. Khawatir nanti akan menimbulkan perselisihan lagi antara aku dan keluarga Hartadi. Aku tidak tega melihat Lilyah dan kedua putra kembarku terluka karena penolakan dari keluarga besar Hartadi. Setelah berada di salah satu toilet khusus pria, aku mengirimkan sebuah pesan pada Lilyah. [Pesan dariku : Aku ke toilet dulu. Mendadak mulas banget, Yang.] Padahal pesan itu mengandung kebohongan seratus persen hanya untuk menghindari persepsi Daniel tentang keberadaan si kembar dan juga Lilyah. Biarlah seperti ini dulu entah sampai kapan. Yang penting kami bahagia dan tidak membuat hati siapapun terluka. *** “Mas, kamu kok belum balik dari toilet?” Itu suara Lilyah dari sambungan telfon. “Apa perutmu masih mulas?” Bukan mulas, juga bukan masih di toilet.